Sean terbang mengitari langit malam dengan ketinggian yang tidak akan terlihat oleh manusia. Kilasan-kilasan ingatan dari masa lalunya hilang dan timbul tampa ia minta. Kepalanya terasa berat dan sedikit pusing. Karena itulah ia memutuskan pergi keluar. Menikmati langit malam membuatnya merasa lebih tenang.
Dia merogoh saku celananya, mengeluarkan kalung yang ia temukan tadi siang. Menatap foto wanita yang tadi sempat mucul dalam ingatannya. Wanita itu sangat akrab dengannya namun ia tidak bisa mengingat namanya.
Sean menukik tajam, dengan kecepatan sedang dia mulai turun. Pupilnya berubah menjadi keemasan dan dia bisa melihat gedung pencakar langit semakin jelas.
Masih terbang dengan kecepatan rendah, dia melihat atap rumah-rumah yang ia lewati. Perasaan familiar merasukinya. Melihat sungai dibawah sana, Sean perlahan turun. Dalam sekejap dia melenyapkan sayapnya dan memakai baju kembali. Sean menoleh ke kanan untuk memastikan keberadaan orang lain. Pasalnya, telinga tajamnya menangkap suara helaan nafas seseorang.
Ingatan kembali muncul di kepalanya ketika ia menatap sungai itu. Sebuah wajah pria dengan rambut ikal. Mata sipit dan berkulit putih. Dalam ingatannya, dia samar-samar mendengar suara orang memanggil sebuah nama dalam hingar bingar sebuah pesta. Tiba-tiba saja telinganya berdenging dan terasa sakit. Sean tersungkur ketanah memegang kepalanya.
"Akh!" desisnya.
Sean merasa pundaknya disentuh seseorang namun dia tidak bisa mendengar karena telinganya masih berdenging. Dia tersungkur dalam posisi bersujud untuk beberapa saat sebelum bahunya dicengkram kuat. Tubuhnya dipaksa bangun. Mata Sean yang keemasan membuat pria yang tadi memegang pundaknya terkejut. Dengan reflek dia melepaskan Sean dan mundur beberapa langkah.
"Ka-kamu bukan manusia? Ka-kamu! Huh?"
Pria itu terpaku di tempatnya ketika Sean menunduk, pening dikepalanya menghilang bersamaan dengan telinganya yang berhenti berdenging.
Sean mengangkat kepalanya, menatap pria yang kini mundur selangkah lagi. Sean ingat, pria dihadapannya ini adalah temannya dimasa lalu. Dia mengingatnya namun masih belum seluruhnya. Yang dia ingat mereka berada dalam satu SMA yang sama.
"Hugo... tolong aku."
Secepat kilat Sean sudah mencengkram kedua bahu pria bernama Hugo itu. Menatap kedalam matanya, berharap temannya itu mengenalinya. Sayangnya harapan Sean terlalu tinggi, dia lupa kalau penampilannya berubah. Bahkan bentuk hidung dan bibirnya berubah. Hal yang tidak berubah hanya bentuk matanya.
"Si-siapa kamu? Bagaima kamu tahu namaku?" tanya Hugo terbata-bata. Tubuhnya juga bergetar didera ketakutan. Dia mengira Sean adalah makhluk tak kasat mata.
"Aku... Aku... "
Sean menunduk sesaat, cengkramannya sedikit melemah. Dia bingung memperkenalkan dirinya sendiri. Dia juga tidak ingat nama aslinya. Hugo yang melihat kebingungan Sean mengambil kesempatan, dia melepaskan diri dan berlari dari sana.
Sean menghela napas, dia mengejar Hugo dengan mudah dan menghadang langkahnya. Hugo semakin ketakutan, Sean bergerak seperti hantu yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Tolong jangan ganggu saya mbah... please... saya belum kawin mbah... Ampun... Ampun...." Hugo memohon dengan cara menyatukan tangan dan menutup matanya.
Sean mengernyit, Hugo bahkan sampai membaca doa-doa pengusir hantu. Sean yang kesal membuka kaosnya lagi. Mengikatkan pada pinggangnya dan memeriksa sekitar mereka. Setelah memastikan hanya mereka disana, Sean mengeluarkan sayapnya. Mengeluarkan kuku panjangnya dan mencengkram kedua bahu Hugo dan membawanya terbang. Posisi mereka persis seperti elang membawa mangsanya.
"Aaaaaggghhh!"
Hugo berteriak-teriak. Dia semakin ketakutan tapi Sean tidak berhenti. Dia terus terbang ke atas, menembus beberapa awan dan berhenti di tengah udara dingin yang menekan. Tekanan udara yang menurun membuat Hugo kesulitan bernapas. Hal itu membuat ia berhenti berteriak.
"Akhirnya kamu diam." kata Sean.
Dia melepaskan cengkramannya sehingga Hugo terjun bebas, secepat kilat ia menangkapnya lagi sehingga pria itu berada dalam cengkraman tangannya. Saling berhadapan satu sama lain. Saat ituah Hugo terpaku ketika melihat sayap indah Sean.
"Ka-kamu malaikat? Apa aku sudah mati?" tanyanya dengan ekspresi bodoh.
"Dimana rumahmu?" tanya Sean.
Hugo tidak menjawab, kesadarannya sepertinya kembali. Dia menoleh ke kiri dan kanan. Tubuhnya bergetar takut menyadari dia diatas langit bersama makhluk yang tidak ia ketahui jenisnya.
"Ap-Apa maumu? Tolong lepaskan aku." pintanya ragu-ragu.
"Tunjukkan rumahmu." katan Sean lagi.
"Aku tidak punya rumah. Aku menumpang dirumah temanku." jawab Hugo dengan takut sekaligus gusar.
Sean memiliki firasat bahwa dia harus kerumah teman yang disebutkan Hugo. Jika pemikirannya benar, dia bisa tahu siapa nama aslinya.
"Kita kesana, tunjukkan arahnya."
"Ap-apa?" Hugo menunduk.
'Makhluk gila? Bagaimana caranya aku melihat dimana rumahnya dari ketinggian ini?'
Menyadari kekeliruannya, Sean dengan cepat membawa Hugo terbang lebih rendah. Melewati banyak gedung ditengah malam menuju arah timur.
"Jalan xxx di perumahan xxx." kata Hugo dengan nada berhati-hati.
"Tunjukkan arah, aku tidak ingat jalan itu." ketus Sean.
Mau tidak mau Sean terbang lebih rendah sehingga Hugo bisa melihat dengan jelas. Hugo sudah terlihat kesakitan karena cengkraman kuat Sean. Kuku-kuku Sean yang memanjang seperti cakar elang itu menusuk lengannya.
Mereka sampai di depan sebuah rumah yang langsung mengembalikan kenangan anak-anak dikepala Sean. Dia berdiri terpaku ketika kenangan demi kenangan bermunculan dikepalanya.
Hugo terpana menyaksikan bagaimana sayap Sean menghilang dan bulu yang berjatuhan dengan cepat berubah menjadi butiran debu tipis. Kuku-kuku Sean juga kembali seperti semula. Dalam diam Hugo mencubit tangannya sendiri untuk memastikan bahwa dia masih hidup dan tidak sedang bermimpi.
"Ka-kamu... sebenarnya apa? Siapa? Kenapa kamu mengenaliku?"
Sean berbalik, menatap Hugo dengan ekspresi sendu. Dengan gerakan cepat, dia memeluk Hugo dengan erat.
"Ini aku! Aku kembali." katanya.
Hugo melepaskan diri dan mundur. Dia tidak mengerti, rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Sean bisa melihat itu. Karena itu dia berbalik dan melangkah menuju pintu masuk rumah. Dengan cepat memasukkan kode dan pintu terbuka. Tentu saja Hugo terkejut bukan main. Selama ini, yang mengetahui kode pintu rumah itu hanya dia, pemilik rumah, yaitu sahabatnya dan ibu sahabatnya yang telah lama meninggal.
Masih dengan kebingungan yang melanda, Hugo mengikuti langkah Sean yang naik ke lantai dua. Sean membuka kamar lamanya. Mencari identitasnya dengan membuka laci atau buku-buku yang tertata rapi di raknya.
"Apa yang kamu lakukan! Letakkan barang-barang Daffin! Kamu tidak boleh menyentuh barangnya!"
Sean berhenti, dia menoleh. "Daffin... Jadi namaku Daffin?" bisiknya pada diri sendiri meski matanya menatap Hugo.
"Keluar!" usir Hugo dengan kasar.
"Hugo... dimana wanita ini? Aku merasa perlu bertemu dengannya." tanya Sean tampa peduli pada amarah Hugo.
Sean menunjukkan kalung ditangannya. Memberikannya pada Hugo untuk dibuka. Hugo membelalak. Dia sangat mengenal kalung yang selalu dipakai sahabatnya itu.
"Ba-bagaimana kalung Daffin ada padamu? Siapa kamu sebenarnya?" tanya Hugo, matanya sudah berkaca-kaca. Dia menatap kalung itu dengan perasaan bersalah yang amat dalam.
.
Setelah kepergian Sean, Daffin termenung menatap kartu memori di tangannya. Setelah Sean mengatakan dialah Daffin dan menceritakan apa yang terjadi sejak dia terbangun di hutan mati itu, Hugo seperti sedang mendengar kisah dongeng anak-anak. Bagaimana sosok Daffin berubah menjadi Sean dan berubah bentuk seperti itu. Belum lagi kekuatan dan kemampuan yang ia miliki tidak bisa dijelaskan.
Selain kartu memori, Sean juga meninggalkan sampel rambut dan darahnya. Meskipun dia yakin dia sudah mengalami perubahan susunan DNA, tidak ada salahnya membuktikan kalau dia adalah Daffin. Hugo bisa membuktikannya dengan melakukan tes DNA dengan sisa tubuh ibu Sean yang sengaja ditinggalkan saat ia meninggal. Sean mengambil sebagian rambut dan memotong kuku ibunya sebelum dikuburkan. Hal itu untuk berjaga-jaga jika suatu saat ia akan menemukan keluarga dari pihak ibunya.
"Aku masih waras kan? Iya kan? Bagaimana bisa aku mempercayai makhluk itu?" gumamnya.
Meski hatinya masih menolak bukti yang ditunjukkan oleh Sean, namun logikanya memyuruhnya tetap membuktikannya. Memori yang ada di kalung itu, ia masukkan ke dalam cardreader dan memasukkannya ke dalam laptopnya.
"Huh? Apa ini? data ini penuh kode-kode. Aku butuh waktu memecahkannya." katanya, lalu dia membuka folder lain. Saat itulah dia membelalak sambil mengumpat dengan keras.
"My God! Oh my! Daffin kamu! Ini tidak mungkin! Oh ****! Siapa mereka ini?"
Ada banyak vidio. Vidio pertama yang ia lihat adalah vidio rekaman kamera tersembunyi yang menunjukkan apa yang dilakukan beberapa orang pada tubuh Sean. Setelah itu Sean dibiarkan tidak sadarkan diri dalam ruangan penuh radiasi.
Vidio-vidio berikutnya hanya penampakan orang lalu lalang menuju ruangan dimana Sean dalam wujud lamanya berada. Orang-orang ini menyuntikkan sesuatu pada tubuh Sean beberapa kali dalam sehari. Seluruh vidio berjumlah puluhan. Seluruhnya terpisah persatu hari.
Hal yang aneh adalah, Hugo tidak pernah melihat bagaiman kamera ini di aktifkan dan dimatikan. Setiap hari, pada jam yang sama hanya merekam beberapa jam ketika orang-orang itu masuk untuk melakukan sesuatu pada tubuh Sean.
'Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Bukankah dia bilang mereka hanya membuat senjata disana?'
Hugo mengusap wajahnya, dia dengan bingung mematikan vidio yang berisi hampir sama dengan yang sebelumnya. Berdiri dengan ekpresi antara percaya dan tidak.
'Mungkinkah pria bernama Sean ini memang Daffin? Sangat tidak masuk akal. Bagaimana manusia bisa selamat dari radiasi sebesar itu? Apapun yang mereka berikan, tidak akan semudah itu... Tapi pria itu tahu hal-hal yang hanya Daffin dan aku yang tahu....'
Hugo kembali mengusak rambutnya. Dia benar-benar frustasi. Disatu sisi jika benar Sean adalah Daffin, dia akan sangat senang karena sahabatnya masih hidup. Tapi jika tidak, dia bisa membahayakan banyak orang jika ternyata Sean adalah mata-mata. Karena pikiran-pikiran itulah Hugo mau tidak mau akhirnya menghubungi satu orang untuk meyakinkannya.
.
Sean menemukan Freya berdiri di depan pintunya ketika dia kembali. Gadis itu menatapnya dengan penuh kecurigaan.
"Menyingkirlah." seru Sean ketika Freya menghalanginya dari pintu.
"Aku melihatmu pergi, kemana kamu tengah malam? Kamu mencurigakan. Apa kamu mata-mata untuk mengawasi profesor Adam?" tuduh Freya.
Sean menghela nafas, dia lelah dan tidak ingin berdebat. Terakhir kali dia kelepasan saat berdebat dengan Freya. Gadis itu entah bagaimana selalu bisa menyulut amarahnya tampa bisa ia kendalikan.
"Jangan keras kepala. Kamu bukan pengasuhku jadi berhenti rewel!"
Freya mengernyit, dia memajukan wajahnya dan berjinjit. Matanya menatap Sean dengan saksama. Tenti saja Sean risih, dia ingin mendorongnya namun urung karena pertanyaan Freya.
"Kenapa bola matamu sedikit lebih cerah, apa kamu memakai lensa kontak? Kamu seperti remaja cantik kalau seperti ini." ejek Freya.
Sebelum semakin parah, Sean bergegas mendorong Freya kesamping. Dia membuka pintu kamarnya dengan cepat dan menguncinya.
Freya merubah total ekspresi wajahnya, dia terlihat takut dan kawatir akan fakta yang ia lihat.
'Aku sangat penasaran wujud seperti apa yang dilihat Profesor, tapi Sean benar-benar menakutkan.'
.
Sean tidak bisa tidur setelah berdebat dengan Freya. Kepalanya tiba-tiba menjadi sakit lagi. Hidungnya bahkan mengeluarkan darah. Sean sudah meminum obat pereda nyeri namun tidak berefek sama sekali. Kepalanya terasa akan pecah. Sean merasakan lagi rasa ngilu luar biasa di punggungnya. Dia tidak bisa mengendalikan dirinya.
Ketika menyadari ada yang mengetuk kamarnya, kuku-kuku Sean mulai memanjang. Ketakutan dan kekawatiran menambah reaksi tubuhnya. Biasanya dia bisa mengendalikannya, namun kali ini dia tidak kuasa karena rasa sakit di kepalanya.
"Aaagghhtt!"
Sean berteriak tampa sadar, pintu kamarnya diketuk dengan kencang. Sean semakin kawatir, pupil matanya sudah berubah keemasan. Sayap-sayapnya membentang dan membuat kemejanya terkoyak. Tubuhnya terasa terbakar. Sejak bangun, dia tidak pernah merasakan sensasi terbakar seperti itu.
Pintu menjeblak terbuka setelah di dobrak oleh Adam. Melihat Sean yang berubah total, dia terdiam untuk beberapa saat. Sean menatapnya, dengan hidung yang kembali berdarah, dia membuka mulutnya untuk bicara.
"Profesor... Tolong aku." lirih Sean.
Setelah itu ia jatuh tersungkur. Dia pingsan di lantai dengan kedua sayap besar menutupi tubuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments