Bertemu Willi

Sean sedang berdiri di ujung tangga. Tubuhnya terlindung tembok sehingga tidak ada yang bisa melihatnya dari bawah. Dia berdiri dengan lengan menempel pada dinding. Sedang fokus mendengarkan percakapan Hugo dan Barbara yang datang menemuinya.

"Aku datang untuk mengatakan ini sebagai teman. Aku tahu kamu sangat melindungi Daffin. Aku juga sama, kita berteman. Tapi Willi dan Diandra sedang memyusun rencana. Rencana itu bisa membahayakanmu, Hugo."

Hugo diam saja, dia tidak merespon apapun sehingga membuat mantan kekasihnya terlihat frustasi.

"Tolong percaya padaku. Setidaknya, Sean harus bicara denganku. Aku akan menyampaikannya pada Willi dan berusaha membuat mereka bekerja sama."

"Aku percaya padamu," kata Hugo dan menjeda sesaat ketika melihat sorot penuh harapan dimata Barbara. "Dulu, sebelum kamu menghilang dan akrab dengan atasanmu itu."

"Akrab? Kami sama sekali tidak seperti itu. Willi dan aku hanya sebatas hubungan kerja." bohongnya.

"Benarkah? Tapi itu tidak penting juga. Aku tidak bisa mempertemukanmu dengan Sean. Aku juga tidak tahu dia dimana." kata Hugo.

Keduanya sama-sama melempar kebohongan. Sean tersenyum sudut, merasa miris dengan keadaan keduanya saat ini. Hal itu karena sebelum Barbara bergabung dengan Cell Farma, mereka adalah pasangan paling romantis yang pernah Sean temui. Mereka jarang bertengkar,

"Kamu berbohong padaku, kan? Aku sangat mengenalmu Hugo."

Barbara mengatakannya dengan wajah kecewa. Hugo menghela napas, sejak dulu dia membenci hatinya yang gampang luluh oleh wajah mantannya ini. Hal itu tampaknya belum sepenuhnya bisa ia kendalikan. Dia terlihat sangat terganggu oleh tatapan Barbara padanya.

"Aku hanya ingin bicara saja, tidak berniat buruk." lirih Barbara, lalu dia bangkit berdiri.

Hugo mendongak, jelas terpengaruh oleh perasaannya sendiri. Hal itu tampaknya disadari oleh Barbara. Sehingga dia dengan gerakan yang teratur mendekatinya. Berjongkok di depan Hugo dan memegang kedua tangannya.

"Aku masih dipihak kalian. Tolong percaya padaku, aku bahkan ingin kembali berlari dalam pelukanmu." lirih Barbara.

Hugo tampak bimbang, dia terlihat sangat bingung dan rentan. Barbara sudah meraih pipinya. Selangkah lagi untuk mendapatkan hati Hugo kembali, namun pria itu memundurkan kepalanya.

Dia bangkit berdiri dan menatap Barbara seperti semula. "Apa yang direncanakan mereka, katakan padaku jika kamu masih bersama kami." kata Hugo dengan tenang.

Barbara menunduk, setetes air matanya jatuh. Dia tersenyum dalam kegetiran hatinya. Hugo mengulurkan tangannya, mengangkat wajahnya dan menghapus lelehan air mata itu.

"Jika ini berat bagimu, maka pergilah. Kamu tidak harus ada disana. Sean tidak lagi memintamu untuk ada disana." ujar Hugo.

"Aku ingin, tapi aku tidak akan bisa lepas setelah menjadi bagian dari mereka. Kalianlah yang mengirimku. Tapi saat ini kalian yang tidak mempercayaiku dan membuangku." Barbara tertawa getir, dia menepis tangan Hugo dan berbalik.

"Maafkan aku, Barbara. Saat itu aku tidak tahu akan seperti ini. Aku sungguh minta maaf untuk membuatmu ada dalam situasi seperti ini."

Sean pergi secepat ia bisa ketika pasangan itu saling berpelukan. Sean tahu Barbara tidak sepenuhnya memanipulasi Hugo. Ada hal-hal yang ia ucapkan dari hati dan kegelisahannya. Tapi mengingat pembicaraan dirumah Willi, sangat tidak masuk akal jika dia mempercayai Barbara saat ini. Meski begitu, dia juga tidak sepenuhnya yakin jika Barbara telah berada dipihak Willi. Sean hanya berharap Hugo bisa membawa Barbara kembali. Karena dia sangat tahu, meskipun Hugo realistis, Hugo sangat mencintai Barbara.

.

Sean bersenandung kecil mengikuti irama lagu yang ia dengarkan. Tidak ada earphone ditelinganya, juga tidak ada suara terdengar jika tidak menempelkan ponsel pada telinga kita. Namun karena telingaya berbeda dari manusia normal, dia bisa mendengar suara kecil itu sejelas jika dia memakai pengeras suara.

Berjalan-jalan ditegah kota dan melangkahkan kaki kemanapun yang ia inginkan. Sudah sangat lama ia tidak melakukan ini. Karena dia sangat menikmati waktu yang sebentar ini.

Sean tersenyum kecil ketika mendengar banyak langkah kaki tergesa-gesa menuju kearahnya. Dia sedang berjalan santai di depan etalase toko, lalu dengan cepat masuk kedalam sebuah jalan kecil yang ia tahu adalah gang buntu.

Sean berhenti ketika beberapa orang berdiri dibelakangnya. Menodongkan senjata dan menyuruhnya menyerah seolah dia adalah pelaku kriminal.

Sean berbalik, dia tersenyum kala Anton menyeruak diantara pasukan elit itu. "Lama tidak bertemu, apa kabar kamomandan?" ujar Sean dengan nada mengejek.

"Pelarianmu cukup sampai disini. Ikut kami dengan sukarela atau kami terpaksa melumpuhkanmu."

Sean merogoh kantongnya. Hal itu membuat pasukan itu termasuk Anton bersiaga penuh. Ketika Sean mengangkat tangannya dan menunjukkan ponselnya yang menyala, Anton sedikit kesal namun tidak menurunkan kewaspadaannya.

Setelah mematikan musiknya, Sean memasukkan ponselnya kembali. Senyum kepura-puraan lenyap dari wajahnya dan berganti wajah dingin dan datar. Mengeluarkan tatapan intimidasi menyeramkan. Bola matanya yang coklat gelap perlahan memudar dan berganti keemasan. Namun karena jarak mereka yang masih jauh dan keadaan yang minim cahaya, membuat perubahan itu tidak terlihat jelas.

Sean maju selangkah demi selangkah. Sehingga jarak mereka hanya dua meter. "Apa yang membuat anda ingin menangkap mahasiswa seperti saya? Saya bahkan tidak melakukan apapun." tanya Sean dengan nada mengancam.

"Jangan banyak bicara, kriminal sialan! Maju dan tangkap dia!" teriak Anton pada anggotanya.

Anggotanya tampak ragu dan melirik satu sama lain. Sean menyadari kalau mereka ragu karena sesuatu. Saat itulah Sean tertawa tampa seuara.

"Tampaknya kalian sudah tahu sesuatu tentang aku. Nah, kalau begitu apa kalian masih berniat membuang tenaga?" tanya Sean.

Dia bergerak cepat ketika bunyi peluru yang terlepas mengarah padanya. Dia menatap orang yang melepaskan tembakan dan tersenyum mengerikan.

"Katakan pada Willi untuk menemuiku sendirian." suruh Sean, dia melihat sesuatu yang dipakai oleh Anton di saku rompinya. Sebuah kamera tersembunyi. "Katakan padanya, aku ingin dia membawa data penelitian dan rekam medis milikku sejak aku masih kecil." lanjutnya, tersenyum pada kamera seolah ia sedang berbicara pada Willi.

Sean tersenyum lagi, setelah itu dia menghilang dengan bunyi hembusan angin yang melewati mereka. Beberapa pasukan bahkan terlempar karena Sean mendorongnya dengan kencang karena menghalangi jalannya.

Anton menggeram dengan tangan terkepal begitu dia sadar Sean melarikan diri. Mereka berusaha mengejar namun hanya menemukan udara kosong pada jalanan yang sepi.

.

Sean merasakan suhu tubuhnya mulai turun. Tampaknya istirahat panjang tidak berguna untuknya. Dengan napas yang berat, dia membuka pintu taksi yang terparkir dipinggir jalan.

"Ke jalan xxx." ujar Sean.

"Hei Nak, kamu sakit? Apa perlu kita kerumah sakit?" tanya supir yang usianya tampak sudah lanjut itu.

"Tidak perlu, saya sudah meminum obat. Tolong jalan saja." pinta Sean.

Sang supir hanya mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya. Sean memejamkan matanya. Berusaha mengendalikan diri dan bersikap tenang. Suhu tubuhny semakin menurun, ditambah suhu dingin mobil membutnya merasa sakit disekujur tubuhnya.

"Nak, kita sudah sampai, apa aku perlu maju lagi atau rumahnya sudah terlewat?"

Sean membuka matanya. Dia menyodorkan uang dan tidak berbicara apapun lagi. Sean hanya keluar dan berjalan dengan tubuh yang kehabisan tenaga.

Supir itu masih terpaku ditempatnya, dia menatap Sean yang semakin jauh dan menghilang ketika berbelok pada persimpangan jalan di depan. Supir tua itu menatap tangannya yang masih memegang uang.

"Dia sangat dingin seperti es." ujarnya.

Bukannya kawatir karena takut Sean akan pingsan dijalan. Yang ada dikepala pak tua ini adalah fakta bahwa Sean bukanlah manusia. Tampaknya dia mengira Sean adalah hantu. Karena itu dengan cepat dia memutar mobilnya dan pergi dari sana.

.

Freya sudah tidur dengan nyenyak ketika bel rumahnya berbunyi. Freya membuka matanya dan melirik jam di atas meja. Karena dia tidak mengenal banyak orang, Freya segera sadar kemungkinan orang yang datang saat ini. Dia segera turun dari ranjang dan berlari ke arah pintu depan.

Sebelum membuka pintu, Freya mengintip dari jendela. Melihat Sean yang bersandar di sisi pintu, dia segera membukakan pintunya.

"Sean! Ada ap_"

Freya terdorong kebelakang ketika Sean masuk dan langsung memeluknya. Menempelkan pipinya pada leher Freya dan berusaha mengtur napasnya.

"Ini lebih lama dari sebelumnya." ujar Freya. Tubuhnya mulai ikut menggigil.

Sean menarik diri, dia membawa Freya duduk dan bersandar pada pundaknya. Kedua tangan mereka saling menggenggam. Sean menatap lantai dengan pikiran-pikiran gelapnya. Kepalanya terasa sangat berat dan dia seakan kesulitan menekan amarah yang tiba-tiba merasukinya.

"Sean?"

Mendengar suara Freya, Sean tersentak. Seolah kembali pada kesadarannya, dia mengangkat kepalanya. Menatap Freya dengan bola mata sepenuhnya berubah warna emas yang pekat.

"Suhumu sudah kembali normal." ujar Freya. "Apa yang terjadi?" tanyanya.

Sean tidak menjawab. Dia malah berbaring dan menjadikan paha Freya sebagai bantal. Freya menunduk, menatap lurus wajah Sean. Mata itu tertutup dan tangannya memeluk pinggang Freya seperti seorang anak balita.

Tampa ia sadari, tangannya mulai membelai rambut Sean yang semakin panjang. Terasa lembut seperti rambut bayi. Rambut ikal Sean jika ia tarik menjadi lurus sudah melewati bahunya.

Freya menguap, dia mengantuk dan mulai sebal karena tingkah Sean yang diluar nalarnya. "Aku juga mengantuk, bocah." ujarnya dengan suara malas. Dia juga merasa sangat lelah.

Sean tersenyum, dia memang tidak tidur. Hanya menikmati suhu tubuh Freya yang terasa hangat dan membuatnya lebih tenang.

"Aku lapar."

Sean mengubah posisinya sehingga wajahnya menghadap keatas. Dalam posisi ini, Sean bisa melihat wajah Freya yang terlihat kesal sekaligus malu.

"Pergilah keluar, kamu bisa makan dimana saja."

"Temani aku kalau kamu tidak mau memasakkannya."

"Ck, Aku mengantuk. Pergilah pada temanmu atau..." Freya berhenti, entah mengapa dia tampak enggan untuk melanjutkan perkataannya.

"Atau siapa?" pancing Sean.

"Menyingkir, aku mau tidur!"

Freya bangkit berdiri sehingga mau tidak mau Sean bangun. Namun sebelum gadis itu mencapai pintu kamarnya, Sean lebih dulu berdiri di hadapannya. Freya mendongak menatap wajah Sean yang tersenyum tampa dosa.

Freya ingin sekali mengumpat keras, namun dia tidak bisa melakukannya. Dalam hitungan detik, tampa ia sadari. Dirinya sudah dibuat duduk dikursi salah satu restoran yang letakknya tidak jauh dari daerah rumahnya.

Freya menoleh kiri dan kanan. Dimana pengunjung sudah tidak ada karena memang sudah lewat jam buka. Freya cukup terkejut restoran ini masih belum tutup.

Seorang pelayan menghampiri mereka. Dia tampak terkejut karena tidak menyadari ada pengunjung baru ketika dia mengelap meja lain.

"Maaf, kami sudah akan tutup dan tidak melayani lagi." ujarnya.

"Buatkan aku dua porsi makanan dan aku akan membayar lebih untuk itu." bujuk Sean dengan senyum menawannya.

Pelayan itu tampak merona dan malu, namun dia juga terlihat ragu dan bingung. Lalu seseorang datang menghampiri mereka. Kelihatannya pemilik restoran.

"Maaf Tuan, kami sudah tutup dan pegawai kami harus pulang. Mereka pasti sudah cukup lelah." ujarnya.

Freya yang tidak begitu paham karena perbedaan bahasa hanya menebak dari ekspresi mereka. Gadis ini cukup cerdas menilai situasi.

"Sudah tutup, kan? Kamu membuat orang repot, Sean." katanya.

"Kami mohon maaf, nyonya." ujar sang pemilik dalam bahasa inggris juga.

"Tidak apa, kami akan per__"

"Ouh! Perutku!"

Semua orang menoleh pada Sean yang memegang perutnya. "Anda punya penyakit? Apa itu karena terlambat makan?" tanya pelayan itu dengan penuh kekawatiran.

"Ah, maaf. Sepertinya begitu. Aku sibuk bekerja." jawab Sean sambil menunduk memegangi perutnya.

"Bos, bolehkah saya memasak untuk mereka. Berbahaya kalau dibiarkan."

Pemilik restoran mengangguk pada pelayannya. Pelayan itu segera berlari ke dapur untuk segera membuatkan masakan.

"Dia bukan koki utama. Dia hanya pemula yang merangkap sebagai pramusaji. Jika masakannya kurang enak saya mohon maaf." ujar pemilik pada Sean dan Freya dalam bahasa inggris.

"Tidak apa, terima kasih." jawab Freya dengan wajah tidak enak hati.

Setelah pemilik restoran pergi ke meja kasir, Sean menumpu kepalanya pada meja dan menatap Freya dengan senyuman lebar.

"Kekanakan sekali, dasar bocah." gerutu Freya dengan suara pelan agar tidak terdengar oleh pemilik restoran yang masih memperhatikan mereka.

.

Setelah mereka selesai makan, mereka pulang menggunakan taksi. Freya tidak ingin digendong seperti tadi lagi. Namun baru saja memasuki jalan masuk kerumah Freya, mereka sudah di hadang oleh dua mobil dan satu mobil muncul dibelakang mereka.

"Mereka pasti memasang kamera tersembunyi disekitar rumah." gumam Freya.

"Silahkan turun, Tuan." suruh sang supir.

Freya menoleh pada Sean yang wajahnya hanya datar saja ketika ternyata supir taksi itu adalah bagian dari musuh.

"Sean," bisik Freya yang mulai takut.

Sean hanya mengelus surainya sekali sebelum membuka pintu dan turun. Namun dia tidak bergerak lebih jauh. Sean tetap berdiri disisi pintu mobil yang terbuka.

Seseorang keluar dari salah satu mobil di depan mereka. Dia adalah Willi. Pria itu berjalan mendekat dan berdiri tepat di depan Sean. Dia tersenyum tipis ketika Sean menunjukkan ketidaksukaannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!