Elsa menatap foto Sean, dia dan ibu Sean di dalam album foto miliknya. Saat itu Elsa tengah mengandung anak calon suaminya. Ya, Elsa menjalin hubungan dengan orang lain namun hatinya ia berikan pada Sean. Sejak awal, dia tidak pernah mencintai orang lain. Namun demi menyenangkan hati ibu Sean yang menjodohkannya, Freya menerimanya.
Elsa masih ingat malam dimana dia mengira tidur dengan Sean. Paginya dia begitu hancur saat tahu bahwa orang yang bersamanya saat mabuk malam itu adalah pria pilihan ibu angkatnya. Elsa tidak ingin mengecewakan ibu Sean, karena itu dia memendam perasaannya dan berusaha bersikap baik pada ayah Flo bahkan setelah mereka menikah.
"Mama, kepala Flo sakit sekali."
Elsa menoleh pada anaknya yang duduk di atas kasur. Flo segera menghampiri anaknya dan memeluknya.
"Apa yang sakit? Kepalamu sakit lagi?" tanya ibunya.
"Hikhikhik! Kepala Flo sakit... kaki Flo juga sakit...."
Elsa segera menggendong anaknya keluar dan masuk ke dalam mobilnya. Dia segera membawa Flo ke rumah sakit dimana ia biasa menjalani terapi.
Sesampainya di IGD, Flo kehilangan kesadarannya. Elsa sangat terpukul. Dia ketakutan setengah mati. Elsa menelepon Sean, namun Sean tidak menjawabnya. Dia meremas rambutnya dengan frustasi.
"Bu, Flo harus segera dibawa ke ICU untuk penanganan lebih lanjut. Dia membutuhkan tambahan alat bantu pernapasan."
Elsa hanya mengangguk lemah. Pikirannya kacau dan dia membutuhkan sandaran. Sayangnya, orang yang ia tunggu sama sekali tidak bisa dihubungi.
Setelah setengah jam, Elsa diberitahu bahwa keadaan anaknya sudah stabil. Namun Flo masih belum sadarkan diri. Elsa masuk dan duduk disamping ranjang anaknya. Air matanya sudah mengering, menyisakan wajah sembab yang menyedihkan.
Karena Sean tidak mengangkat telepon dan tidak membalas pesannya. Dengan berat hati Elsa menghubungi Hugo. Meskipun Elsa tahu Hugo tidak begitu menyukainya, namun sejauh ini Hugo menghargai posisi Elsa di samping sahabatnya.
.
Sean menyusuri asrama dimana Adam dan yang lainnya berada. Hari sudah menunjukkan pukul enam sore. Sean mengetuk jendela kamar milik Adam.
Adam membukanya, sama sekali tidak terkejut kala mendapati Sean berdiri disana. "Dimana Freya?" tanyanya ketika Sean melangkah masuk.
"Dirumahku."
"Mereka tidak hanya menargetkanmu saat ini. Tahu Freya hilang, mereka menjadikannya target juga. Menuduh asistenku sebagai mata-matamu." Nada bicara Adam terlihat sedikit kesal.
Sean tersenyum tipis. "Mereka sama sekali tidak kreatif. Amatiran namun licik. Menghadapi mereka lebih mudah dari pada wanita ular peliharaan mr.X."
"Sebenarnya siapa Mr.X yang selalu kamu katakan ini?"
Sean mengangkat bahunya. "Aku juga tidak tahu, Profesor. Selama ini aku tidak berpikir untuk mencari tahu siapa dia."
"Lalu saat ini kamu menjadi tertarik?"
"Benar, aku ingin tahu apa hubungan ibuku dengannya. Kenapa ibuku sangat patuh padanya?"
Adam mengambil satu berkas dan memberikannya pada Sean untuk dibaca.
"Bacalah."
Sean mulai membaca dan tersenyum penuh arti setelahnya. Meletakkan asal berkas itu lalu menatap Adam dengan pandangan penuh minat.
"Jangan meminta apapun! Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Sudah cukup aku terlibat, aku tidak ingin terlalu jauh."
"Ayolah Profesor, anda tahu sendiri mereka tidak akan semudah itu membiarkan anda kembali saat mereka belum mendapatkan saya."
"Kamu bisa mengirimku dengan terbang sampai ke negaraku."
Mendengar candaan tidak lucu itu Sean memasang wajah datarnya. Dia duduk di salah satu kursi. Adam memilih bersandar di atas meja dengan tangan dilipat.
"Perjanjian itu akan membuat anda lebih lama disini. Tapi tawaran kerja sama dari Cell Farma akan menguntungkan. Anda bisa mencari tahu siapa Mr.X dan otak dari tragedi ini."
"Bukankah kamu adalah otaknya? Kamu yang menyebabkan ledakannya, Sean."
Sean tertawa hambar. "Aku melakukannya untuk melindungi diriku dan jutaan orang Profesor. Jika senjata kimia itu berhasil di kirim dan digunakan oleh pemesan. Akan banyak korban berjatuhan. Saat itu aku mendengar Diandra berbicara pada seseorang dan mengatakan tentang pemusnahan masal manusia yang tidak diinginkan."
"Saat itu... apa kamu sudah bermutasi seperti sekarang?" Adam menanyakan hal itu karena dia ingin memastikan Sean memilih jalan itu karena tidak ada jalan lain.
"Saat itu aku masih sangat lemah. Aku hanya akan bangun beberapa jam dalam sehari. Aku terbangun siang hari dan tengah malam. Karena ruangan tempat penelitianku tidak dipasang cctv, mereka tidak bisa melihatku ketika aku bangun. Mereka hanya tahu aku sadar ketika aku menyentuh pintu keluar karena mereka memasang sensor disana. Aku mengintai mereka ketika mereka lengah ditengah malam. Seorang teman yang masih memiliki empati membantuku untuk membuka pintu setiap kali aku ingin keluar. Sayang sekali aku tidak bisa menyelamatkannya ketika ledakan. Aku sendiri terlempar dan mengalami cidera yang sangat berat."
"Kamu cidera? Lalu bagaimana kamu bisa selamat?" Adam mengerutkan keningnya.
"Aku merangkak sejauh yang aku bisa Profesor. Aku tidak ingat berapa lama. Tapi aku terus menjauhi tempat itu dengan menyeret tubuhku. Aku pikir... aku bisa sembuh karena satu alasan." Sean menoleh pada meja tempat Adam bersandar.
Sean berjalan mendekati meja dan mengambil pisau buah disana. Tampa beban dia dengan lancar menggores punggung tangannya dan menunjukkan pada Adam apa yang bisa tubuhnya lakukan.
Adam benar-benar tidak berkedip ketika menyaksikan detik demi detik luka itu menutup dan hanya menyisakan noda darah kecil disana.
"Untuk luka sekecil ini aku hanya membutuhkan beberapa puluh detik. Tapi saat itu tubuhku sekarat."
Adam menatap Sean dengan takjub. "Maksudmu kamu tertidur begitu lama karena tubuhmu membutuhkan waktu lebih lama untuk menyembuhkan diri?"
"Entahlah, aku pikir itu hanya salah satu alasan. Aku juga tertidur beberapa waktu lalu secara tiba-tiba bukan?"
"Tapi saat itu tubuhmu memang sakit dan lemah. Itu masuk akal jika sel-sel didalam tubuhmu meregenerasi sendiri jika terjadi masalah. Sean, mungkinkan kamu akan kebal segala penyakit dan cidera sebesar apapun?" tanya Adam dengan sangat bersemangat.
"Jangan terburu-buru mengambil kepu_"
Keduanya menoleh kearah pintu ketika pintu itu terbuka begitu saja. Dua orang masuk dan terlihat mencari-cari sesuatu. Adam yang terkejut reflek menoleh pada Sean, namun Sean sudah menghilang secepat kilat. Adam menghembuskan napas lega dan berusaha mengatur ekspresi wajahnya.
"Ada apa? Apa sekarang aku tidak punya privasi lagi?" sindirnya.
"Kami mendengarmu berbicara dengan seseorang. Jelas ada dua suara tadi. Dengan siapa kamu bicara?" tanya salah satu tentara yang masuk.
"Aku rasa kalian perlu pergi ke THT." sahutnya.
Matanya tidak sengaja melihat beberapa tetes darah Sean yang tadi jatuh ke atas meja. Dengan cepat Adam bergeser dan menarik piring berisi buah dan mengambil salah satunya. Mengacungkan buah apel pada kedua tentara itu sebelum menggigitnya.
"Perhatikan jika ada penyusup Profesor. Anda bisa saja kehilangan kepala jika bermain dengan orang berbahaya." kata salah satu diantara mereka sebelum keduanya meninggalkan kamar itu.
Adam mengunci pintu lalu memeriksa balkon kamarnya. Sean sudah tidak ada. Sean memang sudah pergi dengan kecepatan yang ia punya. Terbang kembali menuju rumahnya.
.
Sean turun perlahan ketika mendengar suara Hugo dan Freya yang sedang berbicara di depan tembok pintu masuk. Dimana ada jendela kecil untuk mengintip siapa yang datang.
Tertawa dalam hati karena sahabatnya itu tidak bisa masuk karena Freya yang tidak tahu sandi pintu masuk pagarnya.
Menyadari ada angin yang berhembus cukup kencang dan bunyi pinjakan kaki Sean dibelakangnya, Freya segera berbalik dengan cepat. Menatap kesal pada Sean. Tampaknya dia sudah kembali ke dirinya, tidak ada raut ketakutan lagi di wajah itu seperti kali lalu ketika Sean mengatakan ia telah membunuh.
"Apa itu Sean?" tanya Hugo ketika mencoba mengintip.
"Ada apa, Hugo?" tanya Sean, maju dan menekan kode sandi sehingga pagar secara otomatis terbuka.
Ketika Hugo telah masuk, pagar itu kembali terkunci. Hugo terlihat sedikit frustasi. Matanya menatap Sean dan Freya secara bergantian dengan tatapan penuh kecurigaan.
"Kenapa kalian hanya berduaan disini?" tanyanya.
"Ada apa? Kamu punya kabar bagus?" tanya Sean, mengabaikan rasa penasaran sahabatnya itu.
"Dimana ponselmu?"
"Memangnya kenapa?"
"Periksa saja!" kesal Hugo.
Sean memeriksanya dan mendapati beberapa pamggilan tak terjawab. Ada pesan juga disana. Setelah mengetahui kabar dari Elsa, Sean menggaruk keningnya yang tak gatal. Lalu menatap penuh permohonan pada Hugo.
"Jangan harap, dia mengharapkamu bukan aku. Setidaknya pergi dan hibur dia." tolak Hugo dengan tegas.
"Aku tidak bisa, bagaimana kalau dia membahas pernikahan?"
"Lalu apa masalahnya?"
"Kamu tahu, rasa mengganjal setiap kali aku melihatnya. Aku takut emosiku tidak stabil dan aku akan mengacau disana. Rumah sakit adalah tempat publik. Itu berbahaya untukku sekarang."
Hugo menghela napas. "Aku sangat penasaran alasanmu dimasa lalu bisa bertunangan dengan wanita yang tidak kamu sukai." Lalu dia melirik Freya yang sejak tadi hanya menjadi pendengar. Dengan santai gadis itu bersandar di pagar dengan tangan dilipat.
"Kalian tidak pacaran kan?" tuduhnya kemudian.
"Meh! Bicara apa kamu!" bantah Freya setengah kesal setengah geli. "Aku tidak tertarik pada anak ingusan. Tipeku pria dewasa!" lanjutnya dengan nada meremehkan.
"Ckckck! Lihatlah tante tua ini. Padahal kenyataannya aku lebih tua darinya!" sahut Sean dengan nada tak kalah menghina.
"Huh? Tapi kenapa wajahmu seperti anak ayam baru menetas?"
Bola mata Sean berubah menjadi emas. Hal yang diketahui oleh Freya bahwa Sean mulai terganggu. Karena itu dia berdehem pelan lalu menyudahi perdebatan dengan cara memalingkan pandangannya ke arah lain. Tampa sadar Sean tersenyum tipis, sebenarnya dia hanya berpura-pura marah. Menyudahi perdebatan, Sean beralih pada Hugo yang kini menatapnya dengan wajah setengah kesal setengah geli.
"Aku yakin beberapa waktu ke depan akan ada bunga bermekaran sekaligus bunga yang layu. Ckckckck!" katanya dengan penuh dramatis.
"Jangan banyak bicara. Rumah sakit mana?" Sean berubah serius kembali.
"Rumah sakit biasa, apa kamu juga melupakannya?"
"Ck! Aku perlu memastikan Freya aman."
"Aku bisa jaga diri, tenang saja." sahut Freya santai.
"Memangnya ada apa?" tanya Hugo yang memang belum tahu permasalahannya.
"Kamu tetap disini selama aku pergi." putus Sean, dia hendak keluar dengan meminjam mobil Hugo, namun sebelum benar-benar pergi, sesuatu terlintas dikepalanya. "Barbara... Apakah dia bisa dihubungi?"
"Kenapa dengannya? Bukankah aku sudah bilang kalau dia mungkin saja berhianat."
"Ya, mungkin. Aku tetap harus memastikannya. Dia masih di rumah yang lama?"
"Aku tidak tahu, aku tidak ingin tahu apapun tentangnya lagi."
"Wow... kamu membuangnya?" kekeh Sean.
Hugo hanya mengangkat bahunya dengan acuh. Sean tahu ada luka di mata sahabatnya itu, namun Sean juga tahu Hugo adalah orang yang paling realistis yang pernah ia kenal. Dia tidak akan jatuh hanya karena cinta.
Setelah Sean pergi, Hugo dan Freya masuk ke dalam rumah. Freya melanjutkan membaca novel diruang tamu sementara Hugo sibuk dengan ponselnya.
"Sejauh mana kalian dekat?" celetuk Hugo tiba-tiba.
"Hanya hubungan bisnis. Jangan kawatir, aku tidak berminat menjadi orang ketiga." jawab Freya tampa mengalihkan pandangannya.
Hugo menarik senyum sudut. Entah kenapa dia seperti sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Dia mengenal sifat Sean selama ini. Meski dia tidak mengenal baik Freya, Hugo bisa melihat seperti apa akhir dari mereka mengingat sifat Sean yang ia ketahui.
.
Sean melewati lorong rumah sakit dengan kecepatan cahaya. Dia berhenti disudut ruang tunggu ICU kala melihat cctv yang terpasang di depan pintu.
Elsa yang sejak tadi tertunduk melamun tersentak kecil ketika ponselnya bergetar. Dia memeriksa pesan yang dikirim Sean dan mengangkat kepalanya. Ketika ia melihat Sean, dia tersenyum dan segera berlari untuk menghambur dalam pelukan Sean.
Sean sendiri hanya membalas seadanya. Dia dengan cepat menarik diri. "Bagaimana dengan anakmu?" tanyanya.
"Aku tidak tahu, Flo sangat lemah dan dia masih belum sadarkan diri."
"Dengan penyakitnya, kamu sudah tahu akhirnya bukan?"
Elsa memandang Sean dengan perasaan terluka. Dia seperti tidak percaya Sean akan mengatakan hal itu padanya.
"Sean, kamu selalu menyemangatiku dan Flo. Kamu yang bilang akan menemukan cara untuk menyembuhkannya." lirih Elsa.
Sean membuang pandangannya kearah pintu ICU. Lalu berkosentrasi pada suara-suara yang ada di dalam ruangan itu.
"Aku tidak mengingat dengan baik kenangan kita. Aku melupakan banyak hal setelah apa yang mereka lakukan pada tubuhku. Aku minta maaf padamu jika banyak berubah. Tapi apapun yang aku katakan, tidak akan pernah bisa merubah keadaan, bukan?" Sean kembali menatap netra Elsa yang mulai berkaca-kaca.
Ada rasa bersalah sekaligus kemarahan yang selalu ia rasakan kala menatap mata itu. Sean yakin matanya sudah menjadi keemasan sekarang. Beberapa pengunjung melewati mereka, Sean menunduk dan menyembunyikan matanya dengan segera. Beruntung poni ikalnya bisa menutupi matanya, sehingga orang-orang yang melihat parasnya tidak menyadari bola matanya yang tak biasa.
"Aku tidak bisa lama, El. Terlalu banyak orang dan mereka mulai penasaran."
"Maaf memintamu datang. Aku terlalu egois untuk memiliki keinginan selalu didekatmu."
"Aku pergi, kirim pesan jika terjdi sesuatu."
Tampa menunggu jawaban Elsa, Sean segera berbalik dan berjalan secepat orang normal berjalan. Ketika ia berada di anak tangga darurat, barulah Sean menggunakan kecepatannya.
Sementara itu, Elsa hanya berdiri mematung memandang arah dimana Sean tadi berdiri. Dia terkekeh pelan dengan air mata menetes. Mengejek dirinya sendiri yang selalu menipu diri. Elsa tahu sejak dulu Sean hanya bertanggung jawab padanya, tidak ada cinta dari Sean untuknya. Namun Elsa selalu berpura-pura tidak tahu dan terus menipu diri.
.
Sean berjalan selembut angin ketika menyusuri rumah Barbara yang terlihat kosong. Barbara hanya tinggal sendirian selama ini karena orang tuanya tinggal dikota lain.
Mendapati rumah kosong, Sean memilih terbang menuju rumah orang yang dia hindari selama ini. Rumah pria paruh baya yang dikabarkan punya hubungan erat dengan Mr.X.
Sean sudah mendapatkan alamat rumah Willi ketika Barbara masih intens memberikan informasi. Pria tua lajang itu terlalu sibuk dengan pekerjaan dan segala ambisinya sehingga dikabarkan tidak tertarik dengan pernikahan. Seluruh waktunya hampir ia habiskan di dalam laboratorium.
Sean berdiri di sisi pagar rumah mewah itu. Sisi dimana tidak ada cctv. Dia bisa mendengar bahwa ada percakapan di dalam namun jelas bukan dua orang yang ia cari. Sean hendak pergi ketika percakapan dua orang perempuan menyebutkan nama Barbara.
"Nona Barbara tidak suka warna biru. Dia bisa marah, cepat ganti!" seru satu suara.
"Ck! Heran kenapa mereka tidak menikah, saat aku melihat mereka aku merasa ikut berdosa. Lihat ceceran yang sudah kering ini! Menjijikkan! Sore-sore pulang hanya untuk ini!" gerutu yang lain.
"Kerjakan saja, sih! Masih mau digaji, kan? Kita bisa apa selain diam!" sahut wanita pertama.
Sean memilih kembali terbang, dia tidak ingin mendengar lebih jauh apa yang sudah ia ketahui kebenarannya. Karena mereka tidak ada dirumah, sudah dipastikan mereka ada di laboratorium.
Sean kembali kerumahnya, melepas kemejanya yang robek dan memasukkannya kedalam tong sampah. Dia terbang ke lantai tiga dimana kamarnya berada. Hugo yang masih diruang tamu dan Freya yang masih asik membaca melihatnya dengan pandangan setengah takut setengah kagum. Bagaimana sayap kokoh Sean terlihat luar biasa namun menyeramkan ketika ia mengepakkannya.
"Kemeja itu merek mahal seharga satu sepeda motor." gumam Hugo dengan nada tidak percaya.
"Dimana dia mendapatkan uang sebanyak itu?" tanya Freya penasaran.
"Setahuku Mr.X."
"Hah?"
"Bingung, kan? Sama. Aku juga tidak mengerti." kata Hugo.
Sean yang sedang mandi terpaku sesaat. Dia tentu saja bisa mendengar mereka.
'Benar, semua uang yang aku miliki dari bajingan itu. Membiayaiku dari lahir. Dia siapa ibuku? Bahkan setelah aku dinyatakan mati, rekeningku masih terisi setiap bulan. Artinya ia yakin aku masih hidup.' monolog Sean.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments