Bagaskara berdiri di sisi ranjang pasien dimana Willi berbaring. Dia baru saja mendengarkan cerita lengkap bagaimana Willi bertemu Sean. Pria nomor satu di dalam Cell Farma itu bahkan langsung turun dari ranjangnya begitu dia menerima laporan dari bawahannya.
Alis tebal itu sedikit menukik. Antara marah dan kecewa, Willi tidak bisa menebak apa yang dipikirkan Bagaskara.
"Dia tumbuh menjadi begitu kuat." gumamnya. "Bagaimana dengan tunangannya?" Willi mengerutkan kening ketika mendengar pertanyaan itu.
"Aku pikir Sean jarang menemuinya. Informasi mengatakan wanita itu bahkan tidak tahu keberadaannya."
"Begitu?"
"Kamu ingin menjadikannya sebagai alat tukar?" Willi berdecak pelan. "Itu akan sia-sia. Aku lebih tertarik menjadikan asisten Adam sebagai alat, dia terlihat berharga bagi Daffin."
"WNA terlalu beresiko, kita tidak perlu melempar umpan yang membuat kita mendapat masalah."
Willi tidak menjawab, dia juga tahu hal itu. Menyebabkan masalah antar negara hanya akan menyebabkan mereka dan perusahaan rugi.
"Aku pikir... Memberinya sedikit petunjuk dan membuatnya sedikit tahu akan berguna. Ikan akan menangkap umpan yang dia inginkan bukan?"
Willi meliriknya dengan sorot penasaran, meski membenarkan ide Bagaskara, namun dia melihat ada yang tersembunyi disana. Apa yang tertutup rapat selama ini, tampaknya kini mulai melonggar. Mungkin, jika Willi lebih berusaha, dia akan bisa melihat hal itu dengan jelas. "Kamu selalu jadi bosnya. Jadi, tidak masalah baginya untuk tahu sekarang?" tanyanya. "Ini bukan naluri manusiawimu bukan?"
"Sudah saatnya dia tahu, dia bukan anak-anak lagi."
Usai berkata begitu, Bagaskara meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan Willi dengan segala kecurigaannya.
Hampir subuh, Bagaskara kembali kerumahnya. Satu rekaman dari kamera ponsel milik anak buah Willi sudah dikirim padanya. Dia menonton rekaman itu ketika dalam perjalanan pulang.
Matanya tampak bangga sekaligus penuh ambisi melihat bagaimana Sean dan bentuk mutasi yang terjadi padanya. Impian yang telah ia kejar selama puluhan tahun. Kini terpampang dihadapannya. Selangkah lagi, baginya hanya selangkah lagi untuk meletakkan permata kebanggaannya itu berada disisinya.
"Aku ingin melihatmu dari dekat, menyentuh sayap indah itu dengan tanganku sendiri. Daffin...." bisiknya dalam deru kendaraan lalu lalang.
Supirnya meliriknya sesaat, takut kalau sang tuan berbicara padanya. Namun melihat tuannya yang hanya fokus pada ponsel dan tidak menggerakkan bibirnya lagi, supir itu kembali fokus untuk menyetir.
.
Elsa menatap Freya dengan sorot penuh kecemburuan setelah Hugo menceritakan peristiwa yang Sean alami bersama dia. Elsa merasa sangat marah dan putus asa. Bagaimana Sean lebih memilih menemui wanita lain dan mengabaikannya.
Hari ini Freya memang tidak masuk kerja. Dia demam tinggi. Adam mengunjunginya bersama Barbara ketika istirahat makan siang. Freya sudah kembali pagi hari ke rumahnya sendiri. Dia dengan keras kepala tidak ingin tinggal dirumah Sean. Perdebatan terjadi pagi tadi, dimana akhirnya Sean mengalah setelah mengetahui bahwa Freya sedang tidak baik-baik saja.
Hugo yang mengantarkan Freya kembali. Sean tidak bisa keluar bersama karena dia harus mengalihkan perhatian penguntit yang selalu mengawasi rumahnya.
"Kamu sudah makan? Mau aku siapkan bubur ini?"
Barbara memang membelikannya makanan ketika dalam perjalanan. Freya melirik sedikit dan menggeleng pelan.
"Aku belum lapar, terima kasih sudah membelikannya."
"Tapi kamu harus makan, kamu harus minum obatmu, Nak." bujuk Adam.
"Aku akan lakukan nanti. Profesor, bisakah kita bicara?"
Hugo dan Barbara bertukar pandang sebelum berjalan keluar. Menutup pintu kamar Freya dan menunggu di ruang tamu. Elsa ikut keluar dengan ekspresi dingin. Dia yang tadinya ingin mencari Sean, berakhir ikut dengan Hugo kerumah itu. Karena itulah dia ada disana sampai saat ini. Dia berharap Sean akan kesana juga. Nyatanya sampai siang, Sean belum menunjukkan batang hidungnya.
Setelah ketiganya keluar, Ekspresi Freya berubah, dia yang sejak tadi terlihat tenang, kini mulai menangis. Semakin lama semakin keras, dia bahkan sampai sesegukan. Adam hanya mengelus kepalanya sebagai tindakan untuk membantunya menenangkan diri. Namun tampaknya itu sama sekali tidak membantu.
Adam yang sudah seperti ayahnya, sangat mengerti. Karena itu dia hanya menunggu sampai Freya melepaskan seluruh emosinya.
Hal yang tak mereka sadari, Sean sedang mendengarkan percakapan mereka dari puncak atap rumah itu. Dia berbaring disana menatap langit dengan matahari yang amat terik. Asap mengepul dari mulutnya. Mata itu juga menunjukkan kerinduan, kegetiran dan kesedihan yang lebih buruk dari siapapun.
"Aku hanya merindukan ibuku. Meskipun dia tidak sehat, tapi saat aku sakit. Dia akan selalu menemaniku. Meskipun dia membuatku terus terkurung, tapi aku tahu dia hanya ingin aku aman. Saat seperti ini, aku sangat merindukannya, Profesor." lirih Freya setelah dia cukup tenang.
"Aku mengerti, keadaan ini pasti sulit untukmu. Maaf karena keegoisanku..."
Freya menggeleng, dia tersenyum kecil agar Adam tidak menyalahkan diri sendiri. "Aku akan lebih sedih jika kembali sendirian. Anda satu-satunya keluargaku sekarang." ujarnya lembut.
"Kamu anak baik, katakan semua kesedihanmu mulai sekarang. Jangan menahannya, oke?"
Freya mengangguk, "Terima kasih Profesor."
"Sean! Kita perlu bicara!"
Keduanya menoleh kearah pintu ketika mendegar suara keras Elsa. Pintu dibuka dari luar dan Sean masuk begitu saja. Dia mengabaikan Elsa dan duduk di sisi ranjang. Meletakkan telapak tangannya pada kening Freya yang langsung menjadi gugup.
"Sepertinya demammu kembali." kata Sean lembut.
Freya menepis tangan Sean, entah kenapa dia merasa sangat malu diperhatikan seperti itu didepan orang lain, terutama Elsa yang kini mengepalkan tangannya. Tidak biasanya dia seperti ini, Freya biasanya akan senang jika membuat Elsa marah karena sifat kekanakannya. Namun kali ini tidak, dia merakan hal aneh dari reaksi tubuhnya.
deg deg deg deg
Jantung Freya juga tiba-tiba berdetak cepat. Wajah dan telinganya memerah, kontras sekali dengan kulit putih pucatnya.
"Dia tidak mau minum obat dan makan. Aku pikir dia harus dipaksa." goda Adam, orang tua ini bisa dengan jelas melihat perubahan itu.
"Ah, Jadi bayi ini perlu disuapi?" tambah Sean. "Lihat wajahnya, demamnya pasti semakin parah." Tambahnya, Sean tahu Freya memerah, dia hanya berniat mengejeknya.
"Diam dan pergi sana!" usir Freya.
Dia melirik ke arah pintu dimana Elsa masih berdiri disana dengan wajah memerah padam. Melihat hal itu, Freya merasa tidak enak hati. Sean terlalu jelas menunjukkan sikap abainya. Hal itu justru menimbulkan pertanyaan dikepala Freya seperti apa hubungan mereka saat ini.
"Pergilah, Sean. Aku akan menemani Freya disini." kata Adam dengan bijak, tampaknya pak tua ini mengerti dengan keadaan yang terasa semakin canggung.
Sean menoleh pada Elsa, lalu bangkit berdiri. "Aku akan kembali. Ada hal yang harus kita bicarakan juga." katanya sebelum keluar.
Pintu tertutup dan Sean menarik tangan Elsa menuju dapur. Sedikit jauh dari Barbara dan Hugo yang sedang berbincang di ruang tamu. Barbara juga terlihat sangat ingin bicara dengan Sean, tapi dia menahannya karena situasi ini. Tapi tampaknya dia tidak akan diam saja, dia berdiri dan mengatakan ingin kekamar mandi pada Hugo agar bisa menguping.
"Kamu bilang tidak akan dekat dengannya lagi!"
"Kapan aku dekat? Aku berada disekitarnya karena aku membutuhkan dia, kamu tahu itu dengan baik." sahut Sean jengkel.
"Coba lagi denganku! Bergantunglah padaku!"
"Kita pernah mencobanya dan gagal bukan. Tubuhku tidak bereaksi padamu."
Elsa menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Rasa sakit hatinya tampaknya membuat ia tidak bisa menahan emosinya lagi. Torehan dihatinya karena sikap dingin Sean membuat bara yang terkubur semakin menyala. Namun alih-alih berteriak, dia meluapkannya dengan air mata.
"Aku tahu kamu tidak menyukaiku. Tapi tidak bisakah sedikit saja kamu lebih hangat?" lirihnya. "Kamu bisa bersikap normal pada wanita itu, tapi padaku kamu terlalu dingin Sean. Itu menyakitiku lebih dalam."
Sean tidak menyangkal ataupun memberikan alasan. Dia sendiri juga tidak mengerti alasan sikapnya berbeda pada Freya. Dia hanya merasakan sikapnya mengalir begitu saja tampa disengaja ataupun direncanakan. Begitupun pada Elsa dan orang lain. Sejak kecil sifat Sean memang terlalu datar dan dingin. Dia memang tidak begitu ramah pada siapapun.
"Sikapmu padanya menggangguku, apa kamu menyukainya?"
Sean tersentak, namun dari pada menjawab iya atau tidak, dia malah merasa pertanyaan Elsa lah yang mengada-ada.
"Jangan berlebihan, kamu tidak seharusnya menanyakan hal itu. Terlalu konyol, El. Jangan berpikir terlalu jauh dan kembalilah. Aku tidak punya waktu untuk hal-hal seperti ini."
"Kamu masih tunanganku kalau kamu lupa." kaata Elsa dingin, namun matanya mengarah kearah pintu masuk.
"Aku tahu," sahut Sean dengan cepat.
Sean akan melangkah kembali menuju kamar Freya, namun langkahnya terhenti ketika melihat Freya di depan pintu dapur memegang gelas kosong.
Sean tidak fokus pada hal lain karena Elsa. Karena itu dia tidak menyadari ada langkah kaki mendekati mereka. Dia hanya berharap Freya tidak mendengarnya. Sean tidak buta untuk bisa melihat bahwa Freya semakin berubah padanya.
"Kenapa kamu disini?"
"Apa aku tidak boleh kedapurku sendiri?" sinis Freya. Dia berjalan ke teko air di atas meja lalu menuangnya dengan tangan yang gemetar.
Sean segera menghampirinya, mengambil alih teko dan gelas. Lalu menuangkan air putih itu. "Ayo kembali ke kamarmu, kamu masih sangat lemah. Kenapa tidak minta tolong Profesor?" ujarnya. Menyeret tangan Freya begitu saja meninggalkan dapur dengan tangan satu lagi memegang gelas.
Barbara yang sejak tadi berada di balik dinding kamar mandi dekat dapur, keluar seolah baru saja membersihkan tangannya. Melirik Elsa yang melewatinya menuju pintu keluar. Elsa pergi begitu saja dengan mata yang kembali mengeluarkan air mata. Mengabaikan Hugo yang ingin bicara padanya.
"Ada apa dengannya?" tanya Barbara ketika duduk kembali di sofa.
"Entahlah, sepertinya bertengkar lagi dengan Sean." sahut Hugo.
Adam sedang menghidangkan makanan untuk Freya ketika Sean dan Freya masuk kembali. "Kamu sudah selesai bicara?" tanya Adam kalem.
"Ada apa dengan kalian?" tanyanya lagi ketika melihat ekspresi keduanya yang sedikit berbeda dari sebelumnya.
"Tidak ada, Profesor." jawab Sean.
Dia membaringkan paksa Freya setelah meletakkan gelas diatas meja. Lalu dia mengambil mangkuk bubur dan menyodorkan satu suapan pada Freya.
"Aku bukan bayi!" tolaknya.
"Tentu saja, bayi itu lucu sedangkan kamu menakutkan. Buka mulutmu sebelum aku paksa!" judes Sean.
Adam tertawa, dia mengambil alih mangkuk dan menggantikan Sean. Freya dengan patuh melahap suapan dari Adam bahkan tampa diminta. Hal itu membuat Sean mendengus jengkel.
"Sean, apa yang terjadi tadi malam membuat sedikit kegemparan pagi tadi. Orang-orang mengira Willi mendapat kecelakaan mobil. Bagaskara menyuruhku menggantikan Willi. Dan hal itu membuatku mengetahui beberapa fakta."
"Apa itu?"
"Aku baru tahu, kalau Bakaskara memiliki hubungan kerabat dengan gubernur daerah sini."
"Itu menjadi alasan lain bagaimana mereka dengan mudah melakukan ilegal." respon Freya.
"Satu hal lagi, Bagaskara itu... ternyata tidak memiliki istri dan anak. Aku baru tahu dia menghabiskan seluruh hidupnya pada penelitian."
Sean terdiam, dia mengingat benar perkataan ibunya saat itu.
Flasback_
Saat itu Sean masih berumur tiga belas tahun. Dia selalu bertanya pada ibunya tentang siapa yang membantu mereka. Membayar terapinya, membayar semua tagihan, bahkan membiayai sekolah dan kebutuhan sehari-hari mereka. Ibunya tidak pernah mengatakan nama, dia selalu mengucapkan inisial. Dia berkata orang itu ingin dipanggil Mr.X saja.
"Mr.X adalah orang yang memberikan kita kehidupan baru, dia seorang ayah yang baik. Karena itu, kamu harus menghormatinya."
"Apa dia juga punya anak sakit sepertiku?" tanya Sean.
Ibunya tidak langsung menjawab, dia tersenyum sambil mengelus rambut Sean yang kala itu sudah sangat menipis karena terus rontok.
"Dia punya, karena itu dia melihatmu seperti anaknya. Dia merasa iba. Dia orang yang menyayangimun seperti dia menyayangi anaknya sendiri."
"Bolehkan aku bertemu dengannya?"
"Tidak Sean, Mr.X tidak ada disini. Dia berada ditempat jauh. Nanti, jika kamu sudah sembuh, ibu akan membawamu kesana."
Flasback End_
"Sean?"
Panggilan Adam menyadarkannya. Menatap bergantian kedua orang disana yang juga menatapnya dengan wajah kawatir.
"Aku oke, jangan kawatir." beritahunya.
"Willi itu, dia juga cukup dekat dengan Bagaskara. Tapi saat aku bertanya, orang-orang mengatakan mereka teman lama yang bekerja sama."
"Memangnya berapa umur CEO itu?" tanya Freya.
"Aku rasa, aku sedikit lebih tua darinya. Mungkin dia pada awal lima puluhan."
"jaraknya cukup jauh dengan Willi. Aku baca datanya dia memasuki usia empat puluh."
"Bisakah kalian mencari tahu identitas Juan dan posisinya di perusahaan itu?" sela Sean.
"Siapa dia?" tanya Adam.
"Dia adalah orang yang membuatku terbaring lama pada laboratorium yang hancur itu. Dia terlihat memiliki hubungan erat dengan Cell Farma, dia juga dikabarkan memiliki kedekatan dengan Willi, Diandra selalu bersikap berbeda padanya saat itu."
Adam mengangguk, dia melirik jam tangannya tepat ketika pintu diketuk. Barbara dan Hugo masuk.
"Profesor, kita harus kembali. Anda diminta menemui CEO dan direktur lainnya." ujar Barbara.
Sean beradu pandang pada Barbara. Wanita itu terlihat tenang, bahkan mengembangkan senyum tipis sebagai keramahan.
"Sean, aku juga harus kembali bekerja, Ini sudah masuk shifku."
"Aku mengerti." sahut Sean.
"Sampai jumpa Fre, aku akan menjengukmu lagi nanti."
"Nanti? Kamu pulang hampir larut. Tidak perlu mengganggu tidurnya."
Hugo tertawa pelan, dia mengerling nakal pada Sean. "Baiklah, aku tidak akan menggangu tidurnya. Aku hanya takut kamu pergi dan tidak menjaganya."
"Pergilah." usir Sean datar.
Setelah hanya tinggal mereka berdua, Freya membalikkan tubuhnya sehingga membelakangi Sean.
"Aku mau tidur, kamu juga bisa pergi." kata Freya.
"Aku juga butuh tidur, aku akan ada diruang tamumu."
Freya tidak menjawabnya, jantungnya berdebar lebih kuat. Dia sedang berusaha mengatasi reaksi aneh tubuhnya itu. Takut Sean mendengar detak abnormal itu dan malah mengejek perasaannya. Freya tidak ingin ada kecanggungan. Dia amat sadar diri, apalagi setelah mendengar pembicaraan Sean dan Elsa didapur tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments