Sean menempati satu kamar sendirian. Pemerintah setempat memberikan mereka tempat tinggal yang layak selama penelitian. Rumah itu cukup besar dan ditempati oleh beberapa orang.
Paginya, mereka telah bersiap menuju pangkalan militer. Disanalah pusat penelitian didirikan sementara. Mereka juga dijemput oleh mobil militer.
Sesampainya disana, mereka memasuki sebuah bangunan dan beberapa orang sudah menunggu. Profesor Adam menyuruh Sean dan Freya menunggu diluar sementara mereka akan mengadakan rapat.
Sean, dengan ketajaman pendengarannya, berdiri dengan tenang untuk mencuri dengar. Freya memperhatikan tingkah Sean. Bagaimana Sean berdiri dengan mata tertutup dan tangan terlipat. Punggungnya bersandar pada dinding.
Rasa penasaran membawa langkahnya berdiri di hadapan Sean. Mencoba menguji konsentrasi Sean dengan mengibaskan tangannya di depan wajahnya.
Sean mengutuk dalam hati, dengan sigap dia menangkap tangan Freya bersamaan dengan matanya yang terbuka.
"Jangan menggangguku." ucapnya dingin.
Freya meneguk ludahnya. Sean menjadi berbeda dan auranya berubah menyeramkan. Freya menarik tangannya dan berbalik untuk menjauh.
Sean kembali menutup matanya. Mengabaikan seluruh pandangan orang-orang yang tersisa disana. Termasuk Freya yang kembali diam-diam memperhatikannya.
Sementara itu, di dalam ruangan itu. Adam menatap list nama yang berhasil di dapatkan oleh intelejen beserta foto-foto mereka. Beberapa dari mereka adalah mantan muridnya. Karena itukah dia diminta untuk ikut menyelidiki apa yang coba sekelompok pemuda ini lakukan?
"Mr.Adam. Anda mengenal beberapa dari mereka, benar?" tanya kepala pasukan.
Dia adalah komandan pasukan yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus ini. Seorang pria berusia empat puluh tahun bernama Anton. Bahasa inggrisnya cukup bagus meskipun terdengar masih kaku.
"Tiga diantara mereka."
"Apa anda pernah tahu mereka terlibat dengan kelompok tertentu?"
"Tidak."
Semua orang saling bertukar pandang. Adam menatap Anton yang tampak menyimpan keraguan atas pernyataannya. Adam memilih abai untuk saat ini. Dia lebih perduli pada identitas lainnya.
"Bisakah aku tahu latar belakang 7 orang lainnya?"
"Tentu, aku akan mengirim data mereka pada Anda setelah ini. Sekarang lebih baik Anda meninjau ulang bekas bangunan yang mereka gunakan. Meskipun kami sudah memeriksanya berulang kali, saya rasa Anda akan lebih bisa menemukan sesuatu."
Sean membuka matanya begitu pintu terbuka. Adam keluar dan langsung menoleh ke arahnya. Memberi pandangan untuk mengikutinya.
Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan untuk memakai pakaian pelindung. Meskipun hal itu tidak berpengaruh pada Sean tentu saja. Setelah itu mereka di antarkan menuju bangunan yang sama, dimana Sean pergi untuk pertama kali setelah bangun dalam keadaan tidak tahu apa-apa.
"Cakupannya cukup luas Profesor, apakah ini bearti mereka menciptakan sesuatu yang besar?" tanya Freya. Mereka baru saja sampai.
"Kita akan tahu setelah menyelidikinya."
"Bagaimana orang-orang ini begitu ceroboh? Mungkinkah mereka sebenarnya menciptakan senjata pemusnah atau sebuah teknologi nuklir baru yang salah prediksi?"
Sean melirik Freya yang terus mengikuti langkahnya sambil berceloteh. Menatap wanita itu dengan wajah tidak suka.
"Apa?"
"Berhenti mengikutiku."
"Aku? Aku hanya melakukan hal yang sama. Bagaiman aku jadi disebut mengikutimu? Konyol sekali." kata Freya, berdecak kecil lalu melewatinya begitu saja.
Sean mengikuti pergerakan Freya dengan mata tajamnya. Menatap punggung wanita itu dengan geram. Ketika dia menyadari kukunya mulai melakukan generasi, di buru-buru menutup mata. Berusaha mengatur emosinya.
Sean membuka matanya tiba-tiba ketika pundaknya di sentuh seseorang. Dia mendapati Adam menatapnya.
"Ada yang salah denganmu?"
"Tidak Profesor, aku baik-baik saja. Aku akan memeriksa bagian luar."
Adam mengikuti pergerakan Sean dengan matanya. Jelas saja dia curiga, dia melihat bagaimana kuku ibu jari Sean yang keluar memanjang dan berubah seperti kuku elang.
"Freya, lain kali jangan memancing amarahnya. Jangan mengacaukan keadaan."
"Maaf Profesor." sahut Freya.
Mereka kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Sementara itu, diluar bangunan yang nyaris roboh itu, Sean berjalan menuju tempat dia bangun pertama kali. Meskipun cukup jauh, dengan kecepatan yang ia miliki, dia bisa sampai disana dalam beberapa detik.
Mata Sean memeta keadaan, hanya ada tumpukan daun-daun kering dan pohon-pohon mati. Sean berdiri tepat dimana ia pernah terbaring entah berapa lama. Berharap ada sesuatu yang tertinggal sebagai petunjuk.
Sean berjongkok, mengibas daun-daun itu. Namun karena dedaunan yang sangat banyak bertumpuk, sulit baginya melihat permukaan tanah. Akhirnya, dia membuka bajunya dan melempar asal kesalah satu dahan pohon. Dia mengeluarkan sayap besarnya. Dengan sekali kibas, dedaunan itu terbang jauh kedepan.
Sean melipat sayapnya kebelakang dan berjongkok. Nalurinya benar, ada sesuatu yang ia tinggalkan disana. Sebuah kalung dengan bandul bulat sebesar jam tangan. Sean membukanya, menemukan foto dirinya bersama dua orang yang tidak diingatnya sama sekali. Seorang wanita dan seorang anak kecil.
Diantara foto yang melekat di masing-masing dinding, ada sebuah kartu memori direkatkan dengan selotip disana. Sean hendak mengambil kartu itu, namun rungunya menangkap suara yang memanggil-manggil namanya. Dia segera melenyapkan sayapnya dan dengan cepat memakai bajunya kembali. Dia memasukkan kalung itu ke dalam kantong celananya sebelum bergegas pergi.
"Kamu dari mana saja?" tanya Freya ketika ia muncul begitu saja di sebalik tembok.
"Kemana lagi? Hanya sekitar sini." jawabnya acuh tak acuh.
"Anak-anak, ayo pergi. Aku rasa sudah cukup. Tidak ada apa-apa disini." Adam muncul dari dalam dan berjalan kearah mereka.
"Siapapun kelompok ini, mereka tidak mungkin bekerja tampa perintah." kata Freya.
"Menurutmu begitu?" Sahut Adam lalu mulai masuk ke dalam mobil.
"Profesor, jika ini proyek asal-asalan, atau hanya sekelompok anak muda yang terlalau bersemangat, tidak mungkin kita tidak menemukan apapun. Semuanya terlalu jelas, kan? Setelah hancurnya tempat ini, ada orang yang membersihkannya duluan."
Adam terkekeh pelan. Dia melirik Sean yang sejak tadi hanya diam. Freya duduk di belakang dan Sean yang mengemudikan mobilnya.
"Bagaimana menurutmu, Sean?" tanya Adam.
"Saya tidak tahu Profesor, itu mungkin saja. Tapi terlalu dini membuat kesimpulan yang dangkal seperti itu." jawabnya.
"Dangkal? Hei! Tahu apa kamu tentang masalah ini." sahut Freya tidak terima.
Bagaimanapun, semua orang mengira Sean hanya anak baru masuk kuliah yang sedikit jenius. Sehingga wanita seperti Freya menganggapnya masih terlalu muda untuk memahami permainan kotor orang-orang dibalik kejadian itu.
"Biar aku beritahu satu hal adik kecil! Dunia ini penuh hal kotor, tidak seperti pemikiran polosmu." lanjut Freya lagi.
Sean hanya diam saja, dia melirik Adam yang tertawa tampa suara. Menyadari bahwa orang tua disamlingnya ini menikmati pertengkaran kecil mereka.
.
Sean memperhatikan Adam dari jauh. Adam dan Freya sedang membahas sesuatu bersama ilmuan lain. Karena posisi Sean hanya sebagai anak didik yang bertugas membantu, dia tidak bisa banyak ikut campur dalam kasus ini.
"Aku yakin orang yang terlibat bukan hanya yang ada di daftar ini. Kami sudah mencari banyak bukti tapi tidak menemukan apapun yang mengarah pada otak dari proyek ilegal ini." ujar Anton sambil menghembuskan rokoknya.
"Mesin-mesin hancur yang ada disana juga seperti rakitan pribadi." sahut yang lain.
"Tidak, mereka hanya sedikit memodifikasi. Aku kenal produk itu. Milik perusahaan Jerman bernama Window. Tapi meskipun begitu, bukan bearti mereka terkait. Siapapun bisa membeli barang mereka."
"Itu benar, kami juga menyelidiki pemasok bahan utama atau dalam bentuk reaktor. yang masuk dari berbagai daerah, namun tidak memiliki data ilegal atau legal yang barangnya tidak digunakan. Semua terdata oleh perusahaan dan ada bukti pemakaian."
Adam menatap Anton sesaat. "Perusahaan apa di kota ini sebagai pemasoknya?"
"Cell Farma, perusahaan swasta. Mereka juga juga memperkerjakan beberapa ilmuan, mereka meneliti obat baru, memasok perlengkapan medis dan obat-obatan juga. Sejauh ini mereka tidak terdeteksi melanggar hukum."
Adam terdiam sesaat, dia tanpak berpikir keras. Freya menatap Adam, penasaran akan apa yang dipikirkan atasannya itu.
Sean yang sejak tadi mencuri dengar, segera mengeluarkan ponselnya. Dia membuka internet dan mencari tahu mengenai Cell Farma. Beberapa foto gedung, informasi, kegiatan dan pencapaian perusahaan itu muncul di layar sebagai judul berita utama.
Sean memeriksa melalui ponselnya. Melihat logo perusahaa itu, Sean merasakan perasaan yang amat familiar. Matanya tertuju pada sebuah foto yang dicantumkan pada salah satu artikel, dua orang yang saling berjabat tangan. Keterangan pada foto menunjukkan bahwa salah satu dari mereka adalah Gubernur kota tempat mereka saat ini dan yang lain adalah pejabat cell farma.
"Aku dengar Gubernur dan CEO cell farma adalah keluarga, apa itu benar?" tanya Adam.
Sean mengangkat kepalanya, kembali fokus pada percakapan mereka. Anton tampak terganggu, Sean memperhatikan seluruh ekspresi orang yang ada disana. Setidaknya, ada tiga dari enam orang disana yang terlihat tidak nyaman.
"Itu tidak ada hubungannya, artikel itu dibuat oleh jurnalis sampah yang baru dipecat." ucap salah seorang peneliti lain.
'Ertikel apa yang mereka maksud?'
Sean melihat Adam terlihat tidak puas dengan jawaban mereka.
"Baiklah, tapi bagaimanapun juga, mencari bagaimana ini bisa terjadi tidak bisa hanya mempelakari TKP. Saya yakin anda tahu itu, pak Anton."
Anton tersenyum. "Anda diminta kesini untuk mencari apa yang tersisa dari bekas rongsokan yang terbengkalai di hutan itu Profesor Adam. Anda pasti sudah diberi tahu bahwa kita diperintahkan untuk menemukan apa yang coba mereka lakukan. Gubernur ingin bukti adanya kegiatan ilegal ini. Dia ingin kita mengungkap pelakunya."
Adam mengangguk, ketidak sukaaan jelas terpancar dari wajahnya saat mendengar nada bicara Anton yang otoriter. Sean pergi, tidak ada yang bisa ia dapatkan jika hanya berdiri di sana. Hal itu tentu saja tidak luput dari mata Adam. Bagaimanapun juga Sean adalah salah satu mahasiswanya.
.
Dimalam yang sudah cukup larut, seorang wanita dengan rambut lurus sepunggung, kulit putih dengan wajah bulat. Bola mata hitamnya menatap sendu sebuah foto yang dipajang di atas meja riasnya.
"Mama?"
Wanita itu tersentak. Dengan cepat ia merubah raut wajahnya. Dia tersenyum hangat sebelum berbalik. Mendapati seorang anak berumur 5 tahun berdiri di samping kasur. Wanita itu merentangkan tangannya. Anak perempuan itu berlari kecil dan masuk ke dalam pelukannya.
"Flo sudah cuci kaki?"
"Sudah! Sudah gosok gigi dan cuci muka juga. Lihat gigi Flo sudah bersih."
Anak kecil itu memamerkan deretan gigi kecilnya yang tampak imut. Sang ibu tertawa dan mencium kedua pipinya.
"Sekarang ayo tidur, mama akan membacakan sebuah kisah."
"Ma... kapan Papa pulang dari luar negeri? Kenapa lama sekali?" tanya anak itu disela ibunya bercerita.
Wanita itu menghentikan ceritanya, matanya reflek menatap figura di atas meja. Satu tangannya masih menepuk pelan punggung Flo yang tidur dalam pelukannya.
"Mungkin sebentar lagi sayang, Mama tidak tahu. Papa bilang pekerjaan disana sangat sulit. Flo sabar saja ya." bujuknya. Matanya sudah berkaca-kaca.
"Flo rindu Papa." Setelah mendengar pernyataan anaknya, wanita itu menutup matanya. Menahan agar ia tidak menangis.
"Mama juga, sekarang waktunya tidur." ucapnya tegas.
Flo diam saja. Hanya patuh jika nada bicara ibunya sudah berubah. Perlahan anak itu tertidur. Setelah memastikan Flo tidur, wanita itu melepaskan pelukannya dan turun dari kasur. Dia keluar dari kamar dan menangis sambil berjalan ke depan. Membuka pintu rumah dan berlari keluar. Menumpahkan seluruh rasa frustasinya pada angin malam. Hal yang biasa ia lakukan saat bersedih.
Ingatannya kembali ke masa lalu. Dimana seorang pria berdiri di hadapannya. Mereka masih sama-sama muda. Tapi mereka harus berjuang dengan masalah masing-masing.
"Lihatlah langit itu. Aku sangat menyukainya. Kesunyian malam membuatku tenang, El."
Wanita itu menengadah ke langit. "Daffin... Aku tidak suka langit malam, karena itu terasa sangat sepi. Tapi aku berusaha menyukainya karenamu. Bagaimanapun aku tidak siap tampa dirimu, Flo dan aku merindukanmu. Kenapa kamu pergi? Kenapa ikut orang-orang itu hanya untuk mati! Hihikhik!" dia terisak, bahunya bergetar dengan rasa sesak yang menyakitkan di dalam dadanya. Wanita itu jatuh tersungkur ditanah. Berlutut memegang dadanya sambil menangis dengan sangat menyedihkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
SDull
apakah ini istri mcnya?
2022-05-24
1