Membunuh?

Freya menatap kosong sekumpulan orang yang sepertinya hanya melakukan pekerjaan tak bearti. Adam hanya terus berkutat pada sesuatu yang sudah ia periksa puluhan kali. Sama seperti Freya, pikiran dua orang ini jelas tidak sedang berada disana.

"Profesor, ayo makan siang." ajak salah satu diantara mereka.

Adam memeriksa jam tangannya, lalu mempersilahkan mereka duluan saja menuju ruang makan yang telah disiapkan. Setelah semua orang pergi, dia duduk di salah satu bangku yang berada di luar ruang penelitian. Freya mengikutinya dan duduk di samping Adam.

"Komandan sangat mencurigakan. Dia bertanya mengenai kalian berdua, tapi aku tahu dia hanya ingin tahu mengenai Sean. Anak itu, apa identitasnya sudah diketahui?"

"Pesanku juga tidak dibalas." jawab Freya dengan nada kawatir.

"Kita sedang diawasi. Aku rasa Sean tahu itu."

Keduanya menghentikan pembicaraan ketika Anton terlihat berjalan kearah mereka bersama dua anggotanya.

"Apa yang kalian lakukan? Kenapa tidak ikut makan siang?" basa basi Anton.

"Kami baru saja akan pergi." jawab Adam. Dia memberi isyarat pada Freya sembari bangkit dan hendak pergi.

"Nona Freya? Saya lihat anda lebih dekat dengan mahasiswa yang kalian bawa. Kamu tahu dia pergi kemana bukan? Orang luar tidak bisa sembarangan pergi keluar area ini."

Adam yang baru saja melangkah langsung berhenti. Dia kembali menghadap pada Anton. Freya sendiri sedang berpikir keras untuk membuat alasan. Namun Anton yang seorang komantan pasukan angkatan darat, tentu saja mengetahui gelagatnya dengan mudah.

"Kamu juga tidak tahu? Tapi aku yakin kamu tahu sesuatu yang sedang ia cari bukan?" tanyanya lagi.

"Aku tidak_"

"Kamu tahu, mahasiswa kalian itu dicurigai sebagai warga kami yang menyelundup ke Australia dan merencanakan sesuatu di sini. Kami harus menyelidikinya. Kalian pasti tidak ingin bermasalah jika menghalangi bukan?" potong Anton. Melihat Freya yang kehabisan kata-kata, Adam segera bersuara.

"Freya tidak ada hubungannya dengan Sean, akulah yang memberi izin Sean untuk ikut. Dia mahasiswaku yang berbakat. Mengenai kecurigaan kalian, aku rasa itu sangat berlebihan. Sean terlalu muda untuk dituduh seperti itu." bela Adam.

Anton tersenyum, "Aku hanya menjalankan perintah Profesor. Tim penanggulangan ******* meminta bantuanku. Tentu saja itu menjadi tugas kami sebagai aparat," jawab Anton.

"Bagaimanapun, karena dia menghilang begitu saja, itu artinya dia memiliki sesuatu yang salah. Selamat siang!"

Anton meninggalkan mereka untuk masuk kedalam mobil dan meninggalkan lokasi itu. Freya terduduk di kursinya dengan ekspresi kesal dan kawatir sekaligus.

"Sean masih...huh?"

Freya berhenti bicara ketika ada pesan chat masuk. Dia segera membukanya. Freya mendongak, dia seolah melakukan peregangan namun matanya meneliti atap-atap bangunan untuk mencari dimana letak cctv.

"Ya ampun, aku baru sadar." gerutunya.

"Itu dia?"

"Ya, Profesor. Anda bisa duluan untuk makan siang, aku akan mengambil sesuatu di kamarku." ujar Freya dengan suara cukup keras sehingga beberapa tentara yang berada tidak jauh dari merek menoleh sesaat lalu kembali abai.

Adam yang mengerti hanya mengangguk, meski begitu tentu saja dia kawatir di dalam hati. Mereka sedang di awasi dan sangat beresiko pergi keluar.

Ditengah lorong, Freya menyapa beberapa peneliti lain yang juga dari kamar mereka. Baru saja dia membuka pintu, dia dikejutkan dengan Sean yang sudah berdiri di hadapannya. Freya mendapat pesan bahwa Sean menunggunya dan menyuruhnya untuk menghindari cctv sebisa mungkin, namun tampaknya Freya tidak terlalu memperhatikan cctv saat kembali kekamarnya.

"Sean, apa yang terjadi? Kenapa mereka mencarimu? Apa mereka ada hubungannya dengan wanita yang kamu sebutkan kemarin?" cecarnya.

Sean tidak menjawab, dia mengulurkan tangannya. Freya yang tidak mengerti hanya menyambutnya. Hal yang terjadi selanjutnya adalah wajah Freya yang berubah ketakutan.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu sedingin es!" tanya Freya.

"Aku tidak tahu, berikan aku suntikan yang sama. Tubuhku menjadi kekurangan tenaga." pinta Sean. Wajahnya memucat layaknya patung lilin. Bola matanya juga berubah menjadi abu-abu pucat.

"Kita tidak memiliki stok obat itu. Saat itu profesor membelinya ketika di jalan. Namun saat ini kami tidak diizinkan keluar area ini."

"Apa namanya? Aku akan mencarinya sendiri."

"Sean, obat itu tidak dijual sembarangan. Kamu harus menunjukkan resep dokter saat membelinya. Aku akan memanggil Profesor kemari."

Namun belum sempat Freya membuka pintu, Sean menariknya untuk bersembunyi di balik balkon secepat kilat. Pintu dibuka dari luar dan tiga tentara masuk.

"cctv menangkap gadis itu menuju kamarnya, dia belum terlihat kembali." ujar salah satu diantara mereka.

"Tapi kamar ini kosong." sahut yang lain.

Freya menoleh ketika mendengar robekan dari kemeja Sean. Sayap indah itu menembus baju Sean karena ia tidak membukanya. Melihat bayangan sayap Sean, salah satu diantara mereka berlari keluar menuju balkon. Sayangnya ia tidak menemukan apa-apa diluar. Sean sudah lebih dulu terbang membawa Freya bersamanya.

"Ada apa?" tanya rekannya.

"Entahlah, sepertinya tadi aku melihat sayap, mungkin elang atau burung lain." jawabnya.

Mereka pergi setelah tidak menemukan apa-apa. Tampaknya mereka mencurigai Freya karena itu mereka segera memeriksanya.

Sementara itu, kepakan sayap Sean mulai melemah. Dia terbang menuju perbukitan disebelah kanan area itu dan turun di antara rimbunan pepohonan.

"Sean!"

Freya merengkuh tubuh Sean yang akhirnya jatuh ke tanah setelah mereka turun dan sayap Sean sepenuhnya masuk kembali. Rubuh Sean menjadi jauh lebih dingin. Seolah sebuah bongkahan es. Freya bahkan merasakan kaku pada telapak tangannya ketika dia berusaha menyadarkan Sean yang kepalanya berada di atas pangkuannya.

"Sean please!" mohon Freya. Dia terlihat sangat kawatir dan bingung.

"Aku hanya merasa seluruh tenagaku habis, selebihnya aku baik-baik saja." ujar Sean dengan suara lemah.

"Apa yang harus aku lakukan? Kenapa kamu membawaku masuk hutan?"

Sean tidak menjawab, dia malah memperbaiki posisinya dan memeluk pinggang Freya. Gadis itu mulai menggigil karena suhu tubuh Sean yang sedingin es. Ketika setengah jam berlalu, Freya mengira Sean tertidur. Karena itu dia hanya diam menunggu. Namun, dia mengernyit bingung kala rasa dingin yang ditularkan Sean perlahan mereda. Digantikan dengan rasa hangat seperti orang yang sedang demam. Freya bahkan sangt takjub dengan perubahan suhu tubuh Sean secepat itu.

"Sean, kamu benar-benar luar biasa." gumamnya.

"Hmm."

Freya terkejut, dia menunduk dan merasakan pergerakan Sean di pangkuannya. Sean bangun dan duduk dihadapannya.

"Aku pikir aku sudah tahu cara mengendalikan tubuhku jika suhunya menurun lagi." ujarnya. Bulir keringat mulai bermunculan di keningnya.

"Apa?"

"Ketenangan dan merasakan suhu tubuh normal orang lain."

"Huh? Maksudmu seperti kamu memelukku tadi?"

"Sentuhan antar kulit lebih tepatnya."

"Huh? Bukankah kamu tadi hanya..." Freya bangkit berdiri dengan wajah memerah. Dia baru sadar rasa dingin yang lebih dan merinding yang ia rasakan dipinggangnya karena sentuhan tangan Sean. "Dasar mesum! Otak kriminal!" bentaknya dengan kesal.

"Jangan berlebihan! Aku tidak sadar melakukannya. Itu karena kepalaku sedang bermasalah. Lagi pula apa untungnya menyentuhmu."

Freya yang mendengar perkataan terakhir Sean tentu saja semakin kesal. Dengan segala kekesalan yang ada, dia melayangkan pukulan -pukulan pada lengan, punggung dan dada Sean.

"Hei! Hei! Berhenti! Aku benar-benar tidak sengaja, oke!" kata Sean sambil menangkis seadanya. Kalaupun sekuat tenaga, pukulan Freya sama sekali tidak terasa sakit baginya.

"Tetap saja kamu tidak meminta izinku lebih dulu! Itu kejahatan!"

"Oh, jadi kalau aku minta izin kamu akan memberikannya?" goda Sean.

Seketika pukulan terhenti, Freya sedang berpikir. Ketika dia tersadar, Sean sudah menangkap kedua tangannya.

"Lepas!"

"Berhenti memukul."

"Dalam mimpimu, bersyukurlah aku tidak..."

"Ya ampun Fre, apa kamu selama ini hidup di abad 90? Kamu seperti anak yang tidak pernah punya hubungan percintaan..."

Sean berhenti bicara saat melihat sorot mata Freya yang sama sekali tidak menampik perkataannya. Dia jadi menyadari bahwa ada sesuatu yang salah pada gadis dihadapannya itu. Sean melepas tangannya dan Freya kembali duduk di atas rerumputan.

"Sejak kecil aku tinggal dengan ibuku. Dia... mengidap gangguan kepribadian. Ibuku memiliki kecemasan diluar batas normal sampai mempengaruhi hidupku juga. Sejak Sekolah dasar sampai SMA aku sekolah dirumah. Ketika kuliah, ibuku mengawasi dengan ketat. Sampai puncaknya tahun kedua, aku lari dari rumah. Keputusan yang membuat aku kehilangan ibuku untuk selamanya."

Sean ikut duduk tepat di sampingnya. Dia belum berkomentar apa-apa. Masih menjadi pendengar karena sangat yakin Freya masih ingin bicara.

"Ibuku ditemukan tidak bernyawa di ujung jalan arah kerumahku, seseorang menabraknya dan tidak bertanggung jawab. Harusnya aku tetap dirumah saat itu untuk menjaganya. Tapi karena keegoisanku, aku melupakan alasan utama ibuku bersikap sangat protektif."

Sean menoleh, menatap Freya yang sama sekali tidak menangis. Gadis itu hanya mentap sedih rerumputan di bawah kakinya.

Sean lalu menatap langit. Mendengarkan suara air hujan yang menyentuh dedaunan dan dahan pohon. Dengan cepat keduanya berdiri.

"Kita harus pergi berteduh."

Freya menoleh kiri dan kanan. Namun dia tidak melihat pohon yang lebih rimbun untuk berteduh. Sean dengan cepat mengeluarkan sayapnya. Melebarkannya lalu menguncupkan sayapnya sehingga mengungkung mereka berdua.

"Wah... Ternyata sayapmu multifungsi." ujar Freya dengan kagum. Jemarinya menyentuh sayap yang berada di atas kepalanya.

"Aku masih tidak bisa mempercayai seorang manusia bisa memiliki sayap. Aku yakin mereka tidak hanya menghujanimu dengan radiasi, apa kamu mengingat apa yang mereka lakukan padamu?"

"Hmm... Aku sangat ingat wajah pria yang selalu menyuntikkan sesuatu pada lumbal satu dan dua. Tapi kecurigaanku bukanlah padanya saja. Melainkan pada Mr.X sendiri."

"Maksudmu?"

"Juan, pria gila yang membuatku menjadi kelinci percobaan, mengatakan sesuatu yang membuatku berpikir ada yang salah sejak aku masih kecil."

Kedua mata itu bertemu satu sama lain. Freya dengan wajah bingungnya dan Sean dengan raut penuh misteri. Lama keduanya hanya saling diam satu sama lain. Bukan karena saling terpesona, namun kepala mereka diisi dengan pemikiran rumit akan permasalahan yang ada. Sedang merangkai kejadian dan menduga-duga.

"Lupakan, ceritakan tentang kisahmu tadi."

"Huh?"

Tentu saja Freya jadi bingung, tiba-tiba Sean mengubah topik pembicaraan.

"Jadi sejak itu kamu tinggal dengan siapa?" tanya Sean.

"Huh? Oh... Sejak ibu pergi aku bekerja dimana saja. Tiga bulan sebelum lulus, aku bertemu profesor dan bekerja dengannya sampai sekarang."

Sean mengangguk sekali, "Hujan semakin lebat, keberatan aku membawamu terbang? Akan sedikit basah. Kita harus pergi ketempat yang kering. Kita akan lelah terus berdiri disini. Kecuali kamu menyukai posisi seperti ini." goda Sean di akhir.

"Dasar tidak tahu diri," gerutu Freya.

Sean hanya terkekeh pelan. Dia membuka lebar sayapnya. Menarik pinggang Freya dan mengalungkan tangan gadis itu di lehernya. Dalam posisi itu mereka terbang. Freya sendiri merasa sangat canggung. Biasanya Sean akan menggendongnya bridal. Namun sekarang berbeda dan membuatnya merasa malu sendiri.

"Aku harus kembali bukan?" tanya Freya diantara deru angin.

"Tidak, kamu bisa ditangkap. Mereka pasti sudah menyudutkan Profesor sekarang."

"Lalu kita akan diam saja?"

"Jika Anton itu menginginkanku, hanya ada dua kemungkinan. Diandra membuatku sebagai seorang kriminal untuk menangkapku, atau Anton sudah menjadi orangnya. Pertemuan kemarin, sudah pasti dia tahu aku masih hidup. Karena itu dia akan berusaha mendapatkanku kembali."

"Lalu Profesor, kamu akan membiarkannya?"

Sean menatap sekilas Freya sebelum fokus pada daratan dibawah mereka. Sean menukik cukup tajam untuk mendarat pada lantai tiga rumah miliknya.

"Profesor tidak akan semudah itu disudutkan, tenang saja. Laki-laki tua itu memiliki otak yang encer."

"Lalu kenapa kamu membawaku kesini? Wanita itu bukannya tahu tempat ini? Dia kemarin ke sini bukan?" tanya Freya sembari masuk lewat jendela balkon.

"Dia tidak akan bisa masuk, pasword rumah ini hanya aku dan nenek yang tahu."

"Lalu kamu pikir dia tidak akan bisa memaksa seorang nenek tua?"

Sean membuka kamarnya diikuti Freya dibelakangnya. Mengambil handuk dan baju kaus yang diberikan Sean ketika mereka memasuki deretan koleksi pakaian miliknya.

"Wah... ini istanamu sebenarnya? Kenapa tidak membawa tunanganmu kesini?"

Sean melirik kepadanya sesaat sambil memgambil handuk. "Karena rumah ini penuh privasiku." jawabnya singkat.

Freya terdiam ditempatnya. Sedikit bingung dengan jawaban Sean. Ketika dia menyusul Sean untuk bertanya, dia sudah masuk ke dalam kamar mandi. Freya sendiri hanya memakai kaus kebesaran milik Sean. Dia tidak mandi. Memilih turun ketika mendengar suara benda jatuh di lantai dua.

Ketika memeriksa, dia hanya menemukan seekor kucing kampung yang sedang memanjat dan menjatuhkan guci yang berada di atas meja hias.

Freya meninggalkannya menuju sebuah ruangan penuh buku. "Wah, anak itu mengoleksi banyak komik, bocah" ejeknya.

Sementara itu, Sean yang sedang mencuci rambutnya hanya tersenyum mendengar ocehan demi ocehan itu. Sean bisa mendengar kekaguman yang dilontarkan Freya ketika gadis itu menemukan koleksi novel yang sudah tidak produksi namun masih banyak penikmat ceritanya.

Sean turun kebawah ketika sudah selesai. Menghampiri Freya yang fokus pada bacaannya.

"Suka novel itu juga?"

"Ya, dulu aku sangat ingin membelinya tapi tidak punya cukup uang. Aku takut meminta pada ibu karena dia bahkan butuh uang banyak untuk obat-obatnya. Dulu harga novel ini sangat tinggi."

"Kamu bisa mengambilnya."

Sontak Freya langsung mendongak dengan wajah berbinar. "Benarkah? Semua series ini boleh untukku?" tanyanya memastikan.

"Hmm, asal kamu tetap disini."

Seketika wajah Freya berubah datar. "Dasar pamrih!" katanya, lalu kembali melanjutkan membaca.

"Lagi pula kamu tidak punya siapapun yang dituju untuk pulang, bukan? Jadi tetaplah disini."

Freya menutup bukunya, lalu menatap Sean dengan serius.

"Aku tidak bisa membantu apapun. Kenapa kamu sangat ingin aku tetap disini? Apa karena takut aku akan membongkar rahasiamu?"

'Gadis ini cukup pintar.' puji Sean dalam hati.

Sean tersenyum dan mengangguk. Sama sekali tidak menampiknya. "Tapi itu bukan satu-satunya alasan."

"Apa yang lain?"

"Membuat Elsa menyerah dan membatalkan pertunangan."

Freya sungguh terkejut mendengar penuturan itu. Dia bahkan sampai meletakkan novel tebal dipangkuannya, lalu bangkit berdiri dari kursi kayu tempat ia sedari tadi duduk.

"Katakan alasan kamu ingin membatalkan pertunanganmu. Kamu tidak mencintainya? Kalian bahkan sudah punya anak."

Sean terkekeh pelan. Dia yang gantian duduk di kursi. "Flo bukan anakku. Aku hanya berperan sebagai ayahnya karena ayah kandungnya sudah mati."

"Lalu wanita itu?"

"Elsa adalah wanita yang selalu menemaniku sejak sekolah menengah atas. Ibuku yang membawanya dari kota lain. Dia menggantikan peran ibuku saat ibu selalu pergi ke kota tertentu. Memberiku obat rutin. Menyiapkan seluruh kebutuhanku seperti yang ibuku lakukan. Dulu aku sangat bergantung padanya setelah ibuku meninggal. Tapi sejak bangun kembali, aku menyadari apa yang ia lakukan adalah untuk mempercepat kerja metabolisme tubuhku."

"Maksudmu, dia suruhan wanita jahat itu juga?"

"Tidak, dia hanya mematuhi ibuku sebagai bentuk balas budi. Tapi akhirnya jatuh cinta padaku. Mengikatku dengan seorang anak yang ayahnya mati ditanganku."

Mendengar pernyataan itu, Freya mundur selangkah karena syok luar biasa. "Ka-kamu membunuh lagi? Be-berapa orang ya-yang telah kamu bunuh?"

Sean dapat melihat tangan Freya yang bergetar karena takut. Wajah gadis itu menjadi pucat pasi. Dia mundur lagi namun malah menabrak dinding lemari buku dibelakangnya.

Sean bangkit berdiri, berjalan cepat sehingga saat ini tepat dihadapan Freya yang semakin bergetar ketakutan.

"Kemana perginya Freya yang pemberani, hm? Baru sadar kalau aku menakutkan?" Sean tersenyum, walau senyum itu hanyalah senyum biasa, namun Freya malah merasa dicekik oleh ketakutan.

"Aku memiliki alasan membunuh mereka, Fre. Jangan takut, aku tidak akan pernah menyakitimu. Sekarang istirahat di kamarku. Aku akan menemui Profesor."

Sean bisa mendengar tubuh Freya yang jatuh kelantai ketika ia berlari cepat menuju atap rumah. Dalam deru angin yang masih dingin, Sean terbang kembali.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!