"Ssttttt"
Tap
Kak Dios mendesis, saat aku mulai membersihkan luka bagian perutnya. Luka itu sedikit agak dalam memang, hingga aku sendiri agak takut melihatnya.
Kak Dios menangkap tanganku yang kupakai buat membersihkan luka-lukanya. Sepertinya dia benar-benar merasakan sakit.
"Tahan sedikit ya kak? atau kalau tidak kita ke rumah sakit saja," ujarku.
Kak Dios melepaskan tanganku. Dan aku kembali mulai membersihkan lukanya.
"Akkkhh...."
Lagi-Lagi kak Dios menjerit kesakitan, hingga pria itu mengeluarkan air mata. Melihat dia menangis, entah kenapa aku juga jadi ikut menangis. Entah apa yang aku tangiskan itu. Apa karena luka itu, apa karena pria itu menangis, atau apa karena melihat penderitaan pria itu yang diabaikan oleh istrinya.
Tidak terasa air mataku mengalir hingga kedaguku. Namun tiba-tiba aku merasakan telapak tangan hangat menyentuh pipiku. Aku melihat kearah pria itu, dan pria itu menggelengkan kepalanya.
"Jangan pernah menangisi pria lain, selagi kamu merasa hubunganmu dan suamimu baik-baik saja," ujar Dios.
"Kenapa? apa kalau hubungan kami bermasalah, aku baru boleh menangisi pria lain?" tanyaku sembari menyeka air mataku.
Ku lihat kak Dios diam. Dia kemudian membalikkan tubuhnya, dan kulihat luka dibelakang punggungnya sama parahnya dengan bagian depan.
"Apa kakak tidak khawatir infeksi? ini lukanya banyak sekali kak?"
"Cepatkah bersihkan. Kemudian obati," ujar kak Dios.
Aku mulai membersihkan lukanya. Aku tidak mendengar lagi keluhan dari mulutnya, tapi aku melihat dia mengepalkan tangannya untuk menahan rasa sakitnya itu.
"Terima kasih," ujar Dios.
"Sebaiknya jangan pakai baju dulu kak. Biarkan obatnya meresap dulu. Aku akan pergi ke apotik buat mencari obat antibiotik. Aku takut luka kakak infeksi,"
"Maaf sudah merepotkanmu," ujar kak Dios.
"Tidak masalah. Oh ya, motor kakak kemana ya?" tanyaku yang tidak melihat motornya.
"Di bengkel. Banyak yang rusak soalnya." Jawab kak Dios.
"Ya sudah aku pergi naik ojek online saja,"
Aku kemudian keluar dari rumah itu dan pulang kerumah untuk mengambil uang dan ponselku. Setelah membeli obat di apotik, akupun bergegas pulang karena kak Dios sangat membutuhkan obat itu.
Aku pergi ke dapur kak Dios untuk megambilkan pria itu air minum. Aku tidak menemukan gelas lain, selain gelas yang berasal dari rumahku. Akupun meraih gelas itu dan mengisinya dengan air galon.
"Kak. Ini airnya," ujarku sembari menyodorkan segelas air dan obat yang aku beli dari Apotik.
Dios mulai mengerjapkan matanya. Mata pria itu terlihat memerah. Tidak hanya matanya, wajahnyapun ikut memerah. Reflek tanganku meraba keningnya, dan aku rasakan suhu tuhuhnya sangat panas.
"Ka-kakak demam? jangan-jangan luka kakak infeksi kak? sebaiknya biar lebih pasti, kita berobat saja ke rumah sakit kak? takutnya malah bahaya," terlihat sekali aku sangat panik saat ini.
"Kakak tunggu disini ya? biar aku panggil taksi dulu," langkahku terhenti saat tangannya mencekal tanganku.
"Jangan tinggalin aku," ujar kak Dios lirih.
Lagi-Lagi aku melihat ada air mata yang megalir dari sudut matanya.
"Aku tidak akan pergi. Kakak minum obat dulu ya? siapa tahu agak mendingan," ucapku.
Hal ganjil terjadi diantara kami, saat tangan kak Dios tidak henti-hentinya menggenggam tanganku. Tangan itu seolah tidak mau dilepaskan. Hingga tanganku pribadi jadi berkeringat dibuatnya. Setelah kak Dios terlelap, pegangan tangan itu barulah terlepas. Akupun diam-diam pulang kerumah, karena ingin membuatkan kak Dio makan siang.
Aku kemudian memeriksa laci dikamarku. Beruntung aku ingat, kalau Delano selalu menyetok obat-obatan disana. Dan aku menemukam ada obat deman, yang cocok untuk keadan kak Dios sekarang ini.
Setelah memasak, aku bawakan kak Dios hasil masakkanku. Dan tidak lupa obat demamnya juga.
Waktu menunjukkan pukul 12 siang, saat aku membangunkannya untuk makan siang dan minum obat demam buat kak Dios. Aku bahkan menyuapi pria itu makan, karena tangannya baru terasa sakit digerakkan.
"Kakak pindah ke kamar gih. Istirahat di kamar saja. Aku pulang dulu ya kak?" ucapku.
"Eh? Caren...."
Aku menoleh kearahnya, namun saat kutunggu-tunggu kata selanjutnya yang keluar dari mulutnya, kak Dios malah menggeleng lesu.
"Tidak ada. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih," ujar kak Dios.
"Sama-Sama kak." Jawabku sembari tersenyum.
Aku melangkah keluar pintu rumahnya dan menutup pintu itu.
"Aku pasti sudah gila. Bisa-Bisanya aku berharap dia tetap tinggal disini dan menemaniku tidur," ujar Dios.
Aku membuka pintu rumahku. Dan entah mengapa aku lebih suka bersama kak Dios, paripada sepi dirumah sendirian. Karena lelah, akupun berbaring diatas sofa dan jatuh tertidur.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore, saat aku terbangun. Anehnya saat pertama kali aku terbangun, aku malah memikirkan pria lain, yang tak lain adalah kak Dios. Ternyata aku masih mengkhawatirkan pria itu. Padahal dia punya istri sendiri, yang seharusnya menghawatirkan dia.
Aku bergegas ke dapur. Aku pikir tidak ada yang bisa membantunya saat ini selain aku. Istrinya yang seharusnya disamping dia, kini pergi entah kemana. Aku memutuskan untuk memasak makan malam untukku dan untuknya. Dan aku pergi kerumah kak Dios, saat waktu menunjukkan pukul 7 malam.
"Kok gelap? apa kak Dios pergi?"
Aku coba menekan handle pintu rumahnya, dan ternyata pintu itupun terbuka.
"Kak? kak Dios?" aku menyeru namanya dalam kegelapan.
Aku meraba-raba dinding rumah itu, untuk mencari tempat menyalakan lampu.
Cteeekkkk
Lampu menyala di ruang tamu, tapi aku tidak lagi melihat kak Dios yang tadi berbaring di sofa. Aku kembali memanggilnya dan saat bertemu dengan kamar yang kuyakini kamar pribadi kak Dios, akupun mengetuknya perlahan.
Tok
Tok
Tok
"Kak. Apa kakak ada didalam?" aku menyerunya sembari mengetuk pintu.
Namun berapa kalipun aku mengetuk, tidak ada jawaban dari dalam.
Ceklek
Aku memberanikan diri, karena aku sangat khawatir. Dan kekhawatiranku itupun terjadi. Kak Dios saat ini sedang demam tinggi. Tubuhnya bahkan menggigil.
"Ka-Kakak kenapa? kita kerumah sakit saja yuk kak?" aku memegang tangannya,"
Perlahan mata kak Dios terbuka dan lagi-lagi pria itu menangis.
"Ca-Caren. Dingin," kata itu begitu lirih nyaris tak terdengar.
"Kakak minum obat dulu ya? aku bawa obat deman,"
Aku berlari kedapur untuk mengambil air minum. Aku hampir saja jatuh tersungkur, karena terlalu terburu-buru.
"Minumlah obatnya kak,"
Aku bantu kak Dios setengah duduk, dan pria itu meminum obatnya. Aku selimuti tubuhnya yang menggigil. Kak Dios saat ini masih tidak mengenakan pakaiannya.
"A-Aku pulang dulu ya kak? semoga obat deman itu bisa membantumu," ujarku meskipun aku tidak tega meningalkan kak Dios sendiri.
"Ca-Caren. Jangan tinggalin kakak," ucapnya lirih.
"Kakak harus hubungi istri kakak. Suruh dia pulang. Dia harus tahu keadaan kakak seperti ini," ucapku.
"Nomor ponselnya tidak aktif." Jawab Dios.
"Huuuff...ahh...dingin," tubuh kak Dios masih saja gemetar.
"Kita kerumah sakit saja kak. Sepertinya kakak beneran infeksi deh," aku khawatir pada pria yang wajahya sedikit pucat itu.
"Jangan pulang. Temani kakak saja. Please...."
Sungguh ini pergolakkan batin bagiku. Aku menyadari permintaanya itu sangatlah tidak pantas. Tapi dia tidak mengizinkan aku membawanya kerumah sakit. Dia hanya menginginkan aku berada disisinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Siti Muhtarom
aduh kok aku jadi dag Dig dug sih🤭🤣🤣
2022-05-31
0
☠ᵏᵋᶜᶟ尺მȶɦἶ_𝐙⃝🦜
nah...mulai wes
2022-05-19
0
Pani Achmat
lanjut thour
2022-04-07
1