Kabar meninggalnya Aisha membuat orang tua Yusuf dan Ayah mertuanya terpukul. Mereka merasa sangat kehilangan. Bukan hanya pihak keluarga saja yang bersedih. Para tetangga dan teman-teman pengajian Aisha, semuanya ikut berbelasungkawa dan banyak dari mereka yang menangis. Kebanyakan orang-orang yang mengenal Aisha, tidak percaya akan berita meninggalnya dia. Sebab, kemarin mereka masih bertemu dan bertegur sapa.
Sosok Aisha yang ramah dan cerdas juga baik hati, membuatnya di sayangi dan disegani oleh banyak orang. Apalagi orang-orang jompo yang tidak memiliki sanak saudara. Aisha selalu mengirim mereka masakan setiap hari dan memberi sedikit uang.
"Aisha, kamu itu masih muda, Nak. Kenapa kamu duluan yang meninggal. Kenapa bukan nenek yang sudah bau tanah ini saja yang meninggal," kata salah satu tetangga Yusuf yang usianya sudah sangat tua.
"Iya, Aisha. Kamu masih punya anak kecil. Nenek rela kalau harus menukar nyawa agar kamu hidup," ucap wanita lanjut usia lainnya yang sering meminta tolong kepada Aisha untuk mengambilkan air dari sumur.
"Mbok, Nenek. Kalian jangan begitu! Kasihan Aisha. Kita harus merelakan Aisha. Lebih baik kita doakan agar Aisha diterima iman dan islamnya. Diampuni dosa-dosanya, diterima segala amal ibadahnya, dilapangkan dan diterangkan di alam kuburnya. Semoga kita di akhirat bisa bertetangga dengan Aisha di surga," balas Hajar—ibunya Yusuf.
"Aamiin," jawab para pelayat.
Asiah duduk di pangkuan Yusuf dia menghapus air mata Ayahnya yang masih saja terus keluar. Bocah kecil yang biasanya aktif bergerak dan berbicara, kini agak pendiam.
"Ayah. Apa Bunda akan sehat setelah pergi ke surga nanti?" tanya Asiah sambil memandang wajah Yusuf.
"Iya. Tentu saja, Sayang. Bunda tidak akan merasa sakit saat di sana," jawab Yusuf.
"Alhamdulillah, kalau begitu. Karena Asiah lihat tadi di perut Bunda ada darahnya banyak sekali. Pasti itu sakit sekali, ya?" Asiah masih berceloteh.
"Hmm." Yusuf menganggukkan kepala.
"Bunda, hebat ya, Yah. Dia tidak nangis. Kalau Asiah berdarah suka menangis, 'hu ... hu ... Bunda, sakit' gitu," ujar Asiah sambil mempraktekkan bagaimana dia menangis saat merasa kesakitan.
Yusuf memeluk tubuh putrinya. Hanya Asiah yang bisa memberikan kekuatan padanya saat ini.
"Nak Yusuf, lubang kuburannya sudah selesai digali. Kita sudah bisa membawa jenazah untuk di kebumikan," kata Pak RT.
"Baik, Pak RT," balas Yusuf.
"Ayah, mereka akan membawa Bunda kemana?" tanya Asiah saat keranda diusung oleh beberapa orang.
"Bunda, akan di kebumikan, Sayang. Biar Bunda cepat ketemu sama orang-orang baik lainnya," jawab Yusuf menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh anaknya.
"Ah, Bunda mau bertemu sama Allah! Asiah juga ikut sama Bunda," tukas Asiah langsung berlari mendekati orang-orang yang sedang menanggung keranda mayat.
"Mang, Asiah juga mau ikut sama Bunda! Asiah juga mau ketemu sama Allah. Kata Bunda, Allah itu Maha Baik. Jadi, Asiah nggak akan dimarahi 'kan kalau ikut?" tanya Asiah kepada Mang Sabar yang bertetangga di samping rumahnya. Dia melihat bocah berumur 3 tahun lebih itu dengan tatapan nanar. Hatinya terasa tersayat mendengar celotehan anak dari wanita calon penghuni kubur.
"Asiah, jangan ikut Bunda. Nanti Ayah sedih. Tuh, lihat! Ayah menangis." Mang Sabar menunjuk pakai dagu ke arah Yusuf yang berdiri tidak jauh darinya.
"Kan Ayah juga bisa ikut aku sama Bunda," balas Asiah.
Semua orang yang bersiap mengantarkan jenazah ke komplek pemakaman umum, menangis mendengar ucapan Asiah. Mereka bingung harus bilang apa pada anak kecil yang cerewet.
"Asiah, Bunda kamu meninggal. Maka, harus dikubur. Seperti Kakek Haji Sholeh dulu, dikubur di pemakaman sana. Kamu tidak boleh ikut sama Bunda. Karena kamu masih hidup," kata Fathur anak laki-laki Mang Soleh yang usianya 9 tahun dan duduk di kelas 4 sekolah dasar.
"Kak Fathur, nakal! Kenapa Asiah nggak boleh ikut sama Bunda. Asiah juga mau ketemu sama Allah," Asiah berteriak sambil menangis.
"Karena kamu masih hidup sedangkan Bunda sudah meninggal. Kamu yang bodoh, mana ada orang hidup ingin dikubur." Fathur membalas karena nggak mau mengalah sama bocah yang sering dia jahilin.
"Ayah, Kak Fathur nakal!" Asiah berlari dan memeluk kaki Yusuf.
Hajar langsung memangku cucunya dan menyuruh Yusuf agar cepat-cepat pergi dengan para pelayat lain. Asiah berteriak-teriak memanggil nama 'Bunda dan Ayah' saat keranda mayat dan para pelayat pergi menjauh menuju pemakaman umum.
***
Yusuf duduk di samping kuburan Aisha. Dia mendokan agar istrinya ditempatkan yang terbaik di sisi Tuhan pemilik nyawa semua makhluknya. Sudah hampir 2 jam, Yusuf berjongkok di sana sampai terdengar suara adzan Dhuhur berkumandang.
Saat pulang ke rumah, dilihatnya Asiah sudah tertidur dengan pipi yang basah oleh air mata. Yusuf membelai sayang, kepala putrinya dengan pelan.
"Yusuf, sudah sholat Dhuhur?" tanya Hajar.
"Sudah, Bu. Tadi berjamaah di masjid, sekalian pulang dari makam," jawab Yusuf.
"Berapa lama kamu cuti dari kantor?" tanya ibunya lagi.
"Besok, Yusuf harus masuk kerja karena akan ada rapat bulanan. Yusuf harus berangkat lagi nanti sore atau malam," balas Yusuf dengan penuh penyesalan tidak bisa lama-lama tinggal di desa.
"Mertua kamu katanya lusa akan dioperasi. Biar Sabar yang mengurusnya nanti," kata Hajar memberi tahu.
"Biar Yusuf yang mengurus semua administrasi dan segala keperluan Ayah. Ibu jaga Bapak saja. Biar Mang Sabar yang menunggui Ayah di rumah sakit," tukas Yusuf.
"Kamu harus sabar, ya. Istri kamu baru saja meninggal dan lusa ayah mertua kamu mau menjalani operasi." Hajar mengelus punggung putranya.
"Lalu ... Asiah?" Hajar menatap cucu perempuan yang sering membuatnya kewalahan.
"Biar Yusuf yang mengurus Asiah, Bu. Ini amanat dari mendiang Aisha," jawab Yusuf.
"Kamu yakin bisa membesarkan Asiah sendirian? Kamu 'kan harus kerja," tanya Hajar sangsi.
"Di kota banyak tempat penitipan anak yang merangkap sekolah dini. Asiah akan Yusuf daftar di sana. Yusuf tidak mau kalau Asiah sampai kehilangan kasih sayang orang tuanya." Yusuf membalas dengan penuh keyakinan.
***
Yusuf membawa Asiah ke kota bersamanya. Dia harus menjelaskan kepada anaknya, kenapa mereka harus tinggal di kota dan meninggalkan nenek dan kakeknya serta Abahnya. Asiah awalnya tidak mau ikut dengan Yusuf karena ingin menjaga kuburan Bunda. Asiah bilang dia bersama Bundanya di kampung dan akan menunggu Ayahnya pulang setiap minggunya. Saat bilang Asiah bisa main di Timezone, baru dia mau ikut Yusuf.
"Ayah, mau apa kita masuk ke dalam lemari besi ini? Apa kita sedang main petak umpet?" tanya Asiah saat mereka masuk ke dalam lift.
"Ini namanya lift, Sayang. Kita bisa naik ke atas tanpa naik tangga," jawab Yusuf sambil tersenyum geli karena Asiah mengerutkan keningnya tanda dia tidak mengerti.
"Tunggu! Jangan di tutup dulu," teriak seorang gadis berseragam putih abu-abu.
"Ayah, apa kakak itu kucingnya? Ayo cepat tutup pintunya! Kita sembunyi." Asiah yang melihat ada gadis yang berlari ke arahnya.
"Hai, Om ganteng. Akhirnya aku bisa melihat wajah kamu hari ini." Gadis itu tersenyum kepada Yusuf. Kemudian dia menatap Asiah.
"Siapa dia, Om?" tanyanya pada Yusuf.
***
Jangan lupa untuk selalu klik like, favorit hadiah dan Vote-nya juga ya. Dukung aku terus. Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 338 Episodes
Comments
Ita rahmawati
sedih ya 🥺🥺
2025-03-19
1
Marsha Andini Sasmita
😭😭😭🤔😭😭😭
2022-11-08
1
Marsha Andini Sasmita
😭😭😭💪😭😭😭
2022-11-08
1