Setelah mengantarkan Salma pulang, Aksara kini melajukan motornya dengan kecepatan standart menuju rumahnya. Rumah yang terletak di pinggiran kota yang padat penduduk. Untuk sampai ke depan rumahnya saja harus melalui gang-gang sempit terlebih dahulu.
Aksara turun dari motornya setelah masuk ke dalam gang sempit karena di wilayah rumahnya begitu banyak anak kecil dan orang lalu lalang. Begitulah, saking padatnya rumah di kawasan itu.
"Permisi Bu." ucap Aksara saat melewati beberapa ibu-ibu yang sedang berkumpul dan mungkin sedang bergosip.
"Iya, Aksa baru pulang?" tanya salah satu ibu-ibu itu.
"Iya, Bu." jawab Aksara sambil berlalu tapi telinga Aksara masih bisa menangkap pembicaraan ibu-ibu itu.
"Si Aksa itu tambah ganteng aja ya."
"Iya, tapi anak aku kemarin nangis-nangis katanya ditolak sama si Aksa. Yah, maklum lah anak kuliahan pasti seleranya tinggi, gak mungkin mau sama tetangga kampung gini."
Aksara hanya menggelengkan kepalanya. Dia jadi teringat si Heni yang kemarin sempat menyatakan cinta padanya. Dia masih gadis SMA. Aksara memang seorang playboy tapi dia tidak mau mempermainkan hati seorang gadis yang masih menjadi tetangganya itu. Lebih baik bermain wanita diluar sana yang tidak bisa menjangkau kedua orang tuanya. Karena kalau sampai kedua orang tuanya tahu dengan kelakuannya yang playboy itu, bisa langsung dikawinkan dan cita-citanya itu bisa ambyar.
Meskipun badboy seperti itu, Aksara mempunyai sebuah cita-cita yang tinggi. Dia ingin bisa menyaingi Nada Azalea. Oke, cukup tinggi bukan? Walau mungkin cita-citanya itu masih tersembunyi dari Ayahnya.
"Assalamu'alaikum..." ucap Aksara saat masuk ke dalam rumahnya.
"Wa'alaikumsalam..." jawab Pak Rendra, Ayah Aksara yang saat itu kebetulan sedang berjalan menuju pintu.
Aksara mencium punggung tangan Ayahnya.
"Kamu gak langsung ke cafe?" tanya Pak Rendra.
"Nanti Yah. Jam 4 baru berangkat. Aksa mau istirahat dulu. Ayah mau kemana?"
"Ayah mau ke SPBU, beli bensin."
Aksara melihat Ayahnya sudah membawa satu jerigen biru yang bervolume sekitar 15 liter untuk membeli bensin. Di rumah Aksara memang menjual bensin ecer dan ada toko kecil-kecilan. Dari situlah sumber pendapatan keluarga Aksara.
"Ya sudah Pak. Hati-hati." Aksara kini masuk ke dalam rumah lalu duduk di samping Ibunya yang sedang menghitung uang receh hasil penjualan dari jajanan anak-anak kecil.
"SPP Tiara sudah dibayar kan, Bu?" tanya Aksara. Tiara adalah adik perempuannya yang baru saja masuk SMA.
"Sudah."
"Aksa punya uang lebih." Aksara mengeluarkan dua lembar uang yang berwarna merah. "Kalau begitu ini buat Ibu aja." Aksara menyodorkan uang itu pada Ibunya.
"Jangan Aksa. Kan kemarin gajian sudah kamu kasih. Buat pegangan kamu saja."
"Aksa masih ada. Ini kemarin dapat tips dari cafe."
Bu Diana akhirnya menerima pemberian dari Aksara. "Ya sudah, ini Ibu tabung ya. Buat kamu nanti kalau sewaktu-waktu ada kebutuhan di kuliah kamu."
Aksara menyandarkan dirinya di kursi yang sudah tidak empuk lagi. Menatap langit-langit rumahnya yang telah usang.
"Aksa, makan dulu sana kok malah melamun di sini."
Aksara justru menghela napas panjang. "Ibu sudah bilang sama Ayah kalau ternyata Aksa masuk fakultas musik?"
Bu Diana menggelengkan kepalanya.
"Kalau seandainya Ayah tahu kalau Aksa masuk fakultas musik bukan sastra apa Ayah akan marah dan mencoret nama Aksa dari kartu keluarga?"
Bu Diana justru tertawa. Jelaslah itu tidak mungkin. "Marah iya, tapi gak mungkin sampai pecat kamu jadi anak."
"Ayah, kenapa larang Aksa buat masuk ke fakultas musik? Kalau Aksa tanya Ayah selalu marah gak jelas. Padahal Ayah tahu sendiri kalau Aksa itu suka sekali main piano."
Bu Diana tersenyum masam. Memang ada satu rahasia yang Aksara tidak tahu sampai sekarang. "Aksa, Ibu gak bisa cerita soal itu. Lebih baik kamu jujur ya sama Ayah kamu soal fakultas itu. Kamu harus ingat, ridho dari orang tua itu penting. Kalau kamu ingin meraih cita-cita kamu, kamu juga harus mendapat ridho dari Ayah kamu."
Aksara mengangguk paham.
"Kamu berangkat ke cafe jam berapa?"
"Jam 4."
"Ya sudah, cepat makan lalu istirahat dulu."
Aksara mengangguk lalu dia beranjak menuju kamarnya. Tidak bergegas makan tapi justru merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Menatap nyalang langit-langit yang telah usang itu di kamar kecil yang hanya berukuran 2x3 meter.
Dia teringat kembali tekadnya untuk masuk di fakultas musik meski sudah dilarang oleh Ayahnya. Saat itu dia ingin marah, karena larangan Ayahnya yang tidak mempunyai alasan itu. Dia memang mengejar beasiswa, skill dia di musik bukan di sastra. Meskipun nama dia Aksara sebagai simbol pintar bermain kata, harusnya. Tapi Aksara justru pintar bermain nada.
Walau merasa berdosa pada Ayahnya, Aksara tetap masuk ke fakultas musik dengan beasiswa penuh.
"Gimana caranya bilang ke Ayah kalau aku masuk fakultas musik. Sampai semester dua aku masih belum berani juga bilang ke Ayah. Hah, cemen banget sih gak berani bertanggung jawab."
...***...
"Hai, guys.. Kangen banget sama kalian..." Malam itu di sebuah cafe, Nada sedang mengadakan reoni dadakan dengan teman SMA nya. Ya, walaupun hanya berjumlah 5 orang tapi suara mereka sudah seperti ramainya pasar.
"Nada, tumben sih lo dandan kayak gini."
Saat itu Nada memang sengaja memakai kacamatanya. Sejak masuk kampus hari ini, dia telah resmi menjadi Nada Pratiwi.
"Misi penyamaran, gengs."
"Lo pulang dari luar negri pakai menyamar segala. Takut dikejar fans lo..."
Mereka bicara ngalor-ngidul tidak karuan sambil menikmati hidangan cafe yang terkenal kelezatannya itu. Setelah semua tandas dan mereka sudah kehabisan cerita, satu per satu mereka mulai pamit pulang.
Kini tinggal Nada sendiri. Dia berdiri dan akan beranjak pergi dari tempatnya.
"Itu kayak Kak Reno..." gumam Nada yang melihat Reno keluar dari kantor cafe. Dia sedang berjalan bersama seorang gadis yang dilihatnya tadi siang di parkir kampus. "Cewek itu siapa sih?" Nada ingin mengikutinya tapi langkahnya terhenti saat melihat Aksara berada di belakang mereka.
Dia lagi?
Ingin Nada menghindar tapi Aksara lebih cepat menangkap gerak tubuhnya.
"Eh, ada Nada." Aksara kini berjalan mendekat. "Tatapannya dari tadi di kampus sampai sekarang fokus terus sama Pak Reno."
Nada menatap jengah Aksara. Tapi karena daya keingintahuannya sangat tinggi, tiba-tiba saja sebuah pertanyaan terlontar dari mulutnya. "Siapa gadis yang bersama Pak Reno?"
Aksara tertawa. Tapi tentu saja dia pintar mengambil untung dalam situasi ini. "Kasih tahu gak ya? Hem, kalau gue kasih tahu, lo mau kasih gue apa?"
"Oke, lo mau berapa?" Nada membuka tasnya dan akan mengambil dompetnya.
"No, money."
"Terus lo mau apa?"
"Yang lebih nikmat daripada uang."
"Gila!!!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Sri Raganti Ols
Nackal ya aksara haha,,,prihatin juga ya khidupan aksara,,walau dia badboy tp dia sayang klg
2022-12-09
0
🍁Naura❣️💋👻ᴸᴷ
saya mampir kak mudah"an seru ceritanya😊
2022-03-29
2