POV: Ares
"Dave ... kamu sungguh tidak ingin ikut dengan kami?" Merida menatap ke arah bocah laki-laki itu dengan tatapan sendu, saat ini adalah pagi hari setelah kemarin. Kami memutuskan untuk menginap satu hari bersama Dave. Beberapa kali kamu mencoba membujuknya, tetapi Dave tetap kukuh pada pendiriannya.
"Tidak, aku akan menjaga tempat ini. Meskipun begitu, aku akan selalu mendukung kalian. Pergilah, perjalanan kalian masih panjang." Dave melemparkan sesuatu ke arahku, untung saja aku dengan sigap menangkapnya. Saat aku melihat benda itu, ternyata itu adalah boneka beruang yang sebelumnya aku berikan padanya.
"Kenapa kau memberikan ini lagi?" tanyaku heran. Dave tersenyum tipis. "Aku yakin benda itu adalah wujud harapan Alan. Benda itu, pasti akan melindungi kalian suatu saat nanti," ucap Dave. Aku menggenggamnya dengan erat, lalu memasukkan boneka mungil itu ke dalam saku.
"... Terimakasih, aku akan membawa harapanmu juga, Dave." Aku tersenyum lebar, setelah itu aku membuat sebuah mobil lagi.
CRIING!
"Nah, ayo masuk semua!" Aku sedikit berteriak sambil menoleh pada rekanku. Merlida sedang mengangkat beberapa tas kecil, sedangkan Ken dan Vani tampaknya sedang beradu argumen.
"Kita tidak bisa melakukannya, Van! Itu terlalu beresiko!" ucap Ken dengan ekspresi yang mulai emosi. Aku berjalan mendekati mereka karena tampaknya debat mereka tidak kunjung selesai.
"Tapi bukankah itu lebih baik?! Kalau kita mengambil jalan itu, maka akan lebih cepat bagi kita untuk mengembalikan dunia ini! Dan menyelamatkan banyak orang!" ucap Vani dengan nada suara yang semakin tinggi. Aku segera berdiri di tengah-tengah mereka berdua, dan agak memberi jarak pada mereka.
"Wo wo wo! Tenanglah, ada apa? Kenapa kalian bertengkar?" tanyaku sembari melihat mereka berdua bergantian. Vani terlihat lebih kesulitan mengontrol emosi daripada Ken, tubuh Vani sudah naik turun karena emosi, sedangkan Ken masih bisa bernafas dengan normal namun matanya saja yang semakin tajam.
"Aku tidak akan pernah setuju, Vani. Inti dari saranmu tadi, kau bilang bahwa lebih baik satu orang yang mati daripada banyak orang, kan?
Aku tidak akan pernah menyetujuinya. Yang kau pikirkan itu egois, bayangkan perasaan orang yang dekat dengan orang yang kau korbankan itu!
Menghibur satu orang yang kehilangan, itu sama susahnya dengan menghibur seribu orang yang kehilangan," ucap Ken dengan dingin. Setelah itu dia berbalik badan dan langsung menuju ke mobil. Aku agak bingung, jadi aku hanya diam dulu dan menatap Vani.
"... Memangnya ada apa? Van?" tanyaku lembut. Vani mengontrol emosinya terlebih dahulu, dia mengelus dadanya berkali-kali dan menarik nafas panjang
"... Aku hanya berpikir. Bahwa akan lebih mudah jika kita meminta orang dengan kemampuan seperti Alan, untuk mengorbankan dirinya demi membuat dunia ini kembali normal.
Tapi ... setelah aku mendengar ucapan Ken, ternyata pemikiranku salah ... aku hanya berpikir bahwa akan lebih baik jika ini diakhiri secepatnya, tapi aku tidak memikirkan bagaimana perasaan orang yang menyayangi mereka," ucap Vani dengan tatapan yang sendu. Setelah itu dia pergi untuk menghampiri Merlida untuk membantu mengangkat barang-barang.
Yang Vani katakan itu benar ... kasihan jika mereka harus ditinggalkan oleh orang yang mereka sayang ...
Jadi ... jika orang yang mengorbankan diri adalah orang yang tidak disayangi siapapun ... bukankah itu tidak masalah?
"Ares! Ayo kita berangkat!" Suara teriakan Merlida menyadarkanku dari lamunan. Aku segera berlari ke mereka lalu duduk di bangku depan, sebelah Ken yang mengemudi.
"Kita berangkat."
BRRRMMM!
Ken mulai menginjak pedal gas, dan kami akhirnya meninggalkan lokasi ini. Dari kaca spion, aku melihat Dave yang masih berdiri dengan senyuman dari tepi jalan, menatap kami hingga akhirnya tidak terlihat lagi.
.
.
.
"Ngomong-ngomong tujuan kita selanjutnya ... Kota Oner?" tanyaku sambil menatap barisan pepohonan serta gedung-gedung yang agak lapuk.
"Benar, karena itu adalah kota tetangga," jawab Ken tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
Srak! Srak srak!
Aku melihat ke arah depan, memperhatikan sulur-sulur berduri milik Merlida yang menyingkirkan kendaraan di tengah jalan. Untung saja ada Merlida, jika tidak ada dia, mungkin kita harus berjalan kaki karena tidak ada tempat untuk jalan mobil.
Semenjak munculnya gas merah, banyak mobil tak berpenghuni yang ditinggalkan di tengah jalan. Sulur-sulur Merlida lah yang menyingkirkannya supaya mobil ini bisa berjalan tanpa hambatan.
"Merlida ... bukankah kau sudah cukup banyak menggunakan kekuatanmu? Perhatikan batasnya, jangan sampe melebihi chast, kau bisa terkena infik nanti," peringatku sambil menoleh untuk menatapnya. Merlida mengangguk dengan senyuman.
"Jangan khawatir, masih sisa banyak kok. Menggerakkan sulur mawar itu tidak butuh banyak chast," ucap Merlida santai. Aku hanya mengangguk dan tidak lanjut bertanya lagi karena Merlida juga aslinya orang dewasa, dia pasti bisa mengurus dirinya sendiri.
"Meskipun begitu, segera bilang jika kau sudah menggunakan 3/4 chast mu, kita akan berhenti untuk beristirahat," ucap Ken menimpali.
"Siap kapten!" jawab Merlida dengan senang. Setelah itu perjalanan terus berlanjut hingga menjelang sore, mungkin sekarang adalah pukul 3 sore. Kami berhenti berkendara karena Ken sudah lelah, dan chast Merlida juga tinggal seperempat. Aku sudah membuat tenda sebelum berangkat dari Dave, aku menaruhnya di bagasi mobil. Jadi sekarang aku tinggal mendirikannya.
Satu tenda untuk aku dan Ken, dan satunya untuk Vani dan Merlida. Vani dan Ken tampaknya masih belum akur, mereka masih bertengkar karena hal tadi. Yah, meskipun begitu, aku juga tidak setuju dengan Vani.
Karena nyawa setiap manusia itu berharga, tidak tergantung dari banyaknya orang yang sayang mereka atau tidak. Vani juga tampaknya sudah sadar kalau dia salah, tapi dia masih gengsi untuk minta maaf.
"Fyuh! Akhirnya jadi!" Aku menarik nafas lega setelah mendirikan dua tenda berukuran sedang. Setelah itu mataku kembali melihat Ken dan Vani yang masih tidak bicara satu sama lain.
"... Tidak boleh terus begini," gumamku pelan. Aku melirik ke sekitar, mencari ide. Mataku terhenti pada karung yang cukup besar di samping tendaku. Aku segera memungut karung itu dan aku berikan pada Vani serta Ken.
"Hah? Untuk apa ini?" tanya Ken bingung.
"Cari kayu kering, kita harus membuat perapian! Sana pergi dengan Vani!" ucapku tegas. Vani dan Ken tampak enggan melakukannya.
"Kenapa tidak denganmu saja? Masa aku harus melakukannya dengan perempuan? Ini berat loh," ucap Ken sok memelas.
"Tidak boleh! Ares akan membantuku untuk menata barang-barang di tenda! Aku butuh satu laki-laki untuk mengangkat barang berat!" ucap Merlida tiba-tiba. Aku menoleh ke arahnya dengan terkejut, dan saat kami bertatapan, dia mengedipkan matanya padaku.
Ternyata Merlida paham rencanaku.
"Tck, baiklah. Ayo, Van." Ken berdiri dari duduknya, lalu segera pergi. Vani tampaknya juga kesal padaku, dia memberiku tatapan tajam sebelum akhirnya pergi mengikuti punggung Ken.
Semoga mereka cepat baikan.
"Mereka pasti akan cepat baikan. Mereka sahabat sejak lama, kan? Pasti cepat baikan," ucap Merlida meyakinkan. Aku mengangguk dengan cepat.
"Ya, pasti. Oke! Katanya ada yang harus aku bantu?! Mana!" Aku langsung berlari kecil mendekati Merlida, lalu membantunya untuk menata barang yang diperlukan untuk menginap malam ini.
"Untuk makan malamnya ... aku membawa beberapa sarden dari minimarket yang ada di sekitar panti." Merlida mengeluarkan banyak sarden kaleng berukuran besar dari dalam tas.
Sial, pantas saja berat banget aku angkat. Isinya makanan semua.
"Kamu mau apa? Tuna? Salmon?" tanya Merlida bingung.
"Ikan pari ada?"
"Gak ada, adanya ikan paus."
Kami tertawa bersama sambil menunggu Ken dan Vani kembali.
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
mas kus
lanjutkan
2022-10-08
2