POV: Ares
"Apa-apaan gas ini?!" Aku menutup hidungku dengan sapu tangan dari saku celanaku. Sejauh mataku memandang, yang kulihat hanyalah kabut merah menyakitkan ini. Aku tidak tau ini gas apa, tapi ... orang-orang yang menghirup gas ini secara langsung, mereka ambruk tiba-tiba.
Bzzttt!
"Dilaporkan kejadian baru-baru ini! Ribuan roket telah mendarat di seluruh dunia dan menyebabkan kekacauan! Gas merah yang kini menyebar masih belum bisa dikonfirmasi apa dampaknya!
Jumlah korban yang meninggal hingga saat ini diperkirakan mencapai 2% populasi seluruh manusia!"
Aku menatap ke arah layar LCD yang tertancap di sebuah gedung. Berita masih berjalan, namun bisa terlihat jelas bahwa gas merah itu juga mulai masuk ke dalam gedung itu juga.
"Sekarang hari apa sih? Kenapa rasanya sial sekali ...," gumamku sambil berusaha berdiri. Kakiku masih gemetar, entah karena rasa takut atau ototku yang terkejut. Aku menoleh ke sekelilingku.
Apa? Apa sudah tidak ada yang sadarkan diri? Aku tidak bisa meminta tolong ke siapapun kalau begitu.
Aku mulai melangkahkan kakiku maju, namun baru setengah langkah, kakiku sudah tidak kuat. Aku tersungkur ke depan dengan kepala yang berat. Pandanganku semakin buram, kelopak mataku seolah tertarik untuk terus menutup.
Ah ... aku benar-benar mengantuk.
***
Dimana ini?
Rasanya tubuhku seperti melayang.
Gelap. Tidak adakah cahaya?
"Hei nak, bangunlah."
Aku menatap sebuah tangan yang bercahaya, terulur padaku.
"Little boy of dream world."
"Mimpimu dimulai sekarang."
"Bermimpilah sepuasmu, tapi jangan sampai chast, hati di tangan kirinya itu penuh."
"Atau akan ada hukuman dewa yang turun, namanya adalah infik."
"Tapi jangan khawatir, peri jam 12 malam akan selalu memberimu berkat dengan mengosongkan hati yang ternoda oleh kekuatan dewa."
Hati? Chast? Little boy of dream world? Infik? Peri?
"Kita akan bertemu lagi ... mungkin? Sekarang bangunlah."
Aku menatap ke arah wajah pria itu, tapi ... yang kulihat hanyalah sebuah cahaya yang menutupi wajahnya.
***
"Uh ... "
"Aduh ... sudah berapa lama aku tidak sadar?"
"Hawanya juga sudah jadi cukup panas, kenapa tidak ada yang memindahkanku saat pingsan?"
"Dan suara siapa anak kecil yang cerewet ini?"
"..."
Loh?
"Aa?"
Hah?
"A ... aaa?"
Suaraku?!
"AAAAAAAAA!"
BENAR-BENAR SUARAKU!
Aku langsung berdiri dan menatap tanganku.
Pruk.
Celanaku langsung melorot turun karena ukuran bahuku yang juga mengecil. Aku menatap lengan kemeja putih yang membungkus tanganku hingga tidak terlihat. Bahkan tanpa celana, kemeja ini bisa menutupiku hingga setengah lutut.
"Hupla!" Meskipun begitu, tidak baik berkeliaran tanpa celana! Lebih baik aku tetap memakai celana ini meski kedodoran. Aku hanya tinggal menekuk bagian bawahnya saja bukan? Aku juga harus menekuk bagian lengan kemejaku.
"Nah! Sudah!" Aku ganti melihat ke sekelilingku.
Gas merah itu ... menghilang? Bagaimana bisa itu menghilang begitu cepat? Tersapu angin? Tunggu ... memangnya sudah berapa jam berlalu?!
Aku merogoh saku celanaku dan mencari ponselku. "Ah ketemu!" Tapi saat aku mengeluarkan ponselku, justru ponselku sudah rusak jadi kepingan.
Pasti karena terbentur tadi.
"Hm, ngomong-ngomong ... dari ukuran tubuhku saat ini ... sepertinya aku berusia 12 tahun, atau 11 ya? Tapi sepertinya 12 deh. Baiklah, anggap saja 12 tahun!" Aku memantapkan hatiku bahwa kini tubuh yang kupakai adalah tubuhku saat berusia 12 tahun. Aku berjalan ke arah jalan raya, dan baru menyadari hal-hal lain lagi.
"Ke-ke-kenapa ada mayat di depanku?" Aku terdiam sejenak dan menelan ludahku takut. Dengan perasaan yang gelisah, aku berjongkok lalu menyentuh tubuh yang telah kaku itu.
"Tapi ... ukuran tubuhnya masih normal kok?" ucapku bingung sambil menatap ukuran tubuhnya yang masih sebesar orang dewasa.
Apa jangan-jangan ... mereka yang tidak mengecil, akan mati? Berarti aku termasuk beruntung bukan? Setelah mimpi aneh itu ...
Oh iya ... mimpi!
Aku segera menatap tangan kiriku, dan mencari gambar hati yang pria itu sebutkan. Ternyata benar, ada sebuah gambar yang aneh, mirip tato di punggung tangan kiriku. Tato yang berbentuk hati dengan bagian tengah yang kosong.
Whusss!
Angin kencang tiba-tiba datang dan membawa awan mendung ke sini.
"Tck, andaikan saja di saat seperti ini aku punya payung." Aku berdecak kesal sambil berlari ke arah bangunan terdekat untuk berteduh. Dalam pikiran, aku membayangkan betapa nyamannya jika aku punya payung.
CRINGG!
"HAH?!" Aku terkejut bukan main saat sebuah payung berwarna biru tua muncul di hadapanku.
Persis seperti apa yang kupikirkan. Aku menatap payung itu dengan terheran-heran namun juga penasaran. Payung itu masih melayang di depanku, seolah menungguku untuk mengambilnya.
Ini ... sungguhan?
Aku mencoba membuka payung itu.
Sret.
Bisa kok? Ini sungguhan? Jadi ini maksudnya little boy of dream world?
Aku ganti menatap ke arah gambar hati di tangan kiriku. Benar-benar persis seperti apa yang pria itu katakan di dalam mimpi tadi, gambar hati yang awalnya kosong, kini bagian bawahnya mulai berwarna hitam, sangat sedikit. Mungkin itu menunjukkan batas yang bisa kupakai hari ini.
Kalau begitu, waktu reset kekuatanku adalah jam 12 malam.
JDER! ZRASSS!
"Hujan ya ... sebenarnya ... apa yang terjadi pada dunia ini?" Aku menatap langit yang gelap dari bawah payung yang kupakai.
Dunia monoton yang biasa kukenal, kini berbalik menjadi sebuah dunia asing yang baru. Hujan deras yang turun kali ini, seolah menghapus jejak dunia lamaku, bersama dengan para mayat yang tergeletak di jalanan. Aneh sekali bukan? Padahal aku baru saja terkena bencana yang cukup besar.
Tapi hatiku justru merasa hampa, dan ... ada sedikit rasa senang. Memang aku kasihan pada mereka yang mati, tapi ... aku tidak berbohong bahwa dunia yang ini ...
Lebih kelihatan menarik bagiku.
"HEI! KAU YANG BERDIRI DI TENGAH HUJAN! YANG MEMBAWA PAYUNG BIRU!"
JDER!
Terdengar suara anak perempuan yang memanggilku, teriakannya begitu keras, bahkan di tengah hujan yang deras ini aku masih bisa mendengar suaranya. Aku menggerakkan tubuhku untuk menghadap ke arahnya.
Dia berdiri di tengah hujan dengan seluruh tubuhnya yang basah kuyup. Tapi dia tersenyum padaku, rambut coklatnya yang sebahu, serta ... mata merah? Baru kali ini aku melihat orang dengan mata merah.
Warna matanya unik.
"Hei, apa yang kau lakukan di tengah hujan?" tanyaku balik ke gadis itu. Gadis itu terlihat senang saat melihatku merespon panggilannya. Dia langsung berlari ke arahku dan berteduh di bawah payung yang kubuat tadi.
Untungnya payung yang kubuat ini payung besar, jadi cukup untuk 2 anak kecil. Dia tersenyum lebar sambil menatapku. "Hm tak kusangka masih ada orang yang hidup! Padahal kupikir di daerah semuanya sudah mati!" ucapnya tanpa beban dengan senyuman lega. Tubuhku langsung menjadi kaku rasanya.
"Apa maksudmu?" tanyaku dengan suara yang tertahan. Gadis itu memeras rambutnya lalu melirik ke arahku.
"Di daerah ini, hanya kau yang bertahan hidup. Selain kau, semuanya sudah mati."
Apa?
"Satu ... kota?"
"Hm? Tidak satu kota, di kota ini tentu saja masih ada sekitar 1500 orang yang hidup. Kau adalah salah satunya. Yang kubilang, di daerah ini saja," ucapnya lagi sambil mengulurkan tangan padaku.
Aku terdiam sejenak memikirkan ucapannya.
Hanya tinggal 1500? Bukankah penduduk aslinya ada sekitar 10.000?
"Hei, apa yang kau pikirkan? Tanganku lelah menunggumu," ucap gadis itu sambil menjabat tanganku paksa.
"Sebenarnya ..."
"Sebenarnya siapa kau itu?" Aku menatap gadis itu dengan tatapan yang dingin.
To be continued ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Brooww_Nisss
wkwkwkw gemesss banget anjirrr
2022-12-13
1
mas kus
makin menarik, tancap gas.... lanjut.....
2022-10-05
1
Eny Mariska
Amin.. Semoga kita semua seperti itu. Keren banget kalimatnya, penuh dengan harapan baik. 😔
2022-04-04
1