POV: Dave
"Maaf, kami tidak mempekerjakan anak di bawah umur."
"Maaf, kami tidak bisa menerima anak yang putus sekolah."
"Anda tidak diterima, silakan pulang."
"Maaf tapi ... kami sudah merekrut orang yang lebih baik."
Tak peduli kemanapun aku mencari pekerjaan. Jawaban mereka selalu sama pada intinya. Anak di bawah umur, putus sekolah, keluarga miskin dan bodoh.
"Ugh ..." Terkadang aku merasa lelah dengan semua ini. Tapi aku tidak ingin membuat ibuku menderita sendirian di rumah. Aku harus mencari uang dan membawanya berobat.
Sudah lebih dari dua bulan aku mencari ke sana kemari. Namun tak satupun dari mereka mau menerimaku. Seperti biasa, aku menangis selama jalan pulang di senja yang dingin.
Perjalanan menuju gubuk tua kami ini terasa berat. Lebih berat lagi jika aku melihat ibuku yang masih terbaring sakit. Bahkan yang bisa kami makan kadang hanya sepiring nasi tanpa lauk.
Kriet.
Seperti biasa, aku membuka pintu rumah sambil menarik nafas dalam-dalam. "Ibu, aku pulang," ucapku.
Dari dalam gubuk tua ini, aku mendengar suara batuk ibuku. "Selamat datang," ucapnya pelan namun masih bisa kudengar. Aku menaruh tas ransel yang daritadi kubawa, dan juga melepaskan sepatuku. Setelah itu aku berjalan ke arah tungku penanak nasi dan mulai memanaskannya.
"Bagaimana Dave?" tanya ibuku pelan, yang membuat hatiku semakin menjerit tidak karuan.
"Maaf Bu," ucapku mencoba berusaha setenang mungkin.
"... Ibu kasihan denganmu yang hanya makan nasi saja, harusnya sekarang kamu dalam masa pertumbuhan," ucap ibuku sambil keluar dari kamarnya. Aku terkejut dan berlari ke arah ibuku.
"Bu, tiduran saja. Kenapa harus sampai berdiri?" ucapku padanya lembut. Tangan kurus ibuku mengelus pipiku pelan dan lembut. Senyumnya terlihat hangat dari pipi tirusnya.
"Sampai sekarang, ibu belum pernah mendengar apa cita-citamu. Jadi ibu ingin mendengarnya sekarang," ucap ibuku. Aku menatapnya dalam diam, lalu tersenyum padanya.
"Baiklah, tunggu aku mematikan pemanas tungku dulu ya," jawabku.
Hari itu, aku dan ibuku saling bercengkrama hingga jam tidur. Aku memberitahunya mimpiku dan alasanku ingin sekolah waktu itu. Dan seperti yang kubayangkan, ibuku akan tersenyum sambil mendoakan agar mimpiku terwujud.
Malam itu, setelah ibuku tertidur, aku memakaikannya selimut yang biasa dia pakai. Raut wajahnya terlihat begitu tenang dan bahagia, ingin rasanya aku terjaga malam ini dan melihatnya sepuasku.
Tapi tentu saja aku tidak bisa. Aku harus tidur dan cari pekerjaan lagi besok.
Akupun keluar dari kamar ibuku, dan menutup pintunya perlahan. "Selamat tidur, ibu."
"Em, selamat pagi juga, Dave," balasnya yang mungkin hanya gumaman. Aku menutup pintunya rapat, dan pergi ke kamarku.
.
.
.
Namun aku tidak menyangka, bahwa malam itu ... adalah ucapan selamat paginya yang terakhir untukku.
Esoknya, ibuku telah tiada. Dia meninggal dalam tidurnya, dengan senyuman yang terukir di wajah cantiknya. Aku tidak tahu, apakah aku harus bersyukur karena ibuku sudah lepas dari penderitaan dunia, atau harus bersedih karena aku harus hidup di dunia ini seorang diri?
Bibi dan Lucy sudah lama menghilang dari kami sejak bertahun-tahun lalu. Aku ... tidak punya orang lagi untuk bersandar.
Padahal aku juga harus bingung bagaimana melakukan upacara pemakaman yang layak untuk ibuku. Aku tidak punya uang sedikitpun, bahkan untuk makan saja, nasi yang kugunakan adalah nasi bantuan dari pemerintah untuk masyarakat miskin.
Tapi untungnya, ada seorang pria yang baik hati. Dia bilang dia adalah seorang pendeta, dan dia mau membiayai pemakaman ibuku. Dia bahkan juga tidak masalah melakukan pemakaman sesuai dengan kepercayaan yang dianut kami.
Pemakaman berjalan seperti normalnya, hanya saja ... jemaah yang berkunjung sangat sedikit. Mungkin yang datang hanyalah orang lewat untuk berbela sungkawa, dan beberapa keluarga pria yang membiayai pemakaman ini.
Pemakaman ini usai, dan ibuku juga sudah mendapat tempat beristirahat yang baik. Hatiku terasa kosong setelah tahu bahwa aku akan kembali ke gubuk itu.
Gubuk tua yang hanya aku tempati seorang diri.
"Dave. Namamu Dave bukan?" Seorang anak laki-laki datang padaku sambil membawa 5 tangkai mawar merah dan 5 tangkai bunga krisan putih.
Aku menatap anak itu. Dia memakai kaos lengan pendek warna hitam, serta celana pendek hitam. Tubuhnya tidak lebih tinggi dariku, mungkin bisa kukatakan bahwa dia lebih muda.
"Benar ... kamu siapa?" tanyaku padanya.
"Ini, ayah menyuruhku untuk memberikannya padamu," ucapnya sambil menyodorkan seluruh bunga yang dia bawa padaku.
"Ayah? Terimakasih. Siapa ayahmu?" tanyaku sambil tersenyum dan menerima bunganya. Anak laki-laki itu menunjuk ke arah pria di belakangnya yang tersenyum menatapku.
Dia adalah pria yang membiayai pemakaman ibu.
Pria itu sudah punya anak?! Apa hubungannya dengan ibu?
Karena teringat pekerjaan ibuku sebelumnya, aku jadi berpikir negatif padanya. Tak lama kemudian pria itu berjalan ke arahku sambil merangkul pundak anaknya dengan lembut.
"Dave, bagaimana kabarmu selama ini?" tanya pria itu.
Aku menatap wajahnya dalam-dalam dan membaca matanya.
Tulus. Aku tidak merasakan niat lain di dalam matanya.
"Kabarku baik, seperti yang paman lihat," ucapku sekenanya. Pria itu kemudian mulai mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan sebuah foto padaku.
Aku mengambil foto itu, dan memperhatikannya. Di dalam sana, aku melihat seorang wanita yang mirip dengan ibu, begitu tersenyum bahagia dengan pria ini di sampingnya.
"Mikaera adalah saudariku. Adik kandungku," ucapnya yang membuatku terperangah. Kupikir keluarga dari ibuku sudah sepenuhnya mengabaikan kami.
"Dave, apa kamu mau tinggal bersama kami?" tanya paman itu sambil menatapku.
Greb.
Aku menatap ke arah anak laki-laki yang merupakan anak dari paman ini. Dia menggenggam tanganku dan menatapku penuh harap. "Aku ... mau seorang kakak," ucapnya padaku.
Aku terdiam dan berpikir. Perlahan aku melepaskan genggaman tangan anak kecil ini. "Saya ... akan memikirkannya dulu, terimakasih atas tawaran anda, paman," ucapku padanya. Setelah itu aku melihatnya menghela nafas, tapi dia tidak lanjut memaksaku. Dia hanya mengangguk dan mulai menggandeng tangan anaknya.
"Baiklah, aku akan mengunjungimu lagi dalam waktu dekat." Setelah mengatakan itu, dia berjalan pergi. Dan aku berjalan pulang.
Jalanan yang sama tapi perasaan yang asing. Rumah yang sama dengan perasaan yang berbeda. Bau rumah ini masih sama tapi rasanya bukan seperti rumahku dulu. Aku terduduk lemas di dinding tembok, dan mulai tertunduk lesu.
Apa yang harus kulakukan setelah ini? Apa yang harus kupilih?
Karena terlalu lelah dengan konflik batin yang kualami, aku tertidur pulas dengan posisi duduk.
***
"Hah? Sudah pagi?" Aku terbangun paksa saat mendengar suara ayam yang berkokok. Mataku langsung menatap sekeliling, hingga akhirnya mataku terpaku pada sebuah berkas coklat dia tas meja.
Aku membuka berkas coklat itu perlahan.
Apakah ini memang ada di sini? Sejak kapan ya? Karena aku biasanya pulang malam, aku jadi tidak memperhatikannya.
Di dalam berkas itu, ada sebuah kertas lama yang sudah berwarna putih tulang. Isinya adalah sebuah tulisan yang tidak asing bagiku.
Tulisan tangan ibuku.
Untuk Dave.
Setiap hari, ibu merasa bersalah melihatmu banting tulang mencari pekerjaan. Andai saja dulu ibu memilih pekerjaan yang benar, mungkin hidupmu tidak akan sesulit sekarang.
Mimpimu benar-benar indah, anakku. Membangun panti asuhan adalah mimpi terindah yang kudengar selama ini. Doaku selalu bersamamu, Dave.
Aku percaya kau akan mewujudkannya. Karena kau adalah anakku. Jika kau melihat surat ini, mungkin ibu sudah tiada. Jangan membenci dirimu atau menyalahkan dirimu sendiri.
Ibu tidak pernah menyesal punya anak sepertimu. Ibu harap kau juga tidak menyesal punya ibu seperti aku.
Jangan khawatir Dave, malam tidak akan ada selamanya. Pagi akan datang. Matahari cerah itu akan menyambutmu.
Dari Mikaera, ibumu.
***
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
mas kus
jalan yuk....
2022-10-08
1
kristella
Kasiann padal si riot ngantuk pengn tidur😭😭😭😭
2022-04-04
1