POV: Dave
"Paman paman! Bagaimana dengan gambarku ini?! Bukankah ini keren?! Aku menggambar robot!" Seorang anak laki-laki terlihat menarik-narik pelan celanaku. Di tangan satunya, dia membawa selembar kertas gambar dengan beberapa bentuk aneh di dalamnya.
"Benarkah? Aku ingin melihatnya," ucapku lalu berjongkok, bertatapan mata dengannya. Anak itu semakin antusias, dia menunjukkan gambarannya yang masih acak-acakan.
"Ini dia robot terkeren dan terkuat! Aku menaiki robot ini bersama paman Dave! Oh iya! Paman Alan yang membuat robotnya!" Dia menjelaskan padaku dengan begitu bahagia. Aku jadi ikut tersenyum, jadi ini yang dulu bibi rasakan saat membesarkanku.
Mungkin ibu juga merasakan ini sedikit terlambat.
Aku mengangkat tanganku, lalu mengusap lemput kepala kecilnya. "Benar, itu sangat keren! Kau harus bisa jadi seperti itu suatu hari nanti! Jangan lupa ajak aku naik ya!" ucapku sambil tersenyum. Dia mengangguk dengan semangat, lalu pergi untuk menunjukkan gambarnya pada anak-anak lain.
Aku kembali pada kesibukanku, yaitu menjemur baju.
Whuunggg!
"Hm?" Aku menatap langit, suara asing bagai mesin yang rusak, kian mendekat. Rona hitam di awan yang putih mulai menjadi lebih kuat, hingga dari balik awan, aku melihat sebuah roket yang jatuh.
Aku tidak terlalu peduli dan panik, karena setidaknya itu tidak jatuh di atas panti. Sepertinya agak mengarah ke Selatan.
DUUMM!
Suara benturan keras bagai bom yang meledak, bahkan membuat burung-burung terbang menjauh.
"HUEEEE! HUEEEE!"
DEG!
"Antonio!" Aku begitu kaget saat mendengar suara tangisan anak kecil. Seingatku, satu-satunya anak terkecil dan gampang menangis di sini hanya ada Antonio. Dengan segera aku meninggalkan pekerjaanku, berlari ke kamar mungilnya.
Brak!
"Ada apa?" tanyaku begitu membuka pintu. Di lantai, dia menangis sambil merangkak ke arahku.
"HUEEE! ATUT! ATUT! WUUU!" ucapnya dengan pelafalan yang tidak jelas. Aku segera menggendongnya dan berjalan keluar kamar.
Jadi dia ketakutan karena suara itu, memang suaranya cukup keras sih.
"Tenanglah, tidak apa-apa. Ada aku di sini. Bintang kecil tidak suka melihatmu menangis, apa kau mau membuat bintang kecil ikut sedih?" Aku teringat bahwa Antonio menyukai bintang di langit malam. Segera setelah aku mengucapkan kalimat itu, tangisannya menjadi lebih pelan.
"Jangan takut, aku dan bintang kecil akan selalu ada di sisimu. Suara itu tidak bisa melukaimu," ucapku lagi sambil menimang-nimang tubuhnya di gendonganku. Aku melihatnya yang mulai letih, perlahan dia tutup matanya, sepertinya dia mengantuk setelah menangis.
"Fyuh, untung saja berhasil," ucapku lirih. Aku hendak kembali masuk ke dalam panti, namun pandanganku tertuju pada kabut merah tebal yang terbang ke sini. Kabut itu seolah melahap semua yang ada di dalamnya, sangat pekat dan cepat.
"Apa itu?" Aku sedikit panik, aku mencoba berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Setelah meletakkan Antonio di kasur, aku segera menutup semua pintu dan jendela.
"Reza! Segera bilang ke anak lain untuk masuk ke dalam kamar!" ucapku pada anak tertua di sini. Dia sedang mengerjakan PRnya, setelah mendengarku, dia langsung berdiri dan berlari ke arah adik-adiknya.
"Heiii! Paman Dave bilang segera masuk kamar!" teriaknya yang bisa kudengar dari sini. Mataku kembali fokus ke luar jendela. Kabut merah itu semakin mendekat, membuat perasaan tidak enak ini melanda hatiku bagai badai.
WHUSS!
GRUDUK! GRUUDUK!
Asap ini sudah melahap panti, tapi asalnya belum masuk. Meskipun aku tidak yakin ini bisa bertahan lama. Mataku melihat ke arah atap yang mulai bocor. Serta beberapa lubang udara yang memang tidak bisa tertutup sempurna.
"Ya Tuhan ... ada apa ini?" gumamku sambil berdiri. Kuambil semua kain tidak terpakai, lalu aku basahi. Setelah itu aku menutup semua lubang yang tersisa dengan kain-kain itu.
Nyut!
DEG!
Sakit! Kepalaku sakit! Padahal aku hanya menghirup sedikit!
Kepalaku berdenyut seperti baru saja dihantam palu. Langkah kakiku mulai goyah, hingga membuatku terjatuh di lantai.
BRUK!
"Sial ..."
BRAK!
WHUSSS!
Aku menatap ke arah pintu belakang, kabut merah itu menerobos masuk seperti preman. Dengan segenap tenaga yang tersisa, aku berdiri. Kakiku berlari ke arah kabut itu. "Kenapa?!" Aku berteriak di dalamnya.
Samar-samar, kulihat sosok kecil yang tak sadarkan diri. Tergeletak di depan pintu yang terbuka. "... Laila?! Kenapa kau ada di sini?!" Aku hendak berjongkok dan menggendongnya, namun setelah aku berjongkok ... kakiku tidak bisa berdiri.
Aku sudah menghirup terlalu banyak kabut merah.
"..." Aku menatap sosok gadis kecil yang pucat. Hatiku rasanya begitu sakit, seperti teriris hingga keping terakhirnya. Di tengah kabut yang menerjang masuk, aku memutuskan untuk memeluk gadis itu, hingga kesadaranku juga menghilang.
.
.
.
Cuit cuit! KWAAK! KWAAK!
Deg deg.
"Hah?!" Suara burung gagak membuatku sadar. Aku mencoba bangun walau merasakan tubuhku sangat berat saat ini.
Tunggu ... berat?
Aku beralih melihat siapa yang ada di pelukanku. Tubuh kaku yang dingin dan pucat, serta burung gagak yang mencoba untuk mengambil beberapa cuil dagingnya.
Dia adalah Laila, yang sudah tiada.
"..." Saat itu, aku menangis. Mulutku terbuka, namun aku tidak bisa mengeluarkan suara. Leherku seperti dijepit oleh bongkahan besi besar, pundakku seperti ditusuk oleh pasak.
Aku meletakkan tubuhnya dengan gemetar, segenap tenaga yang tersisa aku kerahkan untuk menjelajah panti ini. Sebelum aku masuk ke kamar-kamar, aku melihat diriku di pantulan cermin yang ada di dinding.
"... Ini aku?" Sosok laki-laki kecil yang dulu memakai pakaian kumuh, kini aku hanya berlari dengan kaos besar tanpa celana.
Aku tidak peduli! Anak-anak! Bagaimana dengan anak-anak yang lain?!
Aku berlari lagi, tanganku membuka setiap pintu kamar yang ada. Namun ... justru setiap kamar yang aku periksa, membuatku semakin putusasa.
Di panti ini, tidak ada yang hidup selain aku.
...
Flashback, end.
***
POV: Ares
Aku mendengarnya, suara serak dan ringkih oleh sosok kecil di depanku. Sosok laki-laki yang pundaknya memikul beban yang telah rusak, dan sosok ayah yang telah kehilangan punggungnya.
"Setelah itu, aku menguburkan mereka semua. Aku lalu hanya bersantai di depan panti, meratapi takdir kejam dunia ini.
Hingga para anak-anak bajingan itu datang! Mereka memporak-porandakan panti ini dengan alasan mencari baju dan makanan!
Karena itulah aku menyerang mereka," ujar Dave dengan mata yang masih marah, namun dibasahi oleh air mata.
Greb!
"Eh?"
"Vani?" Kami bertiga terkejut, Vani tiba-tiba memegang kedua tangan Dave.
"... Kau pasti, sangat kesakitan, kan? Kau ... sudah ... menahannya dengan baik. Kau boleh melampiaskannya," ucap Vani sambil berusaha menahan senggukan tangisnya. Aku dan Ken saling bertatapan, lalu tersenyum.
Kamu berdua juga mendekat ke arah Dave. Ken merangkul pundaknya, dan aku menaruh tanganku di pucuk kepalanya.
"Pasti berat ya, kau boleh merasa lelah."
CRIING!
Aku membuat sebuah kain yang cukup tebal dengan ukuran sedang. Kain itu menutupi kepala Dave hingga punggungnya. Pasti lelah menghadapi semua kenyataan seorang diri, apalagi dia juga ditinggalkan oleh orang yang dia anggap keluarganya sekali lagi.
Kain itu bukan untuk mengusap air matanya, tapi untuk membiarkannya bersembunyi sejenak dari dunia.
Sreeett!
Beberapa sulur mawar mulai merambat ke sekitar kami. Sulur-sulur itu melingkari kami, dan memunculkan mawar merah yang sangat banyak. Indah dan harum, dari asal sulur ini, aku melihat Merlida yang sedang menangis.
Dunia ini memang kejam dan tidak sempurna, tapi semuanya bisa jadi indah jika dilalui bersama-sama.
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Brooww_Nisss
kasiannn anak" panti huhuuu
2023-03-28
0