POV: Dave
Ucapan selamat pagi yang waktu itu ibu ucapkan, bukanlah sebuah kata yang salah. Itu adalah doa untukku. Sebuah doa, yang mengharapkan hidupku bagai matahari terbit. Sebuah kata yang memaknai kegelapan akan berakhir, dan cahaya akan datang. Surat di atas kertas usang, itu kini kusimpan elok di dalam harta karunku.
Sudah lebih dari 10 tahun berlalu. Kini umurku sudah masuk kepala 2. Aku bersekolah hanya hingga jenjang SMA, begitu saja aku sudah sangat bersyukur karena pamanku mau menyekolahkan diriku. Dan hari ini, aku baru saja mau mewujudkan mimpiku.
"Akhirnya pembangunannya selesai! Kini rumah ini sudah layak ditinggali!" ucapku senang, menatap bangunan baru yang masih tercium bau semen.
Aku mendirikan sebuah panti asuhan.
Memang benar bahwa aku tidak punya cukup modal. Ini semua berkat Alan. Anak dari pamanku itu, kini semakin dekat denganku. Aku bekerja keras sambil bersekolah, dengan tujuan yang masih sama, yaitu membangun panti asuhan. Dan aku tidak menyangka, bahwa Alan punya ide yang cemerlang.
Dia memanfaatkan teknologi melalui sosial media, menggalang dana hingga uangnya tidak bisa kubayangkan jumlahnya. Berkat itu, pembangunan panti ini bisa diselesaikan.
Tempat yang kugunakan untuk membangun panti ini ... adalah rumah pertamaku dulu. Aku membelinya, dan membangun ulang. Karena aku berpikir, tempat ini akan selalu mengingatkanku pada ibu.
Tin tin!
Aku kaget, sontak aku menoleh ke belakang. Sebuah taksi berhenti, lalu menurunkan seorang remaja laki-laki yang lebih muda dariku. Kulihat terus siapa dia, dan tentu saja aku tidak menyangka bahwa itu adalah Alan.
"??? Kenapa kau ke sini? Kenapa kau membawa koper? Apa kau mau pergi ke luar negeri?" tanyaku bingung, tapi dia hanya menatapku sebentar lalu kembali menatap ke sopir taksi. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang dan memberikannya. Setelah itu barulah dia berjalan ke arahku.
"Apa maksudmu kak?! Tentu saja aku juga tinggal di sini!"
Aku langsung tak habis pikir.
"Hah? Kau bercanda?! Bukankah cita-citamu itu jadi dokter? Sana jadi mahasiswa!" usirku pelan. Tapi Alan malah tertawa, dia mengabaikanku dan berjalan masuk ke dalam rumah panti ini. Saat sampai di depan pintu, dia berhenti lalu menatapku.
"Sepertinya aku memang masih labil hehe, tapi sekarang yang kuinginkan bukanlah jadi dokter. Aku ingin mengurus panti ini bersama kakak!" ucapnya dengan senyuman lebar.
"Kau bercanda Alan? Hei ini masalah serius! Jangan membuat keputusan tergesa-gesa begini!" ucapku lagi, segera menyusulnya yang masuk ke dalam.
Di ruang tamu, Alan duduk di sofa usang sambil meletakkan kopernya di samping sofa. "Aku serius. Dan sebenarnya, cita-citaku bukanlah benar-benar jadi dokter.
Aku ingin menyelamatkan banyak manusia. Karena itu, dulu kupikir jadi dokter adalah hal yang tepat. Tapi setelah kulihat lagi ... korban yang butuh pertolongan bukanlah orang yang sakit.
Tapi anak-anak." Alan menatapku sendu, entah apa yang dia pikirkan.
"Bayangkan begini. Jika orang dewasa sakit, maka mereka tahu mereka harus berobat, mereka tahu bahwa mereka harus mengurus diri mereka.
Lalu bagaimana dengan anak-anak? Tentu kebanyakan orang dewasa bilang, sudah pasti orangtua mereka yang akan mengurusnya.
Iya jika mereka disayang. Jika tidak? Bukankah sama saja itu membiarkan anak-anak mati perlahan?
Ada anak yang hidup di gorong-gorong, ada yang hidup di gang kumuh, ada yang hidup di samping tempat sampah. Ada yang mencuri untuk hidup, ada yang mengemis merendahkan harga diri mereka untuk hidup, bahkan ada yang menjual dirinya hanya untuk sesuap nasi.
Sebenarnya siapa yang kejam? Benarkah itu dunia?
Atau itu hanya omong kosong orang dewasa yang menutup mata? Aku memikirkan hal ini berkali-kali. Hingga aku sampai pada sebuah kesimpulan.
Orang dewasa tidak akan bisa diperbaiki dengan mudah. Jika ingin memutus rantai sialan ini, aku harus mengubah pola pikir mereka sejak kecil!
Aku tidak mau menjadi guru karena aku akan dikontrol oleh para orang pemegang jabatan! Aku tidak mau jadi dokter karena aku hanya bisa campur tangan di luarnya saja!
Yang aku inginkan adalah memberikan mereka rumah, memberitahu mereka apa yang benar dan salah!
Dunia ini bisa menjadi lebih baik, kak. Aku yakin itu. Tujuan kakak sudah benar, dan aku juga ingin mengikuti jalan yang sudah kakak buat! Hehe!" Penjelasan panjang dari Alan membuatku terdiam. Aku tidak menyangka anak yang beberapa tahun lebih muda dariku, sudah memikirkan hal sedalam ini.
Atau memang aku saja yang bodoh ya? Ah sudahlah!
"... Kalau begitu terserah apa maumu. Jangan mengeluh nanti!" peringatku padanya. Setelah itu aku membawa masuk barangku sendiri, membiarkannya girang di ruang tamu.
Begitulah waktu berlalu, panti asuhan kami mulai mencari anak yang membutuhkan bantuan, dan menampung mereka. Meskipun memang kami mempunyai uang atas donasi, tapi aku merasa tidak bisa mengandalkan hal itu saja. Jadi aku tetap bekerja.
Dan intuisiku benar. 5 tahun setelahnya, kami mulai kekurangan dana. Pekerjaanku sudah tidak mampu menyanggupi kebutuhan anak-anak ini. Para donatur yang dulu memberikan sumbangsih juga mulai berhenti melakukannya.
"... Kak Dave, sepertinya aku akan cari kerja di ibukota," ucap Alan tiba-tiba. Aku yang sedang menyusui anak paling kecil dengan dot, langsung kaget. Ibukota adalah tempat yang jauh dari daerah pinggiran seperti kita.
"... Jangan, tidak usah. Bagaimana jika kau membuat konten kreator saja? Kau bisa melakukan pekerjaan itu dari sini bukan? Aku tidak tega membiarkanmu bekerja di tempat yang jauh," ucapku khawatir padanya. Tanganku tak henti-hentinya menimang anak di pelukanku. Raut wajah Alan berubah, dia tersenyum sendu seperti dulu.
Ah, aku tidak suka hal ini. Dia pasti akan mengatakan sebuah hal yang membuatku tidak bisa menolaknya lagi.
"Kak Dave, kakak sudah bekerja keras selama ini. Kakak tidak berhenti bekerja dan selalu mengutamakan para malaikat kecil kita. Seharusnya aku juga mencari kerja sejak dulu, rasanya aku jadi sedikit menyesal karena terlalu mengandalkan uang donasi untuk membiayai hidup mereka.
Karena itu, jangan khawatir kak. Aku akan mencari kerja di ibukota. Aku yakin setidaknya gaji di sana akan lebih besar," ucapnya terus terang. Aku diam dan menimbang-nimbang perkataannya. Rasanya sulit bagi hatiku untuk melepasnya pergi ke tempat yang jauh itu. Tapi di sisi lain, aku juga tidak punya cukup uang membiayai anak-anak ini.
Sedikitpun aku tidak mau mereka kekurangan makanan dan kasih sayang.
"... Baiklah, tapi kau harus janji. Jika ada sesuatu yang sulit, kau harus menghubungiku. Dan jika kau lelah, kembalilah kapanpun ke sini. Kau tahu aku akan selalu menyambutmu kan?" ucapku pada akhirnya, terus mengalah padanya. Alan tersenyum lebar, hingga aku bisa melihat jejeran gigi rapinya yang putih.
"Terimakasih kak!"
"Kapan kau akan berangkat?" tanyaku mengalihkan topik. Aku tidak ingin berlarut dalam kesedihan ini.
"Mungkin besok, aku harus berangkat secepatnya. Tapi aku harus menyiapkan keperluannya dulu," jawabnya sambil melipat baju cucian yang telah kering. Aku mengangguk paham, tanganku kemudian meletakkan anak kecil yang tadi kugendong ke atas kasur. Dia sudah tertidur pulas.
"Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu?" tanyaku sambil menatapnya. Seperti biasa, dia menggelengkan kepalanya.
"Ehem, aku bisa sendiri! Kakak tahu aku itu mandiri bukan?" jawabnya dengan percaya diri. Ya, aku tahu. Aku tahu kau adalah anak yang mandiri. Sejak dulu maupun sekarang, kau adalah anak yang baik.
Justru karena itu, aku jadi lebih menyesali kenapa aku merestuimu untuk mencari kerja di ibukota.
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
mas kus
hah... seru juga...
2022-10-08
1
«Brooke X»
Aaaaa ini suasana yang mengerikan
2022-04-04
3
Jun!!!
Sadisnya 😄
2022-04-04
1