"Hallo, ya Ayah." "Kau pasti baru bangun tidur, Princess." Shanum tertawa pelan mendengar ucapan ayahnya Dia memang dibangunkan oleh suara bunyi panggilan pada ponselnya pagi itu. Shanum memperbaiki cengkeramannya di gagang ponsel dan menyandar pada tumpukan bantal di tempat tidur. Dia merindukan ayah dan ibunya.
"Bagaimana kabar Ayah dan Ibu?" "Lebih baik, karena sekarang dapat mendengar suaramu, Princess. Bagaimana keadaanmu di rumah Khan. Apa saja yang kalian lakukan?"
Shanum menceritakan kegiatannya selama tinggal di rumah Khan bersama kedua sahabatnya, dan melewatkan bagian-bagian tentang hubungan rumitnya dengan pria itu. "Pria itu sangat baik Ayah. Dia tidak keberatan kami mengacak-acak mansion mewahnya." Shanum bercerita sambil tertawa geli. "Jangan menyusahkan orang lain. Dia sudah begitu baik menyelamatkan dirimu dan membiarkan kalian tinggal di rumahnya. Dan sampai kapan kalian tinggal di sana?"
"Tidak Ayah, dia tidak merasa direpotkan. Kami di sini sangat dilayani dengan baik. Ayah tidak perlu khawatir, kami baik-baik saja. Untuk sampai kapan kami tinggal di sini, aku belum tahu Ayah. Khan memperbolehkan kami tinggal sampai kami merasa bosan."
"Apa maksudmu sampai kalian bosan. Pria itu tidak punya maksud tertentu pada salah satu dari kalian kan, Shanum." Ayah mengucapkan kata-kata penuh selidiknya seperti biasanya. Shanum tampak menelan ludahnya, memang susah berbohong pada ayah. "Em, tentang masalah itu Shanum tidak tahu Ayah. Pria itu terlihat sopan dan tidak berusaha mendekati kami. Dia orang yang sibuk Ayah, kami jarang bertemu dengannya," ucap Shanum dengan suara tenang.
"Kau yakin, jangan sampai Ayah menemukan hal yang sebaliknya ya." Shanum semakin gugup, untung saja ayah tidak memakai Vicall dalam pembicaraan mereka kali ini, jika tidak pasti ayah akan bisa melihat wajahnya yang pucat menahan kegugupan, karena telah berbohong.
"Ayah maaf, Shanum harus ke kamar mandi dulu ya. Ada panggilan alam ke toilet Ayah." "Oke, kalau begitu Ayah tutup dulu ya. Segera ke toilet ya, baunya sudah tercium sampai sini tuh. Bye, Princess." Ayah lalu terkekeh sambil menutup sambungan teleponnya.
Shanum menghela napasnya. Dia merasa lega percakapan itu sudah selesai. Namun rasa bersalah tetap memenuhi hatinya, ia sudah menghindar dan berbohong pada ayahnya. Dia menutupi hubungannya dengan Khan dari orang tuanya.
Shanum begitu menyayangi dan merindukan keduanya sampai dadanya terasa sakit. Namun gadis itu belum siap berterus terang soal Khan. Shanum tetap duduk di tempat tidur dalam keheningan, berpikir segalanya terasa memusingkan. Dia memikirkannya selama beberapa menit, lalu gadis itu tersenyum saat teringat ucapan terakhir Khan Adrian, "Kita akan mengatasinya bersama."
Lalu. Shanum segera tersadar dari lamunannya, dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Dia harus bersiap-siap menghadapi pertemuannya setelah sarapan dengan Khan. Gadis itu merasa bahagia, Khan telah membuat dirinya merasa bagai di awang-awang.
Shanum keluar dari kamar tidur, berjalan menyusuri koridor ke arah ruang sarapan. Dia berhenti di ambang pintu, matanya terpaku pada punggung Khan sementara dia berdiri di depan jendela dan memandang pemandangan taman di luar ruangan itu.
Tidak ada orang lain di ruang makan, kedua sahabatnya belum terlihat, begitu juga dengan Dario dan Taban. Sedang Ibu Khan, sudah kembali ke kotanya. Ada hal mendesak yang harus diurusnya. Begitu informasi yang Shanum dapatkan dari Dario kemarin.
Debar jantung Shanum semakin cepat. Bayangannya menunjukkan bahwa pria itu sedang berpikir. Matanya menerawang dan mulutnya muram. Posisi tubuhnya yang bersedekap menunjukkan keresahan, seolah-olah dia sedang kebingungan. Dia terlihat menjaga jarak dan jauh, pria yang sendirian.
Khan merasakan kehadiran Shanum, atau mungkin dia merasakan koneksi di antara mereka. Dia berputar, lalu bergeming. Shanum mengambil kesempatan itu untuk mengamatinya, matanya menjelajahinya. Pria itu terlihat sangat berkuasa.
Sangat tampan, dan sensual sampai matanya terasa perih hanya dengan melihatnya. Rambut hitam yang membingkai wajahnya membuat jemarinya meregang karena ingin menyentuhnya. Dan cara pria itu menatap Shanum, membuat denyut nadi gadis itu melonjak.
"Shasha." Khan menghampirinya, langkahnya anggun dan kuat. Pria itu meraih tangan Shanum dan mengangkatnya ke mulut. Tatapannya sangat tajam dan panas, sangat awas. Rasa bibirnya di kulit Shanum membuat lengannya merinding dan membangkitkan sesuatu bergejolak di dalam dadanya.
"Hai. Kau sudah boleh turun dari tempat tidur." Kilatan geli menghangatkan mata Khan. "Hai juga. Aku sangat kuat, kenyataannya tubuhku berbeda dengan manusia pada umumnya. Kau terlihat luar biasa pagi ini, Shasha." Shanum mendesah senang mendengar pujian itu.
"Bagaimana jika kita langsung saja. Aku sudah sangat lapar," ucap Shanum. Khan mengerdipkan mata ke arah Shanum--yang memberitahukannya bahwa kata-katanya bermakna ganda. Seorang pria dapat salah persepsi atas ucapannya itu.
Tiba-tiba Shanum mendengar suara terkekeh keras dari arah pintu. Ternyata kedua sahabatnya, Taban dan Dario sudah bergerombol di depan pintu. Mereka menguping pembicaraan, dan melihat ke arah keduanya dengan pandangan 'kalian tertangkap basah'.
Shanum merasa wajahnya memanas, mereka pasti sudah berpikir yang tidak-tidak tentang dia dan Khan. Pria itu nampak tidak peduli, ia lalu menarik Shanum, menggandengnya ke arah meja makan. Menarik bangku, dan mendudukkan Shanum di sana. Kemudian dia sendiri duduk di sebelah gadis itu.
Kedua sahabat Shanum, Taban dan Dario telah duduk di bangku pilihan mereka masing-masing. Khan bertanya apa yang ingin Shanum makan terlebih dahulu, lalu ia mulai melayani Shanum dengan mengambilkan makanan yang diucapkan gadis itu.
Taban dan Diva tampak melongo. Farah tersenyum smirk, dan Dario hanya tersenyum tipis. Farah dan Dario sepertinya telah mengerti tentang kedekatan mereka. Sepanjang waktu sarapan itu Shanum tampak sulit menelan makanannya. Bagaimana dia bisa mencerna makanannya, jika di sampingnya tampak pria tampan yang tak pernah lepas menatapnya dan sibuk melayaninya. Shanum seakan-akan ingin kabur dari sana dan bersembunyi di suatu tempat.
"Astaga, Sir. Sudah cukup kau menyiksa sahabatku itu. Tidakkah kau lihat wajahnya sudah memerah dari tadi karena malu. Kau membuatnya tidak nyaman sepanjang waktu sarapan ini," sindir Farah sambil menghentakkan gelasnya di meja.
Khan mengerutkan keningnya, dia langsung menoleh ke samping, pria itu memperhatikan wajah Shanum dengan seksama. "Betulkah, Shasha. Kau tidak suka dengan perlakuanku?" tanya Khan. Shanum tampak gugup, dia bergerak-gerak gelisah di bangkunya. "Maafkan aku, aku berbuat salah lagi ya. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau berharga untukku." Khan mengusap wajahnya, tampak menyesal.
Shanum merasa tidak enak, dia memberanikan diri untuk meraih tangan pria itu di atas meja. Dia menggelengkan kepalanya. "Aku hanya tidak terbiasa dengan ini," kata gadis itu lirih. Pria itu balas menggenggam erat tangan Shanum. "Baiklah, aku berjanji tidak akan membuatmu malu lagi."
Khan lalu menoleh kepada orang-orang yang berada di meja makan itu dan berkata, "Aku ingin mengatakan sesuatu pada kalian. Shanum dan aku sedang mencoba menjalin suatu hubungan, yang berarti kami sekarang adalah sepasang kekasih." Keempatnya memiliki reaksi yang berbeda-beda. Diva terkesiap, dan Farah mengernyitkan keningnya. Sedang Dario dan Taban hanya menatap penuh rasa ingin tahu ke arah Shanum.
Acara sarapan pagi itu berakhir dengan suasana yang aneh. Ruangan terasa hening sesaat setelah Khan mengumumkan hubungan mereka. Tidak ada yang berani bercakap-cakap lebih lanjut. Setelah Shanum selesai dengan sarapannya, Khan segera membawa Shanum ke ruang pribadinya. Menurut Khan, banyak yang harus mereka bicarakan dari hati ke hati. Khan membawanya ke ruang kerja tempat terakhir mereka bersiteru.
Khan menuju salah satu rak buku, menarik salah satu buku. Dan terlihat ada suatu tuas di balik buku itu. Dia memutar tuas, kemudian rak tersebut terbelah, membuka. Muncul pintu lain di balik rak yang terbuka tadi. Khan menempelkan telapak tangannya, dan pintu di buka olehnya.
Shanum memperhatikan perilaku Khan dalam diam, dia sudah tidak merasa asing lagi. Mansion ini memang menyimpan banyak misteri yang belum dapat dikupasnya satu persatu, tapi dia sudah dapat menerkanya. Pria itu lalu menarik tangan Shanum untuk mengikutinya masuk ke sesuatu di balik pintu itu.
Khan adalah seorang pejuang sepanjang hidupnya. Seorang pemimpin klan yang akan memastikan kesejahteraan untuk seluruh pengikut setianya. Dia akan mengambil apa yang ditawarkan dan terkadang tidak memperdulikan konsekuensinya. Seperti saat ia menerima cinta Sarnai, dia akan terus maju meski seluruh dunia menentangnya.
Hanya Sarnai yang bisa membuatnya berhenti. Jika tidak atas permintaan wanita itu, Khan tidak akan pernah meninggalkannya. Pria itu akan selalu menjaga komitmen yang sudah ditetapkannya di dalam hati. Dan apa yang diinginkannya saat ini adalah Shanum Qamira. Masalah yang lain terkait kedekatan mereka akan diselesaikannya satu persatu.
Khan tidak dapat berkelit lagi, dia merasakan sesuatu pada gadis itu. Dia sudah mulai mencurigainya saat melihat Shanum menjadi sasaran anak panah saat peristiwa tempo hari. Jantungnya terasa berhenti berdetak saat itu juga. Secara otomatis dia melindungi Shanum dengan seluruh kekuatannya. Meski Sarnai masih tetap membayanginya, ia kini mulai sadar perasaannya terhadap Sarnai telah memudar, menjadi hanya tinggal rasa bersalah.
Apalagi setelah dia mendengar dari Ulagan soal wanita itu yang menghilang tanpa jejak. Terbunuhnya seluruh keluarganya dalam kebakaran. Dan mimpi yang dialaminya saat dia koma. Ketika Khan terbangun dalam pelukan Shanum, ia sempat merasa telah mengkhianati Sarnai, dan malu terhadap Shanum. Gadis itu melihat posisinya yang rapuh dan terbuka saat itu. Secara tidak sadar dia menghindar, untuk menutupinya.
Khan masih ingat pandangan sedih serta terpukul di wajah gadis itu saat itu, dan ia merasakan sesuatu terasa memukul wajahnya. Apalagi saat gadis itu berkata dia akan pergi, untuk kembali ke negaranya. Khan yakin sebagian nyawanya dicabut paksa dari tubuhnya, rasa sakitnya sungguh luar biasa. Dia tidak terima jika gadis itu pergi meninggalkannya, dia tidak akan pernah bisa merelakannya.
"Duduklah, Shasha. Jangan takut aku hanya ingin kita memiliki Privacy." Pria itu lalu menarik bangkunya dan duduk berhadapan dengan Shanum. Pria itu menatap Shanum dan tersenyum gugup. "Ada apa Adri?" tanya Shanum. "Aku ingin mengatakan yang sejujurnya tentang diriku. Apakah kau bersedia untuk mendengarkannya?"
"Aku mau, dan akan mendengarkannya. Kalau tidak, aku tidak akan berada di sini sekarang." Pria itu mengangguk dan menelan ludah dengan susah payah. Pria itu menarik telapak tangan Shanum dan mengusapnya. "Aku memiliki banyak rahasia, Shasha. Rahasia yang mungkin akan membuatmu takut." Pria itu menarik napas dalam-dalam sebelum mulai kembali berbicara.
"Aku dilahirkan enam ratus tiga puluh lima tahun yang lalu. Aku sudah melihat banyak perubahan peradaban manusia. Bagaimana kehidupan berjalan setiap tahunnya sungguh tantangan yang luar biasa. Aku merupakan pemimpin tertinggi di klanku, namanya Klan Altan. Aku memimpin klan ini sejak ayahku wafat enam ratus tahun yang lalu. "
Pria itu lalu terdiam, tampak memilih kata-katanya. "Aku bukan manusia biasa Shasha, kami memiliki banyak perbedaan dengan manusia pada umumnya. Ada yang menyebut hal itu mukjizat, namun ada juga yang mengatakannya sebagai kutukan. Kami bisa mati, jika waktunya telah tiba. Namun metabolisme tubuh kami sangat berbeda. Kami tidak mudah menua, mudah sembuh dari luka dan tidak mudah sakit. Kami tidak pernah mempermasalahkannya. Kami berusaha hidup sebaik-baiknya selama waktu yang telah digariskan."
Khan melihat reaksi Shanum yang tampak terpana. Telapak tangan gadis itu bergetar dalam genggamannya dan terasa sangat dingin. Kemudian pria itu menarik telapak tangan Shanum ke bibirnya lalu mengecupnya. Shanum tersentak, mendadak dia menjadi hangat. "Tapi aku dapat meyakinkanmu, bahwa aku tidak akan pernah menyakitimu. Jadi, jangan takut kepadaku, Shasha." Khan tersenyum teduh ke arah gadis itu.
Suasana kembali mencair dengan adanya kata-kata itu, Shanum tidak lagi merasa takut serta gugup. "Jadi maksudmu, aku berpacaran dengan kakek tua begitu, astaga..." Shanum pura-pura kaget. Bibir Khan mulai bergerak-gerak, lalu dia terkekeh geli mendengar ucapan Shanum. "Yah, kau mendapatkan pria tua ini." Dia menggoda gadis itu.
Shanum menggigit bibirnya, dia ingin ikut tertawa bersama pria itu, tapi menahannya. "Jangan menggodaku, Shasha. Teruslah kau gigit bibirmu itu, dan kau bisa lihat apa yang akan terjadi," Khan memperingatkan, sambil menatap serius ke arah gadis itu. Shanum mendengus. "Coba saja kalau berani," tantangnya. Mata Khan langsung berkilat, dia tidak bisa menolak sebuah tantangan yang dikibarkan di hadapannya secara terang-terangan. "Kau yakin," ucap pria itu memastikan.
Shanum tersenyum smirk ke arah pria itu. Lalu tanpa diduga, gadis itu menarik tangan Khan, dan menyentuhkan telapak tangan pria itu di sepanjang pipinya yang halus. "Shasha." Pria itu mendesah, ketegangan keras menguap dari tubuhnya seiring hembusan napas frustasi itu. "Kau bermain curang," ucapnya serak. Shanum tersenyum manis tanpa rasa bersalah.
"Ayo lanjutkan ceritamu, Adri." Pria itu kembali menarik napasnya, dia tetap tersenyum meski tubuhnya masih bergetar. "Sampai di mana aku tadi?" "Em, sampai berusaha hidup sebaik-baiknya." "Oke, selain itu ada beberapa dari kami yang memiliki kekuatan lebih." "Seperti cahaya merah yang keluar dari tubuhmu tempo hari?" potong Shanum. "Yah, itu salah satunya."
"Jadi tidak cuma itu." Khan menggelengkan kepalanya. "Apa saja kekuatanmu?" tanya Shanum penasaran. "Aku bisa membaca pikiran, membuka portal ke tempat lain, merubah cuaca, berbicara dengan binatang, dan hal lainnya." "Wow, berarti kau bisa membaca pikiranku."
"Sayangnya aku tidak bisa." "Tidak bisa? Mengapa?" tanya Shanum heran. "Aku tidak tahu. Mungkin karena kau memiliki kekuatan yang melindungi di dalam dirimu, Shasha. Biasanya aku tidak bisa membaca pikiran seseorang yang memiliki kekuatan juga, mereka dapat memasang tameng agar tidak ada yang bisa memasuki pikiran mereka. Kalau boleh aku tahu, sejak kapan kau memilikinya?"
Shanum melemparkan tatapan lembut ke arah Khan yang membuat pria itu tersenyum. Rasanya menyenangkan bisa sering tersenyum. Rasanya menyenangkan bersama Shanum, Khan merasa sangat bahagia sejak bertemu gadis itu. "Aku memilikinya sejak lahir, orang tuaku mengatakan aku menangis sambil bercahaya saat dilahirkan. Sampai-sampai Bidan yang membantu kelahiranku lari ketakutan."
"Betulkah?" tanya Khan heran. "Iya, lalu aku juga memiliki tanda kelopak bunga ini di telapak tanganku." Shanum memperlihatkan tanda lahirnya itu kepada Khan. Pria itu tampak mengerutkan keningnya.
"Aku sepertinya pernah melihat tanda itu, tapi di mana ya?" Pria itu berusaha mengingat-ingat. "Kau pernah melihat ada yang memiliki tanda yang sama seperti ini. Coba katakan padaku, Adri." Shanum terlihat bersemangat. "Maaf, aku lupa. Aku akan mengatakan padamu jika ingat ya," jawab Khan. Shanum tampak kecewa.
"Hei, aku janji akan berusaha mengingatnya, oke." Khan mengusap rambut gadis itu. "Adri...boleh aku juga berterus terang padamu." Mata Khan menyipit sementara dia menatap Shanum, menilai dan mempertimbangkan kembali situasi yang ada.
"Apakah ada yang kau sembunyikan dariku? Tentang pria lain, mungkin?" Shanum mengerucutkan bibirnya dengan manis, "Sedang menunjukkan tanda-tanda bersikap posesif, Adri." Pria itu mendengus. "Tidak, aku hanya bertanya."
Shanum mendekati pria itu dan menatapnya dalam. "Kau pria pertamaku, Adri. Aku tidak pernah memiliki kekasih sebelumnya." Khan terpaku diam, tatapan pria itu tampak takjub. "Kau yakin berasal dari masa kini Shanum. Aku sangsi kau masih berusia dua puluh tahun," goda Khan. Shanum memukul pundak pria itu sambil cemberut.
"Enak saja, aku berusia dua puluh dua tahun. Dan itu asli bukan palsu. Aku juga berasal dari masa kini. Bukan sepertimu Pak Tua, produk zaman prasejarah," ledek Shanum sambil menjulurkan lidahnya ke arah Khan. "Aku tidak setua itu Shasha, zaman prasejarah itu jauh lebih tua dari masaku," koreksi Khan sambil tersenyum geli.
"Omong-omong, boleh dilanjutkan lagi rahasia yang tadi mau kau ungkapkan itu, Shasha." Shanum teringat ucapannya tadi, lalu wajahnya kembali terlihat tegang. Gadis itu bangun dari bangkunya. Dan berjalan menuju salah satu meja yang terdapat di ruangan itu. Dia membalikkan tubuhnya, dan menyandar pada meja tersebut.
"Aku sebenarnya pernah memimpikanmu Khan. Aku sudah pernah bercerita sebelumnya kan. Tapi saat itu kau langsung marah, jadi aku urung menjelaskan versi lengkapnya kepadamu. Sekarang aku akan mengatakan semuanya."
Lalu Shanum mulai menceritakan semua mimpi-mimpinya sejak awal sampai yang terbaru. Khan mendengarkan dengan serius, tampak kerutan di keningnya. Setelah Shanum selesai, Khan menghampiri gadis itu, lalu memeluknya. "Kau sangat berani, Shasha. Sangat kuat dan jujur. Kau adalah keajaiban. Keajaibanku." Khan membisikkan kata-katanya di telinga Shanum.
"Kau percaya kepada ceritaku?" Shanum menarik lepas pelukan Khan seraya menatap pria itu. "Aku percaya, meski aku tidak mengerti mengapa kau bisa bermimpi tentang Sarnai dan tentang aku. Karena kau berada di negara dan zaman yang berbeda dengan kami."
Shanum membelai alis pria itu yang berkerut dengan ibu jari. "Awalnya aku ragu mengatakan padamu, Adri. Ku harap kau tidak pernah tahu." Ia menangkap tangan gadis itu dan menempelkan jemarinya ke bibirnya. "Aku harus tahu semuanya, setiap bagian dirimu, luar-dalam, setiap detailnya."
"Huss, kau belum menjadi suamiku. Tidak boleh seperti itu. Lagi pula seorang wanita harus memiliki rahasia," goda Shanum sambil tersipu malu. "Kau tidak boleh memiliki rahasia bersamaku. Aku akan memilikimu, Shasha. Itu adil karena kau juga telah memilikiku."
"Dan bagaimana dengan rahasia-rahasiamu, Adri?" Wajahnya berubah menjadi topeng yang datar, tindakan yang dilakukan dengan begitu mudah, sampai Shanum bisa menebak bahwa itu sudah menjadi kebiasaannya. "Aku sudah menceritakan rahasiaku. Semua yang kukira adalah diriku, semua yang kukira kubutuhkan..."
Shanum menggeleng. "Kita akan mencari tahu siapa aku sebenarnya bersama-sama. Kau adalah satu-satunya orang yang tahu siapa diriku."
"Tapi aku tidak tahu, Adri. Tidak juga. Aku sedang berusaha mengenalmu, mempelajarinya sedikit demi sedikit, tetapi kau masih tetap merupakan misteri besar bagiku," ungkap Shanum. "Shasha... Kau bisa menanyakannya. Katakan apa yang ingin kau ketahui tentangku--" Khan menelan ludahnya dan tampak tersenyum tipis. "Aku akan berusaha jujur padamu. Hanya saja jangan...jangan pernah lepaskan aku," ucapnya sambil menatap Shanum dengan pandangan putus asa.
Shanum terpaku. "Pria ini-- dia bisa menghancurkanku dengan mudah. Beberapa patah kata, tatapan putus asa, dan aku pun langsung terluka," ungkap batin Shanum. Dia menyentuh wajah pria itu, rambutnya, bahunya. Khan tetap tidak bergeming dari tempatnya, pria itu menutup matanya. Merasakan setiap sentuhan yang Shanum lakukan. Shanum tersenyum sedih, pria ini pernah terluka, dan dia dapat merasakan betapa dalam rasa itu menghancurkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments