Shanum terpaku menatap kedua bola mata coklat keemasan yang memandangnya tanpa jeda, ia merasa tersihir oleh kedalamannya. Lalu sepercik kepedihan melintas di sekelebatan pandangan pria itu. Namun cuma sebentar, nyaris tak terlihat, setelahnya yang muncul adalah tatapan dingin membekukan itu kembali.
Tanpa sadar Shanum mengetatkan pelukannya, rasa ingin merengkuh pria ini dan menghiburnya tak dapat terelakkan. Seakan-akan dia dituntun tangan tak kasat mata untuk merangkul pria itu dalam dekapan hangatnya. Shanum juga baru tahu, jika sebuah tatapan mata bisa memperlihatkan banyak rasa, dan itu bisa terjadi hanya dalam satu tatapan singkat.
Suara deham dan batuk-batuk dari arah samping memutuskan koneksi yang terjadi pada keduanya. Mereka sontak melepaskan pelukan. Pria itu tampak menarik napas panjang, seakan-akan hal tadi membuatnya harus menahan napas. "Well--maaf Sir, kita masih ada janji lagi setelah ini. Dan Anda juga menghalangi pintu." Seorang pria berkaca mata melihat ke arah pria itu, tampak meringis, dan merasa bersalah telah mengganggu situasi di antara keduanya.
"Tunggu sebentar!" jawab pria itu dengan suara tegasnya. Kemudian dia menoleh ke arah Shanum. "Sebutkan namamu?" Ia bertanya dengan gaya arogan seorang Alfa. Shanum tampak menelan ludah dengan susah payah dan mengucapkan namanya, "Shanum." Suaranya terdengar serak dan ragu-ragu.
Pria itu mengulas sebentuk senyum sangat tipis di bibirnya, senyum yang tidak akan terlihat jika Shanum tidak memperhatikan bibir pria itu. Bibir yang sangat ranum dan memerah hingga seorang wanita hanya perlu sekali melihatnya untuk selamanya berfantasi tentang pemilik bibir itu. "Astaga, kau mulai melantur Shanum," ungkap batinnya.
"Sha--num..." Pria itu melafalkan namanya dengan aneh. "Sepertinya kau selalu tertarik untuk menuju kepelukanku," ucapnya. Shanum melongo, "Apakah itu rayuan? Tapi masa iya, pria sedingin ini merayunya? Ah--tidak mungkin, pasti dia salah dengar," katanya dalam hati. Shanum berharap saat ini pipinya tidak semerah yang ia rasakan.
Kemudian Shanum bergeser ke samping untuk menutupi kegugupannya. Pria itu tidak berkata apa-apa lagi, ia mulai bergerak keluar, diiringi oleh pria berkacamata tadi dan satu orang pria lain.
Gadis itu masih terpaku, hingga pintu perlahan tertutup di hadapannya. Dia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, mencubit dirinya sendiri, lalu meringis sakit. Ternyata dia tidak bermimpi, kejadian tadi... Oh Tuhan...ingin rasanya dia melompat karena bahagia.
Keempat orang yang sedang duduk di pojok itu memperhatikan Shanum dengan berbagai ekspresi, ada yang geli, melongo, dan mengerutkan kening. Diva melambai-lambaikan tangannya saat Shanum menghampiri mereka.
"Habis sudah, aku pasti akan jadi korban ledekan mereka," katanya dalam hati. Lalu Shanum mendekati bangkunya, langsung duduk, mengambil kopi pesanannya tadi, dan menyeruputnya sambil berpura-pura bertingkah tidak ada sesuatu pun yang terjadi.
"Jadi Sha, bagaimana rasanya di peluk lagi sama pria kulkas itu? Masih tetap dingin, apa sudah berubah menjadi hangat?" Farah tersenyum usil. Shanum kontan terbatuk-batuk, tersedak kopi yang sedang dia minum. Kopi itu tiba-tiba sebagian berubah arah jadi masuk ke hidungnya. Diva tampak menyipitkan matanya, menatap ke arah kedua sahabatnya.
"Tunggu, ada sesuatu yang kulewatkan di sini. Kau sudah pernah bertemu pria itu?" tanya Diva. Shanum menganggukkan kepalanya sambil meringis. "Bertemu pria tampan seperti Oppa Korea itu, dan aku tidak di beri tahu!" Diva tampak geram, mulutnya merengut. Shanum masih berusaha menguasai rasa perih di hidungnya akibat tersedak. Ia mengusap mulutnya, dan menarik napas dalam.
"Kau...bagaimana kau tahu kalau pria itu yang kuceritakan saat itu?" Shanum tampak bingung melihat Farah bisa menebaknya dengan tepat. "Itu sih kecil." Dia menjentikkan jari kelingkingnya dengan penuh kesombongan. "Dari wajahmu tadi aku langsung tahu, Sha. Kamu itu tidak pernah terlihat terpesona dan segugup itu di hadapan seorang pria mana pun. Dari yang tampan bak dewa sampai yang keriput seperti Aki Ujang, penjaga kampus kita."
Shanum langsung memutar bola matanya. Sungguh perbandingan yang absurd dari seorang Farah. Tim dan Ula tampak mengerutkan keningnya. Sedang Farah masih tersenyum geli sendiri. "Bicara tuh yang benar, kedua orang di depan kita itu jadi bingung. Mereka mana tahu siapa Aki Ujang. Lihat tuh wajah mereka, Oh My God..." Diva tampak terkikik geli sambil memegangi perutnya.
"Astaga, gara-gara Farah nih, bayangan sosok Aki Ujang jadi muncul di pelupuk mata. Wajah tirus keriputnya, dan tubuh kurus keringnya." Shanum mencoba menutup mulutnya, menahan tawanya. "Sudah ah-- jangan tertawa terus, Tim dan Ula nanti cepat tua dari tadi keningnya berkerut terus. Kita pesan lagi saja ya." Farah lalu memanggil pelayan, meminta buku menu.
Tim dan Ula hanya mesem-mesem sendiri melihat tingkah polah ketiga gadis itu. "Eh, Tim--Ula, makanan camilan yang enak apa ya? Ada ide?" Tim melihat buku menu yang disodorkan Farah. "Em, kalian mau yang gurih apa yang manis?" tanya Tim. "Apa saja yang penting enak," jawab Farah dan Diva serempak. "Kalau kamu pilih apa?" Tim menatap Shanum, menunggu jawabannya. "Aku mau yang manis saja." jawab Shanum.
"Ciee...yang habis dapat pelukan manis, maunya merasakan yang manis-manis terus, awas diabetes lho," ledek Diva. "Memang manis ya rasa pelukannya Sha, bukannya dingin," celetuk Farah.
Shanum tampak tersenyum malu dan pasrah menerima ledekan kedua temannya itu. Mereka masih belum puas tampaknya meledek Shanum.
Lalu Tim memanggil pelayan, dan mulai memesan, "Saya mau lima porsi Blini dengan selai keju, diberi lelehan sirup coklat, jangan lupa dengan kaviar ya," pesan Tim. Pelayan itu mencatat pesanannya dan bertanya, apakah mereka mau pesan tambahan minuman. "Kami pesan Kefir, lima gelas," sahut Ula. "Sementara, itu dulu pesanannya, terima kasih." Tim tersenyum sopan pada pelayan itu.
"Jadi yang dipesan itu tadi apa Tim--Ula?" tanya Shanum. Ketiganya tidak mengerti saat Tim dan Ula berbicara dengan pelayan tadi. Mereka menggunakan bahasa setempat, yang tentu saja terasa asing di telinga mereka. "Tadi kami pesan Blini dan Kefir. Blini itu sejenis pancake dengan saus keju dan coklat. Kalian tahu pancake?"
Ketiganya menganggukkan kepala dengan mata berbinar, sudah membayangkan lelehan saus keju dan coklat terasa di mulut. "Dan Kefir itu susu fermentasi dengan akar Kaukasus, sangat sehat. Kalian harus coba, itu minuman terkenal di sini," tambah Ula. "Oke, terima kasih Ula atas penjelasannya. Aku jadi ingin buru-buru merasakannya," ucap Diva terlihat antusias.
"Oh iya, kamu sudah tahu nama pria itu, Sha?" tanya Farah dengan pandangan menyelidik. "Em, belum." Shanum menjawab sambil meringis. "Ampun, bikin geregetan!" Farah mendengus sambil menepuk jidatnya. "Namanya Khan Adrian," jawab Tim sambil tersenyum geli. "Kau tahu Tim?" seloroh Diva.
"Semua orang di negara ini pasti tahu siapa dia," jawab Tim sambil memutar bola matanya. "Maksudmu? Dia orang terkenal begitu?" Diva semakin penasaran. "Iya, dia pria yang memiliki banyak usaha di negara ini dan di negara lain. Kekayaannya tidak akan habis, meski dia membagi-bagikannya setiap hari." Ula menjelaskan sambil mendengus. Ketiga gadis itu melongo, mereka tampak takjub.
"Jadi pria itu orang penting?" tanya Shanum. "Ya, dia miliuner. Tapi pria itu tertutup dan misterius. Dia tidak suka diliput, setahu kami belum pernah ada yang berhasil mewawancarainya," jawab Tim.
"Oh iya, terkait percakapan kita yang tertunda saat piknik tadi, em...terus terang aku juga tidak tahu Shanum. Belum pernah ada kejadian seperti yang kau alami." Tim menjelaskan sambil meringis.
"Aku pernah mendengar dari penjaga kota tua itu kalau ada beberapa orang yang melaporkan mendengar suara-suara misterius. Namun setelah diselidiki tidak ada bukti yang konkret, jadi pengaduan itu dianggap selesai. Apalagi sekarang sudah banyak orang yang tidak peduli dengan hal mistis. Bagi beberapa dari kami sebagai salah satu keturunan suku Mongol pun, ada yang masih mempercayai keberadaan hal-hal di luar nalar itu, namun banyak juga yang tidak." Ula melengkapi penjelasan Tim. "Ula termasuk salah satu yang percaya," ungkap Tim sambil tersenyum smirk.
"Iya, terkadang kita harus percaya bahwa pasti ada sesuatu hal di luar nalar yang hidup berdampingan dengan kita." Ula menatap Shanum dengan mata berkilat dalam, dan itu membuat Shanum mengernyitkan keningnya. Entah mengapa hati kecilnya berkata, ada sesuatu yang di tutupi pria itu.
"Wah--makanan datang. Ayo ah--kita makan dulu. Perutku jadi lapar mendengarkan pembicaraan berat barusan," celetuk Diva. Farah mendengus mendengar ucapan Diva. "Oke, ayo kita makan, mumpung masih hangat," ucap Tim memecah suasana kaku tadi.
Setelah selesai makan, mereka kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan Shanum sibuk berpikir. Tanda tanya atas sikap misterius Ula membebani hatinya. Ada sesuatu, dia yakin pria itu menyembunyikan sesuatu. Shanum harus menyelidikinya. "Ya, aku harus bisa bicara empat mata dengan Ula," bisik batinnya.
Di tempat lain, di kediaman Khan Adrian
"Di mana aku?" Pria mabuk yang terkapar di lantai ruang tengah itu tengah menggumam tak jelas, hanya setengah sadar dan berkomat-kamit sendiri ketika dia terjaga, sesuatu yang jarang terjadi akhir-akhir ini. Dia mengeluh karena sebetulnya dia tak ingin terbangun lagi.
Sambil bangkit berdiri dengan limbung, ia berjalan terseok menuju kamar mandi. Ia memandang pantulannya di cermin kamar mandi. Ia memicingkan matanya. Pandangannya masih buram dan kabur.
Ia mengenali sosok di balik janggut panjang, mata bengkak, dan wajah yang suram itu, wajah seorang yang bodoh.
Dengan sisa tenaganya, ia meninju cermin keras-keras, membuat pantulannya ikut pecah berkeping-keping. "Bajingan!" serunya lemah. Buku-buku jarinya yang tergores pecahan cermin mulai berdarah. Tinjunya masih terkepal, tidak ada rasa sakit terlihat di wajahnya. Kemudian ia mulai terisak.
Campuran emosi berkecamuk di dalam dirinya sampai dia tak sanggup berpikir dan bernapas. Rasa nyeri yang teramat sangat merobek dadanya. Seharusnya ia tidak peduli, ia tidak ingin peduli. Sialan! Dia benci saat-saat sadar seperti ini. Menyebalkan--yang diinginkannya hanyalah berhenti berpikir. Jangan pikirkan itu...jangan berpikir...jangan berpikir.
Perutnya terpuntir ketika memikirkan wanita itu, dan kenangan yang muncul setelahnya.
Dia mencoba mencari alasan, untuk tidak mencerna apa pun, namun otaknya tidak mau diajak bekerja sama. Dia berbalik dan meninggalkan kamar mandi tanpa membersihkan pecahan-pecahan kaca. Dia tidak peduli, meski seisi rumahnya hancur.
Setelah memutuskan bahwa ia perlu duduk, ia berjalan sempoyongan dan duduk di pinggir tempat tidur. Tangan yang tadi penuh luka gores sekarang perlahan mulai menutup. Dia memang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan luka di dirinya.
Suara tawanya tiba-tiba membahana di ruangan itu. "Miris--sangat miris, kau bisa menyembuhkan luka di tubuhmu, tapi luka di hati ini kenapa tak kunjung sembuh. Katakan...mengapa? Sudah lebih dari lima ratus tahun luka ini tetap berdarah dan bernanah. Katakan! Mengapa?" teriaknya.
Seketika alisnya berkerut, ia teringat gadis itu saat memeluknya, menghirup wangi tubuhnya, mengacaukan pikirannya--dan hatinya. Ia kembali merasakan kenangan lama yang seharusnya sudah terkubur dalam. Gadis itu, memanggil suara-suara di kepalanya yang membuatnya gila dan rasa nyeri di dadanya membunuhnya. "Pengecut! Kau mengacaukan segalanya! Hadapi itu!"
Masalahnya, dia tidak dapat menghadapi pikirannya yang campur aduk. Kemarahan, kebingungan, keputusasaan, sakit hati, semuanya menyerangnya bertubi-tubi, menghancurkannya. Dia menghela napas, lalu kembali merebahkan tubuhnya di kasur. Sementara pandangannya mulai gelap, bagian kecil jiwanya mulai bangkit ke permukaan.
"Kau tidak mungkin begini terus. Bangunlah! Temukan gadis itu! Seharusnya kau sudah tidak bisa lagi merasakan cinta. Hatimu sudah mengeras, bagai batu. Namun gadis itu, Shanum...Shasha, ia ingin memanggilnya dengan sebutan itu."
Kemudian keputusasaan merayapinya, tepat ketika kekosongan yang dicarinya menelannya bulat-bulat, menghentikan segala pikiran, memotong segala resahnya. Akhirnya disambutnya kegelapan itu, pria itu kehilangan kesadaran dan membiarkan bayang-bayang gadis itu membawa jiwanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments