Pria itu muncul ke permukaan sambil membawa Shanum dalam pelukannya. Banyak orang sudah menunggu kemunculan mereka di pinggir sungai. Saat pria itu membawanya ke tepi, di sana sudah bersiap tim medis berikut perlengkapannya. Tim medis ikut membantu mengangkat gadis yang sedang pingsan itu. Dia diletakkan di atas tanah kemudian mendapatkan pertolongan pertama pada korban tenggelam.
"Tidak ada denyut nadi, lakukan CPR!" teriak salah satu wanita anggota tim medis. Semua orang yang berada di sana terkesiap, mendengar teriakan itu. Diva dan Farah mencoba menerobos kerumunan, ingin melihat lebih dekat keadaan Shanum. Mereka tampak terguncang saat mengetahui bahwa Shanum ternyata tercebur ke sungai dan tenggelam.
Namun keinginan mereka untuk melihat lebih dekat dihalangi oleh salah satu petugas keamanan. "Tolong Miss, biarkan tenaga medis memeriksa dahulu keadaannya," ucap pria petugas keamanan itu. Diva dan Farah akhirnya mengalah, dan bergerak mundur, berdiri dalam jarak yang diijinkan.
Farah menoleh ke arah sampingnya, pria yang menolong Shanum ternyata berdiri di sebelahnya. Wajah pria itu terlihat dingin dan kaku, bibirnya tampak menipis. Dia menatap tajam ke arah tim medis yang sedang berusaha menyelamatkan Shanum. Tangannya tampak mengepal erat. Seakan-akan dia sedang menahan sesuatu yang meluap dalam dirinya. Farah masih sulit menebak apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiran pria itu.
Kemudian Farah mendengar suara rintihan, ia menoleh, dan melihat Diva sedang menangis terisak-isak. Dia langsung menarik bahu Diva, merangkulnya, dan mencoba menghiburnya. Meski ia sendiri pada akhirnya tak kuasa menahan rasa sesak di dadanya. Farah menutup kedua mata, perlahan air mata menetes dari kedua sudutnya.
Farah tidak dapat mengatakan apa-apa, suaranya terasa tercekat di tenggorokan. Dia tetap memandang lurus ke arah Shanum yang sedang ditolong oleh tim medis. "Kau harus hidup Sha, kau harus tahu tentang ini. Aku akan menceritakannya padamu. Kau pasti akan bahagia mengetahuinya. Dia memperhatikanmu," ucap Farah dalam hati.
Sementara itu Tim dan Ula mengawasi dari posisi lain. Mereka terlihat khawatir dan sedih. Tak lama terdengar suara batuk-batuk yang sangat keras. Mereka semua melihat ke arah suara itu berasal, gadis itu--Shanum mulai sadar, ia memuntahkan banyak air dari mulutnya. Shanum berhasil bernapas, setelah tadi sempat tidak terdengar nadinya. Farah dan Diva menarik napas lega, mereka langsung mencoba kembali mendatangi petugas medis yang membantu Shanum.
"Siapa penanggung jawab Gadis ini? Apa ada keluarganya di sini?" tanya salah satu petugas medis. "Saya penanggung jawabnya." Suara berat seorang pria terdengar di telinga semua orang. Pria itu berjalan angkuh menembus kerumunan, menuju tim medis yang mengelilingi Shanum. Di belakangnya mengikuti dua orang pria.
Semuanya kontan memperhatikan pria itu. Pakaiannya basah kuyup, dan ia tidak memakai alas kaki. Meski penampilannya berantakan, namun aura wibawa tetap terlihat di dirinya. Kemudian Farah ikut mendekat juga, ia menyuruh Diva tetap diam di tempatnya. Biar ia saja yang mengurus masalah ini.
"Sir, permisi, saya harus bicara denganmu. Gadis itu adalah teman kami. Kenapa kau mengaku yang bertanggung jawab terhadapnya?" Farah mencoba berbicara dengan pria itu. Lalu pria itu berhenti melangkah, ia menoleh ke arah Farah. Dia memicingkan matanya dan memindai keseluruhan diri Farah. Farah mengangkat dagunya, ia balas menatap dengan tajam. Mereka beradu tatapan selama sekian detik.
Akhirnya pria itu merubah tatapannya, menjadi terlihat lebih ramah. "Well, izinkan saya membawanya ke rumah sakit, kalian boleh ikut juga jika ingin. Kalian pasti tidak berkenan berurusan dengan kepolisian setempat kan. Saya yang akan mengurus semuanya. Jadi, bolehkah saya membantu?"
Pria itu terlihat sopan meminta izin sambil kembali tersenyum tipis. Matanya menatap dalam kepada Farah. Dan Farah tampak tidak bisa berkata-kata, ia langsung menganggukkan kepalanya. Farah tidak kuasa menjawab tidak, ada sesuatu di pria ini yang tidak bisa ditolak. Dia pasti bisa memenangkan negosiasi apa pun hanya dengan kata-kata dan tatapan matanya itu.
"Baik, terima kasih atas izinnya, Miss..." Pria itu menanyakan namanya. "Em, Farah, dan...teman saya yang di sana itu Diva." Farah menjawab sambil tersenyum gugup. Hanya mendengar suara pria di hadapannya ini membuatnya tegang dan merinding. Bukan karena takut, tapi lebih kepada pengaruh feromon yang terasa kental, berasal dari pria ini.
Khan Adrian memang pria yang luar biasa. Dia hanya perlu memberi perintah, setelahnya semua orang langsung bergerak menurutinya. Farah masih tak percaya, rasanya seluruh kegiatan beralih sangat cepat. Shanum langsung di bawa masuk ke mobil ambulans, menuju rumah sakit. Dan mereka di giring ke mobil lain bersama pria suruhan Khan Adrian.
Saat ini, dia dan Diva sudah berada di kamar rawat inap VVIP, di sebuah rumah sakit di Astrakhan. Seluruh biaya ditanggung oleh Khan Adrian, dia hanya perlu menatap tajam pada Farah, saat ia ingin mendebatnya soal biaya rumah sakit. Shanum mendapatkan perawatan yang terbaik di rumah sakit ini, dan itu tidak dapat ditawar. Khan Adrian sudah mengatur semuanya.
Sampai-sampai di depan kamar mereka pun di jaga ketat oleh orang suruhan pria itu. Tentang Tim dan Ula, mereka juga ikut ke rumah sakit dengan kendaraan mereka sendiri. Namun mereka tidaklah lama berada di rumah sakit, setelah itu keduanya kembali ke pekerjaan mereka. Dengan janji akan kembali menghubungi lagi besok.
Untuk Khan Adrian, setelah memberikan berbagai perintah, tidak pernah terlihat lagi batang hidungnya. Yang datang bolak balik mengunjungi mereka hanyalah asisten pribadinya yang bernama Taban. Mereka sudah berkenalan, dan pria ini sangat ramah kepada mereka. Taban bahkan bersedia membantu mengantar Diva kembali ke hotel untuk mengambil pakaian ganti.
"Em...Taban, apakah kau tahu, alasan atasanmu itu menolong temanku? Dan bagaimana dia bisa tahu kalau temanku itu jatuh ke dalam sungai?" tanya Farah. Hingga saat ini, Farah masih penasaran bagaimana pria itu bisa ada di lokasi yang sama dengan mereka. Taban diam, dia hanya tersenyum.
"Kau tidak bisa menjawab ya. Apakah ini ada semacam kode etik rahasia?" Kembali Farah bertanya penuh selidik kepada pria itu. Taban menggeleng, ia kemudian berkata, "Maaf Farah, bukan kapasitasku untuk menjawab itu. Sebaiknya kau tanyakan langsung pada Tuan. Hanya dia yang berhak menjawabnya." Farah memutar bola matanya kesal, majikan dan asisten sama saja tingkahnya, penuh rahasia dan pelit informasi.
Keinginan Farah untuk mengetahui lebih jauh terpaksa harus diurungkan untuk sementara. Lalu Taban pamit, ia bergerak menuju pintu. "Tunggu!" ucap Diva. Pria berkacamata itu menoleh ke arah Diva. "Ya, ada lagi yang bisa saya bantu," tanyanya.
"Bagaimana cara kami menghubungi atasanmu? Mungkin saja saat Shanum sadar, ia ingin mengucapkan terima kasih." "Kau bisa menghubungi lewat aku." Taban memberikan nomor ponselnya ke Diva, lalu ia bergegas keluar dari kamar.
"Astaga, aduh, kok bisa lupa." Diva tiba-tiba menepuk jidatnya. "Apa yang lupa?" tanya Farah. "Farah kita belum menghubungi orang tua Shanum. Bagaimana jika mereka menelpon, ponsel Shanum kan hilang di sungai. Ayahnya itu menyeramkan." Diva menjawab sambil meringis.
Farah terlihat menghembuskan napasnya. "Kau tahu nomor orang tuanya Diva?" "Tidak," jawab Diva. "Sama aku juga tidak. Kalau begitu kita terpaksa menunggu Shanum sadar, baru bisa menghubungi orang tuanya."
Farah tersenyum miris. Lalu dia melihat ke arah Shanum yang tampak damai dalam tidurnya. Menurut Dokter yang memeriksanya, Shanum kehilangan kesadarannya. Hal ini merupakan efek dari Hiposekmia yang dialaminya. Setelah Shanum sadar, mereka akan memeriksa paru-paru dan organ tubuh lainnya.
Bangunlah Shanum...
Suara berat seorang pria terdengar...
Shanum mengerutkan dahi, mengusir suara itu. Setiap kali dia mencoba tidur, suara itu menyuruhnya bangun.
Shanum, kedua temanmu mencemaskanmu.
Seolah ada yang harus dikhawatirkan Diva dan Farah pada dirinya.
Dan ada satu orang lagi yang menantimu sadar. Dia sudah memarahi dan mengancam semua orang. Kasihanilah dia, saat ini tidak ada yang berani dekat-dekat dengannya.
Senyum di pikirannya, di jiwanya. Suara itu ternyata sangat pintar melebih-lebihkan.
Shasha...
Dia tidak pernah dipanggil Shasha, kecuali sekali, oleh pria itu pikirnya, menguap.
Hal pertama yang Shanum lihat ketika mengerjapkan mata adalah warna putih. Warna langit-langit ruangan. Dan secepat itu pula, dia teringat. Tenggelam, rasa sesak, rasa panas dan pelukan itu. Shanum mencoba bicara, "Air, tolong...air." Suara Shanum terdengar serak, dia butuh minum.
"Oh Tuhan, Sha. Kau sudah sadar. Farah...." teriak Diva. Farah yang sedang berada di kamar mandi langsung kaget, dia segera keluar dari kamar mandi dengan terburu-buru. "Ya ada apa? Kenapa teriak-teriak. Ini rumah sakit, bukan hutan," omel Farah. Dia melotot saat melihat Diva sedang memberi minum ke Shanum. "Shanum, kamu sudah sadar?" Farah menutup mulutnya, ia seakan tak percaya.
"Iya, Sha udah sadar. Lekas panggil dokter," suruh Diva. "Issh, kenapa repot-repot sih, tinggal tekan bel itu di samping tempat tidur. Nanti pasti ada yang datang." Farah menunjukkan bel di dekat Diva. Diva langsung menekan bel tersebut. Dan tak berapa lama seorang perawat datang ke kamar mereka.
"Ya, ada yang menekan bel?" tanya seorang perawat yang datang ke kamar itu. "Pasien sudah sadar Sus..." ucap Diva. Perawat itu tersenyum, kemudian mengatakan ia akan memanggil Dokter, jadi mereka akan segera kembali.
Setelah Dokter datang memeriksa kondisi Shanum, mereka boleh merasa lega. Karena semua organ vitalnya normal.
"Kau tahu Sha, siapa yang sudah menolongmu? Kau pasti tidak akan percaya," ucap Farah. "Siapa?" tanya Shanum. "Khan Adrian..." Shanum tercengang, ia tak mengira akan di tolong oleh pria itu. "Kau yakin Farah?" "Tentu saja, Diva juga ada di sana." Diva menganggukkan kepalanya.
Shanum mengusap wajahnya, ia tampak melamun. "Dia berusaha menyelam berkali-kali mencarimu di sungai itu. Kegigihannya sungguh luar biasa. Akhirnya dia menggendong sambil memelukmu keluar dari sungai itu. Kamu harus tahu bagaimana ekspresi wajahnya saat mendengar kau tidak bernapas." Tatapan Farah menerawang.
"Aku berada di sampingnya saat itu. Jadi aku tahu bagaimana ia mengepalkan tangannya, mulutnya tampak geram, dan matanya seakan-akan ingin membunuh seseorang. Dia merasakan sesuatu terhadapmu, Sha. Mungkin kalian berjodoh, buktinya di mana ada kau selalu ada dia. Dan dia juga pernah muncul dalam mimpimu," ucap Farah.
Shanum merasakan sesuatu berdebar di hatinya, mendengar cerita Farah. Namun dia masih belum benar-benar percaya. Pria itu masih misterius. Masih banyak yang harus dia cari tahu tentangnya.
"Oh iya Sha, satu lagi, pria itu juga menyebalkan, ternyata," ucap Farah. Shanum mengerutkan keningnya, tanda bingung. "Dia arogan, kaku dan dingin," tambah Farah. Shanum melengos, "Kalau itu aku sudah tahu." "Ya, aku tahu kau pasti akan menjawabnya begitu." Farah tersenyum smirk.
"Omong-omong Sha, kau tidak menghubungi ayahmu?" tanya Diva. "Ayah! Astaga, sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?" Shanum tampak panik. "Dua hari, Sha." Diva mengangkat jarinya membentuk angka dua. Shanum tampak kaget, "Ponselku, boleh ambilkan ponselku?" pintanya. Diva dan Farah saling bertatapan. Mereka kemudian menggelengkan kepala.
"Jadi ponselku hilang?" Shanum bertanya pada keduanya. Mereka berdua menganggukkan kepala dengan pandangan sedih. Shanum langsung merasa lemas, ia kembali menghempaskan diri di kasur. Shanum memegang keningnya, ia merasa pusing. Bagaimana tanggapan orang tuanya jika mendengar kabar ini. Tapi dia harus menghubungi mereka, Shanum tidak mau keduanya cemas.
Shanum kembali menegakkan tubuhnya, ia meminjam ponsel kepada salah satu sahabatnya, untuk dipakai menghubungi orang tuanya. Diva mengulurkan ponselnya untuk dipakai Shanum.
Dia menekan nomor yang sudah sangat ia hapal di luar kepala. Sambil menunggu panggilan tersambung, ia terlihat menggigit-gigit bibirnya.
Tanpa ia sadari, dari arah pintu seorang pria memperhatikannya. Pria itu menatap tajam ke arahnya. Kemudian, tatapannya berserobok dengan pria itu. Shanum tersentak, nyaris ponsel terlepas dari genggamannya. Lalu suara ayah terdengar di telinganya. Shanum gagal fokus, pikirannya mendadak kosong.
Suara ayah masih terdengar mengucapkan kata 'Hallo' berkali-kali. Shanum menarik napasnya, kemudian berkata, "Ayah, ini Shanum." Suara Shanum terdengar serak.
Ayah terdiam, ia masih mencerna suara putrinya. Setelah tersadar ia berteriak, "Ya Tuhan Shanum, kamu kemana saja? Dari kemarin Ayah tidak bisa menghubungimu. Kau baik-baik saja, Princess?" tanya ayah, ucapannya terdengar cemas. Suara ibu juga terdengar ikut berbicara samping ayah.
Sepertinya panggilan ini di Loudspeker oleh ayah, agar ibu dapat ikut mendengarkan. Shanum menceritakan semua kepada keduanya. Mereka tampak tidak percaya, lalu meminta panggilan diubah menjadi Video Call.
Shanum mengikuti keinginan mereka. Kedua temannya tersenyum kasihan melihatnya. Mereka sudah bisa memprediksi sikap Ayah Shanum, ia pasti langsung berniat menuju Astrakhan untuk melihat langsung keadaan Shanum. Dan Shanum berusaha menjelaskan bahwa dia baik-baik saja, besok dia sudah diperbolehkan pulang. Jadi mereka tidak perlu jauh-jauh datang ke Astrakhan.
Sambil berusaha meyakinkan ayahnya, Shanum sekilas melihat pria yang tadi berdiri di pintu sudah mengambil bangku untuk duduk. Dia masih tetap menatap dalam padanya. Di seberang pria itu, Shanum mencengkeram pinggiran kasur untuk menopang tubuhnya, ia mendadak lemas.
Pandangan pria itu seakan-akan mengisap tenaganya. Akhirnya ayah menyudahi percakapannya, setelah Shanum berhasil meyakinkan mereka. Keduanya sudah tidak keras kepala, memaksa untuk terbang ke kota ini. Shanum berjanji pada mereka untuk menjaga dirinya baik-baik.
Pria itu lalu mendekati Shanum, setelah ia mengembalikan ponsel tersebut kepada Diva. Farah mencolek Diva, ia membisikkan sesuatu di kupingnya. Diva menganggukkan kepalanya. "Sha, aku dan Farah mau beli makanan dulu." Diva bicara sambil tersenyum. "Tolong jaga teman saya dulu ya, Sir. Jaga dia baik-baik," celetuk Farah sambil menyeringai.
Pria itu menganggukkan kepalanya. Shanum tampak malu mendengar ucapan Farah, wajahnya bersemu merah. Dia ingin melarang keduanya pergi, tapi di lubuk hati yang paling dalam, ia juga ingin bicara empat mata dengan pria ini. Mereka berdua lalu meninggalkan kamar.
Pria itu mendekat, ia berdiri di pinggir tempat tidur Shanum. Dia masih tetap berwajah kaku, namun sinar di matanya tidak tampak dingin seperti waktu itu. Dengan suara pelan ia berkata, "Shasha, kita bertemu lagi. Bagaimana keadaanmu."
"Baik."
"Yakin sudah baik."
"Iya. Itu...hmm...apakah kau yang menolongku?"
"Ya."
"Terima kasih."
"You are welcome."
"Em, bolehkah kita berkenalan secara pantas?"
"Sure."
"Anda sudah tahu namaku."
"Khan Adrian, namaku."
"Panggilan?"
"Boleh apa saja."
"Jika kupanggil Adri, apakah boleh?"
"Tentu saja."
"Dan tolong panggil aku Shanum saja."
"Tidak."
"Mengapa tidak, itu namaku."
"Aku lebih suka memanggilmu Shasha."
"Aku tidak akan menoleh jika kau memanggilku dengan nama itu"
"Kau pasti menoleh."
"Tidak akan."
"Mau bertaruh."
"Tidak."
"Kau takut."
"Aku tidak takut, aku hanya tidak suka bertaruh."
"Kalau begitu aku tetap akan memanggilmu Shasha."
"Mengapa kau menolongku?"
"Apa maksud pertanyaanmu itu?"
"Begini saja, aku ganti pertanyaannya menjadi, mengapa kau tahu aku jatuh saat itu?"
Pria itu terdiam, ia tidak menjawab.
"Mengapa diam, Adri? Apakah terlalu sulit untuk menjawabnya." Pria itu menatap Shanum, pandangannya terlihat bingung.
"Aku tidak tahu," jawabnya, lalu ia mendekatkan wajahnya hingga hanya terpaut beberapa senti dari wajah Shanum.
Shanum tampak gugup, napas harum pria itu tercium olehnya. "Siapa kau sebenarnya Shasha, mengapa aku selalu tertarik ke arahmu? Dan mengapa aku tidak bisa menolaknya. Hati dan pikiranku mengatakan hal yang berbeda," bisik pria itu.
"Apa yang berbeda?" ucap gadis itu serak. Dia menatap bibir pria itu, dan paru-parunya terasa membeku. Segala hal di dalam dirinya menyuruhnya merasai--mereguk dengan sukacita. "Pikiranku mengatakan untuk lari sejauh-jauhnya, namun hatiku memerintah untuk tidak melepaskanmu..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments