Hari ini Shanum keluar dari rumah sakit. Dokter sudah memastikan bahwa semua hasil tes yang dilakukan bagus, ia dinyatakan sehat. Namun, sejak bangun dari tidurnya pagi ini, Shanum masih saja merasa jengkel. Ucapan pria itu masih terbayang di ingatannya. Setiap patah kata, setiap tarikan napas, dan setiap kedipan mata.
"Demi Tuhan, apa maksud ucapan pria itu?" "Pikiranku mengatakan untuk lari sejauh-jauhnya, namun hatiku memerintah untuk tidak melepaskanmu..." Dengan kata-kata itu, bagaimana Shanum harus bertindak? Dia tidak bisa menyalahkan pria itu karena keterusterangannya, sementara dirinya sendiri sudah memancing hal itu. Semua di luar kendalinya.
Yang membuat hatinya lebih tertohok, saat pria itu menegakkan tubuhnya dan berkata, ia harus pergi. Wajahnya kembali menjadi dingin dan datar, setelah dia mengucapkan kalimat itu. Seakan-akan dia baru tersadar, sudah mengungkapkan terlalu banyak.
Saat itu Shanum hanya bisa melongo, tidak dapat berkata-kata, ia mengikuti pergerakan punggung pria itu, yang semakin menjauh dari penglihatannya. "Dasar pria Kulkas, Arogan, tidak punya sopan santun. Seenaknya saja dia menghindar setelah mengucapkan kalimat seperti itu padaku." Shanum memukul-mukul kasur, ia kesal sekali dengan Khan Adrian.
"Hei--hei, Sha. Ada apa? Kenapa kasurnya dipukul, salah apa kasur itu? Dan siapa yang kau maki-maki barusan?" Diva tampak bingung saat masuk ke ruangan. "Iya Sha, kami cuma sarapan sebentar kok, tidak lama," sahut Farah. Shanum menghembuskan napasnya, dia menggelengkan kepalanya.
"Bukan kalian, aku kesal dengan Manusia Kulkas itu." Shanum melipat tangannya di depan dada, wajahnya tampak ditekuk, ia cemberut. Farah dan Diva saling bertatapan, mereka nampak menahan tawa.
Lalu pintu ruangan kembali terbuka. Taban melongokkan kepalanya, ia tersenyum. "Kalian sudah siap, ayo kita segera berangkat. Tuan sudah menunggu kalian di rumah," ucap Taban. "Rumah? Rumah siapa?" tanya Farah. "Ya rumah Tuan Khan. Kalian akan tinggal di sana mulai hari ini," jawab Taban.
"Tidak sudi!" Shanum menjawab ketus ke arah Taban. Farah mengangkat alisnya, dan Diva masih terlihat melongo. "Kenapa kita harus tinggal di rumah Yang Mulia Khan Adrian, Taban? Coba jelaskan sekarang kepada kami?" Farah menatap tajam ke arah Taban sambil mengetuk-ngetukkan kakinya.
Sedang pria itu tampak gelagapan menerima reaksi ketiga gadis itu. "Em, jadi kalian tidak tahu, Tuan belum memberitahu saat kemarin kemari?" Ketiganya terlihat menggeleng dengan tampilan wajah yang berbeda. Diva tampak mengerutkan keningnya, Farah tersenyum smirk, dan Shanum terlihat marah.Taban tampak mengusap keningnya dan menarik napasnya.
"Hmm, begini, saya juga tidak tahu kenapa Tuan menyuruh kalian pulang ke rumahnya. Kemarin Tuan hanya menyuruh saya mempersiapkan kamar untuk kalian di rumah. Jika kalian ingin mengetahui maksud Tuan, sebaiknya kalian tanyakan sendiri nanti padanya saat di rumah."
"Aku tetap pada keputusanku, kami akan kembali ke hotel," jawab Shanum tegas. "Tapi--tapi...Oh please Ladies, help me! Jangan mempersulit saya, Tuan tadi sudah memberi perintah saya harus membawa kalian ke rumahnya, apa pun yang terjadi. Saya tidak bisa kembali ke sana tanpa kalian." Taban terlihat memelas menatap mereka.
"Sudahlah Shanum, bukan salah dia juga. Kalau kau kesal dan mau mencabik-cabik pria itu sebaiknya kau lakukan nanti saat bertemu dengannya. Sekarang, kita ikuti saja titah Yang Mulia," ungkap Farah.
"Iya benar, aku juga mau melihat rumah miliuner," celetuk Diva sambil cengar-cengir. Farah memutar bola matanya mendengar celetukan Diva. Dan Shanum tampak mengernyit, tapi akhirnya ia mengalah.
Mereka pergi ke rumah pria itu. Pepohonan mendominasi pemandangan, menyelubungi rumah-rumah mahal yang berbaris di daerah ini. Mobil mereka berbelok di depan sepasang gerbang logam yang antik dan si pengemudi menekan sesuatu di dasbor. Gerbangnya membuka tanpa bersuara, berlawanan dengan usianya yang sesungguhnya.
Shanum menarik napas ketika mereka menuju ke koridor yang dipenuhi dengan pepohonan. Ia tidak pernah memasuki gerbang luar biasa seperti ini. Jalan untuk mobilnya memang panjang. Ketika mereka berbelok barulah ia melihat rumah besar yang berada di ujung. Dicat dengan warna putih yang elegan, rumah itu jelas dibangun untuk orang yang bergelimang harta.
Atap rumah itu berbentuk kubah, mengerucut mirip istana di cerita seribu satu malam. Jendela-jendela yang sangat besar menutupi sebagian besar dindingnya. Tapi itu bukanlah keindahan yang paling menonjol--merambat di sepanjang sisi rumah terdapat sesuatu yang kelihatan seperti seratus semak Honeysuckle, dan yang menakjubkan, semua masih berbunga.
Mobil kemudian berhenti di Lobby, pintu mobil di buka oleh beberapa orang pria berpenampilan rapi. Sepertinya rumah ini dijaga dengan ketat. Mereka berperawakan besar, tegap, dan berwajah tampan. Shanum melirik Diva, dan benar saja, temannya itu tampak terpesona. Wajahnya bercahaya bagai kunang-kunang, matanya berbinar-binar. Shanum tersenyum simpul melihat itu.
"Apa kau berharap akan bertemu dengan Pangeran di dalam?" Farah berbisik di telinga Shanum, sambil terkekeh geli. Dia hanya mengangkat kedua bahunya, dan tersenyum tipis.
"Seperti sesuatu yang berasal dari dongeng. Dongeng yang misterius dan berbahaya," ucap Shanum.
"Waw...ini sih namanya mansion ya, karena besar sekali. Semuanya indah dipandang mata." Diva terkagum-kagum menatap mansion itu. "Pernyataan itu ambigu sekali, yang indah para prianya apa mansionnya?" celetuk Farah. "Keduanya," sahut Diva tersenyum malu-malu. "Ish...sudah dapat ditebak." Farah tampak memutar kedua bola matanya.
Kemudian Farah terpaku kepada langit-langit tinggi dihadapannya. "Berapa luas mansion ini?" tanya Farah. "Kurang lebih seribu meter persegi," jawab Taban. Farah kontan bersiul sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Wajar, dia seorang Khan," gumam Shanum. "Dari mana anda tahu Miss?" tanya Taban. Dia langsung menoleh saat mendengarnya, dan menatap Shanum penuh selidik. Shanum balas menatap tajam, ia mengangkat dagunya, namun tidak berbicara apa pun.
"Sebaiknya kau tidak bicara dahulu padanya Taban. Miss ini sedang sangat--sangat kesal," ungkap Farah. "Aku jadi tak sabar melihat pertengkaran pertama mereka nanti. Kira-kira siapa yang menang ya?" Farah melirik ke arah Shanum sambil tersenyum smirk. Shanum mendengus, mendengar ucapan Farah. Dan Taban, ia langsung menghadap ke depan, tak berani menengok lagi ke belakang.
Kemudian mereka diarahkan menuju sebuah ruangan. Ruang tamu itu luas dan mewah. Langit-langit ruangan itu begitu tinggi, dengan lampu Chandelier Kristal yang mendominasi. Tampak perabotannya pun klasik ala Eropa dengan warna abu-abu, putih dan sedikit sapuan warna krem muda yang lembut. Dinding dan lantainya terbuat dari marmer, tampak mengkilap memantulkan cahaya dari jendela.
"Sir, gadis itu dan kedua temannya sudah menunggu di ruang tamu. Apakah kau mau menemui mereka?" tanya Taban. Khan Adrian menoleh, ia tampak berpikir. "Tidak, langsung antar saja mereka ke kamar yang sudah dipersiapkan. Aku masih ada urusan lain." "Baik Sir, saya permisi." Taban segera keluar dan menutup pintu ruangan itu.
Khan Adrian menatap ke sebuah rak buku yang berada di ruangan itu. Kemudian ia mendekatinya, menarik satu buku tebal, di balik buku itu ada suatu tuas. Ia memutar tuas tersebut, dan tak berapa lama rak buku itu terbelah dua. Di sana terdapat sebuah pintu, ia lalu membukanya.
Selama sedetik, ia berdiri dalam kegelapan dan memikirkan apa yang harus ia lakukan. Apa yang terjadi antara dirinya dan Shanum merupakan sesuatu yang tidak manusiawi, namun sangat nyata. Dia merasakan suatu energi kuat dalam diri gadis itu, dan ia seolah-olah di tarik masuk ke dalamnya. Rahangnya menegang, tahu bahwa dia tidak mempunyai pilihan lain. Tidak dengan keadaan yang semakin tak terkendali akhir-akhir ini menimpa klannya.
Berjalan secara naluriah ke tengah ruangan, Khan memusatkan kekuatannya sejak lahir kepada cahaya yang berada di dalam dirinya. Dia memanggil lewat kekuatannya, berkomunikasi dengan keseluruhan Asisten yang ditunjuk dari setiap wilayah kekuasaannya.
Erden untuk wilayah Cumans, Wilayah Crimea dengan Chingis, Elan--Wilayah Moldova, Wilayah Tambov--Jourell, Wilayah Siberia--Monkhbat, dan Wilayah Astrakhan dipegang sendiri olehnya. Kemampuan untuk berkomunikasi jarak jauh berasal dari sumber yang sama untuk semua pemimpin klan. Seorang Khan diwajibkan melatih kemampuan ini.
Khan Adrian harus berkonsentrasi penuh, jika tidak dapat merusak beberapa bagian otak dan menghancurkan ruangan ini dalam prosesnya. Dalam pikirannya, Khan sudah melihat wajah semua asistennya. Mereka memberikan salam hormat kemudian melaporkan perkembangan kasus mencurigakan di wilayah mereka masing-masing. "Ada yang mulai bermain-main di teritoriku, kalian semua harus tetap bersiaga.
Segera laporkan padaku jika ada hal yang membutuhkan penanganan lainnya. Dan, Jourell...apakah pria itu sudah membuka mulutnya?" Jourell tampak menelan ludahnya, wajahnya tampak takut. "Belum, Khan Agung, ia masih tetap bungkam." "Sudah kau lakukan prosedur yang biasa?"
"Sudah." "Hmm, mau mengujiku tampaknya, baik--lakukan prosedur selanjutnya." "Anda yakin Khan Agung...dia bisa mati, dan kita tidak akan mendapatkan apa-apa darinya." "Lakukan! Aku tidak peduli seandainya dia mati sekali pun!" "Baik, Khan Agung."
Kemudian komunikasi mereka selesai. Mereka semua pamit dengan ucapan khusus klan. Khan kemudian menarik napasnya, tampak menetralkan kekuatannya. Lalu ia bergegas keluar dari ruangan itu.
"Kamar kalian sudah dipersiapkan, silahkan ikuti Erhi. Dia akan menunjukkan kamarnya dan melayani kalian," ucap Taban. "Tapi--tapi bagaimana dengan barang-barang kami di hotel?" tanya Diva. "Seluruh barang kalian sudah ada di kamar." Taban menjelaskan dengan senyuman. Ia tidak sadar jika ada seseorang yang tidak terima atas perlakuan itu.
"Apakah yang menyuruhmu memindahkan barang-barang kami adalah ulah Khan Adrian?!" Shanum tampak marah, wajahnya kaku dan geram. Taban tampak menelan ludahnya, wajahnya memucat. "Itu--itu perintah Tuan, Miss." "Baik, kalau begitu antar aku sekarang menemui Tuanmu!" Shanum tampak mengertakkan giginya, ia mencoba menahan amarahnya. "Baik Miss, mari ikut saya." Taban segera beranjak, dia menunggu Shanum mengikuti langkahnya.
"Kami tunggu di sini dulu saja ya," ucap Diva. Shanum tampak mengangguk. "Oh iya Taban, bolehkah aku dan Diva berkeliling, sambil menunggu Shanum. Aku yakin, em...negosiasi mereka pasti akan lama. Kami janji hanya melihat-lihat, itu pun jika diperkenankan." Farah berkata sambil tersenyum memohon kepada Taban.
"Oke, silahkan--nanti Erhi yang menemani kalian." Lalu Taban mengucapkan kalimat perintah kepada Erhi dengan bahasa setempat, yang dibalas anggukan kepala olehnya. Taban dan Shanum segera keluar dari ruangan itu, sedang Farah dan Diva memulai Tour mereka di mansion mewah milik Khan Adrian.
"Silahkan Miss Shanum." Taban mempersilahkan dia untuk masuk ke sebuah ruangan. Sebelumnya, Shanum disuruh menunggu dahulu di depan pintu, sementara Taban mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk mengantarkan Shanum. Saat ia masuk ke sebuah ruangan kerja yang cukup luas. Shanum melihat meja kerja yang sangat besar, dengan kertas-kertas berserakan di atasnya.
Tampaknya ia sudah mengganggu jam sibuk seseorang. Shanum melihat ke sekeliling ruangan, dan ia melihat sosok Khan Adrian sedang berdiri di depan sebuah jendela besar. Pria itu kemudian menoleh. Shanum merasa seperti ditinju. Pria itu...indah.
Matanya yang berwarna coklat keemasan itu semakin bersinar dengan latar belakang cahaya matahari yang memantul lewat jendela. Ya, pria ini memang indah, konsep indah di sini dalam artian keelokan seorang pejuang atau seorang penakluk. Pria ini memiliki cap kekuasaan pada setiap sentimeter kulitnya, setiap bagian tubuhnya.
"Aku dengar kau ingin bertemu denganku," kata pria itu, menyadarkan Shanum dari kekagumannya. Shanum mengerjap, kemudian merasakan wajahnya merona, tidak tahu sudah berapa lama ia melamun. "Ya."
Senyum pria itu kelihatan mengejek, menunjukkan kepuasan khas pria... dan fokus murni yang berbahaya.
"Jadi bincang-bincang seperti apa yang ada di otak mungilmu itu, mari kita lakukan."
Marah karena membiarkan dirinya masih saja dibutakan oleh keindahan fisik pria itu, Shanum menggigit bagian dalam pipinya sebagai teguran. Ia tidak mau jatuh ke lubang yang sama. Pria itu tahu persis betapa memesona dirinya, dan tahu pengaruhnya terhadap setiap gadis yang polos. Itu membuatnya menjadi pria arogan yang seharusnya dapat ditolak oleh Shanum dengan mudah.
Pria itu masih berdiri di depan jendela, dan menunggu. Shanum berhenti dengan jarak sejauh lima puluh sentimeter, sepenuhnya menyadari tinggi dan kekuatan pria itu. Ia tidak terbiasa merasa pendek. Ataupun lemah. Padahal dia menguasai ilmu beladiri. Bahwa Khan Adrian dapat membuatnya merasakan kedua sensasi tersebut, dan tanpa bersusah payah, membuatnya cukup marah sehingga menanggapi.
"Aku merasa tidak nyaman jika ada pria asing yang sok otoriter mengatur di mana aku harus tidur. Hanya karena ia sudah menyelamatkan hidupku, bukan berarti ia dapat ikut campur dalam kehidupanku!"
Mata keemasan itu berkilat terkejut. "Bukankah seharusnya aku yang merasa takut kalau-kalau seorang gadis yang terlihat polos memanfaatkanku? Kaulah yang selalu muncul di hadapanku."
Shanum merasa terhina, wajahnya terlihat marah. "Yang Mulia Khan Adrian, aku yakin bahwa kau salah menyangka diriku sebagai gadis dengan moral yang patut dipertanyakan. Aku meyakinkanmu bahwa aku bukanlah wanita murahan."
Sambil melambaikan tangan dengan geli, Khan Adrian berjalan menuju ke sofa. "Kau tidak suka aku menyuruhmu pindah ke sini dari hotel," katanya. "Tidak! Aku tidak kenal siapa kau? Dan apa maksudmu melakukan hal ini?" Bibir pria itu melengkung, seolah Shanum mengatakan sesuatu yang lucu.
"Duduklah, Shasha. Aku tidak menggigit, kecuali kau memintanya." Pria itu tersenyum tipis. Namanya terdengar berbeda di bibir pria itu. Dengan panggilan itu, mengikat. Seolah dengan mengucapkannya, pria itu memegang kendali atasnya.
Shanum duduk berhadapan dengan pria itu. Posisi duduk pria itu terlihat anggun dan sopan, dia bagaikan raja yang duduk di singgasananya. "Baiklah, apa yang mau kau tanyakan? Aku akan mencoba jujur menjawabnya."
"Berapa usiamu?" Tahu-tahu Shanum sudah bertanya sebelum dia sempat menahan rasa penasarannya. Khan Adrian mengangkat sebelah alisnya yang melengkung sempurna. "Apa kau tidak bisa menahan diri?" Komentar itu sebenarnya diucapkan dengan santai, tapi Shanum dapat mendengar nada keras yang ada di baliknya. Rasa dingin menjalar di sekujur tubuhnya. "Menurut beberapa orang, tidak...aku ini memang selalu penuh rasa ingin tahu."
Sesuatu yang misterius dan sangat berbahaya terlintas di kedalaman mata keemasan yang tidak pernah dimiliki oleh manusia biasa itu. "Hati-hati Shasha, keingintahuan terkadang dapat membuatmu terbunuh."
"Apa kau mengancamku?" tanya Shanum sambil memicingkan matanya. "Tidak, aku hanya mengucapkan realita yang biasanya terjadi."
Shanum merasa tiba-tiba hawa menjadi semakin dingin terasa di kulitnya. Apa yang terjadi? Mengapa di dalam ruangan ini suhu udara menjadi terasa membeku. Shanum tampak mengusap-usap telapak tangannya, namun dia tetap memusatkan perhatian kepada pria berwajah kaku di hadapannya. Pria itu balas menatapnya, begitu mirip dengan binatang buas besar yang sedang mengintai binatang buruan yang akan dijadikan santapan makan malamnya.
"Kau takut padaku?" tanyanya. Shanum tidak cukup bodoh untuk berbohong. "Aku takut setengah mati. Tapi kurasa kau tidak mungkin membawaku ke sini hanya supaya dapat melenyapkanku." Pria itu lalu terkekeh geli, dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Shasha, dengar...aku bukan seorang pembunuh. Tidak jika hal itu bukan untuk melindungi diri." "Kau yakin, bukannya seseorang dengan kekuasaan besar biasanya akan melakukan segala cara untuk melindungi daerah kekuasaannya." Shanum tersenyum polos ke arah pria itu.
Pria itu tampak mengusap wajahnya. "Aku ingin kau tinggal di sini karena aku curiga ada yang mencoba membunuhmu, Shasha." Shanum terbelalak, ia kaget mendengar kata-kata pria itu. "Maksudmu, peristiwa tenggelam itu..." Pria itu menganggukkan kepalanya. Shanum bangkit dari duduknya. Dia berhenti di depan sebuah lukisan padang stepa luas dengan beberapa bangunan yang terlihat kuno di dalamnya.
Shanum menoleh dan bertanya, "Apakah kau punya leluhur yang wajahnya sangat persis denganmu?" Khan menatap Shanum, mata keemasannya berubah gelap--seolah badai melanda. Perubahan arah pembicaraan mereka yang begitu cepat mempengaruhi pria itu. Dia bangkit berdiri dari sofa dengan gerakan mendadak tapi mulus. Pria itu mendekati Shanum, menghilangkan jarak di antara mereka.
Khan mengangkat salah satu jarinya, menggerakkannya ke tulang pipi Shanum. Dia tersentak. Bukan karena Khan menyakitinya. Sebaliknya, tempat yang disentuh oleh pria itu...seolah memiliki hubungan langsung dengan bagian yang paling panas, paling feminin dari tubuhnya. Hanya satu belaian ringan dan jantungnya sudah berdetak kencang menggedor tulang rusuknya, memalukan. Tapi ia tidak mau menjauh, tidak mau menyerah.
"Apa maksud pertanyaanmu tadi Shasha? Bukannya sebelumnya kita sedang bicara tentang percobaan pembunuhan yang terjadi padamu?" Jari Khan kemudian menuruni rahangnya dan membelai ringan garis lehernya, memberikan kenikmatan menyiksa yang tidak diinginkan. "Jika kau mau tahu Shasha, tidak ada leluhur yang sama wajahnya denganku."
Bersusah payah mengangkat tangan, Shanum menyingkirkan tangan pria itu, tahu bahwa keberhasilannya mendapatkan jawaban itu lebih disebabkan oleh keinginan Khan untuk menurutinya. Dan itu membuatnya gusar. "Tolong jangan sentuh aku sekehendak hatimu. Kau bukan apa-apaku, hubungan kita tidak sedekat itu." Khan memandangi Shanum selama beberapa menit, dengan tatapan angkuh dan dingin yang membuat darahnya berubah menjadi es. "Belum... bukan tidak, tapi belum..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments