Shanum menunda kedatangannya ke kamar rawat Khan Adrian. Dia menghabiskan waktu seharian bersama kedua sahabatnya. Mereka menjelajahi berbagai tempat menarik di sekitar kediaman Khan. Tentunya dengan bantuan Taban sebagai pengawal setia mereka. Meski pada awalnya pria itu terlihat enggan mengantarkan mereka.
Tampaknya pria itu masih kecewa pada ketiganya karena sudah pernah menipunya saat melarikan diri tempo hari. Namun melihat pandangan memohon dari Diva membuatnya tidak bisa berkutik. Taban mengatakan dia tetap harus melapor terlebih dahulu dengan pemilik tanah tersebut, yaitu Khan Adrian. Dan ketika mereka mendapatkan izin untuk mengunjungi lokasi di sekitar mansion, Shanum merasakan kelegaan yang begitu besar. Khan sudah membuat suasana hatinya berantakan. Dia butuh waktu untuk menelaah perasaannya lebih jauh.
Banyak hal menakjubkan yang mereka lakukan di hari itu, dimulai dengan melihat fasilitas yang ada di sana. Lapangan golf, arena memanah, arena menembak, dan lapangan berkuda. Khan memiliki tempat pembiakan kuda Mongolia terbesar di wilayah itu. Menunggang kuda adalah bagian mendasar dari budaya Mongolia. Seorang Mongolia tanpa kuda adalah bagaikan burung tanpa sayap.
"Apakah kalian ada yang mau mencoba menaiki kuda?" tanya Taban. Ketiganya berpandangan dalam diam. "Kalian belum pernah naik kuda ya." "Pernah, waktu kecil. Itu pun naik kuda keliling kebun binatang," jawab Diva polos. "Ih, itu sih naik kuda buat anak-anak. Jalannya juga pelan-pelan, sambil talinya dipegang sama Abang yang punya kuda," celetuk Farah sambil memutar bola matanya. Taban terlihat bingung mendengar ucapan keduanya.
Akhirnya Shanum menjelaskan bahwa mereka belum pernah belajar berkuda. Kalau pun naik kuda, hanya sebatas membayar ongkos berkeliling, hanya duduk di atas kuda sambil tetap tali kekang dipegang oleh pawang kudanya dari bawah. Si pawang akan ikut berjalan mengikuti kuda dari samping. Taban tersenyum geli mendengar penjelasan itu. Menurutnya itu bukanlah naik kuda yang sebenarnya.
"Jadi bagaimana Ladies, ada yang mau mencoba belajar naik kuda? Kalau aku sih ingin mencobanya. Tapi sepertinya lain kali saja, tidak hari ini," ucap Shanum. "Aku juga sama, tidak hari ini," jawab Farah. Diva juga sama menggelengkan kepalanya. "Oke Taban, sebaiknya kita menuju lokasi selanjutnya. Untuk belajar naik kuda, mungkin bisa lain kali saja," ungkap Shanum selanjutnya. "Baik, kita menuju kebun mawar saja ya," kata Taban.
Taban lalu kembali ke Buggy Car yang membawa mereka berkeliling. Sesampainya di kebun mawar Shanum dibuat terpana dan heran, sejauh mata memandang tampak bunga mawar yang begitu banyak. Terdapat berbagai varietas mawar langka ditanam di kebun itu. Begitu informasi yang Shanum dengar dari Taban. Tidak ada yang menyangka ternyata pria yang begitu dingin dan acuh itu memiliki kebun mawar. Saat melihat kebun itu Shanum jadi berpikir, buket bunga kemarin jangan-jangan juga berasal dari kebun ini.
"Wah, Shanum, ini sih bunga kesukaanmu. Dia memiliki kebun mawar, sungguh paket lengkap dari seorang pria." Farah tersenyum smirk pada Shanum. Gadis itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh Farah. "Jadi Khan menyukai bunga mawar Taban?" tanya Shanum memastikan kembali. "Aku tidak begitu tahu tentang itu Shanum, yang aku tahu Khan sering menghabiskan waktunya di kebun ini, menatap dalam diam mawar-mawar yang berada di sini."
Mendengar jawaban Taban kening Shanum terlihat berkerut. Namun dia tidak membahas lebih lanjut. Perhatian Shanum teralihkan oleh jeritan salah satu sahabatnya. "Astaga indah sekali, ada mawar yang berwarna biru," pekik Diva. "Mawar biru itu termasuk varietas langka di dunia," jelas Taban. "Kau tahu tentang varietas mawar langka?" Diva menatap Taban dengan serius.
"Tidak semua, aku hanya pernah membacanya di sebuah buku. Yang ditanam di rumah kaca adalah termasuk varietas mawar langka. Ada empat jenis mawar langka di sini, mawar biru seperti yang sedang kita lihat, mawar Cara Luna Gold berwarna kuning keemasan, Britis Rose, dan mawar hitam," jawab Taban.
"Wow ada mawar hitam juga," kata Diva kagum. "Ada, Khan membawa bibitnya langsung dari Turki tepatnya di daerah Halfeti." Taban tersenyum lembut pada Diva. "Ayo kita makan siang dulu di sini." Taban menunjukkan gazebo yang berada di dalam kebun itu. Di sana sudah tersedia makan siang lengkap yang menggugah selera.
"Sungguh romantis makan siang dikelilingi keharuman bunga mawar yang beraneka warna," ucap Shanum dalam hati. Seandainya pria itu berada di sini. Shanum tersenyum miris, dia tetap mengingat pria itu, meski hatinya masih terasa gundah.
Setelah dari kebun mawar mereka lanjut ke sungai dan memancing d sana. Aktivitas memancing ternyata sangat menarik. Ketiga gadis itu sangat menikmatinya. Dan aktivitas mereka di hari itu berakhir saat matahari tenggelam kembali ke peraduannya. Shanum baru selesai mandi dan berpakaian saat pintu kamarnya diketuk seseorang. Shanum menuju pintu dan heran menemukan Dario berdiri dihadapannya dengan gelisah.
"Ya Dario, ada apa?" tanyanya. "Maaf Shanum, kau mungkin lelah. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi menjelaskannya," jawabnya. Shanum mengerutkan keningnya, tampak bingung. "Maksudmu?" "Ehm, begini, boleh aku minta tolong. Khan memintamu menemuinya di kamarnya. Dan aku tidak boleh kembali dengan tangan kosong," ungkap Dario sambil meringis.
Shanum menegang, dia melemparkan tatapan kesal ke arah Dario. "Maksudnya pria itu memaksa begitu? Memang tidak ada hari lain. Besok kan masih bisa." Shanum berkata ketus. "Shanum, please... Seharian ini Khan uring-uringan. Setiap saat dia menanyakan apakah kau sudah kembali dari acara berkeliling itu. Aku tidak pernah memohon pada seseorang sebelumnya. Jadi tolong, bantu aku, dan ikut denganku untuk menemuinya," ucap Dario. Shanum tidak pernah mendengar suara memelas dan permohonan dari Dario sebelumnya, pria ini biasanya sangatlah kaku, dan tidak banyak bicara.
Shanum menghela napasnya, dia tidak tega untuk menolak lebih jauh. "Tunggu sebentar, aku ganti pakaian dulu." Dario tampak tersenyum lega mendengar kata-kata Shanum. Lalu gadis itu masuk kembali ke kamarnya dan mengganti baju tidurnya dengan busana yang lebih pantas. "Huh dasar pria Kulkas, bikin repot orang saja," gerutu Shanum.
Semakin dekat ke kamar rawat Khan Adrian, Shanum tampak semakin resah. Dario menyadarinya. Dia tiba-tiba berhenti melangkah sesat sebelum mereka sampai di depan pintu ruangan Khan di rawat. Dia menatap wajah Shanum. "Dia tidak akan menyakitimu. Aku tahu, karena selama ini aku tidak pernah melihat Khan bertindak seserius itu hanya untuk seorang wanita. Dia begitu berantakan, tingkah lakunya semakin tidak terkendali. Bukan seperti Khan Adrian yang biasanya teratur, rapi, dingin dan penuh perhitungan," ucap Dario. Shanum berdiri kaku mendengar kata-kata Dario. Dia menggeleng, tidak ingin membahas lebih lanjut.
"Baik, silahkan masuk kalau begitu. Semoga berhasil Shanum." Dario menunjukkan pintu yang tertutup dengan isyarat tangannya. Dia lalu melangkah pergi kembali menuju lift. Shanum menatap pintu di depannya, ia menelan ludahnya. Shanum gemetar, gadis itu tidak tahu apa yang akan terjadi di dalam nanti. Namun dia bukanlah seorang pengecut, dia harus segera menyelesaikan masalah ini.
Shanum mengetuk pintu, saat terdengar suara 'masuk' dari dalam kamar, dia membuka handle pintu. Pintu terbuka dan menampilkan Khan Adrian yang sedang berbicara dengan dua pria. Seperti biasa, napasnya tercekat melihat Khan, yang membuat kekesalannya semakin bertambah. Kenapa pria itu memiliki pengaruh seperti itu atas dirinya? Kapan dia bisa kebal? Khan berpaling dan bibirnya melengkung membentuk seulas senyum perlahan dan membuat jantung Shanum berhenti berdetak ketika ia melihatnya.
"Kita akan selesaikan nanti," gumamnya kepada kedua pria itu tanpa mengalihkan tatapannya dari Shanum. Kedua pria itu mengangguk dan memberikan penghormatan mereka, lalu keluar dari kamar. Shanum mencoba menormalkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Dia merasa tidak nyaman ditatap sedemikian rupa oleh Khan. Pria itu mengamati wajah Shanum dengan matanya yang berwarna coklat keemasan.
"Apa kabar, Shasha?" Arus listrik yang kini terasa tidak asing berderak di antara mereka, daya tariknya semakin kuat karena emosi Shanum. "Baik." Pria itu tersenyum sambil memberikan isyarat pada gadis itu untuk duduk di atas tempat tidurnya. Shanum langsung menggelengkan kepalanya.
Senyum Khan berubah menjadi kerutan. "Aku mencoba menunggumu sejak kemarin. Apakah kau menerima bunganya?" "Ya. Bunganya indah. Terima kasih," jawab Shanum kaku. "Bunga itu mengingatkanku pada dirimu dan Sarnai." Khan menatap kosong ke dinding di seberang ruangan. Dan Shanum tampak merengut kesal. Apa yang sedang dilakukan pria itu? Shanum mulai berpikir pria ini menderita gangguan mental. Gadis mana yang senang disamakan dengan wanita lain.
"Beberapa wanita mungkin menganggap itu romantis, tapi tidak denganku." Pria itu tersadar dari lamunannya saat mendengar kata-kata ketus Shanum. Khan menatapnya, lalu mendesah, menyerah pada kebingungannya. "Aku senang kau tetap mau menerimanya." Lalu jeda lagi. "Maaf..."
"Aku akan memikirkannya, apakah aku dapat memaafkanmu," jawab Shanum. Setelah sikap dan kata-katanya tempo hari Shanum bertanya-tanya apakah dia ingin bertemu kembali dengan Khan.
Apa yang dirasakannya sebenarnya terhadap Khan? Jika dia tidak memiliki rasa untuknya, mengapa ia merasa sakit hati?
Apakah dia sudah jatuh cinta pada pria itu? Itu adalah kemungkinan yang ditakutinya sejak kemarin, saat dia menerima buket bunga itu. Shanum mulai sadar bahwa jika dia tidak bisa lepas dari pria itu, meski ia kesal keinginannya untuk tetap bersamanya selalu ada. Tetapi ia tidak bisa membenarkan satu saat di antara saat-saat di mana ia membuat gadis itu merasa seperti wanita cadangan.
"Adri, kita tidak punya hubungan apa pun. Kita memulainya saat kau menyelamatkan hidupku akibat tenggelam, lalu aku membalas budi dengan membakar orang yang berusaha membunuhmu menjadi abu. Kita sudah impas, jadi kita akhiri saja sampai di sini," ucap Shanum dengan wajah datar. "Shasha." Suaranya berubah serak. "Aku tahu aku mengacaukan segalanya. Biarkan aku menjelaskan."
"Kau tidak perlu melakukannya. Ini bukan masalah," ucap Shanum datar. "Ini masalah. Aku tidak bisa menerima kau pergi meninggalkanku." Shanum terkesiap, wajahnya tampak kaget. "Aku tidak mau--"
"Kita bisa melakukannya dengan cara yang mudah, Shasha. Atau kau bisa membuatnya menjadi sesuatu yang sulit." Nada suaranya terdengar tajam dan membuat denyut nadi Shanum berpacu. Gadis itu memejamkan mata, mengerti bahwa dia tidak cukup beruntung untuk lolos dengan obrolan selamat tinggal sederhana dengan pria itu. Shanum melangkah mendekati Khan dan duduk di pinggir tempat tidurnya.
Menyerah pada sesuatu yang tidak bisa dihindari, ia mendekat pada pria itu. Wajah pria itu terlihat tenang dan datar, tetapi matanya muram dan panas. Shanum menarik napas dalam-dalam dan gemetar. Aroma pria itu sangat luar biasa.
"Setiap kali aku memejamkan mata, aku melihatmu ada di sampingku, memelukku dengan lembut dan menatapku dengan pandangan menenangkan itu," bisik Khan lirih.
"Jangan." Shanum memalingkan wajah, tidak mampu melihat caranya yang intim ketika menatapnya. "Aku tidak bisa menahan diri." Khan menegakkan posisinya, lalu perlahan tangannya menggenggam tangan Shanum. Dia menarik Shanum lebih dekat. Shanum terkesiap kaget. "Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa melepaskanmu pergi. Batinku tersiksa saat mendengar kau ingin pergi, Shasha," bisik pria itu di telinga Shanum.
"Aku tidak--" Pria itu menarik Shanum ke tubuhnya dan memeluknya. Shanum mematung, badannya tidak bisa bergerak. Rasa hangat yang perlahan menyebar di sekujur tubuhnya membuatnya berdebar. Gadis itu meleleh ketika merasakan pelukannya semakin erat, dan kecupan pria itu di rambutnya.
Dalam rengkuhan pria itu Shanum merasakan sebuah pemahaman terbentuk di kepalanya. Dia sudah takluk pada pria ini. Dan itu membuatnya sangat takut, pria ini sangat mencintai Sarnai. Mampukah dia menahan hatinya agar tidak hancur berkeping-keping saat bersaing dengan wanita lain. Bagaimana dia bisa menerima jika Sarnai masih utuh menguasai jiwa pria itu.
Saat pria itu melepaskan pelukannya dan tersenyum lembut pada Shanum, gadis itu menggelengkan kepalanya. Shanum mencoba menatap pria itu dengan tegar, meski hatinya masih terasa bimbang. "Adri, kita selesaikan saja masalah ini. Aku tidak ingin berhubungan denganmu lagi." Khan menyisirkan tangan ke rambut dan mengembuskan napas dengan keras. "Kau tidak bersungguh-sungguh."
Tiba-tiba saja Shanum merasa sangat lelah, lelah karena berjuang melawan dirinya sendiri karena diri pria ini. "Aku serius. Kau dan aku, ini adalah kesalahan," ucap Shanum. Rahang pria itu mengeras. "Bukan kesalahan. Caraku menghadapinya setelah itu adalah kesalahannya."
Shanum menatapnya, terkejut mendengar ketajaman dalam penyangkalannya. "Aku berbicara tentang persetujuanku terhadap keinginanmu untuk tidak membiarkanku pergi. Tingkah laku 'orang asing tapi mesra yang gila' di antara kita ini. Aku sudah tahu sejak awal bahwa ini semua salah. Seharusnya aku mendengarkan naluriku," desis Shanum.
"Apakah kau ingin bersamaku, Shasha?"
"Tidak. Itulah yang--" jawab Shanum. "Tidak seperti apa yang kau pikirkan. Tapi lebih dari itu," potong Khan.
Jantung Shanum mulai berdebar kencang. "Apa maksudmu?" tanya Shanum. "Semuanya." Pria itu menatap dalam pada gadis itu. "Aku ingin bersamamu," lanjutnya. "Kau tidak terlihat ingin bersamaku saat memalingkan wajahmu setelah sadar saat itu." Shanum berkata sambil perlahan bangkit dari duduknya. Lengannya merangkul perutnya dengan erat.
"Aku...kebingungan," sambungnya. "Lalu? Kau pikir bagaimana denganku, aku juga bimbang," desis pria itu sambil memukul kasur, rahangnya mengeras. "Jangan memancing diriku untuk memaksamu, Shasha."
Shanum berkacak pinggang. "Kalau hanya itu yang kau miliki, kita sudah selesai," kata Shanum geram. "Kita belum selesai," jawab Khan. "Kita sudah tiba di jalan buntu kalau kau berubah aneh setiap kali mengingat Sarnai," teriak Shanum.
Pria itu jelas-jelas kesulitan mencari kata-kata. Dia mengusap wajahnya. "Aku tidak bisa melupakan Sarnai. Gadis itu sudah berada di sini selama ini, dan aku sudah terbiasa merasakan itu." Khan menunjuk dadanya sambil berkata kepada Shanum. "Menurutmu begitu? Jadi di mana tempatku, Adri?" tanya Shanum.
"Shasha." Khan memanggil lirih gadis itu. "Aku belum pernah mengalami sesuatu seperti itu. Tidak juga terhadap Sarnai. Kupikir itu tidak mungkin. Sekarang setelah aku mengalaminya, aku harus mendapatkannya. Aku harus memilikimu."
"Itu hanya emosi sesaat, Adri. Hanya bersifat sementara, saat kau tersadar, kau akan berterima kasih kepadaku. Karena sesungguhnya aku sudah menyelamatkan kita dari kesalahan."
"Omong-kosong. Kuakui aku mengacaukan segalanya. Aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi aku sudah pasti akan kesal kalau kau tetap ingin jauh dariku. Tolong kau katakan padaku aturan-aturanmu dan aku akan menyesuaikan diri untuk menerimanya. Tapi aku juga mau kau berlaku sama." Wajahnya mengeras karena frustasi. "Setidaknya sedikit saja," mohonnya.
Shanum menatapnya, mencoba memikirkan apa yang sedang dilakukannya dan apa tujuan semua ini. "Apa yang kauinginkan, Adri?" tanyanya lirih. Khan menatap Shanum, bola matanya berkilat keemasan. Dia beringsut turun dari tempat tidur. Pria itu memindahkan cairan infus ke tiang beroda yang bisa di geser.
Lalu dia menarik Shanum ke arahnya dan menangkup pipinya dengan satu tangan. "Aku ingin terus merasakan apa yang kurasakan ketika berada bersamamu. Katakan padaku apa yang harus kulakukan. Berikan ruang bagiku untuk membuat kesalahan. Aku tidak pernah melakukan ini. Banyak yang harus kupelajari."
Shanum menempelkan tangan di dada Khan dan merasakan jantung pria itu berdebar kencang. Dia tidak pernah menyangka jantung pria dingin ini bisa berdenyut keras karenanya. Khan cemas menanti jawaban Shanum. Matanya bersinar penuh harap. Bagaimana Shanum harus menjawabnya? Apakah dia harus mengikuti kata hatinya atau akal sehatnya?
"Melakukan apa? Bagaimana dengan kehidupanku di negaraku?" tanya Shanum. "Apa pun yang harus kulakukan untuk menghabiskan waktu sesering mungkin denganmu, dan selama waktumu di sini. Tentang kembalinya dirimu ke negaramu akan kita pikirkan nanti."
Serbuan kegembiraan menerjang diri Shanum sangat kuat. "Apakah kau mengerti betapa banyak usaha dan waktu yang dibutuhkan oleh hubungan di antara kita, Adri? Aku masih belum tahu lebih banyak tentang dirimu. Sekarang saja aku sudah cukup lelah dengan masalah-masalah pribadiku yang semakin membingungkan. Tentang kekuatan yang kupunya, tentang mimpi-mimpiku, tentang jawaban yang masih terus kucari..."
Lalu jemari Shanum menutup mulut Khan sebelum pria itu sempat menjawab pertanyaannya. "Tapi aku juga tidak bisa mengingkari perasaanku. Jauh di lubuk hatiku, aku juga sangat ingin terus bersamamu. Jadi kurasa aku tidak punya pilihan, bukan?"
Mata Khan terbelalak lebar, dia tidak bisa berkata-kata. Khan langsung menarik Shanum ke dalam rengkuhannya. Lalu mendekatkan wajahnya sangat dekat dengan wajah gadis itu. Pria itu menempelkan hidungnya ke hidung Shanum dan memejamkan matanya.
Napasnya terasa hangat dan berat terdengar oleh Shanum. Wajah gadis itu bersemu merah, badannya bergetar. Sepanjang hidupnya, belum pernah dia berada sedekat ini dengan seorang pria. Jika ayahnya tahu, bisa-bisa dia segera di bawa pulang dan dikurung di rumah seumur hidupnya.
Khan membuka matanya, lalu menjauhkan wajahnya kembali. Dia tersenyum hingga gigi putih rapinya terlihat. Dia tidak pernah melihatnya tersenyum selebar itu. Mata coklat keemasannya terlihat mempesona, dia membuat Shanum terkesima. Dia tidak percaya, pria setampan itu menginginkan dirinya.
"Shasha?" panggil Khan. "Kau tampan, Adri." Kata-kata itu meluncur dari mulut Shanum tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Alis Khan terangkat, lalu matanya melembut. "Aku senang kau menyukai apa yang kau lihat." Shanum tampak meringis malu, saat tersadar dari situasi menggelikan itu. "Aduh, mulut Ember, tidak bisa di tahan, membuat malu saja," ucap Shanum dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments