Leher Shanum terasa sakit, dan punggungnya terasa aneh. Saat dia membuka mata dan melirik ke sekitarnya, ia mengetahui alasannya. Dia saat ini berada di atas sofa, tepat di atas sofa beledu kuno, yang aslinya hanya difungsikan sebagai tempat untuk melakukan perbincangan ringan, tapi jelas bukan untuk tidur. "Dimana aku?" tanya Shanum. Diva langsung menoleh ke arahnya dan tersenyum.
"Akhirnya kau bangun juga. Aku lelah dari tadi menunggumu di sini. Farah dan Ula sedang mengambil obat dalam Medical Emergency Box di mobil. Sedang Tim sedang mengangkat telpon di luar. Tadi mereka semua berada di sini. Namun karena kau tak kunjung sadar, kami mulai khawatir. Ini adalah rumah tempat beristirahat penjaga kota tua ini," jawab Diva.
"Berapa lama aku tak sadarkan diri?" Shanum berjuang untuk duduk. Diva membantu memeganginya. "Yah, kurang lebih sudah satu jam," jawab Diva. "Lama juga ya," ringis Shanum.
Dia merasa otot-ototnya mengerang protes saat ia meregangkan tubuh, ia mencoba berdiri, lalu membungkukkan bagian atas tubuhnya, dari kanan ke kiri, memutar leher ke depan dan ke belakang. Kemudian mencoba melangkah, dia menuju tirai beledu tebal di depan sofa, dan menyibakkannya. Debu beterbangan di udara, dia menutup hidungnya, sedang Diva terdengar bersin-bersin.
Cahaya yang begitu terangnya membanjiri ruangan, hingga matanya berair dan pedih. Matanya memicing untuk menyesuaikan penglihatannya. "Ampun, sudah berapa abad itu tirai tidak di cuci. Di tutup saja Sha, bikin gatal hidung." Diva tampak mengusap hidungnya yang memerah samar karena gatal. Shanum tidak menggubris ucapan Diva, ia tetap menyangkutkan pengaitnya di kedua sisi, agar tirai itu tetap terbuka.
"Omong-omong, apa kau baik-baik saja, Sha? Apa yang kau rasakan?" tanya Diva. Shanum menolehkan kepalanya, ia melihat pandangan khawatir Diva. Dia tidak langsung menjawab, ia kembali menatap ke pemandangan padang rumput yang terlihat dari jendela.
Shanum mencoba memilah hal yang perlu ia ungkapkan dan yang tidak. Karena seluruh kejadian yang ia alami sungguh di luar nalar. Akhirnya dia mulai menceritakan kejadian saat itu, pandangannya masih tetap menerawang melihat keluar jendela.
Kemudian menutup ucapannya dengan berkata, "Aku mulai gila sepertinya. Mungkin akibat mimpi yang kudapatkan. Atau juga karena kepalaku sudah tidak kuat menanggungnya, atau...entahlah, aku juga bingung..."
"Siapa yang gila?" tanya Farah, memandangi mereka. Farah dan Tim tiba-tiba masuk. Farah memotong percakapan mereka dan pandangannya kini penuh rasa ingin tahu. Diva menatap Shanum, matanya meminta izin, dan setelah melihat Shanum mengangkat bahu, dia menatap Farah dan berkata, "Shanum merasa dia menjadi gila."
Farah memicingkan matanya, pikirannya dipenuhi dengan sejumlah pertanyaan. Tapi Shanum memiliki serangkaian pertanyaannya sendiri, pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. "Diva bisa memberitahumu," ucap Shanum, memandangi keduanya sebelum melangkah pergi. Tak pernah begitu inginnya dia menjadi normal seperti saat ini, bahwa ia bisa bersandar pada mereka dan menangis di pundak mereka seperti gadis biasa.
Tapi jelas ada masalah lebih besar di balik situasi ini, yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Dan meskipun Shanum belum dapat membuktikannya, jika ia menginginkan jawaban, ia harus langsung pergi ke sumbernya.
Shanum mendekati Tim. "Em, maafkan aku. Aku sudah merusak kegiatan kita hari ini. Bisakah, em...kau menemaniku ke suatu tempat?" tanya Shanum. Tim kaget oleh permintaannya, tapi kemudian dia tersenyum.
"Oke, mari tunjukkan padaku," jawab Tim. Pria itu tidak menanyakan apapun. Tampaknya dia tidak berani ikut campur lebih jauh, mungkin semacam kode etik di pekerjaannya.
Shanum berjalan di samping Tim, sambil melihat sekelilingnya, tampaknya dia mulai kehilangan arah. Dia sudah mencoba memastikan kembali, tapi memang tempat ini terasa membingungkan. Akhirnya dia menyerah, kemudian berkata, "Hm, Tim, apakah kau tahu letak lokasi sebuah tenda besar di sekitar sini. Sepertinya aku bingung dengan arahnya." Tim menganggukkan kepalanya, kemudian mengajak Shanum untuk mengikutinya.
"Malu bertanya sesat di jalan, pepatah itu benar sekali," gumam Shanum. Dia berjalan di samping Tim, nalurinya mengatakan sesuatu akan terjadi, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku agar Tim tak melihatnya bergetar. Shanum memaksakan diri untuk bernapas seperti yang akan dilakukan orang normal, tenang--masuk dan keluar, pelan dan stabil, tanpa terengah. Shanum teramat gugup, tapi ia harus menghadapi ketakutannya sekali lagi, agar ia tidak terus bertanya-tanya.
"Kita sudah sampai, apakah tenda ini yang kau maksud?" tanya Tim. Ucapan Tim membuyarkan lamunan Shanum. Dia menatap tenda di hadapannya dan melihat sekelilingnya. "Iya, ini benar, terima kasih Tim." Shanum tersenyum kemudian berjalan ke samping tenda, ia mengelilingi tenda tersebut, lalu berhenti di depan pintu masuk. Dia masih tidak menemukan keanehan apa pun.
"Tenda ini bernama Ger, merupakan tenda khas suku Mongolia, kalau kau mau tahu," ucap Tim. Shanum melirik ke arah Tim, mata hitamnya bertemu dengan mata coklat Tim. "Apakah orang keluar--masuk tenda ini hanya dari satu pintu itu?" Shanum menunjuk pintu tenda yang berwarna kuning emas. Tim menganggukkan kepalanya, matanya masih menatapnya dengan tenang. "Apa lagi yang ingin kau tahu soal tenda ini?" tanya Tim.
"Aku hanya penasaran, bagaimana caranya orang yang kulihat masuk ke tenda ini, tiba-tiba menghilang di dalamnya. Aku tidak mungkin salah lihat, setelah beberapa saat, aku mengikutinya masuk ke dalam." tanya Shanum sambil meringis. Tim tertegun, kemudian menganggukkan kepalanya, pemahaman mulai terlihat di matanya.
"Jadi tadi kau pingsan karena hal itu?" Tim bertanya sambil tersenyum. Shanum menganggukkan kepalanya, lebih mudah mengiyakan saja pertanyaan itu, tanpa penjelasan lebih lanjut.
"Aku sudah menceritakan tentang sejarah kota ini kan. Dan, sebenarnya aku dan Ula merupakan keturunan dari orang-orang yang dulunya tinggal di sini. Mereka adalah nenek moyang kami." Tim berkata sambil terlihat mengusap pintu tenda itu. "Em...ada sebuah kisah yang pernah diceritakan oleh nenekku. Secara turun temurun kisah ini terus diceritakan kembali. Apakah kau mau mendengar kisah ini?" tanya Tim. Shanum tampak tertarik.
"Mau, tolong ceritakan!" Percakapan mereka tiba-tiba terputus, di kejauhan terdengar teriakan.
"Hei, Sha--Tim, sedang apa kalian? Kami mencari-cari kalian lho?!" teriak Diva. Mereka menoleh ke asal suara teriakan itu. Shanum tersenyum lebar melihat ke arah kedua sahabatnya, dan Tim tersenyum tipis. Ula mengikuti langkah keduanya dari belakang, sambil membawa kamera milik Shanum. "Mulai main rahasia ya sama kami, tadi kami ditinggal begitu saja," protes Farah sambil berkacak pinggang. Wajahnya tampak memerah menahan geram, matanya terlihat kecewa.
Shanum merasa bersalah melihat pandangan kesal di wajah Farah. "Maaf ya, aku mengajak Tim ke sini karena masih penasaran. Tadi sudah di jelaskan sama Diva kan," ungkap Shanum sambil menatap Farah dengan pandangan memohon pengertiannya. Farah tidak menjawab, ia tampak menghembuskan napasnya. Shanum lantas mengambil kamera dari tangan Ula, dan mulai mengajak mereka semua untuk melanjutkan ke Itinenary selanjutnya.
"Kamu yakin sudah tidak apa-apa Sha, tidak mau minum obat dulu? Aku dan Ula tadi sudah mengambil obat pereda nyeri di mobil." Farah sudah terlihat biasa, menawarkan obat, sambil menjajari langkahnya. "Tidak perlu, aku sudah tidak apa-apa kok. Tadi cuma efek kaget saja jadi begitu," sahut Shanum sambil tersenyum. "Baiklah, kalau begitu," ucap Farah sambil mengangkat bahunya. Mereka kemudian meninggalkan lokasi kota tua itu.
"Oh iya Tim, kau tadi mau menceritakan padaku soal kisah yang diwariskan itu. Bisa menceritakannya sekarang?" Shanum menagih cerita itu pada Tim saat mereka berada di dalam mobil. Kedua teman Shanum menatapnya penuh tanya. Shanum menjelaskan percakapannya dengan Tim tadi kepada keduanya. Mereka berdua kemudian menatap Tim penuh semangat ingin tahu.
Tim terkekeh geli saat menoleh pada ketiga gadis di bangku tengah itu dan melihat ekspresi wajah mereka. Wajah mereka terlihat seperti anak kecil yang antusias untuk mendapatkan permen.
Tim kemudian tampak serius dan mulai berkata, "Oke, saya akan menceritakannya, tapi...kita harus berhenti dulu di suatu tempat untuk makan siang.
Makan siang kali ini kita lakukan sambil piknik di tengah hamparan padang rumput stepa. Kalian tidak keberatan kan Ladies?" tanya Tim. Mereka bertiga tampak senang dan bersemangat. Diva bertepuk tangan, Farah mengacungkan jempolnya, dan Shanum tampak tersenyum.
Ula menghentikan mobil di bawah pohon yang rindang. Mereka kemudian keluar dari mobil sambil melihat ke sekelilingnya. Di hadapan mereka tampak hamparan rumput berwarna hijau kecoklatan. "Waw...indahnya," seru Diva. Farah dan Diva tampak antusias, mereka langsung berlari ke hamparan rumput itu. Farah malah langsung merebahkan diri di atas rumput.
"Farah--aduh, pakai alas dulu dong, baru rebahan. Itu tikarnya sudah di bawa Ula. Bajumu jadi kotor kan itu, ihh--jorok! Diva tampak kesal melihat tingkah temannya. Namun, Farah tetap tidak bergeming mendengar protes Diva, ia tampak memejamkan matanya sambil menikmati suasana. Shanum tersenyum melihat tingkah konyol mereka. Dia membantu Ula dan Tim membawa perlengkapan piknik mereka.
Kemudian mereka menggelar tikar lipat di atas hamparan rumput, dan menyusun makanan yang sudah dipersiapkan oleh Tim dan Ula sebelum keberangkatan mereka. Ketiga gadis itu tidak tahu jika makan siang mereka dilakukan di tengah hamparan rumput luas tak bertepi, dan di bawah langit biru yang indah.
"Waw, semua makanannya tampak lezat. Nama makannya apa saja ini?" Diva tampak antusias melihat banyak makanan di hadapannya. "Ini namanya Beff Stroganoff, yang ini Permeni, Shashlyk, kemudian untuk pencuci mulutnya ada Ptichye Moloko . Disini juga ada sajian teh asli negara ini. Jika kalian ingin air mineral, nanti saya ambilkan di mobil. Kita punya banyak," ungkap Tim.
Shanum mengambil Permeni mengikuti cara Tim yang mengolesi terlebih dahulu dengan krim asam, begitu Tim menyebutkan nama krim itu, dan kaget saat mengunyahnya. "Cita rasa asam dan gurih meledak di mulutnya, em...sensasi ini, rasanya seperti pangsit isi daging ya," ucap Shanum.
"Masa, sini aku mau juga mencobanya." Diva tiba-tiba mencomot salah satu Permeni dari piring Shanum. "Issh, ambil sendiri pakai piring tuh, minta sama Ula." Shanum terlihat geram, melihat makanannya dicicipi Diva.
"Eh iya, Farah, makanan sudah ready nih. Farah...yah dia tidur," tampak Shanum menoleh memanggil Farah. Namun Farah tetap tak bergeming, masih memejamkan matanya.
"Farah, woii...bangun, makanannya enak-enak nih, nanti aku habisin lho," teriak Diva. Suara Diva yang super kencang itu membuat Farah tersentak bangun. Shanum saja sampai menutup kedua telinganya, gendang telinganya serasa mau pecah mendengar suara cempreng Diva.
Farah bangun, posisinya sekarang duduk di rumput sambil mengerutkan keningnya, dan menoleh ke arah mereka. Diva tampak dengan senyum polosnya, sedang Shanum mengucapkan kata-kata tanpa suara, diiringi tangannya ikut bergerak, menunjukkan ucapan makan.
Farah bergerak ke arah mereka dan menghela bokongnya duduk di samping Diva. Mereka segera bergeser memberikan tempat untuk Farah duduk.
"Yang ini enak juga, boleh tahu cara membuatnya, ada yang tahu ?" Diva bertanya pada Tim dan Ula. "Kalau untuk urusan itu sebaiknya Ula yang menjelaskan, dia lebih mengerti soal dunia masak-memasak dibanding aku." Tim tampak tersenyum malu sambil melihat ke arah Ula.
"Beff Stroganoff di buat dari irisan daging sapi dipotong kecil-kecil, dilapisi tepung roti dan digoreng cepat dengan bawang dan bumbu. Kemudian dicampur jamur dan tomat, yang dihidangkan bersama krim asam dan saus tomat. Masakan ini bisa dipadukan pula oleh nasi, mie atau kentang tumbuk. Sedang kali ini hidangan kami sajikan dengan nasi."
Ula menjelaskan dengan detail tentang cara memasak hidangan tersebut. "Wow, ternyata kalian juga makan nasi ya?" tanya Farah sambil menguyah makanannya. "Iya, ada menu masakan tertentu yang memakai nasi," jawab Ula.
Kemudian semuanya mulai asyik menikmati suasana piknik itu.Tanpa terasa makan siang mereka telah selesai. Saat mereka sedang menikmati euforia alam di sekelilingnya, Tim berkata, "Em...baiklah, sudah pada kenyang kan. Ijinkan saya mulai bercerita. Apa kalian sudah siap? Jangan sampai ada yang ketiduran ya."
Tim menatap ke arah mereka semua sambil tersenyum. "Oke--lanjut, kami janji akan mendengarkan dengan mata terbuka lebar," jawab Shanum sambil tersenyum.
"Bangsa Mongol saat itu terkenal sebagai bangsa yang berwatak keras dan sangat menyukai peperangan. Pada abad pertengahan kekuasaannya membentang dari Eropa Timur hingga Siberia Barat. Beberapa cabang dinasti Mongol juga berdiri di daerah-daerah taklukan itu. Salah satu dinasti yang terbesar adalah Dinasti Golden Horde. Kota yang tadi kita kunjungi merupakan replika ibukota dari dinasti tersebut." Tim berhenti sesaat.
Penduduk kota itu, di daerah padang rumput Sungai Volga dan Siberia sini awalnya berasal dari warga padang rumput, yang hanya hidup mengandalkan sektor peternakan. Lalu mereka terorganisir menjadi keluarga, klan dan konfederasi, di mana klan menjadi unit dasar dalam mengatur masyarakat. Singkat cerita yang dibicarakan turun temurun oleh para tetua kami, saat itu ada beberapa klan yang diberikan kesaktian oleh Tngri." Tim tersenyum melihat wajah berbinar ketiganya.
"Tngri merupakan dewa bangsa Mongol saat itu. Orang-orang dari klan ini memiliki kekuatan unsur alam itu sendiri, dan memiliki usia yang sangat panjang. Ada yang bilang orang-orang dari klan ini juga adalah prajurit bayangan Genghis Khan sendiri. Namun semua masih menjadi misteri. Hingga kini pun letak pemakaman Genghis Khan tidak pernah ditemukan. Seperti ada suatu kekuatan yang melindunginya, agar dunia tidak akan pernah mengusiknya." Tim bercerita sambil menatap reaksi ketiga gadis itu.
"Jadi secara tidak langsung, maksudmu..." Shanum tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Iya, ada hal yang tidak dapat dijelaskan dengan logika di kota itu," jawab Tim. "Dengan kata lain, ada kekuatan mistis di kota itu begitu?" tanya Farah. Tim menganggukkan kepalanya. "Pantas saja saat berada di kota tadi bulu kudukku suka tiba-tiba meremang," celetuk Diva.
"Wah...jangan-jangan ada yang tertarik denganmu tadi Diva. Makhluk itu membayangimu selama di sana. Coba di cek dulu, itu makhluk ikut sampai ke sini apa tidak?" ungkap Farah sambil menampilkan senyum usilnya. "Masa, apa kamu juga bisa merasakannya Farah. Yakin ada yang mengikuti aku?" Diva melihat ke kanan--kirinya terlihat ketakutan, wajahnya tampak pucat. Ia langsung beringsut mendekati Farah, menarik tangannya, dan menempelkan tubuhnya sangat dekat dengan Farah.
"Jangan nempel-nempel begitu, risih tahu!" sewot Farah. Dia berusaha melepaskan tangan Diva yang erat mencengkeram tangannya dan ingin mengusir Diva jauh-jauh dari tubuhnya. "Makanya jadi orang tuh jangan usil, akhirnya kena batu sendiri kan," ucap Shanum sambil tertawa geli.
Diva menyipitkan matanya. "Maksudnya--kamu cuma menakut-nakuti aku Farah?! Ihh...dasar, kurang ajar! Aku beneran takut tahu. Jantungku sampai mau copot rasanya." Diva memarahi Farah sambil memukul-mukul badan Farah. "Iya--iya, maaf, tadi cuma bercanda, aduh--sakit, aduuh...sudah dong Diva!" Farah mencoba menghindar dari pukulan bertubi-tubi Diva, dia mengaduh kesakitan, diiringi suara tawa semuanya.
"Tapi Tim, wanita tua itu tadi memanggilku dengan sebutan Your Majesty, maksudnya apa ya?" tanya Shanum tiba-tiba sambil mengernyitkan keningnya. Jari telunjuknya tampak mengetuk-ngetuk bibirnya. Dia tampak berpikir, Tim dan Ula langsung berhenti tertawa. Mereka jadi menatap serius ke arah Shanum. Diva pun ikut berhenti memukul Farah, keduanya melongo dan menatap Shanum dengan bingung.
"Em, yah...awalnya wanita tua itu bicara dalam bahasa yang tidak aku mengerti. Kemudian aku jelaskan padanya, aku tidak mengerti bahasanya. Setelah itu, wanita itu jadi ikut berbicara dalam Bahasa Inggris sepertiku Dia mengatakan...em, kalau tidak salah ya, Your arrival was ordained, Your Majesty. Always remember this message, tomorrow is a mystery, today is a gift, love is eternity. Always listen to your heart, never look away.." Shanum mengucapkan seluruh ucapan wanita tua itu dengan fasih. Seakan-akan kata-kata itu sudah terpatri khusus di dalam ingatannya.
Ula menyenggol bahu Tim dan terjadi percakapan di antara keduanya melalui tatapan mata. Shanum dan kedua temannya memperhatikan tingkah Tim dan Ula itu. Keheningan terjadi, mereka masih saling menatap dalam kebisuan. Akhirnya dia tidak tahan untuk berkata kepada Tim dan Ula.
"Hei, jangan saling lihat saja, aku tidak mengerti! Katakan saja apa yang ada di benak kalian, aku akan mencoba mengerti kok." Shanum berkata sambil mendesah dan menggeleng.
Ula tiba-tiba berdiri di hadapan Shanum, tangannya tampak mengusap dagunya dan memindai area itu seolah takut ada yang mendengar pembicaraan mereka.
"Shanum, girls...sebaiknya kita tidak meneruskan pembicaraan ini di sini. Karena situasi di sini sungguh--bahkan kami, aku..." "Oh sudah pasti." Shanum mengangguk, menolak membiarkan Ula menyelesaikan kata-katanya. "Jadi, beri tahu aku, apakah ada kisah lain yang mungkin mirip dengan keanehan yang sering terjadi, di sana?" tanya Shanum.
Ula mengulum bibirnya, menyebabkan kedua lesung pipi identik itu muncul, tapi itu tidak mengalihkan perhatian Shanum; hal-hal seperti itu sudah tidak lagi ada pengaruhnya. Bukan berarti itu pernah ada pengaruhnya. "Dengar," ujarnya, berusaha menjaga suaranya tetap rendah, terkendali, meski mimik wajahnya membocorkan semuanya, secara gamblang mengungkapkan ketegangannya.
"Kami tidak bisa menjelaskan di sini, tempat ini memiliki banyak telinga yang tentu saja meresahkan. Aku harap kau mengerti Shanum, kita masih berada di teritorial kota kuno." Ula menjelaskan, matanya menatap Shanum dengan pandangan 'sebaiknya kita bergegas pergi dari sini'.
"Ohh, jujur saja, aku sama sekali tidak suka dengan ketegangan ini, serius Sha, kalau kamu tidak bisa melihatnya, ini mulai terdengar sinting. Dan, kenyataannya adalah, meski semua itu, meski semua ini." Farah menepuk pundak Shanum.
"Aku sungguh-sungguh ingin membantumu, tapi...yah, kamu sepertinya sudah berada di luar tingkah lakumu yang biasa. Sebaiknya kita membereskan seluruh kekacauan ini dan kembali ke mobil." Farah mencoba memecahkan kecanggungan yang terasa di antara mereka.
Farah bangkit dari duduknya, dan begitu pun dengan mereka semua. Sambil membereskan sisa-sisa makanan, dan membantu Tim serta Ula yang sudah bergerak melipat tikar. Shanum hanya tampak mengamati, wajahnya masih terlihat keruh.
Diva tiba-tiba mengambil selangkah mendekat, perlahan, berhati-hati, dan berkata pelan, "Barangkali kita bisa minum kopi sebentar atau semacamnya? Pergi ke suatu tempat yang tenang, tempat kita bisa duduk dan bicara? Kamu sepertinya butuh istirahat. Bagaimana menurutmu?" Shanum menatap Diva, melihat senyum menenangkannya. Dia begitu mengerti, harus Shanum akui itu.
"Tentu." Shanum tersenyum, mengangguk setuju. Diva menghembuskan napasnya, dia segera menarik tangan Shanum menuju mobil.
Kemudian mereka menuju kedai kopi terdekat. Ula dan Tim tahu tempat yang nyaman untuk mereka datangi.Tempat itu berada di peradaban pertama yang mereka temui. Kedai kopi itu cukup cantik, dengan bangunan klasik setempat, terlihat nyaman.
Mereka mengambil posisi duduk di dekat jendela di pojok ruangan. Ketika semua sudah duduk dan memesan, Shanum tiba-tiba teringat kameranya. Dia bergegas bangun dan meminta kunci mobil pada Ula. Gadis itu menolak bantuan Ula untuk mengambilkan kamera tersebut.
Saat dia kembali dari mengambil kameranya, Shanum terburu-buru masuk ke kedai kopi, ingin segera menikmati secangkir kopi hangat untuk menjernihkan pikirannya. Dia tidak sadar dari arah dalam ada seseorang yang juga sedang menarik pintu. Shanum kalah kuat, ia terjungkal ke depan kala pintu terbuka ke arah dalam.
Sedetik kemudian Shanum merasakan tubuh hangat dan harum maskulin melingkupinya. Shanum masih merasakan pusing akibat gaya gravitasi yang tiba-tiba menariknya ke depan. Pria itu tampak terperangah, "Kau..." Tanda pengenalan terlihat di wajahnya. Mata Shanum terbelalak, "Pria ini..." Shanum tahu pipinya merah padam, dan bukan karena malu melainkan karena cara pria ini menatapnya, mempengaruhi perasaannya.
Aliran listrik di antara mereka terasa di udara, kali ini lebih menyengat, saat pengenalan telah mempengaruhi keduanya. Pria itu tidak berniat segera melepaskan pelukannya. Dan untuk waktu yang terasa bagaikan selamanya, Shanum ingin hal ini tidak lekas berlalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments