Pulau Abbasid bukanlah mitos. Merupakan suatu tempat milik klan Batbayar, memiliki pelindung sihir yang merentang berkilo-kilometer di sekitar pulau, menyembunyikannya dari mata manusia.
Tidak ada yang diizinkan masuk pulau kecuali mereka telah diundang oleh sang ratu.
Dan mereka yang cukup bodoh untuk mencoba menyelinap melewati penghalangnya akan segera mendapatkan pelajaran yang tidak menyenangkan dari Chinua Maedekhgui. Sebuah pelajaran yang tidak akan pernah dilakukan oleh orang yang masih memiliki akal sehat. Sebagian besar karena mereka akan langsung tewas.
Pada hari itu angin berhembus sangat kencang di sekitar pulau, ombak bergulung-gulung sangat tinggi. Tampak mengancam, mencerminkan suasana hati Chinua. Sang Ratu terlihat mondar-mandir di atas permadani beludru di ruang singgasananya. Ruangan itu merupakan sebuah ruangan kaca besar yang sangat mengesankan. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah mimbar dengan singgasana emas.
Di setiap sisinya berdiri dua orang pria. Mereka sempurna. Sangat cocok dengan rambut perak panjang yang jatuh hingga pinggang mereka, dan wajah yang dipahat oleh tangan malaikat. Dengan busana yang tidak dapat menutupi tonjolan sempurna otot pada tubuh mereka. Keduanya terlatih dengan sempurna untuk tidak menunjukkan emosi tanpa izin. Benar-benar sempurna. Sang Ratu hanya menuntut yang terbaik.
Bukan berarti Chinua peduli untuk melihat sekilas ke arah mereka. Sebaliknya, ia terus bergerak, gaun biru laut halus yang dikenakannya melayang di sekitar tubuhnya yang tinggi dan ramping, sementara rambut hitam ikalnya yang indah berkilauan dalam siraman cahaya batu sihir, yang digunakan sebagai penerang ruangan. Ia tampak berhenti bergerak saat merasakan kedatangan pria lain yang mendekat, dan memaksanya untuk duduk kembali di singgasananya.
Chinua tampak tenang, raut wajah cantiknya tidak terbaca, dan mata biru gelapnya tampak berkilat. Ekspresinya tidak berubah sedikit pun saat seorang pria tinggi dengan kegagahan yang tidak biasa dengan rambut coklat keemasan berombak, serta mata berwarna biru dalam cenderung ungu, memasuki ruangan.
Pria itu adalah makhluk yang menakjubkan, dan akan menjadi pasangan yang sempurna untuk Chinua, seadainya ia tertarik. Mengamati dalam diam, Chinua menunggu pria itu berlutut di hadapannya dan menundukkan kepala, sampai ia mengijinkan pria itu mengangkat kepalanya kembali.
"Kau memanggilku, Ratuku?" Chinua mengabaikan suara yang sudah dilatih pria itu untuk membuat setiap wanita bergetar. Kuku Chinua yang panjang, diwarnai biru muda, diketuk-ketukkan di atas lengan kursi bersepuh emas. "Apakah kau berusaha menghindariku, Osbert?" tanya Chinua lembut. Osbert mengangkat kepala untuk memandang Chinua dengan pandangan waspada. "Tidak, aku begitu gemetar dengan keinginan untuk menyembah di kakimu," ucap pria itu. Chinua mendengus. "Bukan itu yang ingin kudengar."
Wanita itu mencondongkan badannya ke depan. "Apakah kau lupa, bahwa aku akan diberitahu saat kau berhasil mengontak Batu." Osbert seketika memucat di bawah tatapan tajam Chinua. "Lalu mengapa kau membuat aku menunggu?" Pria itu menelan ludahnya. "Ada sedikit kesulitan, Ratuku." Chinua menahan keinginan memukul wajah pria itu dengan tinjunya. "Dasar bodoh," geram Chinua. Chinua tidak mau mendengar alasannya yang menyedihkan. Ia mau hasil.
"Apa yang menjadi kesulitan dari tugas yang begitu sederhana itu?" tuntut Chinua. Ruangan itu mendadak terasa semakin dingin. Osbert melayangkan tatapan gelisah sebelum menelan gumpalan dalam tenggorokannya. "Batu belum menjawab panggilan-panggilanku, Ratuku," ucapnya lirih.
"Kau membuka sebuah portal?" tanya Chinua. "Tentu saja, Your Majesty, tapi ada sesuatu yang menghalanginya," jawab Osbert. "Sesuatu?" Chinua mengerutkan keningnya. "Aku tidak tahu apa itu, Ratuku." Osbert mengangkat tangan, ekspresi memohon. "Seperti perisai yang tidak bisa kutembus," lanjutnya.
Kemurkaan mengalir cepat dalam darah Chinua saat ia perlahan berdiri dari singgasananya. Ia sudah bekerja keras ratusan tahun untuk mengakhiri garis darah kakak laki-lakinya. Untuk memastikan musuh-musuhnya mati tanpa meninggalkan jejak. Dan untuk waktu yang singkat, Chinua yakin sudah berhasil.
Tujuh ratus tahun yang lalu dia sudah membunuh keturunan terakhir dari kakaknya yang terkutuk itu. Tapi entah bagaimana, Chinua telah gagal. Ia tidak mungkin salah ketika merasakan kekuatan yang tumbuh semakin besar. Sebuah kekuatan yang seharusnya sudah disingkirkan dari dunia ini, kekuatan yang dapat mengancam tahtanya.
Ketakutannya kembali mengejarnya, dan Chinua sudah mengirim pesan kepada salah seorang anggota klannya. Lima hari yang lalu Chinua menerima pesan dari Batu bahwa ia sudah menemukan yang dicari Chinua. Batu juga berjanji akan membereskannya. Namun Batu tidak pernah tiba, dan sekarang Osbert mengakui bahwa Batu tidak bisa dihubungi. Chinua meraih dagu Osbert dan menyentaknya hingga pria itu berdiri. "Sepertinya aku terlalu berlebihan menilai kegunaanmu bagiku, Osbert."
Mata indah Osbert membelalak. "Tidak, aku akan menemukannya, aku bersumpah demi hidupku," ucapnya. Dengan senyum dingin, Chinua memberi Osbert usapan pelan di pipinya. "Terlambat, Tampan. Aku putuskan untuk menangani masalah ini sendiri. Sekarang enyah dari hadapanku!" Chinua mengangkat sebelah tangannya, dan cahaya berwarna biru muncul dari tangan itu.
Pria itu tersentak, dan berlari terbirit-birit keluar dari ruangan itu. "Dasar pengecut!" gumam Chinua. Menunggu pintu ditutup oleh penjaga, Chinua mengayunkan kepalanya ke belakang dan memekikkan rasa frustasinya. Dia menghancurkan salah satu dinding yang ada di ruangan itu hingga hancur berserakan. Beraninya takdir terus mengejeknya?
Chinua adalah seorang ratu. Pemimpin tertinggi di klan Batbayar. Dia seharusnya dihormati dunia karena kecantikannya dan kekuatannya. Dia seharusnya dipuja oleh semua orang. Sebaliknya, dia terpaksa menjalani hidupnya dalam ketakutan, bahwa pembalasan terakhir keturunan saudara laki-lakinya mengintai dari persembunyiannya.
"Menakut-nakuti salah satu anak buahmu lagi?" tanya sebuah suara perempuan yang melengking. "Berapa kali harus aku peringatkan kau tentang sifat pemarahmu itu?" Memutar tubuhnya, Chinua menyaksikan seorang wanita dengan rambut mulai kelabu menjuntai indah dari kepalanya, dan bola mata hitam yang tampak kosong. Wanita itu masih terlihat cantik, dengan usianya yang sudah tidak lagi muda. Sang Ratu menyeringai angkuh mendengar kata-kata itu.
Xanadu mengambil Chinua dari rumahnya ketika ia masih bayi dan membesarkannya seperti anaknya sendiri. Akan tetapi bukan karena perasaan kasih sayang yang mencegahnya untuk membunuh wanita itu. Wanita itu seorang peramal hebat. Sebuah kekuatan yang jarang dimiliki oleh kalangan mereka. Chinua sudah bersabar selama ini dengan sikap ikut campur wanita itu.
"Diamlah, Tukang Sihir Tua," kata Chinua geram, seraya melempar dirinya ke atas singgasana sambil mengernyit marah. "Aku sudah punya banyak kesulitan tanpa mendengar ceramahmu yang membosankan." Wanita itu tertawa terkekeh-kekeh, menyeberangi ruangan untuk berdiri di hadapan singgasana dengan sangat mudah mengingat matanya buta.
"Mudah tersinggung," ucapnya. "Aku tidak mudah tersinggung, aku marah. Aku mencurahkan hidupku selama seribu tahun untuk menyingkirkan garis keturunan kakak laki-lakiku. Aku yakin sudah membunuh keturunan Chenghiz yang terakhir, saat aku mengejarnya sampai ke tanah Jawa tujuh ratus tahun yang lalu. Seharusnya mereka semua sudah mati, sudah lenyap dari muka bumi.
Xanadu menggelengkan kepala. "Mereka seperti tikus. Selalu pintar bersembunyi dan berhasil bertahan dari kepunahan." Chinua memukul tinjunya di atas lengan kursi singgasananya. "Tidak kali ini." "Apa yang akan kau lakukan?" tanya Xanadu. "Pesan terakhir yang kuterima dari Batu berasal dari Astrakhan," ucap Chinua.
Senyum Xanadu memudar. "Kau bermaksud pergi ke sana?" Chinua menyipitkan matanya. "Kita berdua akan ke sana." Xanadu mendesis, tangannya memegang erat gaun hijau daun yang senada dengan warna matanya. "Meninggalkan pulau ini? Tidak. Itu berbahaya," kata Xanadu.
Chinua mencondongkan tubuhnya untuk menampar wajah wanita itu, tamparannya sangat kuat sehingga ia tergeletak di karpet. "Barangkali kau harus memikirkan itu sebelum kau memprediksi munculnya orang yang dapat membunuhku." Wanita itu mengusap darah yang menetes dari sudut bibirnya. Dia tertawa sangat kencang, tidak merasakan sakit akibat tamparan tersebut.
"Aku hanya mengatakan berdasarkan penglihatanku. Jika kau merasa resah, silahkan nikmati ketakutanmu itu." Wanita itu lalu beranjak bangun, dan pergi keluar dari ruangan itu dengan bahu tegak.
Menyandarkan kepalanya ke singgasana, Chinua mengalihkan pandangannya ke badai di luar ruangan itu. Dia dapat melihat dari kaca besar yang menghadap langsung ke laut lepas. Bangunan tempat tinggalnya berada di salah satu ujung pulau, berdiri di atas tebing yang menghadap laut.
"Aku tahu kau ada di luar sana, bersembunyi dariku seperti seorang pengecut, tapi aku akan mencarimu," desah Chinua, rambutnya bergerak-gerak saat kekuatannya mengalir keluar dari tubuhnya. Dia tidak bisa melihat mangsanya, tapi ia bisa merasakan kekuatan yang berkobar. "Dan saat aku menemukanmu, aku akan menyiksamu, dan menikmati detik-detik malaikat maut menjemputmu."
***
Selain kenyataan bahwa Shanum ditatap sangat dalam oleh wajah ingin tahu ibu Khan, ia lebih merasa gelisah oleh pertanyaan sebelumnya yang dilontarkan oleh wanita itu. Pertanyaan langsung ke inti tanpa ada basa-basi. "Jadi sejauh apa hubunganmu dengan Khan?" Shanum tidak dapat menjawab pertanyaan itu hingga detik ini. Karena dia juga tidak dapat menelaah hubungannya yang sebenarnya dengan pria itu.
"Mengapa kau diam, Shanum?" Ibu Khan masih tampak penasaran. "Em, Yang Mulia..." ucap Shanum ragu. "Panggil aku Eej, artinya Ibu dalam bahasa kami," potongnya. Shanum tampak salah tingkah, "Eej, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Khan. Kami hanya tak sengaja bertemu, dan pertemuan itu selalu menjadi kekacauan yang absolut."
Wanita itu mengerutkan keningnya, dia tampak bingung dengan maksud gadis itu. "Eej pasti bingung, sama denganku. Aku juga sangat-sangat bingung." Gadis itu tersenyum takut-takut saat menatap ibu Khan.
Ibu Khan tiba-tiba terkekeh geli. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jangan katakan kau bertemu dengannya karena unsur ketidaksengajaan, melahirkan pertemuan-pertemuan lain yang berkelanjutan setelahnya. Dan selalu merasakan daya tarik menarik di alam bawah sadar kalian. Seakan-akan ada hal tak kasat mata yang membawamu untuk selalu bertemu dengannya. Dia pasti berusaha menahanmu di sisinya dan mencarimu jika kau pergi."
Shanum tampak terperangah. "Bagaimana anda bisa tahu?" Wanita itu kemudian menarik tangan Shanum, ia menepuknya. "Itu tandanya kau dan Khan adalah pasangan jiwa. Kalian diciptakan untuk satu sama lain. Aku dan ayahnya Khan juga seperti itu." Untuk sesaat, Shanum menikmati kehangatan tangan wanita itu. Mengingatkannya akan ibunya sendiri. Namun saat mendengar ucapan terakhir wanita itu Shanum terpana dan gugup, ia menggelengkan kepalanya.
"Itu takdir, Shanum. Kau tidak akan bisa lari dari itu," kata wanita itu sebelum ia bisa menghentikan pernyataannya. Gadis itu menarik tangannya, lalu dia berdiri dari duduknya. Matanya berkedip kebingungan, dan berdiri kaku. "Maafkan aku Eej, aku tidak berani berpikir ke arah itu. Karena saat ini sudah terlalu banyak masalah yang kuhadapi." Shanum menatap wanita itu sambil tersenyum miris.
Ibu Khan menarik napasnya dengan berat. "Aku tidak bermaksud membuatmu bingung dan gundah. Aku tahu mungkin sekarang terlalu cepat untuk membicarakan ini. Tapi aku cemas kepadanya, dia putraku satu-satunya. Hanya satu pesanku untukmu Shanum. Tolong, jangan sakiti hatinya, bersabarlah terhadapnya. Anakku itu sudah terlalu banyak memendam rasa sakit. Jika kau menyakitinya lagi, aku tak yakin ia akan tetap hidup." Wanita itu menatap dengan pandangan memohon pada Shanum. Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya mendengar ucapan ibu Khan.
"Baiklah, aku akan kembali ke kamarku. Kau boleh tetap di sini, atau boleh kembali ke kamarmu, semua terserah padamu," ucap ibu Khan lembut. "Aku di sini saja dulu Eej," jawab Shanum. Wanita itu lalu menganggukkan kepalanya, dan membuka handle pintu. Suara klik pintu di tutup terdengar. Kini tinggal Shanum berdua dengan Khan di dalam kamar itu. Shanum kembali duduk, dia menatap Khan dengan sedih. Shanum menutup matanya sebentar sebelum menarik napas dalam.
"Benarkah kau adalah pasangan jiwaku, Khan?" gumamnya. Pasangan jiwa adalah ikatan yang sangat dalam, sangat permanen sehingga dihormati melebihi yang lainnya. Sungguh langka, dan berharga. Shanum masih tidak percaya ia adalah pasangan jiwa Khan. Pasangan jiwa itu sepadan, serasi, setidaknya dalam beberapa hal. Seperti Khan dan Sarnai, mereka yang seharusnya menjadi pasangan jiwa.
Shanum kembali melihat pria yang masih menutup matanya itu, "Kau harus bangun Khan. Aku tidak tahan melihatmu sekarat karenaku." Air mata perlahan menetes dari matanya. Shanum mencoba mengusapnya, namun sia-sia, tetesan bening itu terus turun, tidak dapat dibendung. Pria dihadapannya ini memang selalu terlihat dingin dan kuat, tapi jauh di lubuk hatinya yang terdalam Shanum tahu, pria itu hanya bersandiwara, untuk menutupi seluruh kerapuhan yang ada di jiwanya. Kerapuhan yang juga kini disadari dimiliki olehnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments