Khan membuka matanya. Dia berada di sebuah ruangan yang sangat asing. Khan merasa tidak suka berada di sini. Tempat ini terlalu pengap, dan terlalu dingin. Cahaya hanya berasal dari satu buah lilin yang berada di samping pintu, menempel dalam wadah yang terpasang di dinding. Dia melihat sesuatu di pojok ruangan. Matanya memicing, berusaha menyesuaikan penglihatannya dalam ruangan yang remang-remang itu.
Khan lalu bergerak mendekati sesuatu yang berada di pojok. Sesuatu itu bergerak. Ternyata itu adalah seseorang--bukan sesuatu. Orang itu kemudian mendongak ke arahnya, dan tersenyum sedih. Khan tersentak, "Sarnai..." ucapnya. "Apa yang kau lakukan di sini? Dan di mana ini?" Khan mengoceh sendiri, bingung mengapa ia tiba-tiba berada di tempat itu.
"Khan..." Suara lembut Sarnai terdengar mengalun. Khan mendongakkan kepalanya. Dia melihat kembali ke arah Sarnai. Mata wanita itu mulai berkaca-kaca, lalu perlahan air mata mengalir dari sudut-sudut matanya. Khan terhenyak, ia merasakan perih di sudut hatinya. "Mengapa kau menangis?" tanya Khan.
"Tolong aku Khan, selamatkan aku." Kemudian mata Sarnai berubah menjadi kosong. Wajahnya berubah, muncul guratan-guratan luka sayat di seluruh wajah itu. Darah dari luka itu terlihat mengalir memenuhi wajah yang tadinya mulus. Wajah cantik Sarnai berubah menjadi mengerikan.
Khan tampak kaget, perubahan mendadak itu membuat wajahnya pucat pasi. Dia bagaikan melihat cuplikan film horor. Wanita itu lalu tersedak, ia muntah darah. Khan maju ke depan, ingin menolongnya. Tapi saat dia mencoba memegang, tangannya menembus tubuh wanita itu. Khan tidak dapat meraihnya. Dicobanya berulang kali, tetapi tetap wanita itu tidak tersentuh. Khan bagaikan meraih udara kosong.
Pria itu mulai panik, saat melihat Sarnai muntah darah semakin banyak. "Tidak, Sarnai... Tolong jangan lakukan ini padaku. Siapa pun yang ada di sana, biarkan aku menolongnya." Khan menangis, dia merasa tidak berdaya. Dia tidak kuasa melihat wanita yang ia cintai terluka di depan matanya.
Khan jatuh terduduk di hadapan Sarnai, air mata semakin deras mengalir dari matanya. "Maafkan aku, Sarnai, maaf aku tidak bisa..." Khan menatap pasrah ke arah Sarnai. Wanita itu mulai tergeletak, badannya terlihat kejang-kejang di depan mata Khan. "Sarnai, tidaaak..."
Jeritan melompat dari kerongkongan Khan saat ia menendang selimut, tersentak bangkit di atas tempat tidur, dan dia menarik selang oksigen di hidungnya. Gemetaran, dia menyandarkan kepalanya di atas tumpukan bantal yang terletak di kepala tempat tidur dengan napas terengah-engah, paru-parunya terasa terbakar.
Sebuah tangan berusaha menyentuh bahunya, menarik Khan dari penglihatan menyeramkan itu. "Adri, shh..." Suara lembut terdengar di telinganya. Lengan-lengan lembut itu memeluknya, menariknya mendekat. Jari-jari halus terasa menyibakkan rambutnya, menyingkirkan dari wajahnya.
"Tidak apa-apa, kau aman." Khan menghapus air mata selagi pipinya bersandar pada dada lembut seseorang. Napasnya gemetar. "Hanya mimpi. Itu hanya mimpi..." bisiknya. Khan memejamkan matanya, aroma kulit orang yang sedang memeluknya ini terasa menenangkannya.
"Kau baik-baik saja." Suara lembut itu menyadarkan Khan. Pria itu mendongakkan wajahnya, dan melihat sinar teduh dari mata sehitam malam. Menatapnya dengan pandangan khawatir yang terlihat jelas.
"Shasha..." Gadis itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum manis. "Terima kasih." Lalu pria itu menolehkan kepalanya, terlihat enggan melihat Shanum. Gadis itu terlihat mengerutkan keningnya. Dia bingung mengapa pria itu menghindar darinya. Shanum sadar ada sesuatu yang salah. Dia menarik napasnya, dan dengan terpaksa melepaskan pelukannya.
"Maafkan aku," bisik Shanum. "Aku sudah membuatmu celaka, dan membuatmu sekarat. Semua ini karena aku, maaf..." "Berhenti bicara," potong Khan. Pria itu berbalik menghadapnya. Shanum langsung mengatupkan mulutnya, ia tidak jadi mengucapkan kalimat selanjutnya.
Dia melihat wajah Khan, matanya, dan melihat amarah serta kengerian di sana. Tetapi apa yang tidak dilihatlah yang paling menyakitkan baginya. Itu adalah mimpi buruknya yang menjadi kenyataan. Pria itu marah, karena Shanum sudah mencelakakannya, atau kecewa karena ternyata dia sudah membunuh seseorang.
Sepertinya dia merasa sudah kehilangan pria itu--dalam segala hal. Shanum bangun dari duduknya. Wajahnya terlihat keruh. "Baiklah, aku pamit pergi. Maaf jika kau tidak nyaman akan kehadiranku." "Aku...aku tidak akan muncul lagi di hadapanmu," ucapnya tercekat.
"Apa?" Mata Khan membelalak. "Pergi ke mana?" "Untuk saat ini aku hanya akan kembali ke kamarku. Tapi aku akan segera berkemas-kemas dan kembali ke negaraku," katanya, sangat lelah. "Shasha..." Pria itu mengulurkan tangan ke arah Shanum dan gadis itu cepat-cepat melangkah mundur.
Shanum menelan keresahannya dengan susah payah. "Kau harus segera sembuh, Adri. Dan semoga kau dapat menemukan kebahagiaanmu." Shanum melangkah menuju pintu. "Shasha, kembali ke sini. Sial, aku tidak bisa bangun." Pria itu mencoba bangkit dari tempat tidur. Namun dia tidak dapat melakukannya, tubuhnya kembali terjatuh ke atas kasur, ia masih lemas.
Shanum menoleh kembali ke arah pria itu sebelum ia menekan handle pintu. Dia melihat pandangan marah dari tatapan pria itu. "Selamat tinggal Adri." "Shasha, stop! Jangan coba-coba keluar dari pintu itu!" Shanum memejamkan mata dan berusaha mengendalikan diri. Demi Tuhan, dia tidak membutuhkan ini. Lalu gadis itu segera keluar dari kamar. Masih sempat terdengar amarah Khan, sebelum pintu di tutup oleh Shanum.
"Kau sudah selesai? Mengapa aku mendengar suara Khan tadi. Apa dia sudah sadar?" Shanum tersenyum sedih, lalu menganggukkan kepalanya. "Kau yakin ingin pergi? Tidak ada sesuatu yang em...mungkin tertinggal di dalam sana?" tanya Dario. Matanya menatap wajah Shanum. Mata gadis itu tampak berkaca-kaca. "Ya, aku harus pergi. Tolong antarkan aku kembali ke kamarku," pinta Shanum. Dario menganggukkan kepalanya, lalu membawa gadis itu menuju lift.
Shanum telah menumpahkan emosinya di atas tempat tidur, sesampainya dia di kamar. Dia merasa sangat rapuh. Shanum ingin pulang ke rumah dan bersembunyi, bebas dari keharusan berakting bahwa ia baik-baik saja, padahal sebenarnya tidak. Dia menarik napas dalam-dalam, melangkah menuju kamar mandi.
Shanum menatap cermin, mengamati bayangannya. Bayangan menyedihkan dari wajahnya. Matanya terlihat bengkak, akibat terlalu banyak menangis. Pipinya tampak pucat, kehilangan warnanya karena sedih. Shanum begitu sakit hati karena Khan, sampai membuatnya sulit bernapas. Dia sangat bingung melihat perubahan suasana hati Khan.
Kenapa pria itu menolehkan wajahnya seperti itu? Kenapa Khan marah ketika Shanum berbicara padanya? Dan kenapa Khan merasa kesal saat Shanum mencoba pergi dari hadapannya? Khan memberikan pengertian baru pada pepatah lama tentang 'sebentar dingin sebentar panas'.
Shanum lalu masuk ke bilik shower, memutar krannya ke sudut dingin. Dia perlu mandi air dingin, untuk mendinginkan kepalanya yang panas. Setelahnya dia bersiap-siap beristirahat, kembali ke atas kasur. Hari ini sungguh melelahkan. Seharian dia berada di kamar rawat Khan, dan berakhir dengan kekacauan yang menyesakkan dadanya.
"Hei, Sha," seru Farah ketika Shanum berjalan dengan langkah diseret-seret ke ruang makan keesokan harinya. Shanum mencoba keluar dari kamarnya, ia perlu mengisi perutnya yang meronta-ronta. Semalam ia melewatkan makan malam.
Shanum juga ingin bertemu dengan kedua temannya untuk berbicara. Dan harapannya dikabulkan, kedua temannya terlihat berada di ruang makan, sedang menikmati waktu sarapan mereka. "Bagaimana keadaanmu?" Shanum mengacungkan jempolnya, dan berjalan ke arah teko berisi kopi.
Dia menuang cairan kopi tersebut ke dalam cangkir yang tersedia di atas meja, membawa cangkir tersebut. Lalu duduk di salah satu bangku di meja makan. Dia mengambil setangkup roti kemudian mulai mengoleskan selai coklat kesukaannya. Dario dan Taban tampak di pintu ruang makan. Mereka menatap ke arah Shanum. Gadis itu tidak mengacuhkannya, dan asyik dengan rotinya.
"Maaf Miss Shanum, ada buket bunga untuk anda." Seorang pelayan tiba-tiba menyerahkan rangkaian bunga mawar merah kepadanya. Alis gadis itu terangkat melihat buket bunga yang disodorkan kepadanya. Dia membeku.
"Ini untukku?" tanyanya tidak percaya. Pelayan tersebut menganggukkan kepalanya, lalu pamit meninggalkan ruangan itu. Shanum memegang buket bunga itu dengan ragu, dan menghirup wanginya dalam-dalam.
"Apa maksudnya ini?" tanyanya kepada keempat orang yang berada di ruangan itu. Farah dan Diva menatap buket di tangan Shanum dengan pandangan penasaran. Taban mengangkat bahunya, dan Dario melihat serius ke arahnya. "Coba kau buka saja kartu yang terdapat di situ," celetuk Diva. Shanum mengambil kartu dari penjepit plastik di sana dan membukanya.
JANGAN PERGI, SHASHA. KITA HARUS BICARA.
KHAN ADRIAN
"Dari siapa?" tanya Diva. "Em, dari Khan," jawab Shanum pelan. Taban sontak terbatuk-batuk, ia tersedak kopi yang sedang di minumnya. Dario langsung menghentikan kegiatannya di meja makan, dia tersenyum tipis sambil menggeleng-gelengkan kepala. Diva dan Farah tampak melongo, mereka kaget.
Tiba-tiba Taban sudah berada di samping Shanum, ia merebut kartu ucapan itu dari tangannya. "Astaga, ini benar dari Khan. Bahkan dia menulis sendiri pesan di kartu ini," ucap Taban terperangah. Shanum merebut kembali kartu ucapan itu sambil cemberut. Ibu jarinya mengusap apa yang dianggapnya tulisan tangan Khan Adrian.
Tulisan itu tegas, maskulin, dan seksi. Isyarat romantis dari pria yang tidak bisa melakukan hal-hal romantis. Di tengah-tengah itu, Shanum seketika menjatuhkan kartu ke atas meja, ia kembali menyesap kopi, berharap kafein bisa memberikannya kekuatan dan mengembalikan akal sehatnya.
"Sepertinya kau tidak terkesan." Farah menatapnya dengan heran. "Dia adalah mimpi buruk bagiku. Aku hanya perlu menjauh untuk menjaga ketenangan batinku," jawabnya. Farah mengangkat alisnya, bingung mendengar penjelasan Shanum. "Jadi ternyata hal ini yang menyebabkan Khan uring-uringan sejak semalam," ucap Dario.
"Betul, Khan melepas paksa selang infusnya dan mencoba bangun dari tempat tidur. Perlu empat orang pria untuk menahannya tetap berada di atas tempat tidur. Dan akhirnya yang bisa menenangkannya hanyalah Ibunya. Namun aku tidak tahu sampai kapan hal itu akan bertahan," tambah Taban.
"Apa yang terjadi?" tanya Diva. Taban mengangkat bahunya. Dan Shanum tidak menjawab, lalu dia bangkit dari duduknya. "Aku harus kembali ke kamarku. Kalian berdua kalau sudah selesai kutunggu di kamar." Shanum melangkah pergi dari ruang makan itu. Keempat orang yang berada di ruang makan itu saling berpandangan. Mereka tidak mengerti dengan perubahan suasana hati Shanum.
Farah mengetuk pintu kamar Shanum, dan Diva mengekor di belakangnya. "Masuk, pintunya tidak di kunci," teriak Shanum dari dalam kamar. Farah membuka pintu, mereka sekarang berada di dalam kamar gadis itu. Shanum tampak tersenyum, ia mengisyaratkan mereka untuk duduk di sofa kecil yang terdapat di kamar itu.
Farah membawa buket bunga yang ditinggalkannya tadi di ruang makan. Dia menaruhnya di atas meja rias. "Buang saja bunganya, aku tidak mau menyimpannya," ucap Shanum ketus. Keduanya berpandangan, dan tersenyum kecut. "Oke, nanti bunganya buat aku saja. Sayang, bunga secantik ini dibuang," jawab Diva. Shanum tidak berkomentar lebih lanjut, lalu ia menatap ke arah kedua temannya.
"Jadi, kalian sudah bisa menerima kejadian tempo hari itu?" tanyanya. Pembicaraan soal bunga tadi sudah terlupakan. Farah dan Diva menganggukkan kepalanya. "Ceritakan padaku, bagaimana perasaan kalian?"
"Kami berdua awalnya sangat kaget. Saat sedang asyik dengan kegiatan kami di kamar tahu-tahu ada dua pria yang tergopoh-gopoh menarik kami keluar dari kamar. Mereka mengatakan ada asap, kami harus segera keluar dari rumah. Berusaha tidak panik aku mengikuti kedua pria itu. Saat sudah di luar aku merasa lega karena melihatmu sudah berada di sana. Setidaknya kita semua selamat.
Namun tiba-tiba aku melihat pantulan sinar mencurigakan dari balik pohon, dan sebentuk mata panah muncul dari sana. Mata panah itu mengarah ke arahmu. Aku tidak sempat bertindak, jarakku terlalu jauh. Lalu aku melihat Khan Adrian menerjangmu. Ia berusaha melindungimu. Aku melihat sinar berwarna merah keluar dari tubuh pria itu. Kau tahu, aku seperti sedang berada di lokasi syuting film Avenger dan film super hero lainnya, sungguh luar biasa.
Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah kejadian di luar batas nalar mata manusia biasa," ungkap Farah. "Iya, apalagi saat aku melihat cahaya keemasan yang keluar dari tanganmu, membakar habis tubuh pria itu, dan membuatnya menjadi abu. Kejadian mengerikan itu tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Kami sampai harus di sumpah di hadapan Dario, Taban dan Ibunya Khan, untuk bisa menjaga rahasia ini. Jika tidak, nyawa kami sebagai taruhannya," tambah Diva.
Shanum tampak mengernyitkan keningnya. "Kalian di sumpah?" "Iya, kami di sumpah. Dan mereka menceritakan tentang klan mereka kepada kami," jawab Farah. "Mereka menceritakan tentang rahasia mereka kepada kalian, tapi tidak padaku," geram Shanum. "Err...kami juga tidak tahu, kenapa mereka tidak menceritakannya padamu," ucap Farah gugup.
"Omong-omong, kenapa kau jadi bisa mengeluarkan cahaya itu, Sha? Apakah ketularan Khan Adrian? Jangan-jangan karena kau dipeluk olehnya, kekuatannya jadi pindah ke dirimu?" Wajah Diva tampak serius bertanya pada Shanum. Dan pertanyaan Diva barusan sedikit mencairkan suasana yang mulai memanas.
"Itu..." Shanum mengerdip. "Ishh...memang virus bisa menular. Kalau bertanya itu dipikir dulu," potong Farah. "Lho, aku kan cuma ingin mengungkapkan rasa penasaranku, kenapa jadi kamu yang sewot." Diva melipat kedua tangannya di depan dada, wajahnya tampak kesal. Shanum terkekeh geli mendengar pertengkaran kedua sahabatnya itu. Dia sangat merindukan tingkah konyol itu. "Hei, sudah, jangan bertengkar." Diva masih tampak cemberut dan Farah hanya mengangkat bahunya, tanda tidak peduli.
Shanum memegang pundak Diva, dan berkata, "Cahaya itu sudah ada sejak lahir. Ibu dan Ayah sudah pernah mengatakan padaku, namun aku tidak tahu kalau hal itu merupakan suatu kekuatan yang bisa membunuh. Dan aku juga baru melihat dan merasakan sendiri cahaya itu saat kejadian tempo hari. Hal ini tidak ada sangkutannya dengan Khan Adrian," ungkap Shanum.
"Jadi kau juga baru tahu, Sha? Untuk semua kemustahilan yang terjadi itu?" tanya Diva. Shanum menganggukkan kepalanya. "Maafkan kami ya, Sha. Pasti saat itu kamu juga terguncang. Kami bukannya menghiburmu, tapi malah ketakutan dan tidak berani mendekatimu." Farah memperlihatkan wajah sendunya. "Tidak apa-apa, aku mengerti. Kalian hanya manusia biasa, tentu sulit melihat hal seluar biasa itu. Aku sendiri hingga detik ini masih merasa bagaikan mimpi," jawab Shanum sambil tersenyum tipis.
"Oh iya, Sha, em...tentang pembicaraan di ruang makan tadi. Apa yang terjadi, tolong jelaskan pada kami?" tanya Diva ingin tahu. Shanum berdiri dengan perlahan. Pandangannya dialihkan ke jendela di ruangan itu. Ia menatap keluar jendela. Kedua temannya menunggu jawaban Shanum.
"Aku menjaga pria itu di ruangan tempat ia dirawat, berharap ia segera sadar. Saat pria itu terbangun, aku melihat ia berteriak dan menangis. Aku kontan memeluknya, dan berusaha menenangkannya. Saat itu aku sangat khawatir. Dia terkena racun, dan berada dalam situasi nyaris tewas." Shanum membalik badannya, ia kembali menatap ke arah kedua temannya.
"Bagaimana perasaanmu, saat melihat seorang pria yang berusaha melindungimu hingga mengorbankan dirinya sendiri, terbaring sekarat karenamu. Namun saat dia tersadar, pria ini berusaha menghindar. Dia berubah menjadi dingin," ungkap Shanum. Farah berubah kaku. "Apakah itu yang dikatakannya?" "Ya, dia menyuruhku berhenti bicara. Aku tidak dapat menahan rasa sakit di hatiku mendengar ucapannya."
"Kurasa kau menakutinya, Sha. Sampai ia menghindar untuk menutupi rasa itu," kata Farah. "Tidak, aku lebih yakin kalau dia malu. Kau melihat ia menjerit dan menangis. Terkadang ego seorang pria yang terlampau tinggi akan membuatnya merasa tidak jantan jika menangis. Dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya di depan seorang wanita," ujar Diva.
"Dari mana kau tahu? Seperti yang punya banyak pengalaman saja," dengus Farah. "Hei, aku punya mata, aku suka membaca. Jadi belum tentu pengalaman itu didapatkan dari kisah nyata saja," ujar Diva. "Wah, kok otaknya jadi pintar, tidak Lemot," ledek Farah. Diva memutar bola matanya. Shanum terpaku, dia tampak memikirkan ucapan kedua sahabatnya itu.
Gadis itu mendekati meja rias, dan mengambil kartu nama yang tersemat di sana. Lalu dia mengusap kartu tersebut sambil tersenyum tipis. "Jadi bunga itu tetap mau di buang saja?" tanya Farah. "Sepertinya Khan Adrian sangat menyesal, Sha. Buktinya dia melarangmu pergi dan ingin berbicara denganmu. Duh, romantis sekali. Kasihan kan, Sha. Dia sudah bersusah payah memberikan bunga untukmu," tambah Diva.
Shanum mendelik lalu mengangkat tangan tanda menyerah. "Oke, oke. Aku akan menemuinya nanti." Diva tampak tersenyum puas mendengar jawaban Shanum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments