Saat alarm berbunyi pada pukul enam pagi keesokan harinya, rasanya seolah Shanum baru saja memejamkan mata. Dari balik bantal dia bisa melihat kalau kamarnya masih gelap. Shanum berguling menyamping, melihat kedua temannya masih tertidur. Shanum kembali merasakan matanya berat, masih lelah, efek jet lag yang masih terasa.
Namun mengingat perjalanan mereka hari ini untuk keliling kota Astrakhan selepas makan siang, memacu serangan adrenalin melesat di nadinya. Jantungnya berpacu saat membayangkan menapaki satu demi satu keindahan kota ini.
Shanum membuka matanya, melompat bangun dari tempat tidur lalu berlari menuju kamar mandi, ia ingin segera mencoba jacuzzi bathub itu. Sebelum Diva terbangun dan mengambil alih kepemilikan kamar mandi. Shanum menyeringai, membayangkan akan menjadi yang pertama menghabiskan sesi berendam di dalamnya.
Makanan adalah hal terakhir yang ada di dalam pikirannya, tapi hari ini dia harus memusatkan tubuhnya dapat beraktivitas sebaik mungkin, jadi ia butuh asupan makanan. Shanum memesan makanan melalui layanan delivery service hotel, dan minta diantarkan ke kamar pada pukul 08.00. Setelah itu dia masuk ke kamar mandi.
Aktivitas berendam Shanum terganggu saat ada yang menggedor-gedor pintu kamar mandi. Matanya sontak terbuka, dia mematikan musik lembut yang mengalun dari salah satu aplikasi musik di telepon genggamnya.
"Iya sebentar!" teriaknya. Dia bergegas beranjak keluar dari dalam Jacuzzi bathub, membilas badannya di shower kemudian memakai bathrobe. Shanum membuka pintu kamar mandi, dan melihat Diva sedang melipat kedua tangan di dada dan cemberut sambil menatapnya.
"Sudah puas berendamnya? Gantian, aku juga mau berendam!" ucap Diva ketus. Shanum tersenyum smirk dan memberi jalan pada Diva untuk masuk ke kamar mandi. Kemudian dia mengambil pakaian ganti di koper, dan memakai hand body lotion sambil duduk di samping tempat tidur.
Farah terlihat meregangkan badannya, lalu bangun dari posisi tidurnya. Sekarang dia duduk di atas kasur, dan berbalik ke arah Shanum, masih sambil menguap lebar. "Ada apa sih pagi-pagi sudah berisik? Sampai kaget tadi, kukira ada kebakaran atau gempa bumi," tuturnya. "Biasa deh, Diva histeris.
Dia kesal aku memakai kamar mandi lebih dulu," jawab Shanum sambil tersenyum geli. Farah memutar bola matanya, kemudian terkekeh. "Anak satu itu, memang suka sekali bikin heboh, ada pria wow dia kesengsem, sekarang melihat kamar mandi mewah dia falling in love. Entah apa lagi nanti yang bikin dia klepek-klepek," komentar Farah.
"Sepertinya bukan cuma Diva, aku pun sepertinya menemukan sesuatu yang wow itu. Membuatku merasakan, hmm...." Shanum tersipu malu tidak berarti menatap wajah Farah.
"Hah, yang benar, demi apa? Kapan? Di mana? Kok tidak cerita?" tanya Farah bertubi-tubi. Farah mendekati Shanum, menarik perhatiannya untuk melihat ke arahnya, matanya memancarkan kata-kata 'tatap aku'. Shanum sudah tak bisa menghindar lagi, dia yang mulai memancing pertanyaan, jadi ia harus menjawabnya.
"Baiklah, wait...satu persatu, oke." Shanum menarik napasnya. Wajahnya menerawang, mengingat kembali kejadian saat itu, kemudian ia menceritakan kepada Farah. Gadis itu mendengarkan dengan serius. Keningnya berkerut, wajahnya tampak geram.
"Jadi, pria itu bicara bahasa asing yang tidak kau mengerti, menampilkan wajah dinginnya, terus...puff, berbalik pergi begitu saja! Kenapa membayangkannya aku jadi emosi ya. Kalau aku jadi kau sudah kupepet pria itu, aku minta nomor teleponnya, pertanggungjawaban atau apapun itu. Yakin kamu diam saja, Shanum?"
"Menurutmu, aku harus bagaimana? Mau buka mulut saja susah. Rasanya kepalaku tidak sejalan dengan jantungku," jawab Shanum meringis. "Tapi aku sempat minta maaf padanya, gumam Shanum. "Lalu jawabannya apa?" tanya Farah. "Nope, cuma mendengus dan...yah, dia pergi." Shanum meringis malu.
"Ahhh...menarik sekali. Apa yang kau rasakan sebenarnya, kejadian sekejap itu memangnya bisa bikin sensasi yang wow begitu? Aku tidak mengerti, coba jelaskan padaku?" Farah tampak meremehkan perasaan Shanum saat itu. "Mengenai itu..." Shanum tampak bingung.
"Kau tidak dapat menjelaskannya?" tanya Farah. "Aku, um...tidak! Yang kurasakan sungguh di luar nalar. Seperti orang yang berada dalam pengaruh hipnotis. Yah...hmm, lebih tampak seperti itu." Shanum mengangguk-anggukkan kepalanya.
Farah menampakkan senyum kasihan. Shanum mengerutkan keningnya, melihat reaksi Farah. "Ada apa? Kenapa kau memperlihatkan senyum mengerikan itu?!" "Ooh, tidak...tidak ada maksud apa-apa kok. Cuma...yah, ikut merasa miris saja. Temanku ini, yang tidak pernah jatuh cinta. Tiba-tiba, boom...bertemu seorang pria tak dikenal, merasakan getaran, dengan makhluk tampan sedingin kulkas. Terlalu bingung, hingga membiarkan saja dia berlalu. Aku baru tahu, ternyata nyalimu sekecil itu," cemooh Farah.
"Apaa? Enak saja, yang nyalinya kecil siapa? Sembarangan kalau bicara, aku tidak kenal pria itu, masa tiba-tiba langsung mengajak kenalan. Agresif seperti itu bukan gayaku. Aku cuma....terpesona. Yaa, efek wow tadi, cuma itu, titik--" gerutu Shanum, tidak terima dikatakan penakut.
Farah akhirnya tertawa keras melihat temannya bersungut-sungut. Bibir Shanum mengerucut, alisnya berkerut, dan tatapannya terlihat kesal. "Kamu meledekku ya, dasar!" Shanum mengelitiki Farah. "Haa...ha...ha, ampun, iya sudah, cukup!" tawa Farah. "Memangnya kamu sudah pernah terpesona seperti aku?" tanya Shanum.
"Sudah dong, waktu aku awal kuliah, tapi pria itu jadi takut padaku. Dia langsung ambil langkah seribu." Farah tertawa geli sendiri. "Gadis aneh, tidak tahu malu, kelakuannya kok bar-bar sekali." Shanum tertawa keras sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tiba-tiba pintu kamar mereka di ketuk. Mereka berdua berhenti bersuara, dan saling berpandangan. Ada yang berbicara di depan kamar sebagai 'room service'. Pemahaman tampak di wajah keduanya, tampaknya makanan mereka sudah datang. "Tadi kau sudah pesan sarapan ya?" Shanum menganggukkan kepala sambil bergerak menuju pintu, untuk mengambil sarapan mereka.
Sarapan sudah di taruh dan di tata oleh pria room service tadi di meja makan bulat di sudut ruangan. Farah sudah membuka gorden dan jendela di depan meja tersebut. Cahaya pagi masuk ke dalam kamar. Shanum yang sedang menata makanan pilihannya di piring, tiba-tiba melihat Farah mencoba mencomot salah satu roti yang di sajikan.
"Ishh, kotor! Belum cuci tangan, dan belum gosok gigi juga. Sana ke kamar mandi. Ketok saja pintu kamar mandinya. Mau menunggu Diva selesai mandi sih, bisa-bisa ketemu makan siang lagi lho." Shanum menepuk tangan Farah sambil mengomel.
"Iih, pelit! Farah melepas roti yang mau di ambilnya tadi, kemudian melangkah menuju pintu kamar mandi dengan wajah bersungut-sungut. "Diva buka pintunya. Giliranku sekarang, mau mandi juga nih! Diva...." Farah menggedor pintu kamar mandi. Tidak lama Diva muncul dari balik pintu.
"Eeh, Farah, mau mandi juga ya? Maaf lama." Diva tersenyum merasa bersalah. Farah menarik badan Diva untuk minggir dari jalannya. Diva terhuyung ke depan, nyaris jatuh terjelebab. "Ya ampun, galak sekali sih," ucap Diva kaget. Shanum yang melihat kejadian itu cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil tetap mengunyah makanannya.
Suara panggilan ponsel Hero-Mariah Carey terdengar mengalun lembut. Shanum berhenti makan, bergegas mengambil ponselnya. "Ya Ayah, lagi sarapan. Hmm, kami sampai pukul 10.00 malam. Terus sampai hotel sekitar pukul 11.00. Belum, nanti sehabis makan siang. Iya, pasti...bye Ayah. Kiss...kiss buat Ibu juga ya." Shanum tersenyum sambil menyudahi percakapannya.
"Ayahmu ya Shanum?" tanya Diva. "Iya, siapa lagi. Biasa deh, Ayah bertanya tentang keadaan kita." "Ooo..." gumam Diva. Tidak lama, Farah keluar dari kamar mandi, sambil membetulkan letak bathrobe-nya, ia mendekati meja makan. Kemudian menikmati sarapannya.
Mereka menghabiskan pagi itu dengan turun ke lobby hotel dan terpana melihat pemandangan di hadapan ketiganya. Wilayah Citi Embankment ternyata luar biasa cantik. Hotel mereka menghadap sungai Volga langsung. Di hadapan mereka terdapat sebuah tanggul yang di pagari dengan indah.
Terdapat tempat duduk yang terbuat dari besi tempa dengan pola-pola unik. Mereka serasa berada di atas air. "Ooh...so beautiful! Farah, ini telepon genggamku, tolong foto aku disana ya. Nanti aku ambil gambarmu juga." Farah menganggukkan kepalanya. Mereka mulai asyik bergaya bergantian.
Diva dan Farah sangat bersemangat berpose di dekat pagar pembatas tanggul. Sepanjang mata memandang terlihat aliran sungai Volga membentang. Air sungai berwarna kehijauan itu terlihat tenang. Shanum mulai mengabadikan pemandangan tersebut dengan kamera DSLR-nya. Ia memilih satu titik fokus, mengatur pencahayaan kemudian membidik.
Shanum mengambil banyak gambar, orang yang sedang berjalan, anak-anak sedang bermain, pohon-pohon, dan bangunan-bangunan unik. "Shanum sini, kita belum foto bersama," panggil Diva. Shanum bergerak mendekati keduanya. Diva bergegas menarik tangan Shanum.
"I'm sorry, can I ask for your help, sir, can you please take a photo of the three of us?" tanya Farah pada salah seorang pria yang sedang lewat. Pria tersebut tersenyum pada Farah dan mengatakan, "Sure..." Kemudian mereka mengambil posisi dan mulai berpose.
Pria tersebut mengajak mereka bercakap-cakap dan berkenalan. Namanya Ivan, ia bekerja di salah satu restoran di sekitar Citi Embankment. Pria itu menunjukkan spot-spot bagus di sekitar situ. Ketiganya mengucapkan terima kasih kepada pria tersebut, lalu melanjutkan penjelajahannya kembali.
Shanum masih sesekali mengambil foto dengan kameranya. Kamera itu tak lepas dari tangannya.
Siangnya, saat Timicin dan Ulagan datang, mereka baru saja selesai makan siang di Cafe yang terkenal di dekat hotel. Timicin dan Ulagan menanyakan bagaimana tidur mereka, apakah nyenyak? Dan Timicin serta Ulagan kaget mendapati informasi bahwa para gadis itu sudah berkeliling di sekitar hotel.
"Sebelum mulai ke tujuan kita siang ini, saya ingin mulai saat ini kalian memanggil saya dengan Tim dan rekan saya itu Ula. Supaya lebih akrab saja, bagaimana Ladies, kalian setuju?" tanya Tim. Diva berteriak, "Oke--". Farah mengacungkan jempolnya, dan Shanum menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis. Selanjutnya, mereka mendatangi tempat wisata pertama di Itinerary mereka, yaitu berburu oleh-oleh.
Seperti kebanyakan turis, mengunjungi tempat yang menjual cenderamata merupakan hal penting. Kebetulan lokasi yang menjual oleh-oleh khas Astrakhan tidak jauh dari hotel tempat mereka menginap.
Shanum menatap gantungan kunci, hiasan kulkas, bahkan kotak musik dengan mata berbinar. Dia memilih oleh-oleh yang menurutnya bagus dan unik, kemudian mulai melihat-lihat kembali yang lainnya. Sedang Farah, tampak hanya melihat-lihat ke seluruh toko, belum ada satu pun yang dipilihnya.
"Farah, kok masih kosong keranjangnya?" tanya Diva. Farah melihat keranjang Diva dan kaget, keranjang itu terlihat penuh berbagai macam barang. "Hmm, beli oleh-oleh untuk satu kampung nih," ledek Farah. "Enak saja, ini tuh sudah di pesan." "Hah, kamu bikin sistem menerima pesanan begitu, buat dijual lagi?" tanya Farah sambil meledek.
"Iih, tidaklah...enak saja. Siapa yang berjualan? Ada juga kamu tuh, belum pilih apa-apa, kehabisan duit ya, mau pinjam duit aku?" Diva tersenyum smirk. "Eh, sorry ya, duit aku tuh tidak berseri. Tokonya aku beli juga bisa," jawab Farah menyombongkan diri. "Berarti kamu pelit. wee..." Diva meleletkan lidahnya ke arah Farah.
"Eh, enak saja, siapa yang pelit!" Farah mulai emosi. Shanum yang baru selesai membayar di kasir, bergegas menghampiri keduanya. Dia terlihat menghembuskan napasnya. Mereka sudah menjadi tontonan orang-orang yang berada di toko itu. Tim dan Ula tidak dapat berbuat banyak, mereka hanya bisa tersenyum sambil meringis. Karena mereka tidak mengerti apa yang dibicarakan kedua gadis itu.
"G**irls, jangan bikin malu dong. Debatnya nanti saja, dilanjutkan di kamar hotel ya. Kalian tuh jadi tontonan lho, tidak malu apa?!" Shanum melerai pertengkaran keduanya. "Maaf ya semuanya, telah mengganggu kenyamanannya." Shanum mengucapkan maaf sambil tersenyum manis, dan mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
Setelah penonton bubar, Shanum permisi kepada Tim dan Ula, kemudian menarik tangan kedua temannya. "Kalian tuh ya, kaya anak kecil saja. Ayo keduanya berbaikan. Kalau tidak mau, kita langsung kembali ke hotel," ucap Shanum kesal. Dia melipat tangannya di depan dada sambil menyipitkan matanya. Farah dan Diva saling membuang muka, tidak menggubris omongan Shanum.
"Oke, kita kembali ke hotel." Shanum menghentakan kakinya, sambil berjalan meninggalkan keduanya. Farah bergegas mengejar Shanum. "Aku kan belum beli apa-apa. Masa harus kembali ke hotel," kata batin Farah.
"Tunggu, Sha," panggil Farah. Farah sontak menarik tangan Diva dan mengajak bersalaman. "Aku minta maaf," ucapnya dengan geram. Diva tampak terperangah melihat ucapan setengah hati itu. Farah memelototi Diva, ia tampak menelan ludah, dan mengangguk samar. Shanum memperhatikan keduanya dan memperlihatkan wajah garangnya.
Tim tampak berusaha menahan tawa, sedang Ula hanya geleng-geleng kepala. "Bagaimana? Sudah baikan? Diva...Farah?" Diva menganggukkan kepalanya takut-takut, dan Farah tampak mendengus sambil ikut mengangguk juga. "Segera selesaikan belanjanya, kita mau ke tempat selanjutnya. Aku tunggu luar," ucap Shanum tegas.
Shanum meminta Tim untuk menjaga kedua temannya yang masih melanjutkan berbelanja. Sedang dia dan Ula keluar dari toko. Shanum memberikan kepada Ula kantong belanjanya untuk di taruh di mobil. Kemudian ia mengambil kameranya, dan mulai memotret obyek yang menarik perhatiannya.
Selama berkeliling kota Astrakhan, mereka dipandu oleh Tim. Dia yang lebih banyak menjelaskan tentang sejarah dan keunikan tempat tersebut. Ula hanya berada di belakang kemudi dan sesekali menimpali Tim.
Tanpa terasa hari kedua tiba, pagi ini mereka telah bersiap-siap untuk menuju kota kuno Sarai Batu. Tim dan Ula menjemput mereka pukul 08.00 waktu setempat. Sebelumnya mereka sudah sarapan pagi di restoran hotel, ketiganya tampak bersemangat menuju destinasi di hari kedua ini.
Kota tersebut berada seratus dua puluh kilometer di sebelah utara Astrakhan. Dari buku yang Shanum baca di perpustakaan tempo hari, dikatakan di sana, kota itu didirikan pada pertengahan Abad ke tiga belas dan empat belas.
Merupakan bagian barat dari Kerajaan Mongol.
Sepanjang perjalanan mendekati kota kuno tersebut, terhampar stepa luas dengan rumput-rumput pendek kehijauan. Pemandangan itu terasa indah, Shanum merasa seakan-akan ia pulang ke rumah. Perasaan yang terasa aneh, karena gadis itu belum pernah datang ke tempat ini.
Mereka mulai melihat penampakan suatu kota dari kejauhan. Berada di tengah-tengah tanah yang sangat luas dengan padang rumput berwarna coklat kehijauan. Semakin mendekati kota tersebut, semakin terasa tanda pengenalan dalam hati Shanum.
"Kota di depan kita itu seharusnya telah hancur saat perang. Namun dibangun kembali sebagai set film. Jadi kota ini replika dari kota Sarai Batu yang sebenarnya. Setelah syuting selesai, tempat ini dilestarikan sebagai tempat kunjungan wisata sejarah," ungkap Tim.
Kami sudah sampai, dan mulai berjalan kaki menuju ke dalam kota. Jalan-jalan kota terlihat sepi. Ada satu atau dua turis seperti mereka. Susunan tembok batu yang dilapisi tanah liat berwarna coklat keemasan itu sungguh luar biasa. Tim menjelaskan tentang sejarah lain dari kota ini. Shanum tidak terlalu memperhatikannya, ia berjalan berpisah dari rombongan. Kamera masih setia berada di tangannya.
Sesekali dia mengabadikan bangunan kota itu. Mengikuti kata hatinya, ia mengusap salah satu dinding bangunan, terasa keras bertekstur kasar, entah mengapa pipinya terasa basah. Shanum menangis, air mata mengalir semakin deras. Dia lantas mengusapnya, kemudian menepuk kedua pipinya.
"Apa yang terjadi padaku? Mengapa perasaanku jadi sedih dan gelisah?" ucap Shanum dalam hati. Dia tetap melangkah, mengikuti nalurinya, hingga ia tiba di suatu tempat. Tempat itu berada di salah satu sisi kota.
Terlihat tenda berbentuk bulat berwarna putih, tampak familiar, Shanum diam membeku, sekilas ia melihat ada sosok yang datang menghampirinya. Seorang wanita tua, bertubuh mungil, dengan senyum cerah di wajahnya. Wanita tua itu, menundukkan kepalanya ke arah Shanum, dengan posisi setengah membungkuk.
Kemudian, wanita tua itu berkata, "Эрхэмсэг ноёнтон, таныг ирэхийг томиллоо. Энэ захиасыг үргэлж санаж яваарай, маргааш бол нууц, өнөөдөр бол бэлэг, хайр бол үүрд мөнх юм. Үргэлж зүрх сэтгэлээ сонс, хэзээ ч өөр тийшээ харж болохгүй." Shanum tampak bingung, dia menggelengkan kepalanya, dan berkata dalam bahasa Inggris kalau dia tidak mengerti kata-kata wanita tua itu.
Wanita tua itu tersenyum kembali, kemudian ia mengubah bahasanya menjadi bahasa Inggris. "Your arrival was ordained, Your Majesty. Always remember this message, tomorrow is a mystery, today is a gift, love is eternity. Always listen to your heart, never look away."
Wanita itu kemudian kembali membungkukkan badannya, lalu berjalan masuk ke dalam tenda. Shanum masih diam terpaku, keningnya berkerut mendengar kata-kata wanita tua tadi, ia mencoba mencerna maksudnya.
Shanum kemudian menyusul wanita tua itu. Ia penasaran, masih ingin menanyakan maksud wanita tua itu. "Mengapa wanita itu memanggilnya Your Majesty? Dan apa maksud kata-kata itu? Apa wanita tua itu tidak salah orang?" Banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalanya. Hingga membuatnya pusing sendiri.
Shanum telah berada di dalam tenda, tidak ada siapa pun di sana. "Kemana wanita tua itu pergi?" Shanum melihat sekelilingnya, ruangan ini tertutup dan kosong. Tidak ada pintu lain menuju ke ruangan ini atau ke arah sebaliknya. Pintu masuk yang tadi dilewati Shanum itu juga-lah pintu keluarnya.
"Apakah dia berhalusinasi? Tapi wanita tua tadi terlihat nyata." Shanum merasa bulu kuduknya berdiri, dadanya berdetak cepat, napasnya menjadi sesak. Dia langsung berlari keluar dari ruangan itu. Ketakutan tampak jelas di wajahnya.
Shanum terus berlari, menuju arah pintu masuk kota itu, dan bertemu dengan para sahabatnya serta Tim. Mereka heran, melihat Shanum berlari seperti di kejar sesuatu. "Hei, ada apa, Shanum? Kenapa kau berlari-lari begitu?" tanya Diva. "Iya, kaya di kejar setan saja," celetuk Farah.
"Hhhh...hhhh, ta...di itu, itu..." Wajah Shanum pucat, dia masih berusaha mengatur napasnya sambil berkata terbata-bata.
Namun kemudian matanya mendadak terbelalak, dia mendadak lemas. Shanum jatuh ke tanah, dan tak sadarkan diri. Diva dan Farah sontak menjerit, memanggil Tim dan Ula.
Tim yang sedang mengambilkan air minum untuk Shanum langsung tergopoh-gopoh ke arahnya. Begitu juga dengan Ula, dia sedang mengobrol dengan salah satu turis, kaget mendengar teriakan Diva dan Farah. Tim dan Ula membopong Shanum dan membawanya ke tempat yang teduh. Banyak pertanyaan di benak mereka saat ini, tentang wajah ketakutan Shanum sebelum pingsan tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments