Shanum menekan sebelah tangan ke perutnya yang bergolak. Ia tidak ingin mendiskusikan tentang Sarnai. Terutama dengan pria yang masih harus membuktikan diri bisa dipercaya atau tidak. Meski pria itu pernah menyelamatkan nyawanya, Shanum masih ragu. "Aku tidak pernah menahan kalian bertiga, jika kau ingin tahu yang sejujurnya," ucap Khan dengan wajah dingin. Shanum mendengus, "Kau pikir aku idiot. Kami tidak boleh keluar dari mansion itu tanpa izin, apa namanya itu kalau bukan penyekapan." Bibir gadis itu menekuk marah.
"Bukan begitu, aku memang berpesan selama aku pergi dengan urusanku, Taban dan Dario harus mengawasi kalian dengan baik. Jika mereka salah menafsirkan, itu sepenuhnya bukan salah mereka." Shanum menyipitkan mata. "Aku tidak yakin apakah mengawasi adalah kata yang cocok. Katakan saja kalian mengurung kami."
Khan mengerutkan dahi sebelum mengangkat bahu enggan. "Apakah kau berada di balik jeruji besi saat itu?" tanyanya. "Memang tidak, tapi perlakuannya sama," jawab Shanum bersikukuh. "Aku tetap menganggap itu bukan penahanan." Khan menjawab dengan santai. Shanum berjuang untuk tidak menggeram. Lelaki di hadapannya ini benar-benar arogan.
Tiba-tiba Khan menegang, kepalanya berputar ke arah jendela dapur. "Sialan." Khan langsung siaga. "Ada apa?" tanya Shanum. "Kau mencium sesuatu?" Khan memejamkan matanya dan merasakan udara. Aromanya sangat samar, namun jelas. "Asap." Kata itu seperti sebuah kutukan yang diucapkan Khan. "Segera keluar dari rumah ini, aku merasakan bahaya. "Dario...Taban, jemput kedua gadis itu di dalam kamar, cepat!" Dario dan Taban langsung bergerak gesit menuju lorong kamar.
Hantaman energi dingin berputar di dalam dapur, menggerakkan rambut gelap Shanum dan menjatuhkan mangkuk-mangkuk tanah liat dan panci tembaga dari rak. Shanum terlihat panik, Khan langsung menarik dan merangkulnya. Kemudian entah bagaimana caranya, mereka berhasil bergerak ke pintu dan keluar dari rumah.
"Astaga, apa itu tadi," ucap Shanum. Dia sekali lagi menoleh ke belakang, sambil menggosok-gosok bagian belakang lehernya. Khan terlihat mengawasi sekeliling, wajahnya tampak dingin.
"Kita harus segera pergi dari tempat ini," ucapnya pelan. Tak berapa lama, terdengar suara berisik, kedua teman Shanum berlari keluar, di susul Dario dan Taban. Wajah mereka tampak pucat, tubuh mereka gemetar ketakutan. Belum juga selesai kejutan yang mereka dapatkan, tiba-tiba muncul hal tak terduga lainnya.
"Sha, awas!" Farah berteriak. Shanum menoleh mendengar teriakan Farah. Dia tidak sempat menghindar, dalam gerakan yang sangat cepat Shanum di dorong ke samping. Dia tersentak, dan terjatuh dengan posisi lutut menyentuh tanah. Shanum mendengar raung kesakitan, dan ia merasakan ada yang menahan tubuhnya. Rasa hangat lalu menyebar perlahan di sekujur tubuhnya.
Shanum mencoba menolehkan kepalanya dan sedikit bangun dari posisinya semula. Dia terkejut melihat cahaya merah keemasan yang mengelilingi mereka. Shanum mendengar suara gemerisik di balik pepohonan. Lalu lebih banyak lagi anak panah bermunculan. Gadis itu terperangah, dia sontak berdiri.
Cahaya merah keemasan itu makin menyebar menahan laju anak panah, dan mulai melecut ke arah pepohonan. Namun terlambat. Ada beberapa anak panah yang berhasil masuk menyerang mereka. Shanum berteriak, bukan karena takut tapi karena hantaman cahaya merah keemasan itu menghempaskannya sejauh-jauhnya keluar dari jangkauan serangan panah.
Sebelum Shanum terlempar, gadis itu sempat melihat darah membasahi tangan dan pinggir bibir Khan. Shanum merasa sekujur tubuhnya sakit saat ia mendarat di atas tanah. Dia tidak bisa bernapas, suaranya tercekat, kaget merasakan hal itu. Tulangnya remuk redam, kepalanya terasa pusing. Lalu Shanum melihat pendaran cahaya di telapak tangannya, ada sesuatu yang menyeruak keluar dari sana.
Shanum terkesima, dan menelan ludah.
Kemudian Shanum melirik ke arah Khan, pria itu tampak menyandar lemas di susuran tangga. Hingga suatu sosok terlihat mengendap-endap mendekati Khan. Sosok itu menyeringai menatapnya, dan mengeluarkan asap gelap dari tangannya. "Tidak..." Shanum berteriak. Kemudian suara ledakan terdengar, tubuh Shanum mengeluarkan kilauan cahaya yang menyambar sosok yang mengendap-endap itu. Sosok itu menjerit panjang saat tubuhnya terbakar hangus.
Penampakan tubuh itu meluruh sepenuhnya menjadi abu dan terbang di tiup angin, membuat gadis itu membekap mulutnya. Shanum terbelalak, dia membeku. Kejadian mengerikan itu terjadi sangat cepat. Shanum tak sempat mengucapkan sepatah kata pun, yang ia ingat sebelum menutup mata adalah wajah terkesima Khan Adrian yang diarahkan kepadanya.
Semuanya begitu gelap, hangat dan damai. Segelap suasana malam tetapi dibingkai cahaya bulan. Shanum merasa seperti tengah mengapung dan mencoba bergerak maju. Dia mencoba berenang menuju ke ujung cahaya, maju dan maju, panik mencoba menghirup udara. Cahaya emas bertambah besar, dan kegelapan menjadi sinar yang berkilauan.
Gadis itu tergagap, udara membanjiri tenggorokannya. Dia terbaring di atas tempat tidur. Tidak ada rasa sakit, tidak ada darah, tidak ada kilauan cahaya dari tanda di tangannya. Shanum menatap telapak tangannya, membolak-baliknya, lalu mengusapnya.
Pandangan matanya menerawang. Dia mencoba bangun, dan matanya menyapu sekeliling ruangan. Di manakah dia berada, kamar ini begitu asing. Kini gadis itu duduk di pinggir tempat tidur, berkonsentrasi pada napasnya--masuk melalui hidung, keluar dari mulut. Berulang-ulang. Setelah rasanya sudah selesai, ia bangkit berdiri.
Melangkah perlahan ke dekat jendela, dari situ ia bisa melihat langit bersinar terang. Sambil menapakkan tangannya ke dinding nan dingin, ia bergumam, "Nyata..." Ini nyata. Dia selamat, ia berhasil lolos. Kecuali itu hanya mimpi--sekadar mimpi yang biasa ia dapatkan.
Shanum mulai merosot ke lantai, dia menekuk lututnya ke dada. "Nyata, nyata..." Bibirnya mengucap kata itu tanpa suara. Dia terus mengulangnya sampai pegangannya pada lutut terlepas, lalu ia mengangkat kepalanya. "Oh Tuhan, ia sudah membunuh seseorang," gumamnya. Rasa sakit merayapi kedua tangannya--rupanya ia mengepalkan tangan begitu kencang sehingga kulitnya tertusuk kuku-kukunya sendiri.
Sambil mendengus, dia membuka jari-jarinya. Dia sepenuhnya sadar, saat cahaya itu keluar menyeruak dari tangan dan tubuhnya. Sinar itu ternyata adalah suatu kekuatan yang dimilikinya. Bukan hanya sekedar cahaya bagai kunang-kunang, namun bisa menjadi senjata yang mematikan. Dia dapat membakar orang dengan kekuatannya itu. Shanum kembali mengangkat tangan kanannya, memiringkannya, pola kelopak bunga di sana tampak normal. Sepertinya pada saat terdesak, sinar itu baru muncul.
Shanum menarik napasnya, ia teringat kembali pada peristiwa itu, ingat pada sinar merah keemasan yang muncul dari Khan. Tak menyangka, mereka serupa, memiliki suatu kelebihan yang berbeda dari manusia biasa. Banyak pertanyaan yang sangat ingin ditanyakannya, tapi ia ragu.
Suara derit daun pintu membuatnya tersentak. Shanum menoleh, dan melihat kedua sahabatnya mengintip di ambang pintu. "Em, kau baik-baik saja, Sha?" tanya Farah. "Dan mengapa kau duduk di lantai?" tanyanya lagi. "Aku tidak apa-apa," jawab Shanum. Seketika itu Shanum menangkap ekspresi keduanya yang tampak takut. "Mengapa kalian hanya berdiri di sana? Kalian takut padaku?"
Pandangan mereka tidak bisa berbohong. Shanum bernapas dengan berat, matanya liar. "Aku masih Shanum yang sama," katanya lagi. Gadis itu mengucapkannya berulang-ulang kali. Lagi dan lagi. Saat tak mendapat respon, Shanum bangun, berjalan menghampiri kedua temannya. Farah tersenyum kecut dan Diva bersembunyi di belakang punggung Farah. "Farah--Diva," bisiknya. Keduanya menangkap pandangan mata Shanum, tatapan itu begitu sedih. "Aku tidak akan menyakiti kalian," ucapnya parau.
"Aku tahu--tetapi Sha, berikan aku dan Diva waktu. Kami...kami masih berusaha mencernanya, Sha. Kami masih kaget melihat kejadian tadi. Tadi itu..." Farah tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Dengan jari-jari gemetar Farah mengusap mata.
Shanum bergerak mundur, ia mendekati tempat tidur. Lalu duduk di pinggirnya. "Baiklah kalau begitu, kalian sebaiknya tidak berada di sini lebih lama." Shanum memalingkan wajahnya. Kedua gadis itu masih terpaku diam. Shanum melirik, "Pergilah...aku juga butuh sendiri." "Maafkan kami," ucap Farah. Lalu pintu itu di tutup kembali.
Shanum merebahkan dirinya di atas kasur. Dia berbaring pelan-pelan, menggelung sambil memeluk tubuhnya. Lalu ia menarik selimut ke atas tubuhnya, mendambakan kehangatan di hatinya yang terasa dingin. Semua situasi ini perlahan membawanya ke jurang kehancuran. Memang lebih mudah jika tak perlu ada penjelasan. Tapi untuk ketenangan jiwanya, dia juga perlu mengeluarkan kegundahannya. Melihat pandangan takut kedua sahabatnya tadi merobek-robek dirinya. Shanum tiba-tiba tersentak bangun.
Dia bergegas keluar dari kamar itu. Teringat olehnya keadaan Khan, saat terakhir kali ia melihatnya, pria itu terluka parah. Lagi-lagi pria itu berusaha menyelamatkannya. Selagi Shanum memandang ke sekeliling lorong di luar kamar itu, seseorang tampak sedang mengawasinya. Gadis itu tidak sadar, bahwa tingkah lakunya diperhatikan. Gadis itu berjalan menuju ke suatu ruangan, ia mengenal tempat ini. Shanum pernah berada di sini, ia kembali berada di mansion Khan Adrian.
"Taban...buka pintunya," panggil Shanum. Dia mulai mengetuk pintu sambil menyebut nama pria itu. Shanum tahu ini adalah kamar Taban, karena ia pernah diberitahu oleh pria itu sendiri. Saat mereka tinggal di mansion ini, jika membutuhkan bantuan, mereka bisa mengetuk pintu kamar itu.
Suara kunci diputar terdengar, kemudian pintu itu di buka dari dalam. Taban berdiri di depan pintu sambil melipat tangannya. "Oh kau sudah sadar. Ada apa mencariku?"
"Aku ingin bertemu Khan, tolong antarkan aku," pinta Shanum. Taban mengerutkan dahi kepada Shanum seolah ia makhluk yang paling mengerikan. "Ada apa kau mencarinya? Tidak cukupkah kau sudah membuatnya terluka." Wajah Shanum kaku saat mendengar kata-kata pria itu. "Dia terluka. Aku minta maaf karenanya," ucap Shanum lirih. "Sudah seharusnya. Kau membuat Khan mendapat banyak masalah."
Perut Shanum terasa mulas karena kata-kata itu. "Aku tidak bermaksud begitu. Tolong katakan bagaimana keadaannya." Taban tetap memandangi Shanum dengan kesal. "Dengar, aku sungguh-sungguh menyesal." Shanum menatap Taban dengan pandangan memelas.
"Biarkan dia menemuinya Taban." Dario muncul dari ujung lorong, pria itu sudah mengamati Shanum sejak tadi. "Dia harus melihat keadaan Khan yang tak berdaya akibat racun itu," ucapnya lagi. Tubuh Shanum terasa dingin begitu mendengar kata-kata Dario. Apa dia tidak salah dengar? "Apa maksudmu?" tanya Shanum kepada pria itu. "Khan terkena racun. Jadi panah itu beracun?" tanyanya lagi.
Ekspresi wajah Dario menguatkan ketakutan Shanum. Gadis itu menelan ludah ketika rasa bersalah meliputinya. "Apakah keadaannya parah?" tanya Shanum. "Dia nyaris tewas, racun itu menyebar cepat dalam darahnya," jawab Taban. Shanum mual saat mendengar berita itu. Ini tidak mungkin. Kedua pria itu pasti sedang mempermainkannya. "Dia dirawat di rumah sakit mana?" tanya Shanum.
Shanum bisa melihat keraguan pada ekspresi kedua pria itu tentang apakah mereka harus menjawab pertanyaan Shanum atau tidak, dan Shanum tidak bisa menyalahkannya. Ya ampun, dia sudah mencurigai Khan, membiarkan pria itu melindunginya sekali lagi, dan sekarang membuatnya terbaring sekarat. Kemungkinan besar pria itu tidak akan mau lagi melihat wajahnya sepanjang hidupnya.
Gugup dan resah, Shanum membalikkan badan dan melihat Taban masih memelototinya dengan marah. Rasanya Shanum sudah menunggu sangat lama sebelum Dario memanggilnya. "Ikuti aku." Gadis itu menghela napas saking leganya saat pria itu membawanya menuju sebuah pintu di ujung lorong. Dia menempelkan telapak tangannya pada sensor di pintu tersebut, lalu membukanya.
Di balik pintu itu terdapat sebuah ruang tamu bergaya kuno yang mewah. Mansion itu memang sangat besar dan indah. Anehnya, ruangan itu kelihatan seperti berada di dalam mesin waktu atau semacamnya. Tidak ada satu hal pun di bagian ini yang kelihatan modern. Tidak satu pun. Oke, tidak sepenuhnya antik. Tapi selain benda-benda mencolok itu, dia merasa seperti sedang berjalan ke sebuah lokasi pengambilan film yang bernuansa kuno.
Pandangan Shanum tertuju ke pintu selanjutnya yang di dekati Dario. Pintu sebelumnya dan yang berada di hadapannya ini, dilengkapi dengan sistem keamanan PalmSecure, sistem yang menggunakan pembuluh darah vena pada telapak tangan. Dari yang pernah Shanum baca, sensor vena pada perangkat hanya bisa mengenali Hemoglobin Deoxidized yang aktif mengalir dalam urat nadi seseorang. Dan tingkat keamanannya jauh lebih tinggi dibanding sensor sidik jari dan retina mata.
Dario menempelkan kembali telapak tangannya, lalu membukanya. Dia membawa Shanum memasuki sebuah lift menuju lantai dua. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak percaya begitu berlapis keamanan untuk menuju tempat Khan Adrian di rawat. Setelah keluar lift Dario tidak berhenti hingga mereka sampai di tengah koridor. Dia mengetuk pintu, lalu membukanya sedikit. "Saya datang menghadap Yang Mulia?" ucap pria itu sambil membungkukkan tubuhnya, ia memosisikan tubuhnya sedemikian rupa hingga Shanum tidak bisa melihat ke dalam ruangan.
Tidak ada jawaban. "Yah, begini-- Khan kedatangan tamu, Yang Mulia. Gadis bernama Shanum ingin melihat keadaan Khan Agung. Jadi saya mengantarkannya, dan akan menunggu di luar." Setelah ragu selama sesaat, Dario mundur dan membuka pintu lebih lebar lagi. "Aku akan menunggu di sini, panggil saja aku kalau kau membutuhkan sesuatu. Lalu dengan pelan dia menambahkan, "Misalnya dokter, jika kau tiba-tiba pingsan kembali karena berada di sini."
Shanum mengerutkan dahi. Perkataan yang aneh sekali, tapi kemudian dia segera menyadari bahwa semua orang yang ada di mansion ini memang agak aneh.
Shanum melewati Dario, memasuki ruangan itu, dan membeku begitu melihat Khan terbaring di sebuah tempat tidur, matanya terpejam, wajahnya terlihat sangat pucat. Di samping tempat tidur duduk seorang wanita yang sangat cantik. Wanita itu memiliki rambut hitam mengkilat, mata coklat keemasan dan kulit putih--seputih pualam.
Wajahnya mirip dengan Khan, wanita itu adalah versi feminin dari Khan. Pakaian wanita itu terlihat modis dan anggun, dandanannya pun tidak mencolok, meski tipis, tetap membuat wajah cantiknya bercahaya. Wanita itu bangun dari duduknya, dia tersenyum tipis kepada Shanum.
"Well, jadi ini yang bernama Shanum." Wanita itu memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Perkenalkan, aku Ibunya," ucapnya lembut. Shanum terbelalak kaget, tidak menyangka wanita cantik di hadapannya ini adalah ibu dari Khan.
Wanita ini masih terlihat muda, dia mengira tadi ia adalah saudara kandungnya. "Kau ingin melihatnya, Shanum. Dia masih belum sadar, belum melewati masa kritisnya. Mari sini, mendekatlah, kau dapat duduk di bangku itu."
Jantung Shanum berdebar kencang ketika ia menghampiri Khan. Ruangan ini memiliki peralatan medis yang sungguh lengkap. Shanum seperti merasa berada di ruangan ICU rumah sakit. Suara mesin pengukur detak jantung dan tekanan darah terdengar lembut. Ada Ventilator dan Defibrilator di ujung ruangan. Terdapat selang infus di tangan kanan Khan, selang oksigen di hidungnya, dan sebuah perban besar membalut bahu serta dada atasnya.
Dengan selimut hitam yang menutupi bagian bawah tubuhnya, Khan telanjang mulai pinggang ke atas, memamerkan dada dan lengannya yang kencang kepada Shanum.
Pria itu sangat kekar, dengan abdomen yang berotot six-pack. Bulu yang ada di dadanya hanyalah bulu hitam gelap yang tumbuh mulai dari pusarnya dan menghilang di bawah selimut. Shanum duduk di kursi yang ditunjukkan ibu pria itu. Sementara rasa bersalah menggerogotinya. Semua ini salahnya. Semuanya...
"Maafkan aku, jika tidak menolongku dia tidak akan menjadi seperti ini. Orang-orang itu berusaha mencelakai kami. Dan aku tidak tahu apa motif mereka," ucap Shanum. Wanita itu tersenyum lembut, "Semua itu pilihannya, Shanum. Dia tidak akan segan-segan untuk membantu orang-orang yang diperhatikannya. Jika dia sampai mengorbankan dirinya, berarti dia peduli padamu," tutur ibu Khan.
Menghela napas, Shanum memandangi wajah damai Khan. Dia merasakan senyum mengembang di bibirnya, dan itu merupakan hal yang menakjubkan. Bukan berarti dia bahagia melihat penderitaan pria itu. Tidak...bukan seperti itu. Shanum tidak ingat kapan terakhir kalinya dia tersenyum saat semua kejadian buruk ini dimulai. Suatu perasaan asing menyelinap masuk ke hatinya. Dan dia tidak tahu apa artinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments