"Tidak! Hentikan...Tidaaak!" Dengan raungan dari jiwanya yang tercabik oleh kepedihan, Shanum tersentak bangun. Sekujur tubuhnya basah oleh peluh, napasnya menderu, ia tersengal-sengal. Selama beberapa saat lamanya, Shanum merasa tubuh dan pikirannya lumpuh.
Ketakutan...syok...kesedihan...silih berganti menekan dadanya dan hampir mencekiknya. Kedua temannya sudah berada di sisinya. Diva memegang tangannya sambil sesekali mengusap bahunya. "Kau mimpi lagi Sha?" Farah bertanya sambil menatapnya prihatin, wajahnya tampak sedih. "Mau cerita?" tanya Diva lembut.
"A--ku kacau balau...aku bingung, karena di mimpi kali ini aku--aku..." Ia menjelaskan sambil terbata-bata, matanya tampak berkaca-kaca. "Aku merasakan semua kesakitan, kekecewaan dan ketakutan itu. Hal itu teramat sakit, dan aku tak kuasa menghentikannya..."
Shanum menahan isakan yang nyaris meledak keluar kembali. Dia ingat wanita itu, riap-riap rambut yang sangat hitam hingga warnanya tampak biru, seperti rambutnya sendiri. Mata yang ujungnya mencuat dan berwarna hitam berkilau.
Wanita itu berada di sana, dia berdiri di belakang wanita itu bagai bayangan. "Kenapa aku bisa merasakan perasaannya? Kenapa?" Shanum mengusap wajahnya, ia tampak meracau. "Sha, shh...hei, jika kau tidak sanggup untuk menceritakannya tidak apa-apa. Kami mengerti Sha," ucap Diva.
"Sebentar...aku ambilkan air dulu ya." Farah bergegas ke meja bulat di pojok ruangan, mengambil salah satu air mineral kemasan yang terdapat di sana. Kemudian ia memberikannya pada Shanum. Dia meminum air tersebut sampai tandas, tenggorokannya yang sangat kering terasa segar setelahnya. Napasnya pun mulai teratur, tampak mulai tenang.
Farah dan Diva masih menatapnya penasaran, menunggu kelanjutan lisannya. Pandangan Shanum tampak menerawang, tubuhnya berada di kamar itu, tapi ruhnya seakan-akan tidak berada di sana.
"*Aku tiba-tiba berdiri di tengah suatu ruangan, ruangan itu sangat luas. Ada sebuah singgasana di sana, dan di atasnya duduk seorang laki-laki paruh baya dengan penampilan seorang petinggi. Pakaiannya terlihat kuno, dengan jubah panjang berwarna hitam dengan sulur-sulur keemasan. Di samping kiri dan kanannya ada meja-meja berderet rapi, berisi orang-orang yang tengah duduk di belakang meja tersebut. Di hadapanku ada seorang wanita yang sedang berdiri di tengah ruangan juga.
Aku merasakan sesuatu, apa ini? Rasa ketakutan, siapa yang memiliki perasaan ini, apakah aku? Lalu aku melihat orang-orang di hadapan kami berbisik-bisik, kemudian terdengar suara ketukan. Suara-suara itu mendadak menghilang, ruangan menjadi hening. Pria yang terlihat seperti petinggi itu kemudian melihat ke arah kami, dia tampak tersenyum sombong*.
"*Sarnai, para tetua sudah memutuskan, kau tidak boleh berhubungan kembali dengan Khan. Khan adalah calon pemimpin Klan, sedang kau tidak sepadan untuknya. Kali ini Dewan akan melepasmu, dan membiarkan kau beserta keluargamu hidup tenang, dengan syarat kau dan keluargamu jauh-jauh dari Khan. Jika tidak, kau beserta keluargamu akan menerima hukuman di penjara untuk selamanya, dan aku akan memastikannya.
"Apakah kau mengerti Sarnai?" Pria itu menatapnya dengan tajam, suaranya terdengar keras. Sarnai mendongakkan kepalanya kemudian menganggukkan kepalanya. Pria itu tampak puas melihatnya.
"Bawa dia keluar dari ruangan ini," perintah pria itu pada seorang pria di sampingnya. Pria yang menerima perintah itu kemudian berbicara dengan orang lain*.
Wanita di depanku ini ternyata bernama Sarnai. Tiba-tiba ia menoleh ke belakang, tampak gelisah, wajahnya pucat bagaikan mayat, tatapannya kosong. Aku merasakan gejolak dalam perasaannya, rasa pedih, amarah, ketidakadilan, semuanya tumpang *tindih.
Aku dapat merasakan apa yang dirasakannya, dan itu membuatku kaget. Apakah ia menyadari keberadaanku? Tapi tidak ada reaksi bahwa dia tahu aku ada di sana.
Kemudian ruangan itu memudar, aku mengerjapkan mataku, dan melihat Sarnai sedang berlari-lari, lalu ia bersembunyi di salah satu sudut bangunan. Entah apa yang membuatnya begitu, dan mengapa aku tetap setia mengikutinya, setiap ia berlari aku ikut berlari, ia berjalan pelan aku ikut juga.
Aku selalu berada di belakangnya, tampak seperti bayangannya. Saat ini Sarnai melihat secara sembunyi-sembunyi ke arah jalanan di hadapannya. Setelah dirasanya sudah aman ia mulai kembali berlari, dan sampai ke depan sebuah tenda bulat berwarna putih. Aku kaget, penampakan di hadapanku ini--adalah sebuah Ger, tenda tradisional khas suku Mongolia. Seperti yang pernah kulihat di kota tua itu.
Lalu aku melihat Sarnai dihadang oleh sesosok pria. Pria ini--mataku terbelalak syok, mulutku melongo, aku melihat Khan Adrian berdiri dihadapanku. Aku memicingkan mataku, betul...itu dia. Wajahnya tampak lebih muda. Rambutnya juga panjang dan diikat. Aku menatap wajah tampannya, ya--itu benar-benar dia, aku tak mungkin salah. Oh Tuhan, apakah ini sebuah lelucon, tolong katakan! karena menurutku ini tidaklah lucu.
"Khan..." Sarnai mengucapkan namanya dengan suara pelan. Bahkan namanya pun sama, Sarnai memanggilnya Khan. Aku meneliti keseluruhan wajahnya, aku sungguh penasaran. Bagaimana bisa, ia ada di dalam mimpiku? "Apa kabar Nai, mengapa wajahmu nampak kaget begitu? Seperti melihat hantu saat bertemu denganku."
Dia bertanya pada Sarnai sambil tersenyum. "Sebaiknya kita tidak bicara di sini." Sarnai mulai bergerak berjalan ke arah jalan setapak, entah menuju kemana, diikuti oleh Khan di sebelahnya.
Sarnai tetap menundukkan kepalanya sambil berjalan, ia tidak tampak menoleh sedikit pun ke arah Khan. Ketika mereka berjalan menyusuri jalan setapak itu, aku menyadari beberapa tatapan penasaran dan penuh dugaan dari orang-orang yang berpapasan dengan mereka. Namun mereka berdua tetap melangkah dalam diam.
Saat tiba di sebuah tempat yang sepi, tak terlihat satu orang pun, Sarnai berhenti--kemudian ia menatap ke wajah Khan Adrian. Dia hanya menatap, masih tak mengeluarkan suara apa pun. Posisiku sekarang bisa berada di samping Sarnai.
Syukurlah aku sekarang bisa bebas bergerak kemana saja sesuka hatiku. Aku dapat melihat wajah mereka dari dekat, dan bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. "Nai, aku mau minta maaf, aku baru tahu kalau kau ternyata dipanggil para tetua. Kenapa kau tidak mencariku dan mengatakannya?" tanya Khan.
Sarnai tidak menjawab, ia melangkah ke arah pinggiran sungai di dekat tempat ini dan melihat sepanjang alirannya. "Nai, kenapa kau diam saja. Katakan sesuatu?" Khan bergerak mendekatinya, kemudian tiba-tiba merengkuhnya ke dalam pelukan. Sarnai diam membatu, ia tetap tidak bergerak sedikit pun, tubuhnya tampak bergetar. Kemudian dia melepas pelukan Khan. "Nai..." Khan masih bertanya sambil mengernyitkan keningnya.
Mungkin ia bingung, apa yang terjadi dengan Sarnai. "Apa yang dikatakan dewan, ceritakan padaku?" Sarnai menggelengkan kepalanya," Aku tidak perlu mengatakannya padamu." "Mengapa tidak perlu? Apa alasannya, apa kau diancam, Nai?" Khan kemudian mencoba mengusap pipinya, Sarnai tersentak, dan ia menepisnya*."
"*Alasannya tidak penting Khan." "Apa maksudmu? Mengapa menjadi tidak penting?" tanya Khan bertanya bingung.
"Bagiku sekarang sudah tidak penting Khan. Tolong jangan tanyakan lagi." Khan Adrian terlihat semakin kalut, jawaban ambigu yang dilontarkan Sarnai membuatnya gelisah. Sesuatu membuatnya cemas, karena saat ini ia tidak bisa membaca maksud pikiran wanita itu secara tepat.
"Jadi apa maumu sekarang, Nai?" Khan menantangnya dengan geram. Api di mata pria itu membuat Sarnai merasa takut--bukan api amarah, melainkan sesuatu yang terlihat sebagai kekecewaan. Dan rasa putus asa juga karena sejak tadi ia tidak menjelaskan kepada pria itu.
Sarnai berusaha menatap pria itu dengan pandangan tak terbaca, datar tanpa emosi. Meski sebenarnya di dalam dirinya terkurung rasa pilu yang menyesakkan dadanya. Pria itu memiliki segalanya, kekayaan, kekuasaan, harga diri, pengaruh. Pria itu menguasai dunia. Pria itu pernah memberinya kebahagiaan.
Aku mengerjap. Aku bisa merasakan apa yang berkecamuk di pikiran Sarnai--sungguh bertolak belakang dengan apa yang diucapkannya. "Maafkan aku Khan, aku tidak bisa lagi menjalin hubungan denganmu." Sarnai tiba-tiba berkata.
Khan memicingkan matanya. "Jangan," perintah Khan, suaranya pelan dan mengancam. "Jangan menghinaku lebih jauh dengan berdusta." Khan tampak mengepalkan tangannya. "Aku tidak berdusta, aku mengatakan yang sebenarnya." Sarnai menatap mata Khan dengan berani.
"Mengapa?" tanya Khan lirih. "Kita sangat berbeda Khan-bagaikan langit dan bumi. Aku bumi dan kau langit. Kita tidak akan pernah bisa bersatu," jawab Sarnai.
"Kata siapa? Apakah kata dewan?" Khan mencoba kembali memancing Sarnai untuk mengakuinya. "Tidak Khan, tak perlu dewan mengucapkannya pun sudah terlihat jelas di depan mata." Sarnai masih menutupinya.
"Ah--Itu pikiran picik, tidak ada batas langit dan bumi jika keduanya sama-sama saling menginginkan. Kita sudah menjalani ini cukup lama. Apakah itu tidak ada artinya untukmu, Nai?" tanya Khan. Sarnai menggelengkan kepalanya.
Khan memejamkan matanya, kemudian ia tertawa lirih. "Nai, tolong katakan padaku kalau gelengan kepalamu tadi hanya bercanda. Kau tidak serius kan?" tanya Khan. "Tidak, aku serius," jawab Sarnai tegas.
Mata Khan yang biasanya dihangatkan oleh cinta ketika menatapnya, kali ini terlihat keras dan tajam. Otot rahangnya nyaris mencuat akibat marah. Cuping hidung Khan mengembang. "Kau mengatakan cinta padaku. Apakah itu juga palsu?" bentak pria itu.
Sarnai tertawa. "Cinta saja tidak akan cukup Khan. Aku hanya rakyat jelata. Terimalah." Sarnai tampak mengertakkan giginya."Itu cukup bagiku, Nai. Yang lain tidak berarti. Kita akan menjalani ini bersama-sama. Aku akan melakukan segalanya, bahkan melepas gelarku, jika itu bisa membuatmu kembali kepadaku," teriak Khan.
Sarnai mengerjap-ngerjap untuk menahan air mata yang menggenang dan hampir tumpah. Dia merasa Khan telah menyiksanya habis-habisan dengan kata-katanya itu.
Tepat saat Sarnai merasa bahwa dirinya tak mungkin mencintai pria itu lebih besar daripada yang dirasakannya sekarang, Khan telah melakukan sesuatu yang membuatnya jatuh cinta lebih dalam lagi. Khan bersedia melepas apa yang ia dapatkan sejak lahir, gelarnya...untuk dirinya.
Sarnai terpana, dia menatap Khan, terlalu mengenal setiap garis, lekuk, dan sudut tajam wajahnya. Dia akan merindukan wajah itu di kemudian hari. "Khan, aku punya permintaan." ucapnya lirih.
"Tidak. Kau tidak berniat memberi apa yang kuinginkan. Mengapa aku harus melakukan sesuatu untukmu?" Sarnai tersenyum miris mendengar kata-kata Khan. Ia tahu Khan peduli akan dirinya. Pria itu tidak akan mencarinya jika tidak demikian.
Di balik kemarahan dan penolakan kasar Khan, entah bagaimana Sarnai tahu bahwa pria itu akan melakukan hal ini untuknya. Untuk itulah dia harus berkorban. Dia akan pergi meninggalkan pria itu. Ia akan melindungi pria itu, ia tidak akan membiarkan Khan menghancurkan kehidupannya demi dirinya.
"Dengar! Aku sama sekali tidak peduli! Meski seluruh dunia menentang kita. Kau adalah milikku, selamanya harus menjadi istriku." Khan mengucapkan lagi dengan lantang. Dia mengatupkan mulutnya rapat-rapat, dan menatap Sarnai tajam. Sarnai merasa tali jerat sudah melingkari lehernya, dan pintu jebakan telah terbuka.
"Tidak mungkin," bisik Sarnai. Kemudian ia tertawa kaku, "Bodoh sekali kau*, Khan. Aku ternyata berhasil. Ya, kau adalah korban penipuanku yang paling berhasil. Kau mungkin berniat akan menentang aturan klan, dan menikahiku. Tapi untuk apa semua itu, tidak ada gunanya. Karena kau akan sendirian, aku tidak akan bersedia. Dan aku tidak pernah mencintaimu, Khan. Itu dusta, aku hanya ingin dapat membuktikan kepada orang-orang bahwa aku, Sarnai, wanita jelata mampu menaklukkan Khan yang mulia."
"Jangan, Nai." Khan tampak syok, wajahnya pucat. Dia tampak tidak terima dengan ucapan Sarnai. Aku yang mendengarnya ikut sedih, Oh Tuhan...sungguh berat untuk Sarnai, dan sangat sakit untuk Khan.
"Jangan apa? Jangan jujur kepadamu? Sejak awal kau adalah mangsaku. Semua kata-kata manis yang keluar dari bibirku itu racun. Apakah kau benar-benar mengira aku mau tetap bersamamu, melakukan apa pun yang kau inginkan, selama yang kau mau? Tidak Khan, aku sekarang mulai bosan, dan permainan ini sudah selesai. Aku sudah tidak membutuhkanmu lagi. Aku akan mulai mencari pria lain, yang bisa menjadi korbanku."
"*Kau bohong. Aku tidak percaya dengan kata-katamu." Khan menatap Sarnai dengan mata memicing dan rahang menegang, ia menatapnya dengan tajam. "Terserah saja, itu kata-kata paling jujur yang pernah kuucapkan kepadamu." Sarnai berusaha menjawab tanpa keraguan. "Baik, jika itu maumu." Khan membuang pandangannya. Dia tampak ingin pergi jauh-jauh dari Sarnai. Keningnya tampak berkerut, bibirnya menipis, dan matanya tanpa binar, terlihat remuk redam.
Aku merasakan sesuatu berdenyut di dalam hatinya. Aku merasakan cairan hangat perlahan bergerak menuruni pipiku. Membawa kepedihan yang tak terkira untuknya. Perasaanku meluap, aku ingin merengkuh pria itu dalam pelukanku*.
"*Khan, ada satu permintaan lagi," ucap Sarnai. Khan berhenti lalu berbalik, dan hati Sarnai nyaris hancur melihat ekspresi datar di wajah pria itu. "Jangan mencariku lagi," kata Sarnai pelan dengan wajah tak terbaca. Khan mengangguk sekilas sebelum kembali melangkah, meninggalkan tempat itu. Tempat yang sunyi dengan suara gemericik air sungai yang terdengar.
Bersama kepergian pria itu, Sarnai merasa dirinya tersesat, air mata yang sedari tadi ditahannya kini berusaha membebaskan diri. Namun jika ia menangis sekarang, demi semua hal yang telah hilang darinya, ia takut tidak akan bisa berhenti. Khan tidak pernah akan tahu seberapa besar pemberiannya untuk Sarnai, tidak akan pernah tahu apa yang di deritanya setelah berdusta lalu menyuruhnya pergi*.
*Saat ini, Sarnai membenci dirinya sendiri karena telah jatuh cinta pada pria itu, karena telah memberikan kekuasaan kepada pria itu untuk menghancurkan hatinya. Dan dia juga tahu, kalau ia sudah ikut mematahkan hati pria itu. Namun dia harus melakukannya, jarak itu terlalu lebar untuk diseberangi. Semua ini demi yang terbaik, semua ini demi Khan. Dia ingin Khan tetap dengan semua gelar yang menyertainya. Dia harus naik tahta, ia terlahir untuk itu, untuk memimpin klannya. Membawa rakyatnya ke arah yang lebih baik.
Sarnai mencintainya, dengan segenap hati dan jiwa. Dia akan tetap mencintainya hingga napas terakhirnya, bahkan jika ia dilahirkan kembali. "Maafkan aku, Khan." Sarnai jatuh terduduk di atas tanah. Telapak tangannya memegang wajahnya, dan ia tak kuasa lagi menahan tangis. Aku juga ikut terduduk di atas tanah, di sampingnya, ikut menangisi kehilangannya*.
Kemudian aku berada di tempat lain, aku melihat kembali mimpi saat wanita yang ternyata Sarnai sedang terikat dan di siksa oleh seorang wanita sadis. Wajah cantiknya dirusak oleh sebuah pisau. Aku mulai mengerti maksud mimpi ini. Potongan-potongannya mulai membentuk satu cerita yang utuh.
Shanum telah selesai bercerita. Diva dan Farah tampak tercengang. Wajah mereka seakan tak percaya. Diva bahkan sedang mengusap lelehan air mata dengan jarinya. "Jadi Sha, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Farah. Shanum beranjak dari kasur, ia melangkah ke arah jendela. Menatap pemandangan pagi yang indah di Astrakhan.
"Aku tidak tahu, Farah. Apa yang harus kulakukan setelah ini. Karena aku juga belum tahu, apa peranku dalam kehidupan Sarnai dan Khan Adrian. Mengapa aku harus ada di sana? Banyak pertanyaan yang belum terjawab." Shanum kemudian menoleh, menatap kedua sahabatnya.
"Kalian percaya pada ceritaku kan? Tidak berpikir kalau aku semakin kehilangan kewarasanku?" "Kalau kami menganggap semua ini hanyalah kegilaan, untuk apa kami sekarang berada di sini, di tempat yang jauh dari rumah, bersamamu," cemooh Farah.
"Iya Sha, kami ingin kau dapat menemukan tabir di balik mimpimu itu," timpal Diva. Shanum tersenyum, ia bahagia memiliki kedua teman di hadapannya ini. Biarlah, untuk selanjutnya ia memasrahkan pada takdir yang akan menuntunnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments