"Ibu anda sudah menunggu di ruangan minum teh, Khan Agung." Seorang pria berdiri sambil menghormat di ambang pintu balkon. Kedua lengannya yang kekar tampak cokelat dan terbuka, pria itu memiliki tubuh berotot seperti penari. Dia adalah Bataar, tangan kanan ibunya, sekaligus pelindungnya.
Meski menurut Khan, ibunya tidak perlu pengawal, dia bisa melindungi dirinya sendiri. Sang ibu memiliki kekuatan sihir yang kuat. Dan itu bukanlah rahasia, tidak ada yang pernah berani membuatnya marah. Namun sang ibu jarang marah, wanita itu sangat lembut dan penyayang. Khan sangat menghormatinya, ia memperlakukan ibunya dengan hangat. Sangat jauh berbeda dengan perlakuannya terhadap semua wanita, yaitu bersikap dingin.
Ruangan ini masih tetap sama hangatnya, Khan masuk ke dalamnya dan diserbu oleh sentuhan feminin yang ada di seluruh ruangan. Dominasi warna pastel sangat mencolok mata. Ibunya yang biasa dipanggil dengan sebutan 'Eej dalam bahasa Mongolia, yang berarti 'Ibu, sedang duduk di kursi empuk indah berlapis beledu cokelat di sudut ruangan. Dia sedang menikmati teh sore harinya.
"Eej, aku datang menghadapmu." Khan membungkuk hormat kepada ibunya dan tersenyum lembut. "Rumah ini entah mengapa terasa berbeda," kata Khan. "Aku mengubah beberapa interior ruangan, mengganti pelapis bangku, tirai-tirai, dan wallpaper. Para pelayan juga sudah membersihkan segalanya dengan begitu teliti," ungkap sang ibu. "Apakah itu berarti rumah ini terlihat lebih indah?" "Ya. Terlihat lebih indah dan cerah," jawab Khan. "Benarkah, senang mendengarnya." Sang ibu terlihat tersenyum lembut.
"Eej...ada yang ingin kubicarakan denganmu." Wajah Khan tampak serius. Sang ibu terlihat ingin tahu, alis indahnya tampak berkerut. "Apakah ada seseorang yang menarik perhatianmu?" Khan tampak terkejut, "Bagaimana Eej bisa menebaknya?" Wanita itu kemudian tersenyum simpul. "Hanya insting, jadi sudah sejauh apa?"
Khan terlihat menghembuskan napasnya, ia tampak gugup. "Secara teknis, gadis ini bukanlah apa-apaku. Aku tidak berharap berlebihan, sejak..."
Khan tidak bisa melanjutkan kata-katanya. "Oh sayang," Sang ibu menyela. "Hidup terlalu indah jika hanya dihabiskan untuk mengingat masa lalu. Kau butuh maju, bukan terus mundur," tuturnya.
"Tidak untukku," jawab Khan. "Sudah waktunya kau berubah. Carilah wanita yang sesuai. Jangan ikuti Taban dan Dario yang masih melajang. Kau pemimpin klan, jika mengikuti aturan di masa lalu, kau akan dijodohkan oleh para tetua. Entah mengapa seiring berubahnya zaman para tetua menjadi lebih lunak, mereka membebaskanmu tanpa pendamping."
"Aku sudah pernah dijodohkan, jika kau ingat. Dan aku merasa senang mereka tidak menggangguku lagi. Aku tidak perlu pasangan untuk memimpin klan ini," Khan meyakinkan sang ibu. "Mengapa kau sangat menentang cinta?" Khan tersenyum simpul, dia kemudian menjawab, "Tentu aku datang kemari tidak untuk mendiskusikan keadaan hatiku, Eej."
"Tidak, tapi terkadang aku bertanya-tanya, kemana bocah laki-laki manisku pergi." Sang ibu menatapnya dengan lembut. "Bocah itu sudah tumbuh dewasa," kata Khan. "Omong-omong aku perlu bantuan Eej, jika nanti ada pertanyaan dari para tetua," katanya lagi. Sang ibu menatap Khan dengan pandangan tajam.
"Jangan katakan kau sedang terlibat masalah, Anakku." Khan menyeringai. "Aku hanya sedang menyelidiki sesuatu Eej. Belum tahu akan menjadi masalah atau tidak nantinya. Hanya tidak mau para tetua ikut campur, dan mengacaukan semuanya."
"Coba jelaskan padaku." Sang ibu berkata dengan tegas. Khan menguatkan tekadnya, dia akan butuh dukungan ibunya. Lalu ia menceritakan semuanya. Awal pertemuannya dengan Shanum, hingga peristiwa di ruang kerjanya. Wanita itu mendengarkan dengan tenang, sesekali ia terlihat mengerutkan keningnya, tampak berpikir.
"Aku tidak bisa tergesa-gesa bertindak Eej, gadis itu belum tentu membahayakan klan kita. Kecuali aku menemukan bukti adanya hal yang mencurigakan pada gadis itu, kematiannya akan berarti darah manusia tak berdosa tumpah di tanganku. Yang tentu saja akan menghantui sepanjang sisa hidupku. Meski aku sudah bersumpah untuk melindungi klan kita dari mata dunia."
"Sebaiknya kau tetap berhati-hati, Nak! Entah mengapa perasaanku tidak enak. Aku akan segera berkunjung ke rumahmu. Aku ingin bertemu dengan gadis itu," ucap sang ibu. "Sebaiknya jangan sekarang Eej, aku harus memastikan semuanya aman dulu." Wajah sang ibu tampak tidak setuju.
"Please..." Akhirnya dia mengalah, sang ibu menganggukkan kepalanya. "Baik Eej, aku tidak akan mengganggu waktu minum tehmu lebih lama lagi. Aku pamit ke kamarku untuk beristirahat." "Pergilah, kau bisa panggil Bataar jika membutuhkan sesuatu." Khan menganggukkan kepalanya, kemudian keluar dari ruangan itu. Saat sudah berada di luar ruangan ia tampak menghembuskan napas lega, merasa satu langkah sudah berhasil dilewatinya.
Sementara itu, di salah satu kamar, di mansion megah milik Khan Adrian. Tiga orang gadis tampak berbincang serius. "Jadi apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Sha?" tanya Farah. "Iya, kita harus bagaimana? Aku jadi takut tinggal di sini," sahut Diva. Shanum tetap diam, dia tampak berpikir.
"Kita harus keluar dari sini," ucap Shanum. Dia sudah memutuskan, mereka harus keluar dari cengkeraman pria itu. Shanum tidak tahan jika terus berada dalam ketidakpastian. Mereka sudah dua hari berada di mansion ini, dan gerak gerik mereka dibatasi.
Khan Adrian tidak pernah muncul lagi setelah peristiwa di ruang kerja itu. "Tapi bagaimana caranya kita keluar dari sini? Keamanan di sini sangat ketat," tanya Diva. "Aku punya ide," ucap Farah. Dia kemudian menjelaskan kepada kedua sahabatnya.
"Maksudmu, barang-barang kita tidak dibawa? Aku tidak setuju, barang-barang itu penting semua." Diva menolak usul Farah. "Kalau kamu bawa semua barang-barangmu nanti mereka akan curiga. Kita kan mau kabur Diva, bukannya pindah ke hotel." Farah tampak kesal melihat tingkah Diva. "Memang kita tidak bisa minta ijin saja sama Khan Adrian." "Bagaimana mau minta ijin, wujudnya saja tidak kelihatan sampai saat ini." Farah menjawab sambil memutar bola matanya.
"Coba kau tanyakan pada Taban, Sha." Diva masih bersikukuh dengan pemikirannya. Shanum menatap Diva, sambil mengetuk-ngetukkan jari di bibirnya. "Diva, kalau aku lakukan itu, mereka pasti akan bisa membaca niat kita. Jadi aku menolaknya, maaf," ucap Shanum. "Kamu coba pilih barang-barang yang penting saja untuk dibawa, sisanya kita tinggalkan di sini. Untuk pakaian, cukup bawa satu set saja. Kita bisa beli lagi di perjalanan nanti," tambahnya lagi.
Diva mengusap rambutnya dan mengernyitkan wajah. Ia masih ragu dengan ide Farah. "Diva, kau ikut kita kan?" tanya Shanum. Diva duduk di ranjang dengan gelisah tidak dapat menjawab. Gadis itu merasa sulit menatap Shanum, sebagian karena ia merasa ragu dan sebagian karena ia merasa bersalah. "Diva..." Farah memanggilnya, ia memberi isyarat tak sabar dengan kedua tangannya. "Oke, aku ikut," jawabnya sambil bersungut-sungut.
Shanum sudah selesai memasukkan barang-barang yang penting untuk dibawanya. Sambil menunggu kedua temannya memasukkan barang-barang milik mereka, ia memejamkan mata. Tuhan, dia berharap bisa terus memejamkan mata dan mungkin itu akan menyingkirkan semua ini.
Tidak peduli seberapa mengesankan semua ini, seberapa tampan pria itu, Shanum harus segera keluar dari sini. Ia tidak mau tersesat, semua ini membuatnya takut.
Kemudian Shanum bangkit berdiri, wajahnya tanpa ekspresi, terlihat dingin dan tak terjangkau.
"Sudah siap Ladies?" Mereka berdua menganggukkan kepalanya. Mereka bertiga keluar dari kamar, saat itu waktunya makan siang. Seperti biasa mereka makan bersama di ruangan makan dan ditemani oleh Taban serta Dario. Farah menyapa Taban, kemudian duduk di depannya. Sedang Diva dan Shanum duduk di sebelah Farah. Diva langsung mengambil makanan yang sudah tersaji di depannya.
Siang ini hanya terlihat Taban di ruang makan, ia tampak mengerutkan keningnya melihat ketiga gadis itu berpakaian sangat rapi dan membawa tas. "Apakah ada yang kulewatkan?" tanyanya. "Ah tidak, kami hanya ingin keluar. Sekalian ada yang ingin kubeli, em, keperluan khusus wanita. Apakah ada yang bisa mengantarkan kami?" Farah tersenyum manis sambil menatap ke arah Taban.
"Aku bisa mengantarmu. Jadi, katakan padaku--" Taban mencondongkan tubuhnya ke depan dan memutar-mutar pelan minuman di dalam gelasnya, mata pria itu menatap mata Farah lekat-lekat. "Kalau begitu apa sebenarnya yang kalian rencanakan?" tanya Taban.
Ketegangan menggumpal di dalam perut Farah. Mendadak dia merasa kenyang. Seharusnya dia bisa menduga hal itu akan terjadi. Taban tidak menjadi Personal Assistant Khan Adrian dengan begitu saja, ketelitian pikirannya yang tajam adalah salah satu hal yang paling ia khawatirkan dari Taban.
Farah perlahan-lahan mengambil makanan ke dalam piring. Wajahnya terlihat tenang, tanpa beban, meski jantungnya berdebar-debar tak karuan. "Tidak ada rencana apa-apa, kami hanya butuh barang-barang personal wanita, dan itu harus dibeli sendiri oleh kami," ungkap Farah.
"Barang-barang apa?" tanya Taban. Farah menatap Taban, perlahan mendekatkan wajahnya, dan berbisik, "Kau tahu--barang-barang khusus, seperti obat pereda nyeri untuk siklus bulanan wanita." Kontan wajah Taban memerah, dia membuka mulutnya, namun kemudian ia tutup kembali. Taban mengurungkan niatnya untuk berbicara. "Jadi apakah kami boleh pergi?" Taban mempertimbangkannya, ia mengangguk, dan Farah mengira dirinya sudah aman.
Tapi kemudian gerakan kepala Taban berubah dari setengah mengangguk menjadi lebih menyerupai sebuah gelengan. "Tidak, aku tidak setuju. Aku hanya akan mengantar Farah saja. Yang lain sebaiknya tetap tinggal di sini. Biar nanti Farah yang membelikan keperluan untuk kalian berdua." Diva langsung membanting sendok ke dalam piring, suara berisik yang tiba-tiba terdengar mengagetkan mereka.
"Tentu saja tidak bisa begitu Taban! Aku tidak akan membiarkan kau pergi berdua saja dengan Farah. Jangan membuatku kesal!" Suara Diva terdengar tegas, matanya menatap tajam pada Taban. Pria itu terlihat mengerutkan keningnya. Dia mengawasi gadis itu, ternganga, kebingungannya bertambah.
Shanum yang mendengar ucapan Diva kontan menutup mulutnya. Dia berusaha menahan tawanya. Melihat wajah kaget dan bingung Taban membuat perutnya tergelitik. Shanum berusaha menggerakkan lidahnya, dan dengan susah payah, berhasil mengatakan, "Maafkan temanku, kau pasti bingung. Dia ingin ikut, tidak mau ditinggal di sini," jelas Shanum.
"Kami juga tidak mungkin hanya menitipkan barang-barang kebutuhan itu dengan Farah. Kami harus memilih sendiri, karena kebutuhan setiap wanita berbeda. Kami juga tidak tahu apakah jenis yang dijual di sini sama dengan di negara kami," lanjut Shanum.
Empat orang staf dengan pemilihan waktu yang sempurna tiba membawa piring berisi makanan pencuci mulut di acara makan siang mereka. Dua orang staf membereskan meja dan dua orang lainnya meletakkan potongan kue yang terlihat menggiurkan.
Farah membungkuk untuk melihat lebih dekat. "Apa itu potongan kaca? Di atas kue?" tanya Farah terheran-heran. Shanum tergelak dan suara tawanya sedikit meredakan ketegangan yang menyelimuti mereka setebal kue lapis berlumur gula itu. "Jangan tanya. Cicipi saja," jawab Shanum. "Kau yakin ini bisa dimakan, Sha?" celetuk Farah. Diva menarik piring kue itu, namun tangannya ditepuk oleh Farah. Dia menarik kembali piring kuenya.
"Jangan pelit, kalau tidak mau di makan kuenya buat aku saja. Kue di hadapanmu itu kelihatan lebih menggiurkan daripada punyaku," ucap Diva sambil cemberut. "Kau ambil punyaku saja, aku tidak suka makanan manis." Taban menyodorkan kuenya pada Diva. Gadis itu langsung mengambil kue milik Taban, wajahnya berseri-seri, bibirnya mengulum senyum yang sangat manis.
Taban tertegun, dia duduk tegak untuk menatap mata Diva lama sekali. Gadis ini sungguh aneh, tadi dia tiba-tiba meledak marah, sekarang tersenyum sangat manis sekali. Taban yang tidak senang hal-hal berbau manis jadi mendadak suka. Shanum dan Farah saling berpandangan penuh arti. "Jadi, kau akan mengantarkan kami, Taban?" tanya Farah. Taban menoleh, dia lalu menganggukkan kepalanya. "Terima kasih Taban," ucap Farah.
Mereka berempat berkendara menuju pusat perbelanjaan terdekat dari mansion. Sepanjang jalan yang dilalui, Diva mencuri-curi pandang ke arah Taban yang sedang mengendarai mobil. Taban adalah pria yang tampan dan baik menurutnya, Diva sempat merasa jantungnya mau jatuh saat menerima tatapan dalam dari pria itu saat di meja makan tadi.
Sensasi yang Diva rasakan jauh lebih menggiurkan daripada jika para staf dapur menyajikan hidangan pencuci mulut yang lebih manis, kesukaannya. Diva sedikit tenggelam dalam bayangan itu, dan jemarinya yang bertautan, digenggamnya lebih erat. Kenyataan yang kejam merasuk ke pikiran Diva. Benar. Karena dia sudah menipu pria itu, dengan tutur kata bohongnya tadi, saat di meja makan.
Saat itu, pandangan mata Taban, terasa menelanjangi jiwanya, dan menguras emosinya. Emosi itu membuat napas Diva sesak saat dia berjuang untuk mengatur naik-turun dadanya dengan hati-hati. Dia tak ingin memperlihatkan keresahan yang terjadi dalam batinnya kepada kedua temannya dan pria itu.
Taban menunggu mereka di depan toko sambil menelpon dengan ponselnya. Ketiga gadis itu segera masuk ke dalam toko. Mereka disambut oleh salah seorang penjaga toko. Shanum mengisyaratkan mereka ingin melihat-lihat terlebih dulu. Penjaga toko itu mengerti lalu meninggalkan mereka. Shanum langsung mengawasi sekeliling toko. Diva bergerak mencari informasi tentang pintu belakang toko. Dan Farah terlihat sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya.
"Ayo, kita harus menuju pintu belakang, Tim sudah dalam perjalanan. Kita ke tempat aman dulu setelah itu aku akan share location ke Tim." Farah menjelaskan dan mengajak kedua temannya. Diva bergerak memimpin jalan menuju pintu belakang toko ini, dia sudah mendapatkan informasinya tadi dari salah seorang pelayan toko.
Mereka menengok ke kiri dan ke kanan, sebelum keluar dari bangunan tersebut melalui pintu belakang. Saat mereka melihat situasi sekeliling dirasa aman dan sepi, lalu mereka lanjut berlari menuju arah yang berlawanan dengan tempat Taban menunggu.
"Lewat sini," ucap Farah memimpin. Dalam kesenyapan, ketiga gadis itu mengendap-endap di tengah toko-toko yang berjejer rapi. Mereka masih mencari lokasi yang tepat, tempat yang cukup jauh dari lokasi awal dan terlindungi dari pandangan curiga orang lain.
"Walaupun aku senang kita berlarian seperti ini, keluar dari cengkeraman pria itu, tapi, apa kita punya tujuan akhir?" gumam Diva sambil terengah-engah. Memperlihatkan aba-aba tertentu Farah berhenti mendadak, menunjukkan suatu tempat persis di depan mereka. "Di sana."
Diva memutar bola matanya. "Tempat itu terlalu ramai." "Lebih baik, jadi kita dapat membaur dan tidak terlalu mencolok," balas Farah. "Setuju," ujar Shanum datar, beranjak sehingga bisa memperhatikan tempat yang ditunjuk oleh Farah.
Tempat itu penuh oleh orang-orang yang berbelanja kebutuhan sehari-hari. Tempat yang dapat dikatakan sebagai Pasar Bersih, sebutan yang menyerupai di negara asal ketiga gadis tersebut. Kemudian mereka membaur di antara orang-orang yang sedang berbelanja.
Dibutuhkan waktu beberapa saat untuk menyadari bahwa sinyal menghilang dari ponsel Farah. "Oh...sial!" ucap Farah kesal. "Ada apa?" Shanum mencondongkan kepalanya ke belakang selagi tetap awas melihat situasi sekeliling mereka.
"Sinyalnya menghilang, aku tidak bisa share location kita pada Tim." "Pakai ponselku saja." Diva menyodorkan ponselnya pada Farah. Gadis itu mengambil ponsel dari tangan Diva dan mencoba Share Location kembali. "Yes, bisa." "Coba kau hubungi lagi Tim. Berapa lama dia bisa sampai ke sini. Aku tidak mau kita terlalu lama menunggu, sangat beresiko," jelas Shanum.
Farah langsung memahami kecemasan Shanum, mereka sudah melarikan diri sejauh ini. Dia juga tidak mau hal ini menjadi sia-sia. "Hallo Tim, aku sudah kirim lokasinya. Apakah posisimu masih jauh? Oh, sudah dekat. Oke, kami tunggu." Farah menyudahi percakapan itu. "Tim sudah dekat dari sini, tolong kalian bantu lihat-lihat ya. Jika mobil Tim sudah terlihat, dia membawa mobil yang biasa." Shanum dan Diva menganggukkan kepala mereka. Ketiganya saling mengawasi dalam diam.
Tiba-tiba Diva menunjuk ke suatu tempat, "Itu dia, sudah terlihat mobilnya. Itu Tim." Shanum dan Farah melihat ke arah yg ditunjukkan Diva. Ketiga gadis itu lalu bergerak menuju mobil Tim. Mereka langsung masuk ke dalam mobil, dan Tim segera melaju meninggalkan lokasi itu. Beginilah akhirnya, Shanum mengakui, mereka sudah berhasil melarikan diri dari Khan Adrian.
Shanum merasakan kepedihan mendalam saat teringat pria itu. Awalnya dia senang dapat melarikan diri darinya. Namun kini rasa bersalah mulai bermunculan di hatinya, dia mulai merindukan pria itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments