Seluruh tubuh Shanum menegang. "Aku tidak percaya, jangan pernah berbohong padaku." Pria itu tampak serius, mata keemasannya menatap gadis itu tajam. Seakan-akan dia ingin mengetahui apa yang tersimpan dalam pikiran Shanum. Jika dia mengatakan dengan jujur lebih jauh lagi, apakah gadis itu akan tetap tinggal, atau dia akan lari karena takut. "Kali ini aku tidak berbohong, aku mengatakan kebenarannya."
"Mengapa? Kenapa aku?" Shanum menggosokkan tangan ke wajahnya. Lalu dia menatap Khan, ekspresi wajahnya tak terduga. "Aku tidak tahu, Shasha. Dari awal kau sudah membangkitkan insting melindungi di diriku. Kau tahu saat kau tenggelam aku memang berada di sana. Aku mengikutimu, mengamatimu, aku ingin tahu tentangmu. Dan saat kau mengunjungi taman itu, aku sekaligus bernostalgia. Sudah lama aku tidak menikmati musim mekarnya Lotus. Bunga itu mengingatkanku pada seseorang."
Khan tampak menatap Shanum, tapi matanya kosong, ia seperti berada di tempat lain. Hati Shanum terasa tercubit, dia merasa tidak suka pria itu sedang mengingat seseorang saat bersamanya. Hatinya tahu, pria itu sedang mengingat seorang wanita.
"Em, Adri, tentang ucapanmu, bahwa aku dalam bahaya. Apakah ada bukti tentang itu?" Saat Shanum bersuara, pria itu tersadar dari lamunannya. "Ya, aku melihat seorang pria mendorongmu ke sungai." Mendadak kepala gadis itu terasa pusing. Shanum kembali teringat saat dia tenggelam. Dia tampak meneguk ludahnya, wajahnya pucat pasi. "Shasha, kau baik-baik saja?" Shanum tidak mendengar pertanyaan itu. Benaknya penuh oleh memori mengerikan saat berada di dalam sungai.
"Aku tidak bisa menggerakkan tangan dan kaki kananku. Aku semakin tenggelam jauh ke dasar, napasku terasa tercekik." Shanum tampak semakin pucat, wajahnya mulai membiru. Khan Adrian langsung bergerak menarik tangan Shanum. Dia menepuk-nepuk pipinya. "Hei...hei, kau sudah selamat. Aku menolongmu, kau ingat. Shasha, tarik napas dalam. Yah...begitu, kau sudah aman, kau ada di rumahku sekarang."
Shanum menarik napas dalam, warna wajahnya berangsur-angsur terlihat normal. Tapi dia masih tampak lemas, tubuhnya di papah oleh Khan. Pria itu membawanya ke sofa. "Apa yang terjadi padaku?" tanyanya. "Kau terkena serangan panik. Tenggelam saat itu meninggalkan trauma mendalam di dirimu. Kau harus mencari pertolongan, jika tidak hal itu akan menggerogoti kewarasanmu."
Gadis itu tersenyum getir, dia tampak menelan ludahnya. "Kau tahu, aku sebenarnya tidaklah normal. Aku sudah terbiasa mengalami peristiwa yang traumatis." Khan mengerutkan alisnya, ia bingung.
Shanum berusaha menggerakkan lidahnya dan dengan susah payah, berhasil mengatakan, "Sejak usia tujuh belas tahun aku sudah di hantui mimpi. Mimpi berulang tentang seorang wanita. Aku mendengar wanita itu dipanggil dengan sebutan Sarnai."
Shanum mengawasi pria itu, melihat reaksinya. Pria itu mengernyit seakan-akan Shanum baru saja menonjoknya; rahangnya tampak mengeras, matanya berkilat. "Dari mana kau tahu nama itu?" Jika Shanum mengira tadi pria itu marah, itu hanya karena gadis tersebut belum melihat pria itu benar-benar marah. "Aku tahu dari mimpiku," ungkap Shanum. "Siapa kau sebenarnya?" bentak pria itu. Pria itu menarik tangannya dan mencengkeramnya. "Lepaskan!" Shanum berusaha melepaskan diri dari cengkeraman itu.
"Jangan bergerak!" raung pria itu. Shanum berhenti bergerak. Dia nyaris tidak memperhatikan ketika pria itu menjangkau senjata yang muncul entah dari mana. Pikirannya agak melambung saat imajinasinya digenapi kehadiran sebilah pedang mengesankan. Hingga, dengan gerakan luwes pergelangan tangannya, pria itu menodongkan senjata mematikan itu kepadanya.
Shanum terpana, tidak menyangka akan berada di bawah ancaman pedang. "Apa yang harus kulakukan?" ucap suara batinnya.
"Jangan berpikir untuk mengalihkanku," pria itu menggeram. "Apa maksudmu?" tanya Shanum, agak tersentak. Tepat pada saat itu pintu terbuka dengan keras. Pria kedua, berambut hitam, menghambur masuk ke ruangan. Shanum memanfaatkan situasi itu, ia menepis pedang tersebut. Kemudian ia membalik posisinya, tangan pria itu kini di kunci oleh salah satu jurus bela dirinya, dan dia mengarahkan pedang itu ke arah leher Khan Adrian. "Jangan bergerak, jika tidak aku akan menggores pedang ini di lehernya." Shanum melihat ke arah pria yang baru saja masuk.
Pria yang baru saja masuk itu berhenti melangkah, dia terpaku melihat pedang di leher Khan. Pedang itu tidak lepas sedikit pun dari leher Khan. Pegangan gadis itu pada gagang pedang terlihat mantap. Khan merasakan perlahan cairan menetes di lehernya, ia menatap gadis itu dengan takjub.
"Jangan pernah lakukan itu padaku! Aku tahu siapa kau Yang Mulia Khan Adrian. Aku juga melihatmu dalam mimpiku, bersama Sarnai." Shanum menggertakkan giginya, tampak geram. Mata Khan Adrian terbelalak, wajahnya terlihat tak percaya. Pria itu menutup matanya, lalu membuka kembali mata itu, dan Shanum terpana. Kedua bola mata keemasan itu memancarkan rasa pedih yang tak dapat ditutupi lagi. Keseluruhan wajahnya memperlihatkan suatu kesakitan yang teramat dalam, dia berusaha mengalihkan pandangannya.
Namun Shanum melihatnya, sontak dia menjauhkan pedang itu dari leher Khan. Dia melemparkan jauh-jauh benda itu, seakan-akan tangannya terbakar saat memegangnya. Lalu Shanum menatap pria itu, ia mundur beberapa langkah, menjaga jaraknya. Pria lain yang berada di ruangan itu, langsung mengambil pedang itu.
Khan Adrian menyadarinya, melihat pergerakan pria itu melalui lirikan matanya. "Tinggalkan kami, Dario," perintah Khan Adrian. Pria yang bernama Dario itu berhenti melangkah, ia tidak berkata apa pun, hanya menunduk hormat lalu keluar dari ruangan itu.
Khan menatap Shanum, matanya tak lepas darinya. Gadis itu hampir tidak dapat menahan dorongan untuk memeluk pria itu, meski dia sudah berusaha menyakitinya tadi. Tangannya masih terasa sakit akibat cengkeraman itu, Shanum mengusap-usap tangannya.
"Aku juga tidak tahu mengapa aku mendapatkan mimpi itu. Karenanya aku datang ke kota ini, untuk mencari jawaban," ungkap Shanum. Khan tampak melengos, dia mengangkat salah satu tangannya. "Tolong tinggalkan aku sendiri! Aku tidak ingin membicarakan hal ini sekarang. Tidak saat ini. Mungkin tidak akan pernah." Mereka saling memandang tanpa suara dengan tatapan menilai.
Kemudian, dengan alasan yang tak bisa dijelaskannya, terdorong oleh kekuatan yang tak mampu ditahannya, Shanum bergerak mendekati pria itu. Kali ini pria itu yang mundur. Dia lalu berbalik, secara halus ia mengatakan pada gadis itu untuk pergi dari ruangan itu. Shanum menggelengkan kepalanya getir, bimbang dengan pilihannya, tetap di ruangan ini atau keluar dari sini. Namun Shanum sadar, ia telah diusir, dengan satu gerakan pelan, Shanum keluar dari ruangan kerja itu.
Segera setelah pintu terayun menutup, kedua kaki Shanum lunglai dan gadis itu jatuh berlutut, jantungnya berdentum-dentum menyakitkan dalam dadanya. Air mata tampak menetes di pipinya, dia mencoba menghapusnya. Namun cairan bening itu terus turun tanpa bisa ditahan.
Tiba-tiba Shanum merasakan seseorang menunduk di hadapannya, dan mengusap bahunya. Shanum mendongak, melihat Farah sedang menatap sendu ke arahnya. Shanum tak kuasa menahan dirinya lagi, ia langsung berdiri, lalu menarik Farah kepelukannya, dia menangis terisak-isak di bahu Farah.
"Shh...Sha, ayo kita ke kamar. Jangan di sini ya, Diva sudah menunggumu sejak tadi di sana." Farah membimbing Shanum menuju kamar di lantai atas mansion ini, yang telah disediakan Khan Adrian untuk mereka.
Sementara itu, di dalam ruangan, Khan Adrian terlihat murka. Dia memukul keras tembok di hadapannya. Tembok itu terlihat retak dan serpihan-serpihannya meluruh ke lantai. Dia tidak peduli meski tangannya mulai memar, terdapat luka di sepanjang jari-jarinya. Luka-luka yang akan segera membaik, karena ia bukanlah manusia biasa.
Khan Adrian adalah seorang pemimpin dari Klan Altan. Meski tampilannya masih berusia 30 tahun, namun ia sudah sangatlah tua, ia sudah hidup selama 635 tahun. Sungguh usia yang tak masuk di akal bagi manusia pada umumnya. Rata-rata anggota klannya memang berumur panjang, mereka dapat mati, tapi menua secara lambat.
Beberapa dari mereka juga memiliki sihir yang diwariskan secara turun temurun. Meski ada beberapa yang tidak mempunyainya, namun karena gen mereka sudah unggul, orang-orang dalam klan tetap memiliki kecerdasan yang berbeda dan usia yang lebih panjang dari orang kebanyakan.
"Apakah kita perlu menghukum gadis itu, Khan?" tanya Dario, ketika Khan memasuki ruang latihan. "Kenapa?" Taban mengernyitkan kening. "Ini tentang peristiwa yang tadi kuceritakan." Dario mengingatkan Taban. Khan menarik napas pendek mendengar kata-kata Dario. "Menghukum karena apa?" Dia menggosok-gosok rahangnya, menutupi kerut kemarahan di balik tangannya.
Percakapan dengan gadis itu menjadi malapetaka. Dia meninggalkan ruang kerjanya dengan banyak serpihan dinding yang berceceran di lantai. Khan berencana menyalurkan amarahnya dengan berlatih. Dengan harapan ia dapat menjernihkan kepalanya, dan membuat beberapa keputusan--terutama, apa yang harus dilakukannya terhadap gadis itu.
Dia tidak bisa menghukum gadis itu hanya karena telah melukainya, atau karena gadis itu mengetahui tentang Sarnai. Namun dia juga memiliki orang-orang di klan yang harus dilindungi. "Gadis itu sudah mengancammu, Khan!" Dario mencoba mengingatkan.
Wajah Khan berubah masam. "Kurasa gadis itu tidak bersalah, aku yang sudah menodongkan pedang itu padanya. Dia tidak akan membahayakan klan kita," Khan mengelak, berhati-hati menakar reaksi Dario terhadap kata-katanya. Tanpa berkata-kata, dia juga menilai reaksinya sendiri.
Biasanya aturan-aturan yang ditetapkannya sendiri membuatnya tenang, memberinya tujuan dan arah, namun setiap jengkal kata hatinya menentang pemikiran menyakiti gadis itu. Khan mulai mempertimbangkan akibat-akibat yang mungkin ditimbulkan dengan membiarkan gadis itu mengetahui tentang Klan Altan.
Dario dan Taban telah menjadi rekan terpercaya Khan sejak lama sekali di dalam Klan Altan. Meski dunia nyata mengenal Taban sebagai Personal Assistantnya dan Dario sebagai Pengawal Pribadinya. Mereka sudah ratusan tahun bersama, berperang bersama, mengatur klan, dan mengembangkan bisnis saat ini bersama-sama.
Dario menyelipkan sesama jari-jari tangannya dan mengawasi ruas-ruasnya sambil berbicara, "Aku agak sulit memikirkan masalah ini. Kau melepaskan seorang gadis yang sudah mengintimidasi dan melukaimu. Sementara aku bisa mengerti bahwa gadis itu bisa menimbulkan rasa simpati, kau tidak tahu siapa sebenarnya dia. Gadis itu berasal dari negara lain, mungkinkah dia salah satu keturunan klan kita yang terlupakan?"
"Kurasa tidak. Aku tidak merasakan adanya kemampuan magis dari dirinya," jawab Khan.
"Kau yakin? Aku terkejut dia dapat memukul balik seranganmu terhadap dirinya hanya dengan satu gerakan." Khan terdiam, mendadak dia teringat cahaya terang yang keluar dari telapak tangan kanan dan leher gadis itu, saat berada di dalam sungai. Dia menatap terkejut ke arah Dario. "Kenapa Khan, ada yang teringat olehmu?" desak Dario.
Khan mendesah. "Ada, aku pernah melihat cahaya menyilaukan keluar dari leher dan tangan kanannya, saat di dalam air." Dario tertegun, dan berkata, "Lebih banyak alasan untuk curiga, lebih banyak alasan untuk mencari tahu tentang gadis ini dengan segera." Dario memicingkan matanya. "Sama seperti ancaman potensial yang lain, seseorang harus mempelajarinya terlebih dulu dan mengira-ngira seberapa luas ancaman itu," Khan mengelak.
"Sumpahmu Khan, mengalahkan yang lain. Pikiranmu harus terkait dengan Klan Altan dan menyelesaikan masalah yang banyak muncul akhir-akhir ini, bukan pada seorang gadis yang seharusnya sudah mati tenggelam saat itu," Dario mengingatkannya. Khan tampak tersinggung, ia merapatkan bibirnya.
"Apakah aku pernah gagal melaksanakan tugas-tugasku?" Khan menatap Dario lurus-lurus. "Tidak," Dario mengakui. "Belum," dia menambahkan. "Tidak," sahut Taban santai. "Lalu kenapa kau meragukanku? Apakah pengalamanku tentang orang-orang, dan berbagai pilihan tidak lebih banyak dari kalian berdua?" tanya Khan. Dario mengangguk masam.
"Namun jika kau melanggar sumpahmu, bagaimana kau menjelaskan kepada para Tetua Klan?" Tubuh Khan kaku. Kata-kata melanggar sumpahmu terngiang, membuat pikirannya gelisah dan membentuk bayangan kegagalan, kekalahan, serta kemungkinan adanya kecurangan. Rasanya seperti pembangkangan sementara dia selalu patuh pada aturan-aturan. "Biar aku yang menangani para Tetua Klan, seperti biasanya," kata Khan dingin.
Dario menggeleng-gelengkan kepala. "Orang-orang itu tidak akan menyukai ini, cepat atau lambat mereka akan mengetahuinya. Kau tahu para Tetua tipe pemberang dan terutama berhati-hati pada para wanita--"
"Karena mereka tidak bisa memiliki wanita," potong Taban. "Mereka mencari alasan untuk tidak mempercayai wanita dalam usaha tetap menahan sekuat tenaga pikiran-pikiran bergairah mereka. Bertekad tidak berhubungan dengan wanita tidaklah wajar bagi pria, itu membuat mereka menjadi bedebah-bedebah dingin dan menjengkelkan. Aku, di sisi lain, selalu bersikap tenang, bertemperamen datar, dan ramah." Taban melayangkan senyum menyenangkan pada dua pria lainnya, seakan membuktikan kebenaran teorinya.
Meskipun sedang menghadapi berbagai masalah, mulut Khan tak urung membentuk seringai. Taban memiliki kecenderungan bersikap sebagai pria yang bersikap berlebihan, tapi tetap memiliki kecerdikan, pikirannya tidak melewatkan apa pun yang ada di sekitarnya. "Kau adalah orang yang ekstrem dan para Tetua adalah sebaliknya," sahut Dario. "Cukup," potong Khan. "Kita sedang membicarakan gadis itu, dan aku berjanji tidak akan sembarangan menghukum gadis tak berdosa."
"Kau tidak tahu apakah dia tidak berdosa," protes Dario. "Aku juga tidak tahu apakah dia sebaliknya," tukas Khan. "Sampai aku mendapatkan beberapa tanda kesalahan atau sihir yang berbahaya, aku--" Kata-katanya terputus dan dia mendesah berat. Pria itu tidak sanggup mengucapkan kalimat berikutnya.
"Kau apa?" tanya Dario, mengawasinya dengan tertarik. Ketika Khan tidak menjawab, Dario mendesaknya, "Kau akan menolak menghukumnya? Kau akan melanggar sumpah yang kau ucapkan sendiri?" Ketidakpercayaan tampak di seluruh bagian wajah tampan Dario. "Aku tidak bilang begitu," tukas Khan. "Kau memang tidak mengatakannya," kata Taban khawatir.
"Kalau begitu kita tidak akan memberitahu mereka tentang gadis itu, begitu bukan?" kata Khan perlahan, mengetahui kedua pria itu akan mendukung keputusannya baik setuju maupun tidak.
Mereka bagai saudara, kedua pria itu selalu berdiri di belakang pemimpin Klan Altan--sebuah sumpah darah yang menyatukan klan itu menjadi besar seperti sekarang. "Menurutku sebaiknya kau tetap menceritakannya pada Ibumu Khan," saran Taban.
"Dia akan sangat marah jika tahu kau menyembunyikan hal ini darinya. Aku lebih takut terhadap Ibumu daripada para Tetua," tambah Taban. Khan mengangguk masam. Ucapan Taban sangatlah benar, ia harus segera mengunjungi ibunya.
"Kalau begitu aku titip urusanku sementara di kota ini. Tolong tetap awasi juga gadis itu, jangan pernah berani-berani menyentuhnya tanpa seizinku." Khan menatap tajam ke arah Taban dan Dario. Mereka berdua menganggukkan kepalanya, tanda mengerti.
"Selamat datang kembali di Och, Khan Agung." Pria itu tampak menundukkan kepalanya. Dia adalah salah satu penjaga pintu kediaman ini. Sejak Khan bertahta, ibunya pindah ke rumah mereka yang berada di kota ini. Sudah lima tahun dia tidak pulang.
Ibu Khan biasanya menghubunginya lewat pikirannya, mereka berkomunikasi seperti Vicall jika di dunia modern. Tidak perlu ponsel untuk bisa melihat wujud orang yang ingin kau temui, dengan sihir semua itu bisa terlaksana.
Kota Och adalah sebuah kota bagi penduduk Klan Altan. Meski tidak tertutup bagi klan lain untuk tinggal di kota ini, namun tetap saja klan lain butuh izin khusus untuk menetap lama di sana. Hanya orang-orang yang memiliki sihir yang dapat memasuki kota ini.
Sebuah kota yang berada di antara Astrakhan dan Tambov, kota ini yang berarti Berkilau dalam bahasa Mongolia memang tampak penuh kilau. Kota ini dibangun di atas bukit curam menurun yang mengapit sungai, bangunan-bangunannya terbuat dari marmer putih, tampak berkilau seperti arti nama kota ini.
Di sana, seperti pengawal kota ini, berdiri gunung-gunung batu merah berpuncak rata--seperti batu yang digunakan untuk membangun sebagian bangunan. Di utara, gunung-gunung yang berbeda mengelilingi kota ini melintasi sungai--jajaran puncak-puncak tajam seperti ujung tombak batu yang membelah bukit memutar di kota ini dari laut yang jauh di sana.
Khan menghirup udara di balkon rumah, lalu dia mengangkat kedua tangannya dan mengalirlah sinar berwarna keemasan. Seolah-olah menjawab, gelombang kesaktian itu menghinggapi tubuh Khan, seperti kucing yang mengelus kakinya untuk meminta perhatian. Khan tampak tersenyum, ia merasa telah pulang ke rumah yang sebenarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments