Rumah panggung itu terlihat sederhana, terbuat dari percampuran antara beton dan kayu yang terlihat kokoh. Shanum melihat cerobong asap di salah satu sudut rumah, dan sepetak kebun bunga mawar. Di pekarangan depannya juga dipenuhi pepohonan besar berselimut lumut tanduk, yang dengan efektif menyembunyikan tempat itu dari jalanan sempit yang mengarah ke kota.
Mengabaikan hawa sejuk sedikit lembab dan kerumunan serangga yang memenuhi udara, ketiga gadis itu berjalan ke gerbang depan lalu menaiki tangganya yang lebar. Mereka melewati serambi dan Tim berkata, "Nah, untuk sementara kalian tinggal di sini. Maaf jika tidak sesuai dengan standar kalian." Tim membuka pintu dan memasuki ruang tamu yang gelap. Lalu dia menekan saklar lampu, dan ruangan itu menjadi terang. Ketiga gadis itu tampak bergerombol di depan pintu. Mereka terkesima saat lampu dinyalakan, melihat isi dalam rumah tersebut.
Dari luar rumah itu terlihat sederhana dan terpencil. Namun saat tahu isi di dalamnya, lebih terasa hangat dan nyaman. Shanum melangkah lebih dalam, dia menatap sekeliling ruangan. Permadani di bawah beberapa bangku kayu berukir antik, terlihat lembut. Lantainya dilapisi oleh Vinyl kayu, dan dindingnya oleh Palet kayu. Di tengah ruangan terdapat tungku perapian dari batu bata yang di susun secara apik.
Barang-barang di rumah ini seluruhnya kuno, namun tetap terawat. "Siapa yang tinggal di sini Tim?" tanya Shanum. "Rumah ini tadinya milik mendiang nenekku. Sudah lama sekali rumah ini kosong, namun aku tetap menyuruh orang untuk membersihkannya setiap hari."
"Rumah ini sangat hangat, kau akan merasa seperti kembali ke rumah setelah berbulan-bulan berada di perantauan," tutur Farah. "Betul, aku juga merasakan itu." Shanum setuju dengan ucapan Farah. Tim tampak tersenyum, pandangannya menerawang. Dia seperti sedang mengingat suatu kenangan. "Oh iya Tim, terima kasih atas bantuanmu," ungkap Shanum. Tim menoleh, dia membalas senyum Shanum.
"Aku senang bisa membantu, kalian boleh menempati rumah ini selama yang kalian mau. Sambil aku akan mengurus kepulangan dengan segera ke negara kalian, sesuai permintaan. Makanan juga sudah tersedia di kulkas, dan kayu bakar tinggal ambil di gudang belakang, jika ingin digunakan." Shanum menganggukkan kepalanya sambil menangkupkan tangan di depan dada, sebagai ucapan terima kasih. Sedang Farah dan Diva ikut mengucapkan terima kasih yang sama dengan Shanum.
"Oke Ladies, aku tinggal dulu ya. Jika ada apa-apa kalian bisa hubungi aku." Lalu Tim pergi keluar dari rumah itu. "Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Diva. "Menunggu. Hanya itu yang dapat kita lakukan. Sampai waktunya kita kembali ke rumah," jawab Shanum. "Kau sudah berjanji kita bisa membeli barang-barang pengganti yang kita tinggalkan di mansion itu, Sha." Diva tampak merengut, dia masih tidak rela meninggalkan barang-barang miliknya di mansion.
"Iya, nanti kita hubungi Tim, dan minta diantar olehnya untuk berbelanja." Jawaban Shanum membuat wajahnya seketika kembali cerah. "Dasar, dengar kata belanja matanya langsung Ijo," ucap Farah sambil mendengus.
Izba Shops di Sovetkaya adalah negeri ajaib bagi semua wanita. Di bawah langit-langit yang dicat sedemikian rupa hingga menyerupai hamparan padang stepa hijau, toko-toko elegan berderet melewati banyak air mancur yang ditujukan untuk membawa kembali para pembelanja pada abad pertengahan. Kotak-kotak pajangan kaca dipenuhi oleh berbagai godaan yang dirancang untuk membuat wanita meneteskan air liur.
Sambil tersenyum miring, Shanum melangkah di belakang rekannya yang terpukau. Sedang Farah menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Diva. Gadis itu mendesah lembut penuh kekaguman. "Oh..." Diva bergegas ke toko terdekat untuk menempelkan wajahnya ke jendela toko. "Hmm." Tim tampak tersenyum geli.
"Diva." Menunduk, Farah berbisik persis di telinga gadis itu. "Diva, dengarkan aku." Diva mendongakkan kepalanya untuk menatap mata Farah. "Apa?" tanya Diva sewaktu Farah memperlihatkan senyum mengejek ke arahnya. "Jangan kampungan," ucap Farah. Diva tampak cemberut, ia memelototkan matanya ke arah Farah. "Aku tahu ini adalah sebuah kesalahan, melepaskan Diva di tempat seperti ini sungguh kesalahan besar," gumam Shanum sambil menepuk keningnya.
"Banyak sekali," ucap Diva ketika Shanum berdiri di sebelahnya. "Bagaimana caranya memilih?" "Seperti yang sudah sering kita lakukan, kita masuk ke sebuah toko, memilih beberapa pakaian favorit lalu mengepasnya..." "Oke," jawab Diva. Tanpa menunggu Shanum selesai bicara, Diva sudah berlari melewati ambang pintu yang terbuka. Shanum, Farah dan Tim segera menyusul, tapi dengan pengaturan waktu yang tepat seorang pria tinggi dengan netra biru tiba-tiba tersandung dan mendarat menerpa gadis itu. Diva menjerit pelan, lebih karena kaget daripada terpesona.
Secara naluriah, tangan gadis itu terulur untuk meraih dada pria itu, mata coklatnya terbelalak lebar karena meraba otot-otot dada yang menggiurkan. "Maafkan saya..." Terdengar suara bariton di hadapannya. Gadis itu tersentak sadar. Dia mendongakkan wajahnya lalu ia lupa sejenak cara bernapas. Astaga, pria itu tampan. Rambut pria itu pucat, lebih mendekati perak ketimbang pirang. Kulitnya berwarna perunggu yang sempurna. Pria ini ibarat malaikat jatuh nan elok yang terlihat berbahaya. Mereka terus bertatapan dalam diam. Suara dehaman dan batuk-batuk membuyarkan keterpanaan Diva.
Diva segera mendorong dada pria itu lalu menoleh. Wajahnya terasa panas, ia malu melihat reaksi kedua temannya dan Tim. "Eem, Miss..." Diva melihat kembali ke arah pria itu. "Perkenalkan, Sergei Petrov." Pria itu menyebutkan namanya dengan suara parau. Dia juga mengulurkan tangannya. Diva tertegun, namun kemudian ia mengulas senyum seksinya, dan menyambut uluran tangan pria itu. Tangan gadis itu digenggam dengan erat.
"Adiva Arsyila Safaluna." Pria itu tercengang memandanginya dengan kekaguman yang membuyarkan akal. "Well Luna, kau memang secantik Dewi Bulan." Pria itu tersenyum lembut. Kemudian pria itu melepaskan genggamannya pada tangan Diva. Dia memberi isyarat pamit, dan berlalu dari hadapan gadis itu.
Diva baru tersadar kalau ia sudah melupakan kedua temannya dan Tim. Dia menoleh, melihat hanya Tim yang tetap berdiri tak jauh darinya. Pria itu tersenyum tipis. "Tim, di mana Shanum dan Farah?" tanyanya. "Mereka sudah berkeliling, melihat-lihat pakaian," jawab Tim. "Kok aku ditinggal, ihh..." Diva mengerucutkan bibirnya, tampak kesal. "Ayo kita cari keduanya." Tim mengajak Diva mencari Farah dan Shanum.
Diva menemukan kedua temannya itu di lokasi pakaian santai. "Kalian kok pergi sendiri sih, aku ditinggal," ucap Diva sambil cemberut. "Lho kamu juga tadi asyik terpesona sendiri sama pria itu. Dunia serasa milik berdua, yang lain cuma numpang," ucap Farah sambil memilih beberapa pakaian berwarna cerah. Wajah Diva tampak memerah. Dia tahu tadi sempat melupakan segalanya, dunia terasa berhenti sesaat, ketika ia menatap pria itu. "Ya tapi kan bisa tunggu sebentar begitu. Aku kan juga mau belanja."
Farah menghentikan kegiatannya lalu menatap Diva dengan pandangan tajam. "Ishh...terus kami harus jadi kaya Kambing Congek begitu." Dia memutar matanya. Sementara keduanya sibuk berdebat, Shanum sedang menunjuk pramuniaga yang berdiri di dekat mereka. Shanum mengisyaratkan, kalau ia menginginkan salah satu gaun santai itu, sebelum akhirnya menggiring Diva dan Farah ke celana pendek khaki dan atasan santai yang cantik.
"Nah, mari pilih beberapa busana yang pantas sebelum kita pulang. Jangan berdebat terus, ingat, kita masih dalam pelarian. Jangan mengundang perhatian orang," ucap Shanum.
Dalam waktu satu jam mereka sudah mendapatkan setumpuk tinggi pakaian untuk mereka bertiga, koper dan juga tagihan yang dapat membuat sebagian besar pria bergidik ngeri. Tim, bagaimanapun, sama sekali tidak meringis sewaktu membantu membawa beberapa bungkusan lalu keluar dari toko.
Mereka memang meninggalkan mansion Khan Adrian hanya dengan pakaian yang melekat di badan, dua stel pakaian ganti serta dua set pakaian dalam. Sekarang perlengkapan ketiga gadis itu sudah kembali normal seperti sediakala, dan hal itu membuat ketiganya tersenyum senang.
"Apa maksudmu mereka menghilang?" Khan Adrian tampak mengepalkan tangannya. Dia memelototi Taban dengan dingin. Taban membalas tatapan itu dengan mata berkilat penuh rasa bersalah. Tiba-tiba api merah tua menyala di mata coklat keemasan itu, dan hawa panas penuh peringatan mendesis di udara. Kekuatan Khan meledak di udara, mengempaskan pria itu ke dinding. Taban meringis, terlihat menahan sakit.
"Kau ikut denganku, kita ke ruang latihan sekarang," geram Khan. Taban menelan ludah, tenggorokannya terasa tercekat. Dia tidak tahu mana yang lebih buruk. Menerima pedang Sang Khan Agung, atau merasakan kembali kekuatan sihir pria itu. Keduanya sama-sama buruk. Mereka berjalan menuju ruang latihan.
"Ambil pedangnya!" perintah Khan. Dengan langkah gontai Taban mengambil pedang di salah satu lemari penyimpanan. "Lawan aku!" Dengan wajah terpaksa Taban bersiap di posisinya, sementara Khan mulai bergerak. Pedang mereka bertemu, dengan benturan baja yang menghasilkan percikan bunga api berputar di tengah udara berkabut saat gelap mulai turun di atas mansion itu.
"Ayo, Taban, lawan aku," tantang Khan. Taban telah berlatih bersama Khan sejak muda dan merupakan salah satu dari sedikit orang yang bisa bertahan melawan Khan, setidaknya dalam waktu singkat. Kemudian kekuatan dan daya tahan Khan yang luar biasa akan menyudahinya. Namun kali ini Khan bagai orang kalap, ia bergerak dengan cepat tanpa henti. Menangkis dan menusuk, serangan coba-coba dan berputar. Dua pria itu menampilkan tarian pejuang Mongolia Kuno di atas pelataran hingga tiba-tiba Taban menembus pertahanan Khan, dan ujung pedangnya berada di atas tenggorokan lawannya itu.
Serangkaian gerakan bertarung mereka berhenti bersamaan saat Khan membeku, pandangannya tidak terpaku pada pedang Taban, namun pada sesuatu di samping ruang latihan. "Siapa kau? Kenapa sampai bisa masuk ke sini?" Khan menatap tajam pada sosok seorang pria yang sedang berdiri memperhatikan mereka. "Siapa yang mengizinkan dia masuk ke ruangan ini?" teriak Khan geram. "Aku yang mengizinkan dia masuk, Sir. Dia mengatakan ada hal penting yang ingin dibicarakan denganmu," ucap Dario maju ke depan, sambil menundukkan kepalanya.
Taban menurunkan pedangnya dan memicingkan matanya. "Seharusnya aku tahu tadi aku tidak mengalahkanmu dengan adil," ucap Taban. Khan menatap dingin ke arah Taban. "Aku belum selesai membuat perhitungan denganmu. Nanti kita lanjutkan kembali," ucapnya tegas. "Dan Dario bawa pria itu ke ruang kerjaku," perintah Khan.
Setelah mengucapkan itu Khan menyelipkan pedang ke sarungnya dan membalikkan badan menuju ruangan lain. Dario segera membawa pria tadi menyusuri lorong menuju ruang kerja. Taban mengikuti di belakang dengan kecepatan yang diperhitungkan, dan siaga penuh walaupun seharusnya mansion ini sudah aman. Dia sudah mendapat pelajaran berat karena mengendurkan kewaspadaannya pada malam ketika klan pernah diserang. Pelajaran yang tidak akan ia lupakan.
"Jadi siapa kau?" tanya Khan Adrian pada pria di hadapannya. Mereka semua sekarang berada di ruang kerja pria itu. "Namaku Ulagan Fulton." Mata Khan disipitkan sewaktu ia memperhatikan si penyusup. Yah, penyusup...karena pria ini gerak geriknya tampak mencurigakan. Khan merasa pernah bertemu dengannya. Pria ini mengenakan jins hitam, jaket kulit, dan bot mokasin setinggi lutut, Ulagan tidak setinggi Khan, walaupun mereka memiliki kulit putih yang sama dan rambut hitam yang menyapu bahu bidangnya.
Roman wajahnya ramping dengan tulang pipi tinggi dan hidung yang besar. Dahinya lebar dan bibirnya tipis. Namun matanyalah yang menawan, berbentuk sipit, berwarna coklat dengan lingkaran hitam pekat yang mengelilinginya. Mata itu seakan menghunjam seseorang sampai menelanjangi jiwanya. Namun tidak ampuh untuk seorang Khan Adrian. Tidak ada yang mampu mengintimidasinya, apalagi sampai menelanjangi jiwanya.
"Mengapa kau datang ke rumahku?" Pria itu berdiri dengan kaku. "Saya ingin mengatakan sesuatu padamu, Sir." Khan mengerutkan keningnya. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Kau terlihat tidak asing." "Ya Sir, saya salah seorang Tour Guide ketiga gadis itu." Naluri Khan langsung siaga penuh, saat ketiga gadis itu disebut-sebut.
"Apa yang kau tahu soal ketiga gadis itu?" Pria itu kemudian menuju salah satu bangku. "Boleh aku duduk?" Khan menganggukkan kepalanya. Pria itu langsung menghempaskan bokongnya di bangku, setelah diizinkan. "Yah, aku kenal dengan ketiganya." "Kuperingatkan, aku tidak suka bicara berputar-putar," geram Khan.
Pria itu tampak tersenyum palsu. "Aku belum selesai bicaranya, Sir. Tapi kalau kau tidak berkenan mendengarkan, tidak apa-apa." Ulagan bangkit dari duduknya, lalu berbalik, ia berjalan menuju pintu. "Tunggu..." Pria itu berhenti, dia menoleh ke arah Khan. "Anda memanggil saya, Sir?"
Sungguh sempurna, pria ini sengaja. Dia bermaksud memancing rasa penasaran Khan. "Cepat katakan..." ucap Khan dingin. "Baik, saya cuma ingin mengatakan bahwa saya tahu di mana ketiga gadis itu berada dan saya bersedia menunjukkan tempatnya padamu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments