Pagi yang cerah, burung-burung berkicau bersahutan. Menyambut sinar keemasan yang muncul di batas cakrawala. Hawa sejuk terasa segar saat Shanum membuka jendela kamarnya. Keindahan pagi tidak dapat lagi menutupi keresahan dalam batin Shanum. Rasa lelah karena tidur kurang nyenyak, menghantui wajahnya pagi ini.
Semua kekacauan ini di mulai pagi hari, saat usianya genap ketujuh belas tahun. Shanum terbangun dari mimpi yang luar biasa, dan merasa seolah-olah pita suaranya ditarik dari tempatnya, matanya terasa dicungkil dari rongganya, dan di dorong kembali ke tempatnya semula.
Rasa sakit itu menyebar, bagai gelombang yang terlalu cepat menyebar dalam pembuluh-pembuluh darahnya, dan meledak menembus kulitnya. Shanum menjerit, setiap jeritannya terasa bagai pecahan kaca yang menggores kerongkongannya. Air matanya mengalir deras, tak kuasa membendung ketakutan yang mendera.
Suara gaduh terdengar memasuki kamar Shanum. Raisa dan Dimas berlomba-lomba menghampiri Shanum. Pasangan itu terlihat khawatir mendengar jeritan putri semata wayangnya. "Shanum, ada apa? Kau baik-baik saja, Nak?" Raisa-ibunya mendekat, menarik Shanum ke dalam pelukannya, sambil mengusap-usap punggungnya. Sedang Dimas-ayahnya termenung, berdiri di belakang ibu sambil menatap bingung ke arah Shanum.
Ayah menghela napas, kemudian perlahan ikut duduk di samping ibu. "Princess, sayang." terdengar suara ayah, sangat lembut dan penuh perhatian. Ibu melepaskan pelukannya, mereka berdua menatapnya. Shanum menghapus sisa-sisa air matanya.
"Kau sudah bisa menceritakan apa yang terjadi padamu?" tanya ayah. Shanum berusaha bicara, "Aa-yah, aku...aku bermimpi, buruk sekali...mimpi itu seakan-akan mengejarku. Aku...takut A-yah!" Shanum menjelaskan terbata-bata, air mata kembali meleleh turun ke pipi mulus Shanum. "Shh, tenang sayang. Ada Ayah dan Ibu di sini. Itu cuma mimpi, Princess." Ayah memeluk erat Shanum.
Sejak hari itu mimpi datang silih berganti. Anehnya Shanum tidak menjadi gila karenanya. Seakan-akan ada tameng dalam pikiran yang menjaganya tetap waras. Namun jauh di lubuk hatinya, Shanum ingin menjadi normal. Menjalani hari-hari seperti gadis seusianya, bercengkrama dengan teman-teman, dan jatuh cinta. Tidak dihantui oleh mimpi yang tidak ia ketahui maksudnya.
Shanum menoleh, ada yang masuk ke dalam kamar. Ibu berdiri di depan pintu, tersenyum ke arahnya. "Shanum, sudah bangun? Kenapa belum mandi? Bukannya hari ini kamu mau ke perpustakaan. Semalam kan sudah bicara ke Ibu." Ibu menghampiri sambil mengusap kepalanya.
"Iya Bu, ini Shanum mau mandi" Dia tersenyum, tidak ingin ibu mengetahui keresahannya. "Selesai mandi langsung turun ke bawah ya. Ibu tunggu di ruang makan. Sarapan sudah siap di meja. Ayah malah sudah sarapan duluan," ujar Ibu. "Baik Bu, nanti Shanum langsung turun, setelah mandi."
Ibu tersenyum mendengar jawaban Shanum. Dia segera menuju kamar mandi, tidak mau sampai terlambat. Shanum sudah berjanji dengan kedua sahabatnya. Mereka akan menunggu di perpustakaan, dan berencana mencari bahan referensi untuk tugas kuliah.
"Bu, Shanum pergi dulu ya." Shanum berpamitan sambil mencium tangan kanan ibunya. "Hati-hati ya, Nak." Shanum mengangguk, segera menyalakan mobil Brio kesayangannya dan melaju pergi menuju ke perpustakaan. Sampai di parkiran perpustakaan, Shanum mencari-cari keberadaan kedua sahabatnya. Matanya melihat ke kanan dan ke kiri, memperhatikan setiap sudut, tapi tetap tidak menemukan kedua gadis itu.
Tiba-tiba, "Dor..." Keduanya tertawa terbahak-bahak melihat wajah kaget Shanum. "Sial, bikin kaget saja. Bisa-bisa berkurang umurku gara-gara kalian," pelotot Shanum. "Ya dia marah, mohon ampun N**doro, tolong hamba jangan di Karate ya," ujar salah satu sahabat Shanum sambil memperlihatkan wajah memelasnya. Tentunya penampakan wajah itu hanya sandiwara belaka, mereka sudah sering usil, bawaan dari lahir. Shanum mencibir, sambil berkata, "Sudah ah, ayo sudah siang! Lanjut cari bahan." "Siap Bos!" Serempak kedua temannya menjawab.
Baru saja mereka ingin melangkah, tiba-tiba, "Eh, psst--psst..." Salah seorang sahabat Shanum yang bernama Adiva memberi tanda sambil melirikkan matanya ke satu arah. Mulutnya berkomat-kamit sambil memajukan dagunya. "Apaan sih Diva, bicara tuh yang jelas, jangan pakai bahasa isyarat," sahut Farah. "Arah jam satu, itu lihat! Kalian t**elmi sekali sih." Shanum dan Farah melihat ke arah yang ditunjuk Diva. Mereka saling berpandangan, dan tetap bingung. "Lah, malah jadi termenung begitu. Itu, pria yang pakai baju putih bikin gemas sekali. Rasanya jadi ingin gigit dia."
Shanum memutar bola matanya, dan Farah menghela napasnya. "Haduh, mulai kumat," bisik Farah. Mereka berdua paham seratus persen, sahabat mereka itu tidak bisa melihat pria licin, tampan, dan imut-imut. Matanya langsung bersinar-sinar, bagaikan ngengat yang tertarik dengan cahaya lampu.
"Ayo ladies, jadi tidak ini mau cari bahan referensinya?" tanya Shanum. "Iya...iya, ayo," jawab Farah. Sedang Diva masih mencuri-curi pandang ke arah pria yang bikin gemas tadi. "Diva, ayo!" Shanum menarik Diva. Mereka melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Shanum mengerjapkan matanya. Perbedaan cahaya membuat matanya perlu menyesuaikannya. Suasana di dalam perpustakaan sangat berbeda dengan di luar. Suara musik lembut terdengar mengiringi dinginnya ruangan.
"Nanti duduknya di sini ya, kita mencari literaturnya masing-masing." Shanum mengatur pencarian mereka. Farah dan Diva menganggukkan kepalanya. Perpustakaan itu begitu besar, berisi rak-rak buku setinggi langit-langit, dan jendela tinggi yang pada siang hari dapat memancarkan sinar matahari ke sepanjang ruangan.
Perabotan jati dan mahoni terlihat formal dan kokoh mendominasi rak-rak buku. Terdapat juga meja besar dengan kaki berbentuk cakar, dan sofa kulit yang terlihat nyaman, serta kursi yang serasi. Shanum membaca satu persatu papan petunjuk arah yang berisi literatur yang ingin ia cari. Dia menuju rak sesuai materi. Kemudian menelusuri rak demi rak.
Shanum tiba-tiba berhenti di satu tempat. Matanya menatap ke arah salah satu rak. Pandangan tertarik memancar dari kedua bola matanya. Dia mengambil sebuah buku, membukanya, dan membaca baris demi baris dengan wajah kaget. Roman mukanya tidak percaya, dan matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Buku di hadapannya membuatnya merasakan lebih banyak emosi daripada yang pernah dirasakannya selama ini.
Buku itu berjudul Golden Horde. Isinya tentang dinasti yang terbesar dan terlama keberadaannya di zaman berkuasanya Chengis Khan. Sejarah dinasti ini diawali oleh salah satu putra Chengis Khan, yaitu Jochi. Yang berhasil menjadi penguasa di Siberia Barat dan Stepa Kipcak. Daerah padang rumput di salah satu aliran sungai Volga dan daerah Siberia yang gersang, terdapat kota pertama untuk dinasti ini.
Shanum mengusap lembar demi lembar buku di hadapannya. Saat sedang serius membaca, Shanum berdiri tegak, menoleh ke sekelilingnya. Rambut halus di lehernya berdiri, meremang seperti tersengat listrik. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, dan ia merasa dirinya sedang diawasi. Seperti mangsa yang sedang diintai.
Sekejap Shanum memejamkan mata. Bulu kuduknya masih berdiri, hawa sedingin es berdesir di punggungnya. Desir yang menyergap leher, dan membuat nadi di telapak tangannya berdenyut kencang. Dengan mata terbuka lebar ia kembali memandang sekeliling ruangan.
Tidak ada yang berubah, rak buku di sekelilingnya tetap sama seperti sebelumnya. "Shanum, kau sudah melantur," bisiknya. Tidak ada apa pun atau siapa pun bersamanya di sini, kecuali khayalannya yang berlebihan.
Shanum menggeleng, mencoba menghapus imajinasi itu. "Aneh sekali," gumam Shanum, tubuhnya masih menggigil. "Astaga, aku benar-benar mulai gila."
Dia menutup buku dan kembali ke meja tempat berkumpul tadi. Di sana sudah ada Farah yang sedang membaca. Terdapat tumpukan buku di hadapannya. Shanum mendekati Farah dan Diva, mereka terlihat sedang asyik membaca. Shanum menepuk pundak Farah, memberitahukan kehadirannya. "Oh hai Shanum, bagaimana? Sudah dapat buku referensinya?" tanya Farah sambil menatap ke arahnya. Shanum menggelengkan kepala dan tersenyum sedih. Karena kejadian tadi, Shanum tidak tertarik lagi mencari buku referensi.
"Aku tadi menemukan buku yang tidak ada sangkutannya dengan tugas kita. Hmm...terus aku keasyikan membaca itu. Jadi, belum mendapatkan buku referensinya." Shanum menunjukkan buku tentang Golden Horde tadi. "Oh ya sudah, kalau begitu kamu bantu saja memilah buku-buku ini. Tadi aku dan Farah sudah dapat banyak, itu ada di meja" Diva menunjuk buku-buku yang tersusun rapi di atas meja. "Oke, aku bantu pilih ya." Farah dan Diva mengangguk, kemudian tersenyum. Mereka melanjutkan mengerjakan tugas, dan berada sampai siang di perpustakaan itu.
Selanjutnya saat sudah berada di parkiran perpustakaan. "Makan siang dulu yuk," ajak Diva. "Boleh, mau makan di mana?" Farah menatap kedua sahabatnya. "Ke cafe seberang itu saja yuk." Shanum menunjuk letak cafe yang berada di seberang perpustakaan. "Mobil tetap parkir di sini saja apa di bawa pindah ke sana?" tanya Diva. "Taruh di sini saja, repot kalau harus dipindah lagi mobilnya," sahut Shanum. Mereka beranjak menuju ke cafe seberang.
Cafe itu sungguh ramai, banyak yang menghabiskan waktu makan siangnya di sana. Mungkin karena lokasinya dekat dengan kampus jadi cafe ini banyak didatangi para mahasiswa atau mahasiswi. Ketiga gadis itu mendapatkan meja di pojok ruangan, dengan pemandangan menghadap taman belakang yang sungguh indah.
"Diva, Farah, maaf ya tadi aku tidak bisa fokus membantu kalian mencari bahan referensi." Shanum meminta maaf sambil menyeruput minuman pesanannya. "Iya nih, tadi kamu malah serius baca buku tentang konde." Farah menyahut sambil mengunyah makanannya. Shanum terlihat bingung, namun kemudian ia mengerti maksud Farah. Apalagi setelah melihat wajah isengnya itu.
"Ish, Horde, bukan konde, memangnya aku mau kondangan pakai konde," koreksi Shanum. Farah tersenyum lebar. "Namanya memang agak susah disebut ya." Diva ikut tertawa mendengarnya. "Ah, Itu sih Farah saja yang senang melesetin kata," jawab Shanum sambil memutar bola matanya.
Kemudian Shanum menceritakan kejadian menyeramkan saat dia menemukan buku itu. Mereka kaget. "Serius, kok jadi merinding ya. Jangan-jangan perpustakaan tadi berhantu. Aku tidak mau lagi kesana, seram!" Diva bicara sambil mengusap-usap tangannya, menunjukkan bulu romanya yang berdiri.
"Kalau aku sih tambah penasaran, kok bisa ya kamu merasa kenal dengan isi buku itu. Memangnya kamu pernah ke sana?" tanya Farah. "Aku juga tidak tahu, yang kurasakan di sana tadi membuatku bingung. Aku merasa seolah-olah melihat wujud asli gambaran kota tersebut, bentuk bangunannya, orang-orangnya, bahkan suasana pasar di saat itu terbayang-bayang di pelupuk mataku."
Diva dan Farah mendengarkan sambil terpana, mulut mereka menganga. Pandangan mereka takjub. Tidak ada suara sedikit pun keluar dari mulut mereka. Mereka masih terkesima. "Wow, aku-aku tidak bisa berkata-kata." Farah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Betul, aku juga jadi Speechless," sahut Diva.
"Tapi, aku punya ide gila nih, bagaimana kalau kita pergi ke sana saja? Aku yakin, warisan sejarah harusnya sih masih dilestarikan. Setidaknya kalau seperti di sini kan, masih ada reruntuhannya. Mungkin Shanum bisa mendapatkan petunjuk di mulai dari sana. Lagipula sebentar lagi kita libur semester. Sekalian liburan kan," usul Farah.
Diva mengacungkan jempolnya tanda setuju. Shanum tersenyum cerah, usul Farah tadi bagaikan air penyejuk yang dapat mengurangi kegundahan hatinya. Ketiganya saling melempar senyum. Mereka sepakat untuk izin kepada orang tua masing-masing terlebih dahulu, dan akan saling mengabari lebih lanjut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments