Perasaan dingin menusuk mengisi udara, memperingatkan Khan dengan tajam bahwa ia sudah memiliki cukup banyak musuh yang ia ketahui tanpa harus mencemaskan musuh-musuh misterius. Termasuk pria dihadapannya ini, Khan masih belum dapat mengukur, dia termasuk yang mana.
"Apa maumu?" Khan bertanya pada Ulagan. Pria itu tampak menyeringai. Khan menanti, dia menaikkan alisnya dan menatap tajam pada pria itu. Kemudian pria itu tertawa, suaranya keras terdengar hingga seluruh ruangan terasa bergetar. Lalu angin mulai berhembus cukup kencang di ruangan itu. Rambut mereka semua berantakan, kertas-kertas berserakan, dan tirai jendela bergoyang-goyang. Seluruh pria yang ada di ruangan itu terperangah.
Khan menyipitkan matanya. "Siapa sebenarnya kau?" tanyanya. Ulagan berhenti tertawa, dia menatap Khan dengan pandangan tak terbaca. "Aku...bukan siapa-siapa. Hanya seorang Tour Guide biasa," jawabnya. "Jangan bohong, aku tahu barusan kau yang mengeluarkan sihir." Ulagan kemudian bertepuk tangan sambil tersenyum sinis. "Wow, ternyata kau tidak mudah terkecoh Khan Agung." Khan Adrian mengepalkan tangannya dan menggeram. "Jangan bermain-main denganku. Aku bisa janjikan padamu bahwa mencoba membuatku gusar bukanlah jenis kesenangan yang kau inginkan."
Ulagan mengangkat bahu tidak peduli. Lalu bibirnya melengkung, membentuk apa yang ia harapkan sebagai senyum mencemooh. "Benar, kesenangan yang kuinginkan melibatkan salah satu klan yang terkenal dengan pertahanannya yang melegenda, tapi untuk saat ini aku akan mengambil apa yang bisa kudapatkan."
Bersiap menerima amarah Khan, Ulagan malah mendapatkan kejutan tak terduga. Alih-alih memukul dengan sihir, atau menusuk dengan pedangnya, Khan mematung, ekspresinya serius. Persis seperti predator yang hendak menyerang. "Menarik," gumam Khan. "Apa?" tanya Ulagan. "Keputusanmu untuk menahanku mendapatkan rahasiamu." Jari-jari langsing laki-laki itu mulai mengusap-usap pangkal pedangnya. Pedangnya yang cukup besar untuk menebas leher.
"Hebat, kau menyanjungku." Ulagan meletakkan salah satu tangan ke dadanya yg kokoh bagai besi, seakan-akan dia kaget melihat reaksi Khan. "Biarkan aku memperjelas hal ini. Aku tidak menggunakan para gadis itu sebagai penawaran. Tidak. Tidak pernah."
"Lalu apa maumu?" tanya Khan lagi. "Kebenaran," ungkap Ulagan. Khan mengerutkan keningnya mendengar ucapan pria itu. "Kedengarannya sedikit membingungkan. Apa maksud kebenaran itu?" Ulagan mengamati ekspresi ingin tahu di wajah Khan. "Kebenaran soal Sarnai." Khan tampak tersentak, matanya membelalak, wajahnya pucat pasi. Suara makian dengan lirih terdengar, entah Dario atau Taban yang mengucapkannya. Mereka paham, nama Sarnai merupakan salah satu kata keramat yang tabu untuk disebutkan. Jika ada yang berani menyebutkannya, maka Khan tidak akan segan-segan untuk menyiksa orang yang menyebutkannya.
"Em...Sir, sebaiknya kami permisi meninggalkan kalian berdua saja." Dario tampak gugup, dia terpaksa memecah keheningan yang terjadi. Kemudian segera menarik tangan Taban dengan langkah setengah menyeretnya. Taban terlihat tidak rela meninggalkan percakapan itu. Dia berusaha menarik tangannya, namun Dario mencengkeram erat. Dario juga sempat berhenti dan menatap dengan isyarat matanya, seakan ia berkata, "Jangan terlibat lebih jauh, jika sayang dengan nyawamu." Taban tampak menelan ludah dengan susah payah, ia sempat melirik ke belakang, dan melihat wajah kelam Khan.
Taban langsung kembali menatap ke depan dan menganggukkan kepalanya. Dia segera mengikuti langkah Dario keluar dari ruangan itu. Suara pintu di tutup terdengar di ruangan itu, namun tidak ada satu pun yang bergeming dari posisi semula. Khan yang lebih dulu bergerak memecah keheningan, dia menuju sofa empuk di tengah-tengah ruangan. Khan duduk di sana dan mengamati wajah Ulagan. Seakan-akan mencari sesuatu di sana. "Dari mana kau tahu tentang nama itu?" tanyanya penuh selidik. Bibir tipis Ulagan mencibir. "Tentu saja aku tahu, dia adikku."
Khan menatap tidak percaya ke arah Ulagan. "Kau berbohong, Sarnai tidak punya kakak, ia hanya punya adik." "Aku kakak tiri, ibu kami berbeda." Mata Khan terlihat membesar, dia tidak pernah mendapatkan informasi itu, bahwa Sarnai memiliki kakak tiri. Ternyata banyak yang tidak dia ketahui tentang Sarnai.
"Jadi katakan kepadaku, kemana Sarnai? Apa yang terjadi padanya?" Khan menatap dingin ke arah Ulagan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Sarnai, dan tidak ingin tahu." "Jangan berkelit, aku tahu kau berhubungan dengannya," selidik Ulagan. "Kami sudah berpisah setahun sebelum aku menggantikan ayahku menjadi Khan Agung, dia tidak mau berhubungan lagi denganku."
Ulagan terdiam, wajahnya masih sangsi dengan ucapan Khan. "Kau tidak percaya denganku?" tanya Khan lagi. Ulagan menggelengkan kepalanya. "Dengar, aku tidak peduli apa yang kau percayai. Kenyataannya, dia memohon padaku untuk tidak mengganggunya lagi. Karena kami..." Suara Khan tercekat, dia tidak sanggup meneruskan kata-katanya.
"Karena apa?" tanya Ulagan. Khan menarik napasnya dan menjawab, "Status kami berbeda, dia tidak pernah serius dengan hubungan kami. Semuanya hanya pura-pura..." Ulagan mendengus mendengar kata-kata Khan. "Tidak masuk di akal, Sarnai adalah wanita paling tulus yang kukenal. Aku membelanya bukan karena dia adikku, tapi aku tahu dia," ungkap Ulagan. "Dia mengatakannya dengan jelas, dia hanya menganggapku sebagai keberhasilannya, untuk ditunjukkan kepada dunia, karena aku sudah berhasil ditaklukkan," Khan berkata dengan dingin.
"Kau adalah seorang pria yang bodoh," Ulagan membentak. "Dengar, kau tidak benar-benar mengenal Sarnai. Apa yang kau lakukan selama ini, apa hanya merayunya? Kau tidak melihat ke dalam hatinya yang sebenarnya. Dia sangat memujamu. Aku tahu, karena aku melihat binar di matanya saat dia bercerita tentangmu. Sarnai adalah wanita yang akan melakukan segalanya untuk orang yang ia cintai. Kau yakin, dia tidak sedang melindungimu dari sesuatu?"
Khan tampak tertohok oleh kata-kata Ulagan. Dia mematung. Seluruh dunia terasa mematung. "Tidak mungkin..." Suara Khan terdengar serak. "Saat itu dia--dia meyakinkanku." "Berarti dia berbohong, pasti ada sesuatu yang memaksanya. Aku yakin sekali," kata Ulagan. Khan mengusap wajahnya, ia tampak resah. Matanya terangkat lagi ke arah Ulagan lagi.
"Apa kau sudah mencarinya?" tanya Khan. "Aku sudah mencobanya, tapi semua buntu. Sampai saat ini aku tidak berhasil menemukannya." "Bagaimana dengan keluarganya yang lain, kau sudah bertanya?" Khan gemetar, mengembuskan napasnya. "Sialan! Bagaimana aku bisa bertanya, jika rumah beserta isinya terbakar hingga rata dengan tanah. Ayah, Ibu Sarnai, dan Adik-adikku, semuanya ikut terbakar. Aku sudah mencoba mencari sisa-sisa dirinya di antara puing-puing rumah. Namun tidak kutemukan, hanya Sarnai yang tidak ada di sana." Ulagan mengetatkan bibirnya, ia bercerita dengan mata berkilat marah.
Khan terlihat terpukul, ia menggenggam erat pegangan sofa. Jika dia tidak memegangnya, mungkin pria itu sudah jatuh tersungkur ke depan. Ulagan yang melihat reaksi Khan tampak kaget. "Kau tidak tahu? Jadi selama ini kau dengan egoisnya melanjutkan hidupmu. Sedang Sarnai tidak tahu di mana rimbanya. Apakah dia masih hidup atau sudah meninggal?"
Khan tidak yakin apakah ia masih bernapas. Mata Ulagan tampak berpendar, dan dia mengerjap-ngerjap menepisnya. Pria itu merasa sedih untuk Sarnai, pria yang dicintainya tidak pernah peduli padanya. Rasa sakit dan penyesalan terlihat jelas di mata Khan, tetapi Ulagan tidak peduli, sebab ada sesuatu di dalam dadanya yang membelit dan hancur.
Pria itu tidak menghiraukannya meski ia sudah menyakiti perasaan Khan dengan tuduhan-tuduhannya. Khan dapat melihat itu semua dari wajah Ulagan, lontaran kata-kata kasar yang membuatnya ingin memukul sesuatu. Khan berusaha menahan kekuatannya yang mencoba mendobrak batas kewarasannya.
Khan mendongakkan kepalanya, matanya berkaca-kaca. "Aku turut berduka, aku tidak tahu kalau rumah Sarnai terbakar. Sejak saat itu aku tidak pernah menginjakkan kakiku di sana. Hanya saat aku naik tahta menjadi Khan Agung aku kembali, itu pun cuma sebentar." Khan memang tidak pernah kembali pulang setelah penobatannya. Dia tidak bisa menahan rasa tercabik-cabik di hatinya jika kembali ke kota itu.
Semua tentang kota itu mengingatkannya pada Sarnai. Dia mengira wanita itu sudah melanjutkan hidup bahagia tanpa dirinya. Dan sebagian hatinya tidak bisa menerima itu. Dia tidak ingin Sarnai tahu, bahwa wanita itu sudah membuat seorang Khan Adrian luluh latak, tak bisa bangkit dari sakitnya patah hati.
"Aku mencarimu hari ini, karena dua hari yang lalu aku bermimpi. Sarnai datang dan meminta tolong padaku," ucap Ulagan. Khan mendongakkan wajahnya, dia memperhatikan dengan serius ucapan Ulagan. "Yah, dia datang dengan wajah cantiknya yang berlinang air mata. Seharian aku jadi gelisah, memikirkan mimpi itu. Setelah itu aku berpikir, apa lagi yang harus kulakukan? Satu-satunya cara yang belum kucoba adalah mendatangimu, dan memintamu berterus terang."
Khan bangkit dari duduknya, kemudian dia menghampiri Ulagan. Dia tampak tegang. "Aku sudah menjelaskan semua yang aku tahu. Tidak ada lagi yang disembunyikan. Jika kau ingin menyelidikinya aku bersedia membantumu." Kau mau?" tanya Ulagan. Khan menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis. "Aku juga harus menebus rasa bersalahku. Dan aku berharap dia hanya berada di suatu tempat dan baik-baik saja," kata Khan. Wajah Ulagan terasa hangat, dia tersenyum, lalu ia menundukkan kepalanya. "Terima kasih Khan Agung." Khan memberi isyarat menerima hormatnya, dan mengajaknya keluar dari ruangan itu.
Dua hari berlalu. Khan belum juga menyuruh orang untuk datang menjemput ketiga gadis itu. Meski dia berharap bisa bertemu kembali dengan Shanum. Dia merasa ketiga gadis itu perlu menikmati sejenak kesendirian mereka. Meski banyak yang ingin ditanyakan Khan pada Shanum. Terutama kata-katanya tempo hari soal Sarnai. Dia merasa ada keterkaitan di sini, dan itu adalah hal yang perlu dipastikan.
"Dario..." panggil Khan. "Anda memanggil saya, Khan." Dario datang dengan tergopoh-gopoh, dia terlihat sedang membawa ceret seng penyiram tanaman. "Apa yang sedang kau lakukan? Untuk apa penyiram tanaman itu?" tanya Khan. "Untuk menyiram tanaman," jawabnya.
"Astaga, orang bodoh juga tahu alat itu untuk menyiram tanaman. Maksudku, untuk apa kau bawa alat penyiram tanamannya ke sini," ucap Khan datar. Dario meringis. "Tadi lagi menyiram tanaman di belakang, tidak sengaja terbawa." Khan memutar bola matanya. "Kita pergi sekarang, panggil Taban." "Kemana?" Dario tampak bingung. "Ke tempat ketiga gadis itu. Kita jemput mereka sekarang," ujar Khan. Dario mengerjap, namun kemudian dia tampak menyeringai.
Sudah empat hari mereka berada di rumah ini, dan terjebak di negara ini. Ketiga gadis itu tidak bisa kembali ke negara mereka. Tim berkata, berseteru dengan Khan Adrian adalah puncak segala masalah. Pria itu menguasai segalanya. Tidak ada celah yang bisa dilakukan untuk keluar dari situasi ini.
Khan sudah memblokir semua. Satu-satunya cara adalah meminta pria itu untuk melepaskan mereka. Tapi apakah akan semudah itu? Shanum menyangsikannya. Suara pintu diketuk membuyarkan lamunan gadis itu. Shanum mengerutkan keningnya, tampak heran. Tidak biasanya Tim datang mengetuk pintu, karena pria itu memiliki kunci cadangan rumah ini.
Shanum tampak ragu, antara ingin membuka pintu atau mengintip terlebih dahulu. Tapi akhirnya rasa penasarannya menang, gadis itu melangkah mendekati pintu. "Mungkin saja yang datang adalah Ula," gumam Shanum.
Akan tetapi, bukan Ula yang bersandar di ambang pintu. Shanum memandang Khan Adrian. Pria itu balas menatapnya. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, wajahnya tidak terbaca. Shanum mundur, memegangi pintu untuknya. Dia bersumpah merasakan denyut rasa lega dalam hatinya.
Di belakang pria itu, ikut masuk juga Dario dan Taban. Taban tampak cemberut, dan Dario menyeringai. Namun keduanya tetap diam. Lalu mereka melihat sekeliling ruangan. Khan meneliti ambang pintu ke lorong kamar tidur. "Apakah kedua temanmu sedang beristirahat?" tanyanya.
Shanum menoleh ke pintu yang tertutup. "Ya, mereka sedang di kamar." Khan mengangguk.
Lalu dia menatap Shanum tajam. "Mengapa kau pergi tanpa pamit?" Gadis itu menghindari tatapannya, berbalik ke dapur. "Kalian pasti haus. Aku akan membuat minuman." Khan menegang.
"Tidak perlu, kita tidak akan lama di sini, dan kalian harus ikut denganku." Shanum tetap menuangkan air ke dalam ketel, lalu menyalakan kompor. "Aku tidak tahu peraturannya. Sejak kapan kami menjadi tahanan rumah di mansionmu," kata Shanum sambil memunggunginya. "Kau harus menjelaskannya."
Khan terdiam di tengah rumah, mengawasi setiap gerak Shanum. Khan berkata dengan suara parau, "Kau harus menjelaskan kepadaku tentang Sarnai."
Shanum berhenti mengaduk teh yang sedang ia buat.
Gadis itu berbalik, bersandar ke konter. Gadis itu tampak gusar. Kemudian Shanum berkata dengan kasar, "Jangan mengalihkan pembicaraan, aku tidak sedang membahas Sarnai." Kursi berderit di lantai kayu ketika Khan duduk.
Sesaat, hanya ada keheningan, diselingi suara gesekan daun dari pepohonan di luar jendela. Shanum menarik napasnya, ia memegang keningnya. Tiba-tiba dia merasa pusing. Dia tidak mengerti arti tatapan pria itu, sikap diamnya, dan perkataannya yang melompat-lompat. Ingin rasanya dia mengusir saja pria ini untuk keluar dari rumah ini. Tapi, ia teringat ucapan Tim. Bertikai dengan pria ini adalah puncak dari segala masalah. Jika dia mengusirnya, bisa-bisa kiamat yang didapatkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments