Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Shanum bangun pagi itu dengan perasaan penuh semangat, kilau terlihat di bola matanya, senyum menghiasi bibir mungil itu. Ia meregangkan badan dan merasakan seprai menjadi kusut di bawah kulitnya. Shanum menatap langit-langit kamarnya, meresapi perasaan bahagia akan segera menuju kota itu.
Kemudian dia bergegas bangun, ayah dan ibu pastinya juga sudah bersiap-siap. Sebelum ke kamar mandi, dia mengambil gelas berisi air putih yang selalu tersedia di meja kecil di sebelah meja rias. Shanum meminum dua gelas air, kemudian menuju ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Setelah mandi, dia memakai pakaian yang agak tebal, yang telah dipersiapkannya semalam, untuk keberangkatannya ke Astrakhan.
Suhu di Astrakhan lebih sejuk, meskipun di sana saat ini tidak sedang musim dingin. Perbedaan suhu ini membuat Shanum harus mempersiapkan pakaian yang berbeda dari pakaian sehari-harinya.
Dimas dan Raisa sudah menunggu Shanum di ruang tamu. Mang Jali terlihat sedang menarik koper, dibantu Bi Ema membawakan koper yang lebih kecil. Bi Inah istri Pak Dirman, satpam di rumah ini juga ikut membantu membawakan tas lainnya. Shanum membawa satu koper besar, satu koper kecil, dan tas tenteng berukuran kecil.
Dimas dan Raisa menoleh saat melihat Shanum turun dari tangga lantai dua rumah, tempat kamarnya berada. "Sudah siap Princess?" tanya Dimas. "Siap Ayah!" Shanum tersenyum lebar. "Duh semangat sekali putri Ibu pagi ini," sahut Raisa. Shanum tersenyum malu-malu, mendapat godaan dari Ibu. "Maaf, Pak, Bu, Non, anu...mobil sudah siap," ucap Bi Ema. Mereka semua menoleh mendengar panggilan itu.
"Oke Bi, ayo Ayah-Ibu kita berangkat." Shanum mengajak keduanya berjalan menuju ke teras depan. Sebelum masuk ke dalam mobil, Shanum menoleh kembali ke arah Bi Ema dan Bi Inah, "Bi Ema, Bi Inah, Shanum pamit dulu ya. Tolong jaga Ayah dan Ibu," Shanum tersenyum sambil berpamitan kepada mereka. Mereka menganggukkan kepala.
Bi Ema, Mang Jali, Bi Inah dan Pak Dirman memang sudah dianggap seperti keluarga mereka sendiri, karena sudah bekerja sejak Shanum masih bayi.
Mang Jali bersiap duduk di bangku sopir. Ayah masuk di bangku sebelah Mang Jali, sedang Shanum duduk dengan Ibu di bangku belakang.
Pak Dirman sudah membuka gerbang, terlihat membungkukkan badannya saat mobil kami lewat. Sesampainya di Bandara Internasional Soekarno Hatta, di ruang tunggu keberangkatan, Shanum mendengar suara kedua sahabatnya. Dia menoleh dan tersenyum lebar menyambut antusiasme keduanya. Tampaknya mereka bertiga sangat bahagia dapat berlibur bersama. Kedua temannya diantar oleh orang tua masing-masing. Ayah terlihat menyapa orang tua kedua sahabat Shanum.
Sebelum keberangkatan mereka memang sudah beberapa kali bertemu. Untuk membicarakan hotel, Itinerary, dan tour guide selama di sana. "Yeii...akhirnya kita berangkat juga ya, sudah tidak sabar bertemu Bule-Bule tampan di sana." Diva tersenyum bahagia sambil bertepuk tangan. Farah memutar bola mata sambil kemudian membekap mulut Diva, sedang yang dibekap tampak protes.
Shanum tersenyum canggung, tampak menghela napasnya melihat perilaku absurd kedua temannya.
Mendadak Shanum teringat ayah, oh my....dia takut melihat wajah ayah. Kening ayah tampak berkerut, dia berdiri kaku di samping ibu. Ayah melihat ke arah Shanum sambil merapatkan bibirnya. "Aduh, Diva, bikin runyam saja. Ayah kan Overprotektifnya tingkat Dewa. Pasti dia sudah berpikir macam-macam deh," batin Shanum.
Sebelum ayah berubah pikiran sehingga mereka gagal berangkat, Shanum menghampiri ayah. "Jangan diambil hati celetukan Diva ya, Ayah. Dia memang begitu, matanya suka Jelalatan, tapi cuma sebatas menikmati lewat pandangan. Tingkah lakunya tetap polos seperti gadis baik-baik," bisik Shanum.
Ayah menghembuskan napasnya, senang mengetahui putrinya tidak salah memilih teman. Ibu terkekeh di samping ayah," Anakmu sudah dewasa Mas, masih saja dianggap bocah." "Bagiku dia tetap Princess kecilku," ucap Ayah sambil mengusap rambut Shanum.
"Ayo kalian harus bersiap, proses check-in sudah selesai," ucap Om Bimo ayah Farah. Mereka bersiap berpamitan dengan orang tua masing-masing. "Jaga dirimu Princess, jangan lupa tetap hubungi Ayah dan Ibu ya." Ayah memeluk Shanum erat.
Saat melepas pelukannya, mata ayah terlihat berkaca-kaca. Kemudian berganti ibu menarik Shanum, dan memeluknya. Ibu tersenyum sayang, sambil memegang kedua pipi putri cantiknya itu dan berkata, "Semoga semua yang kau cari dapat kau temukan ya, Nak. Apapun hasilnya kau tetap harus kuat dan berani." Shanum tersenyum sedih, menatap kedua orang tuanya.
Perasaan bersemangatnya diwarnai pula oleh keraguan. Entah mengapa, di satu sisi Shanum merasa takut jauh dari mereka, butuh mereka berada disampingnya selalu.
Waktunya berangkat, suara panggilan penerbangan mereka sudah berkumandang di pengeras suara. Shanum, Diva dan Farah berpamitan terakhir kali dengan keseluruhan orang yang mengantar keberangkatan mereka. Kemudian bergerak ke dalam menuju proses b**oarding p*****. Perjalanan udara menuju Astrakhan ditempuh dalam waktu tiga belas jam empat puluh lima menit.
Dibesarkan dengan ayah yang sibuk, serta ibu yang harus selalu mendampingi dalam setiap perjalanan bisnisnya, perjalanan udara sudah jelas tidak sering terjadi. Shanum terlihat gugup saat duduk di kursi dekat jendela. Farah menempati bangku tengah, dan Diva memilih duduk di dekat koridor. "Kalian mau gula-gula sebelum kita lepas landas?" Seorang pramugari bertanya sebelum meletakkan beberapa buah gula-gula di hadapan Diva.
Shanum berpaling pada Farah, dan gadis itu mencondongkan tubuhnya untuk berbicara dengan sang pramugari di tengah-tengah keriuhan para penumpang yang masuk ke pesawat. "Apakah toilet sudah bisa digunakan? Saya tampaknya ingin ke toilet." Sang pramugari tersenyum dan mengangguk. Shanum segera keluar dari bangku, membawa tas selempangnya dan menuju toilet di ujung kabin.
Setelah terkunci dengan aman di ruangan sempit, Shanum mengembuskan napas yang rasanya menjadi yang pertama kalinya sejak ditahan selama bermenit-menit. Shanum teramat gugup, bahkan sebelum pesawat lepas landas. "Kendalikan dirimu," katanya kepada bayangannya di cermin, lalu membuka tas dan mengambil tissue basah. Dia membawa semua yang dibutuhkannya di dalam tas ini, termasuk sikat gigi, sabun tube ukuran kecil, deodoran, dan pakaian dalam cadangan.
Sayangnya ide berganti pakaian dalam di kamar kecil pesawat jauh lebih baik daripada cara untuk benar-benar melakukannya. Jika tidak terpaksa, sepertinya dia berganti pakaian di toilet bandara Astrakhan saja. Toilet pesawat ini terlalu sempit, bisa-bisa kepalanya terbentur saat berganti pakaian nanti. Setelah itu dia kembali ke bangkunya, dan pesawat bersiap lepas landas.
Setelah proses lepas landas yang mendebarkan, Shanum mencoba bercakap-cakap dengan kedua sahabatnya. Mereka membahas kegiatan pertama setelah sampai di Astrakhan. Akhirnya, Farah tertidur, perlahan-lahan tubuhnya merosot ke arah Shanum sampai kepalanya bersandar di bahunya. Shanum menoleh, setelah tadi ia sedang melihat pemandangan awan putih bergulung-gulung laksana kapas di luar jendela.
Aroma samar bebungaan dari rambut hitam gelombang Farah tak sengaja tercium oleh Shanum. Dari jarak dekat, kulit Farah sempurna. Tampak eksotis dengan warna sawo matang, warna kulit yang mempesona pria b**ule, begitu informasi yang sering ia baca di buku novel romantis. Alis matanya berwarna gelap di atas pipinya. Di tangannya, Farah memegang buku catatan berisi Itinenary perjalanan mereka.
Farah merubah posisinya, sekarang kepalanya tidak lagi bersandar di bahunya. Shanum meregangkan ototnya. Kemudian melihat ke arah Diva, ia sedang tertidur juga. Temannya yang satu itu tidur dengan dengkuran halus yang terdengar sampai ke telinga Shanum. Diva akan bertemu dengan banyak wajah yang mirip dia di sana.
Karena dia memang berdarah campuran, ayahnya asli Inggris, sedang ibunya berdarah Jawa. Tidak heran jika Diva memiliki kulit putih pucat, dan bola mata berwarna coklat gelap serta hidung yang sangat mancung. Hanya warna rambut hitam ikal cemerlang, yang diturunkan dari ibunya.
Tiba-tiba bibirnya yang seksi itu terlihat mengerucut, ada suara mengunyah yang terdengar dari bibir itu. Shanum tersenyum geli, sedang bermimpi apa temannya itu. Mereka sampai di Bandara ASF Astrakhan, sekitar pukul 22.00 WIB atau pukul 18.00 waktu setempat. Selisih waktu antara Indonesia dan Astrakhan adalah empat jam.
Shanum dan kedua temannya berdiri di depan pintu kedatangan. Dagunya terbenam dalam kerah jaket panjang berwarna coklat muda yang dipakainya untuk menghalau udara dingin, yang masih terasa di Astrakhan. Hembusan angin bulan Juli menyebabkan rambut hitam sepanjang bahunya yang sehalus sutra tertiup ke wajahnya. Dengan satu tangan memegang troli bandara, Shanum menyibakkan rambutnya dan bergerak dari satu kaki ke kaki yang lain, sepertinya merasa tidak sabar, dan tidak suka akan penantiannya saat ini.
Cahaya matahari senja bermain-main di atas wajah cantiknya yang berbentuk hati. Ada sedikit celah samar pada dagunya, dan ia memiliki dua buah bola mata berwarna hitam berkilau yang mampu mengatakan banyak hal hanya dalam satu tatapan.
Ekspresi yang terpancar saat gadis itu menatap Tour Guide yang menjemput di bandara adalah perasaan kesal. Bibirnya...bibirnya terlihat penuh, setidaknya sering kali seperti itu. Tidak saat gadis itu sedang menatap dengan pandangan tajam, seperti yang ia lakukan sekarang saat sedang menunggu dengan kedua temannya di depan pintu kedatangan.
Wajah Diva dan Farah juga terlihat bosan dan kesal. Mereka tidak sabar menunggu orang yang menjemput. Sudah sekitar tiga puluh menit mereka berdiri menunggu di sana, melihat papan petunjuk berisi tulisan nama yang di acungkan oleh para penjemput. Namun tidak ada satupun yang berisi nama mereka.
Sambil menarik napas, Tour Guide tersebut menatap takut-takut ke arah Shanum. "Maaf saya datang terlambat, tadi ada sedikit gangguan teknis dalam perjalanan kami kemari. Hm-- saya Timicin dan teman saya ini Ulagan....mari kami bantu."
Mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris. Ayah Shanum memang sudah mempersiapkan Tour Guide yang tidak menggunakan bahasa Rusia, sebagai bahasa resmi Astrakhan. Mereka tidak menguasai bahasa tersebut.
Kota ini, memiliki penduduk lokal yang merupakan pencampuran antara suku Nogai, yang berasal dari suku Turk keturunan suku-suku Mongol, dan suku yang berasal dari Rusia sendiri.
Timicin dan Ulagan sepertinya termasuk yang berasal dari suku Mongol. Terlihat dari bentuk wajah khas Mongol, dengan kelopak mata sipit, kulit putih cenderung kuning, rambut lurus hitam, dan bola mata berwarna coklat. Timicin dan Ulagan berjalan sambil membantu mereka membawakan barang-barang. Troli bandara hanya dapat digunakan sampai dengan pintu keluar kedatangan saja. Selebihnya mereka harus membawanya sendiri.
Mereka segera mengajak ketiga gadis itu ke lokasi parkir kendaraan yang tidak terlalu jauh dari pintu terminal kedatangan. "Hei, itu serius yang jemput kita namanya Micin dan Ulekan?" Farah masih bisa bercanda meski wajahnya terlihat lelah. Shanum terkekeh geli mendengar candaan Farah. Dan Diva terkikik-kikik mengeluarkan tawa khasnya.
Mereka menatap punggung kedua Tour Guide yang berjalan di depan. Meski mereka terlihat lemas, efek jet lag penerbangan, dan merasa bosan saat menunggu. Mereka masih bisa tertawa lepas bersama.
"Ooh...sumpah, saat ini aku rindu kasur empuk. Ingin segera membaringkan badan di sana, menyentuh bantal, memeluk guling dan memejamkan mata," teriak Diva. "Stt...jangan teriak-teriak, di negara orang ini," sahut Farah sambil melihat sekeliling. "Bodo amat, aku lelah!"
Kedua Tour Guide itu sontak berhenti, dan menoleh saat mendengar teriakan Diva. Shanum hanya bisa tersenyum malu melihat tingkah laku sahabatnya.
"Ada masalah Ladies?" tanya Timicin. "Oh tidak, mereka hanya tidak sabar untuk segera bertemu kasur," jawab Shanum. Timicin tersenyum maklum, dan menganggukkan kepalanya.
Mereka sudah dalam perjalanan menuju ke hotel. Sepanjang perjalanan Shanum menatap kagum. Kota Astrakhan merupakan kota yang indah, banyak bangunan-bangunan peninggalan kebudayaan zaman dahulu. Dengan kubah-kubah berbentuk seperti bawang, berwarna-warni, jalanan yang rapi, teratur dan bersih.
Kota ini tidak berpolusi seperti kota tempat mereka tinggal. Tidak ada kemacetan yang terlihat, semua orang berjalan teratur, tenang tanpa terburu-buru. Lampu-lampu cantik beraneka warna menghiasi suasana senja di kota itu.
Hotel mereka berada di Citi Embankment, merupakan bangunan modern yang terdiri dari puluhan lantai. Ruangannya berbentuk klasik dengan lampu gantung kristal besar di susun sedemikian indahnya.
Timicin dan Ulagan mengantar mereka hanya sampai di depan meja resepsionis. Keduanya akan menjemput mereka sehabis makan siang untuk mengunjungi Itinenary pertama. Besok pagi mereka masih di beri waktu untuk beristirahat.
Setelah check-in, mereka menuju lantai lima belas, tempat kamar mereka berada. Farah membuka kunci dan kaget, kamar mereka cukup luas dan mewah. Shanum tersenyum melihat wajah antusias kedua temannya, ia senang dengan pilihan ayah. Ayah memesankan mereka kamar sekelas Junior Suite Room. Kamar mereka perpaduan tipe klasik dan modern. Terdapat tempat tidur King bed ukuran besar, cukup untuk mereka bertiga di tengah ruangan. Dengan sprei lembut berwarna krem, tampak mewah.
Ada juga sofa berwarna coklat tua, model Lawson Style di hadapan tempat tidur, terdiri dari tiga dudukan dengan bantal punggung untuk masing-masing dudukan. Di salah satu sudut ruangan juga terdapat meja makan bulat elegan dengan empat kursi senada.
Tiba-tiba terdengar jeritan dari arah salah satu ruangan. Shanum dan Farah langsung berlari menuju arah teriakan. Mereka berdesakan di depan pintu. Ternyata ruangan itu adalah kamar mandi. Diva terlihat tertawa gembira memperlihatkan gerakan ala balet ke arah sekeliling ruangan.
"Amazing...pantas saja Diva histeris, bisa-bisa betah dia di kamar mandi seharian," gumam Farah. Shanum menatap sekeliling area tersebut, di dekat pintu terdapat wastafel side by side dengan cermin cantik, dilengkapi oleh meja kabinet yang berisi perlengkapan mandi. Lantai kamar mandi dari marmer berwarna perpaduan emas dan krem mewah itu, terlihat luas.
Di sudut ruangan, terdapat Jacuzzi bathtub berwarna putih mutiara, shower di sampingnya, dan toilet duduk yang mempunyai sekat di ruangan. Kamar mandi ini memang mewah, dapat memanjakan siapa pun agar betah berada di sana.
"Mewah sih, jadi....Diva mau tidur di sini saja begitu," ledek Shanum. Farah kontan tertawa geli. Diva menggeleng-gelengkan kepalanya sambil cemberut.
Mereka tidur bertiga, dengan Diva yang menempati posisi di tengah tempat tidur, Farah di sisi sebelah kanan dan Shanum di sisi sebelah kiri.
Sempat terjadi perdebatan alot antara Diva dan Farah untuk menentukan posisi tidur. Shanum sendiri tidak perlu bersusah payah menentukan, ia pasti tidur di pinggir, bukan di tengah. Kedua temannya tahu, Shanum masih suka bermimpi buruk. Tidak ada yang mau menempatkan ia di tengah-tengah kasur, saat mimpi buruk datang, Shanum pasti akan bergerak gelisah dan menendang ke segala arah.
Akhirnya Farah dan Diva tertidur pulas, setelah melakukan suit jari sebagai puncak perdebatan mereka. Sedang Shanum, terlihat asyik rebahan sambil melihat langit-langit ruangan, sesekali terlihat senyum di bibirnya. Dia tidak dapat memejamkan mata, ada yang sedang dilamunkannya. Shanum teringat peristiwa tak terlupakan di bandara tadi. Saat Shanum ingin berganti pakaian dalam di toilet bandara, tanpa sengaja Shanum menabrak seorang pria.
**A**ku menuju ke toilet, setelah bertanya beberapa kali akhirnya aku tahu letak toilet itu. Aku menepuk keningku, baru ingat kalau aku harus menghubungi Ayah dan Ibu. Sambil berjalan aku berusaha mengambil sesuatu dari dalam tas, mencari telepon genggamku.
"Aduh, di mana sih?" gumamku. Tiba-tiba aku menabrak sebentuk bidang keras, dan ada rasa hangat memegang bahuku, yang tampaknya menahanku agar tidak jatuh. Aku melihat apa yang kutabrak, di hadapanku terpampang sebentuk tubuh pria, menggunakan kemeja formal berwarna abu-abu muda.
Tubuh pria itu padat, terlihat kokoh. Dapat kubayangkan sebentuk otot yang tersembunyi di dalamnya. Aku menelan ludahku, tenggorokanku mendadak kering. Kuangkat wajahku ke atas, melihat tatapan tajam menghunjam kedua bola mataku*.
*Seharusnya aku merasa takut, tatapan bola mata keemasan itu terasa dalam menatapku. Jika mata itu bisa mengeluarkan cahaya laser, pastinya sudah habis terbakar kedua bola mataku. Pria itu mengucapkan kata-kata dari bahasa yang tidak kumengerti.
Pria ini sungguh tampan, bibirnya terlihat tipis dan berwarna merah. Hidungnya cukup mancung, kulit putih wajahnya terlihat memerah menahan amarah. Aku masih terpana, desir halus kurasakan di sekujur tubuhku. Pria itu akhirnya melepaskan belitan tangannya di bahuku. Aku mendadak merasa kehilangan rasa hangat itu. Lidahku terasa kelu, namun aku mencoba mengucapkan kata maaf*.
Pria itu mendengus, bibirnya terkatup rapat. Dia lalu berbalik dan melanjutkan langkah, menghilang dari hadapanku. Aku masih terpaku, namun mataku masih tetap mengikutinya, hingga bayangan pria itu menghilang di belokan menuju pintu keluar. "Apa itu tadi? Oh Tuhan, apa yang terjadi denganku?" kata batinku. Aku menghembuskan napasku, mengusap wajahku, memegang dadaku, debar-debar itu masih kurasakan.
Akhirnya kuteruskan langkahku menuju toilet, meski dengan perasaan lemas yang mengiringinya*. K**einginan untuk menelpon kedua orang tuaku hilang, terbawa pria tampan yang dingin tadi dalam lamunan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments