Shanum mengetukkan ujung kakinya seiring alunan musik pop yang terdengar dari stereo set di ruang keluarga. Bahkan dari dapur ini pun, suara musik itu terdengar begitu lembut. Penyanyi di lagu tersebut mendendangkan bait-bait tentang cinta yang terdengar syahdu. Shanum memasak sambil bersenandung pelan mengikuti lagu.
"Masak apa, Sayang?" Ibu menegur Shanum. Dia menoleh, gerakannya mengaduk-aduk bumbu di penggorengan terhenti. "Masak nasi goreng, Bu." Ibu tersenyum, sambil meletakkan piring, dan gelas kotor yang akan dicucinya. "Hmm, Ibu, bagaimana dengan jawabannya? Apakah Ibu dan Ayah sudah setuju tentang rencana kepergian Shanum ke Astrakhan?"
Ibu menghela napasnya. Gerakan mencucinya terhenti. Dia menoleh, memandang ke arah Shanum. Gadis itu mematikan kompor, dan menempatkan nasi goreng yang telah jadi ke piring. Melalui sudut matanya Shanum melihat ibu masih terpaku menatapnya.
Shanum menaruh piring berisi nasi goreng tersebut di sebelah kompor, dan menghampiri ibu. "Kok Ibu diam, Ayah masih tidak setuju ya?" Lagi-lagi ibu menarik napasnya. Ibu memandang Shanum, wajahnya terlihat ragu. "Ada apa Bu? Katakan saja, Shanum akan mencoba menerima keputusan Ayah."
Ibu mengambil piring yang berisi nasi goreng, menarik tangan Shanum dan mengajaknya ke ruang makan. "Duduk, Nak, makanlah dahulu. Setelah itu baru Ibu akan katakan." Kemudian ibu kembali ke dapur dan sepertinya melanjutkan mencuci piring yang tertunda tadi. Shanum masih terpaku, namun akhirnya mengambil sendok dan mulai menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.
Sambil makan Shanum bertanya-tanya tentang kata-kata ibu tadi. Sepercik kecemasan menyergap, tapi Shanum menenangkan diri. Ibu dan ayah pasti akhirnya akan setuju dengan rencana kepergiannya. Shanum memang anak satu-satunya. Ia anak yang lama diharapkan kehadirannya, ayah menjadi lebih ketat menjaga
Shanum dalam hal apa pun. Ayah tetap memantau seluruh kegiatan Shanum, di sela-sela kesibukannya memimpin sebuah perusahaan besar di negara ini. Meski mereka bergelimang harta, namun Shanum tetap harta paling berharga untuk mereka. Mereka selalu mengajarkan kesederhanaan dan tanggung jawab kepadanya. Oleh karenanya, ia tumbuh menjadi gadis yang sopan, mandiri dan rendah hati.
"Makannya jangan sambil melamun, nanti salah masuk itu sendoknya. Harusnya ke mulut jadi malah masuk ke hidung," tegur ibu. Lalu Ibu menarik bangku, dan duduk di sampingnya. Shanum tersenyum sambil mengunyah makanannya.
"Nak, Ayah sebenarnya masih setengah hati untuk melepasmu pergi sejauh itu." Shanum menoleh ke arah ibu, kemudian meletakkan sendoknya. Perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada ibu, menunggu lanjutan kalimatnya. Terdapat jeda panjang sebelum dia melanjutkan kalimatnya.
"Ibu sudah berusaha, Nak. Sepertinya kamu harus bicara langsung dengan Ayah." Shanum tersenyum dan memegang tangan Ibu. "Iya Bu, tidak apa-apa, Shanum mengerti. Nanti Shanum bicara dengan Ayah." Ibu tersenyum dan mengusap kepala Shanum.
Malam itu Shanum berniat menghampiri ayah di ruangan kerjanya. Seperti biasa selepas makan malam, ayah pasti berada di sana. Ibu melihat Shanum berdiri terpaku di depan pintu. "Shanum..."
Shanum menoleh, melihat ibu tersenyum sambil mengangkat kedua jempolnya di udara, tanda memberi semangat padanya. Shanum menjawab dengan anggukan kepala dan senyum manisnya.
Perlahan Shanum mengetuk pintu ruangan itu, "Boleh Shanum masuk Ayah." "Masuk saja Princess," jawab Ayah dari dalam ruangan. Shanum membuka pintu, kemudian masuk ke dalam.
Ayah sedang duduk di belakang meja kerja yang terbuat dari kayu pohon maple, memiliki pola ukiran rumit berwarna coklat. Bentuk meja itu kokoh, memiliki kaki melengkung bagai cakar, dan dengan bangku kerja yang senada. Di samping meja kerja terdapat lemari buku tertutup kaca dengan warna yang sama.
Shanum perlahan berjalan menuju sofa di sisi kanan meja kerja ayah. Di bawah sofa terdapat karpet berbahan Saxony dengan warna krem lembut. "Kok duduk di sofa, sini duduk di hadapan Ayah." Ayah menunjuk bangku di hadapannya. "Shanum duduk di sini saja ya Yah, duduk di sana bikin gugup. Jadi kaya mau menghadap Bos Besar yang galak," sahut Shanum sambil meringis.
Ayah tertawa kecil, keluar dari belakang meja kerjanya, berjalan menuju sofa tempat Shanum duduk. "Baiklah, kalau begitu Ayah duduk di sini." Ayah duduk di sebelah Shanum, menatapnya, melipat kedua tangannya di depan dada dan menaik turunkan kedua alisnya. "Jadi...," ucapan Ayah terhenti, masih tersenyum sambil memperlihatkan wajah lucunya tersebut. Kontan Shanum tertawa geli.
"Iih...Ayah apaan sih, Shanum mau bicara serius juga." Ayah masih tidak bersuara, sekarang giliran kedua telinganya bergoyang-goyang naik turun. "Haa...haa, Ya Tuhan, Ayah! Sudah!" Shanum tertawa makin keras, tampak terengah-engah, sambil memegangi perutnya. Terakhir dibekap mulutnya, meski sesekali masih mengeluarkan suara seperti orang tercekik karena menahan tawa.
"Baiklah Princess, tarik napas dalam, keluarkan. Tarik napas dalam sekali lagi, keluarkan," ucap ayah. Shanum masih menahan tawanya, alisnya mengkerut, matanya menyipit, wajahnya mulai memerah. "Lho kok duduknya miring-miring begitu, mau kentut ya?" Ayah memencet hidungnya.
Shanum tidak tahan lagi, tangannya memukul-mukul bahu ayahnya, sambil tertawa terbahak-bahak. Ayah ikut tertawa sambil pura-pura berteriak kesakitan dan memohon ampun pada Shanum. Akhirnya tawa itu mereda. Shanum menghapus air mata di sudut-sudut matanya. Dia tersenyum manis.
"Terima kasih Ayah, sudah menghapus kecanggungan dan kegugupan Shanum tadi." Shanum memeluk erat ayahnya, dan dibalas oleh Dimas. Dimas merengkuh putri semata wayangnya. Putri yang teramat ia cintai.
Princess-nya yang selalu merasakan kesedihan dan kebingungan. Dimas tahu, putrinya itu dihantui mimpi sejak usia belia. Dia sudah pernah membawanya ke Psikiater. Sudah berapa banyak sesi terapi yang dijalani putrinya yang tegar itu. Namun akhirnya semua itu sia-sia, mimpi itu tetap hadir tanpa bisa dihilangkan.
Dimas juga sudah mencoba mencari informasi di berbagai macam literatur, tokoh terkemuka sampai orang pintar. Hasilnya tetap nol besar. Tidak ada yang bisa menyembuhkan putrinya, semuanya angkat tangan tanda menyerah.
Sempat ada satu kejadian yang selalu membekas diingatannya, kata-kata dari salah satu orang pintar yang ia temui sampai ke Tanah Dayak. Orang pintar tersebut mengatakan bahwa ini sudah suratan takdir putrinya.
Putrinya itu tidak dapat menolak dan melarikan diri. Hal itu akan terus mengikutinya, sampai suatu saat semua layar akan terbuka, dan para tokoh di belakang layar akan terkuak. Putrinya harus mempersiapkan fisik dan mentalnya untuk menghadapi ini, karena jalan takdirnya sangat terjal dan berduri.
Dimas hanya bisa termenung mendengar kalimat orang pintar itu. Kemudian dia kembali ke rumah dengan tubuh lemas, kalut, merasa kalah, dan sedih yang mendera di dada. "Ayah, Shanum mau bicara serius." Shanum memecah lamunan Dimas, ia melepas pelukannya.
"Ya Princess, mau bicara dua rius juga boleh," jawab Dimas. "Shanum serius, Ayah, jangan bercanda terus dong, ini tentang rencana kepergian Shanum ke Astrakhan. Hmm, Ayah mengizinkannya kan?" Shanum menatap ayahnya takut-takut. Dimas menghela napasnya, wajahnya berubah menjadi keruh, kemudian bangkit berdiri dari sofa, berjalan menuju pintu geser ke arah balkon.
Dimas membukanya dan menghirup dalam-dalam semilir angin yang berhembus dari luar. Napasnya terasa sesak, seakan-akan pasokan oksigen di dalam ruangan mendadak menipis. Dimas menatap langit malam bertabur bintang. Batinnya meronta, tidak ingin melepas putri cantiknya ke tempat yang jauh itu.
Hati kecilnya seakan tahu, ada sesuatu yang buruk menanti putrinya di sana. Tapi apakah ini hanya kekhawatiran seorang ayah? Ataukah memang firasat buruk yang sebenarnya. Ingin rasanya Dimas membawa putrinya pergi jauh, untuk melupakan semua masalah ini. Tapi Dimas tidak bisa, seperti kata orang pintar itu, putrinya tidak bisa menghindar. Jadi Dimas harus kuat, demi putrinya, dan juga istrinya.
"Ayah..." Shanum kembali memanggilnya. Dimas menoleh, dilihatnya Shanum mencoba bangun, dan ingin menghampiri. "Tidak Princess, duduklah. Ayah akan menjawab pertanyaanmu." Suara pintu di buka terdengar dalam ruangan. Dimas dan Shanum menoleh ke arah pintu.
"Mas!" Tiba-tiba ibu memanggil, ibu sudah berdiri di depan pintu. Ingin masuk tapi ragu, takut mengganggu pembicaraan yang sedang berlangsung. "Masuk saja Ra," sahut Dimas sambil tersenyum.
Raisa melangkah ke dalam, menutup kembali pintu itu dan melangkah menuju suaminya. "Maaf Mas, aku penasaran, tadi sempat mendengar suara tawa Shanum dan kamu. Apa sudah ada kata mufakat?" Ibu bertanya sambil tersenyum ingin tahu. Ayah mengangkat alisnya kemudian terkekeh.
Ayah menghampiri ibu, menggandeng tangannya, lalu membawanya duduk di sofa persis di sebelah Shanum. Kemudian ayah duduk di bangku satunya di samping ibu. "Kami tadi belum sampai ke topik itu Bu, Shanum baru bertanya dan Mas baru akan menjelaskan." "Oh begitu, wah...Ibu jadi menginterupsi pembicaraan kalian dong ya. Maaf ya!" Ibu tertawa kecil sambil meringis.
Ayah tersenyum sambil menggeleng, "Tidak apa-apa. Hmm, baiklah, Ayah lanjutkan saja ya. Kasihan Princess cantik kita ini, nanti makin penasaran dia." Shanum tersipu malu, ayahnya ternyata paham sekali dengan kegundahan di hatinya saat ini.
Ayah menatap Shanum, wajahnya terlihat serius. "Princess, Ayah mengizinkan, tapi..., sebentar, jangan potong dulu ucapan Ayah!" Shanum baru saja akan membuka mulutnya, seketika mengatupkannya kembali mendengar ucapan ayah.
"Shanum, Ayah ada syarat, dan syarat ini tidak bisa ditawar. Pertama, Ayah mau kamu pergi dengan sahabat-sahabatmu, Kedua, seluruh akomodasi ayah yang atur, hotel, Tour Guide, dan lain-lain. Ketiga, Ayah minta daftar tempat-tempat yang akan kalian kunjungi, Keempat, Ayah mau selama di sana, setiap hari kamu harus Vicall Ayah atau Ibu, Kelima, tidak boleh keluar malam, kecuali hal yang mendesak, Keenam, tidak pergi ke klub malam atau kegiatan lainnya yang membahayakan, Ketujuh, jika ada hal yang mencurigakan segera hubungi Ayah.
Paham, Princess!" Ayah menatap Shanum dengan lekat. Shanum tampak terperangah, kemudian menggelengkan kepalanya. Tidak percaya dengan syarat-syarat Overprotective ayahnya itu.
Bagaimana nanti dia mengatakan syarat-syarat yang begitu banyak itu kepada para sahabatnya. Habis sudah, siap-siap panas kupingnya dijadikan bahan ledekan. Shanum mengusap wajahnya, tampak menarik napas dalam.
Kemudian Shanum menatap wajah ayah dan ibunya dengan tampang memelas. Ibu tampak tersenyum miris dan ayah masih dengan tatapan tidak mau dibantahnya itu. "Baiklah Ayah, Shanum akan menurut. Cuma sedikit saja minta keringanan, boleh ya, please..." Shanum masih menampakkan wajah memohon.
Ayah menggelengkan kepalanya, tatapannya terlihat tegas. "Bu, setidaknya boleh ya Shanum tidak setiap hari Vicall. Malu Shanum sama Farah dan Diva." Shanum melihat Ibu dengan mata memohon pertolongan. Raisa merasa tidak tega mendengar permohonan putrinya. Akhirnya dia menoleh ke arah suaminya, memegang tangannya dan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum memohon kebijaksanaannya.
Ayah menghembuskan napasnya, "Baik, kalau kamu malu, Ayah saja yang Vicall kamu. Itu pun jika Ayah atau Ibu kangen saja." Mendengar ucapan Ayahnya perlahan, wajah Shanum berangsur cerah, terbit senyum di bibirnya. Kemudian ia memeluk keduanya, mengucapkan terima kasih dan berjanji untuk menjaga dirinya selama di sana.
Shanum pamit kembali ke kamarnya. Namun langkahnya ditahan ibu. Ibu mengajak Shanum untuk kembali duduk. "Nak, ada satu hal lagi yang perlu Ibu ceritakan padamu. Ini perihal kejadian setelah kelahiranmu. Ibu melihat ke arah Shanum, menunggu reaksinya. Shanum memperhatikan dengan kening berkerut, namun tetap serius mendengarkan setiap ucapan Ibu.
"Hari itu, Ibu terpaksa melahirkan di daerah yang jauh dari rumah sakit. Ibu menemani Ayah meninjau ke lokasi proyek yang terdapat di salah satu daerah di Kalimantan. Saat itu, perkiraan kelahiranmu seharusnya masih dua bulan lagi.
Namun ternyata, Ibu harus melahirkanmu saat usia kandungan masih berusia tujuh bulan. Ibu terjatuh saat mau keluar dari kamar mandi. Ketika itu Ayah sangat panik, karena air ketuban Ibu juga pecah." Ibu menatap ayah dengan pandangan lembut.
"Ibu terpaksa di bawa ke dukun beranak yang biasa membantu kelahiran bayi di wilayah itu.
Masih Ibu ingat, saat kau keluar dari rahim Ibu, kamu menangis kencang dan tubuhmu bersinar terang. Seperti ada lingkaran cahaya yang melindungi di sekelilingmu.
Dukun beranak yang membantu proses kelahiranmu langsung kaget. Untung saja dia tidak menjatuhkanmu. Dia langsung menyerahkanmu kepada ayah. Seakan-akan takut memegangmu lebih lama. Kemudian dengan wajah takut ia pamit pergi, bahkan menerima bayaran dari kami saja dia tidak mau." Ibu tampak tersenyum geli.
"Saat itu Ibu masih lemas, tidak bisa langsung menggendongmu. Untunglah Ayah luar biasa tenang, ia membersihkanmu yang masih berlumuran darah. Memakaikan baju, dan menyelimutimu." Ibu bercerita sambil memandang jauh ke depan. Seakan-akan peristiwa itu tergambar nyata di pelupuk matanya.
"Ayah sampai menangis terharu melihatmu saat itu Princess, kau adalah cahaya hidup kami. Kau begitu bersinar, cantik sekali." Aku terpana mendengar cerita Ibu dan Ayah. "Maksud Ibu dan Ayah, saat aku lahir ada cahaya begitu di tubuhku. Kok bisa? Ayah dan Ibu tidak takut?" Aku menuturkan keherananku.
Raisa dan Dimas berpandangan, dan tertawa bersama. Shanum tambah bingung melihat perilaku kedua orang tuanya itu.
"Mungkin saat itu yang ada di pikiran kami lebih kepada rasa syukur kau lahir dengan selamat, meski prematur. Tidak terlalu mempermasalahkan tentang cahaya yang muncul itu. Yang ada di pikiran kami saat itu, hanya segera membawamu ke rumah sakit terdekat untuk di periksa Dokter. Ayah khawatir karena kau lahir prematur, Princess," Ayah menjelaskan lebih lanjut.
"Terus sampai kapan cahaya itu ada di tubuhku saat itu?" Shanum semakin penasaran dengan kelanjutan cerita Raisa dan Dimas. "Baik, Ibu lanjutkan ya. Jadi setelah Ibu menyusuimu cahaya itu secara ajaib menghilang. Ibu juga tidak tahu penyebab dan alasan cahaya itu berhenti berpendar. Mungkin karena kamu sudah tidak menangis, atau karena sebab lainnya. Yang kami tahu setelah cahaya itu tidak bersinar lagi dari tubuhmu. Kami jadi dapat melihat tanda lahir unik di telapak tanganmu."
Shanum tersenyum sambil mengusap tanda lahir yang ada di telapak tangan kanannya, letaknya persis di bawah jari manisnya. "Tanda ini memang unik, bentuknya mirip seperti kelopak bunga," ucap Shanum lirih. "Jadi kau sudah tahu rahasia kelahiranmu, Princess. Ayah dan Ibu sudah menceritakannya. Bagi kami, seperti apa pun kau terlahir ke dunia, kau tetap anak kami. Kami akan selalu sayang, dan melindungimu." Raisa dan Dimas menatap penuh sayang kepada Shanum. Mata Shanum berkaca-kaca, merasa terharu mendengar ucapan orang tuanya. Kemudian ia langsung memeluk erat keduanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
Samy Noer
Shanum, Isma mampir ya
2022-05-23
1