Wanita Penguasa Klan Altan
Shanum tersentak bangun. Sekujur tubuhnya penuh dengan peluh. Dia mengusap wajahnya, dengan tubuh masih gemetar, detak jantung yang berpacu cepat, terasa nyeri menghentak dada. Shanum menatap ke satu titik, pandangannya masih tidak fokus, bayangan mimpi itu masih segar di dalam ingatannya. Ketakutan, rasa itu hidup, bernapas, dan bersemayam dalam dirinya!
*Empat lelaki, kokoh seperti batu, mengikuti gadis itu perlahan-lahan dari arah belakang. Ada sesuatu yang berbeda dari tingkah mereka. Jalan mereka bagai tak berpijak di tanah, seakan-akan melayang.
Seandainya Shanum mampu berteriak memperingatkan gadis itu. Sayangnya dia tak dapat melakukannya. Sudah dia coba berkali- kali untuk berteriak. Tapi tidak ada satu suara pun yang keluar dari bibirnya. Shanum laksana patung beku yang hanya dapat mengamati tanpa berbuat apa-apa*.
Para lelaki itu telah memperpendek jarak antara mereka dan gadis itu. Tapi mereka tidak mempercepat langkah. Shanum memusatkan perhatian ke wajah mereka, menduga akan mendapatkan suatu bentuk emosi.
Wajah-wajah yang tak berekspresi, tatapan mata yang kosong. Dia tidak tahu mereka adalah manusia atau bukan. Mungkin itu hanya akibat aura kosong yang menyelubungi tubuh mereka dengan janggal.
Gadis itu sepertinya menyadari. Dia berlari, tetapi mereka membuatnya terpojok sebelum ia mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Meskipun para penyerang itu masih terkesan tenang, langkah mereka semakin cepat saat mendekati gadis itu.
Penerangan yang menyinari tempat kejadian hanya sebentuk obor yang terpasang di samping kiri dan kanan bangunan yang terbuat dari batu dilapisi tanah liat.
Gadis itu terantuk, lalu jatuh. Shanum menahan napas. Salah satu penyerang tertawa seperti segerombolan orang sinting. Mereka berada di dekat gadis itu. Cukup dekat sehingga bau mereka pastilah mengelilinginya. Dia dikepung.
Mereka mengelilinginya, dan Shanum berharap dapat membantunya. Tangan dan kakinya tanpa sadar dalam posisi siaga, siap mengeluarkan jurus-jurus bela diri yang pernah dipelajari.
**Gadis itu gemetar, dan berusaha bangkit dari tanah. Lengannya yang terkesan rapuh sebenarnya agak kekar, dan tampaknya ia akan berhasil berdiri. Shanum merasakan kesenangan kecil merasukinya saat itu, namun gadis itu tidak bergerak cukup cepat, dan sepatu salah satu penyerang yang menekan punggungnya, membuatnya kembali terhempas ke tanah.
Shanum bisa membayangkan betapa sakitnya hidung dan bibir gadis itu saat mencium tanah yang berisi tonjolan bebatuan. Dia berjuang melawan lelaki itu tapi tak ada kemajuan**.
Mereka tetap menahannya di tanah. Gadis itu mencoba memberontak, dan mendapatkan pukulan dari salah satu penyerang.
Sekarang, Shanum hanya bertanya-tanya apakah mereka akan menghabisi gadis itu atau menodainya, dan kemudian bertanya-tanya kembali, apakah kedua hal itu akan ada bedanya. Salah satu pria memukul tengkuk sang gadis, dan gambar yang Shanum lihat berganti.
**Saat ini gadis itu terduduk di lantai dalam sebuah ruangan mirip seperti penjara, yang berbeda adalah tidak ada jeruji dan pintu besi di sini. Tangan gadis itu terikat di sela-sela dinding yang terbuat dari bambu.
Keseluruhan ruangan berbentuk bulat, seperti sebuah tenda besar yang sangat kokoh, dengan rangka bambu sebagai penopang. Wajah gadis itu menunduk, tubuhnya terlihat lemas, tidak ada pergerakan, kecuali suara napasnya yang terdengar teratur**.
**Shanum menoleh, mendengar suara-suara, ada yang melangkah masuk. Dia melihat seorang wanita berjalan masuk bersama dengan seorang pria. Bukan pria penyerang tadi, pria dengan tampilan berbeda.
Mereka mengenakan pakaian yang terlihat kuno dengan model kimono putih dengan nuansa warna-warni. Mereka berwajah ras Mongoloid, kulit kuning langsat, rambut kaku dan bermata sipit. Sebenarnya zaman apakah saat ini? Mengapa mereka terlihat seperti pemain film seri kolosal lawas, yang sering tayang di televisi**?
Wanita itu lantas mendekati gadis itu. Dia mendongakkan wajahnya, menarik rambutnya, dan meludahinya. Gadis itu sontak terbangun sambil merintih. Wanita itu membisikkan sesuatu di telinga sang gadis, dan mendapatkan reaksi yang tak terduga, gadis itu seketika meneteskan air matanya sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali.
*Pria yang datang bersama wanita itu, sedang berdiri mengamati, tiba-tiba berjalan mendekat. Dia mengambil sebilah belati di lipatan kimononya. Kemudian memberikannya pada wanita itu.
Shanum sekejap memejamkan mata, dan menggigit bibir, tatkala melihat belati itu menyusuri pipi mulus sang gadis. Perlahan belati itu menyayat, mulai dari bawah dagu hingga menuju ke pipi kiri atas. Kemudian berlanjut kembali di pipi sebelah kanan*.
Sungguh penyiksaan yang mengerikan. Gadis itu menjerit, darah perlahan-lahan menetes. Mengalir menuruni kedua pipi, dan bergerak perlahan. Wanita itu tersenyum sadis, kemudian menjilat bilah belati yang berlumuran darah. Setelah itu ia tertawa geli, tawanya membahana ke seluruh ruangan.
Shanum merasa bulu kuduknya berdiri, pipinya terasa berkedut nyeri, ikut merasakan sakitnya. Denyutnya bahkan sampai terasa ke dalam kepalanya, membuat pening. Luka terbuka di pipi gadis itu juga menimbulkan rasa mual yang disebabkan oleh rasa takut.
*Kemudian gambar mulai mengabur, pertanda pergantian babak dari mimpi itu. Shanum di hadapkan pada situasi terang benderang. "Dimanakah aku? Situasi ini baru, sekelilingku terlihat penuh rumput hijau kecoklatan. Ah, aku melihat kembali ada orang yang berjalan mendekat," batin Shanum.
Sepasang pria dan wanita melangkah berdampingan. Bukankah itu adalah gadis tadi? Wajahnya sama, meski di sini wajahnya tampak cantik berseri-seri*.
Gadis itu tersenyum malu-malu. Sedang berbincang dengan pria tampan di sampingnya. Rambutnya panjang melewati punggungnya. Seuntai rambutnya menyentuh matanya yang berbentuk seperti mata kucing, mencuat di ujung mata. Kulitnya putih bersih, hidungnya mungil, bibirnya tipis dan berwarna merah alami. Ada lesung pipit menghiasi kedua pipinya.
*Pria itu lalu mengajak gadis itu untuk duduk di rumput. Mereka duduk berhadapan dan berbincang dengan bahasa yang tidak Shanum mengerti.
Pria itu memegang tangan sang gadis, mengangkat punggung tangannya ke arah bibir.
Kemudian mengecupnya satu persatu. Tatapan sang pria terlihat teduh ke arah gadisnya. Sepertinya mereka adalah sepasang kekasih. Si gadis agak menunduk, tampak tersipu malu-malu. Semburat merah tampak hingga ke telinganya*.
Shanum memang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi melihat gestur tubuh, tatapan keduanya, dan senyum di wajah mereka, ia mengerti, keduanya berhubungan sangat dekat. Keduanya pasangan serasi, si wanita cantik, prianya juga tampan. Sang pria memiliki bola mata coklat keemasan, yang terlihat bersinar dan indah. Mata itu memperlihatkan kelembutan tak terkira untuk sang wanita.
Shanum jadi malu sendiri melihat kemesraan pasangan di hadapannya ini. Dia mengakui, bahwa ia belum pernah jatuh cinta. *Menurutnya cinta memiliki banyak misteri. Dari cinta melahirkan mereka yang begitu dahaga untuk membentuk ikatan, dengan seseorang yang bisa mereka sebut sebagai 'belahan jiwa'.
Menjalin cinta berarti menjadi segalanya bagi sang kekasih. Dunia selebihnya menjadi tidak berarti. Shanum lebih suka hal yang lebih sederhana, dan apa adanya. Dia menikmati berteman dengan banyak orang, dan tidak mau terlibat lebih jauh dengan para prianya. Baginya cinta untuk saat ini tidak ada dalam kamus hidupnya.
Saat sedang asyik dengan pikirannya sendiri, gambaran di hadapan Shanum tanpa disadari telah berubah. Sekarang Shanum berada di suatu tempat yang gelap. Tidak ada cahaya setitik pun. Indera pendengarannya langsung waspada. Untuk berjaga-jaga akan kemungkinan terburuk.
"Shanum." Dia memejamkan matanya, meski sebenarnya ia tidak dapat melihat. Namun saat mendengar ada suara lirih yang memanggil namanya, secara otomatis mata itu menutup. Bulu kuduknya pun mulai berdiri. Di tengah kegelapan yang pekat, Shanum mulai takut, dirasakan udara disekelilingnya *terasa dingin.
"Shanum" suara itu terdengar lagi. Biasanya dia tidak pernah bisa berinteraksi dengan siapa pun dalam mimpi, namun mengapa sekarang berubah? Apa pemicunya? Suara tadi kembali memanggilnya. Shanum mencoba menutup telinganya dengan kedua tangan. Namun tetap saja suara itu bergema di kepalanya. Siapapun itu mencoba masuk ke dalam kepala Shanum. Mencoba mendapatkan reaksinya.
"Tutup mulut. Siapa kau? Jangan membuatku takut!" jerit Shanum. "Jangan takut, aku adalah Sarnai." Suara itu seperti berbisik, dan membuat Shanum merasa semakin tidak bisa bernapas. Apakah dia akan mendapatkan serangan panik? "Tenang Shanum, tarik napas dalam-dalam, jangan panik." Dia mencoba menenangkan dirinya.
"Shanum, carilah, temukan aku." Kemudian hening, suara itu tidak terdengar lagi. "Hei, apa maksudmu? Jangan berteka-teki..." Tidak ada jawaban, tetap sunyi. Yang terdengar hanya suara napas Shanum, menyatu dalam alunan kegelapan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments