Kira-kira sekitar dua bulanan berlalu dari semenjak kejadian Devi membanting vas bunga. Secara kasat mata, situasi telah sepenuhnya pulih. Agus sudah kembali berbisnis dengan tenang, Intan mengurus ***** bengek rumah tangga, Sari dan Devi pun telah selesai menempuh ujian semesternya masing-masing. Tidak ketinggalan Koesman dan Marta yang sudah masuk tahap bincang-bincang tanggal pernikahan. Indah semua tampaknya. Begitu tentram, begitu nyaman. Tapi itu yang tampak... semuanya bisa sangat berbeda dengan yang segala sesuatu yang tidak nampak.
“Ayah, kita jadi kan ke Semarang lusa?” Sari menagih janji.
Agus mengangguk tersenyum.
Agus sekarang banyak senyum dibanding dulu. Beban berat yang sekian lama ditanggungnya itu telah dia letakkan. Tidak ada rahasia kelam lagi yang mesti dia sembunyikan dari anak-anaknya. Semua sudah tahu, semua sudah jelas. Enteng batin terasa, semangat kerja pun menjulang. Ini mungkin salah satu “faktor dalam” pemicu kenaikan keuntungan Gus Galle & Ritz dua bulan terakhir ini.
“Devi bisa ikut?” Agus bertanya.
“Terakhir ditanya sih bisa katanya. Nanti coba aku tanya lagi.”
“Kalian atur sajalah. Ayah ikut jadwalnya.”
Sari tersenyum. “Terima kasih, Ayah...,” dia mencium pipi ayahnya lalu balik ke kamar sambil berlari-lari kecil. Riang, seperti gadis kecil. Padahal, sudah gede.
Agus menghela napas. Bahagia terasa merayap dalam dada, bukan belum pernah dicium Sari, tapi yang ini kan lain karena sudah tidak ada rahasia.
Intan muncul membawa sepiring mangga yang sudah dikupas.
“Mas, kata Sari kita jadi ke Semarang, ya?”
Agus mengangguk lagi, “Tergantung anak-anak. Kita mah nurut saja.”
Intan manggut-manggut, “Tapi, Mas, benar kan makam ibu di sana ada yang ngerawat?”
Bukan meragukan keterangan suaminya. Cuma Intan memang tidak punya gambaran. Selama lebih dua puluh tahun ini dia tidak pernah ziarah ke makam ibunya. Agus pun tidak pernah mengajaknya ke sana. Suaminya itu bahkan tidak pernah terdengar berucap “Asih”. Seolah tidak pernah ada seseorang yang bernama Asih di keluarga ini.
Luar biasa rapat memang Agus menyimpan rahasia itu. Maksudnya untuk kebaikan anak-anak. Tapi, terbongkar juga akhirnya. Untung sekarang suasana sudah reda dan kondisinya malah membaik menurutnya. Seperti kata pepatah, “Badai pasti berlalu”. Iyalah, masak badai terus-terusan? Cape deh.... Masalahnya, setelah badai berlalu kapalnya masih ada nggak? Kalau kapalnya ikut hancur, ya sama juga bohong. Syukurlah bahtera Agus ternyata masih tegak berlayar lengkap. Kesannya malah semakin kokoh.
Agus mencomot mangga pakai garpu, lalu memakannya.
“Aku bayar Pak Komar untuk merawat. Dia penjaga makam di situ. Selama ini kerjanya bagus, bisa pegang amanat. Terakhir kali aku ziarah beberapa bulan lalu, rapi dan bersih. Mudah-mudahan pas nanti kita tengok juga begitu.”
“Nggak ditelepon dulu Pak Komarnya sekarang?”
Agus tertawa kecil, “Mana ada telepon di kuburan.”
“Ke rumahnya?”
“Rumahnya ya di kuburan itu.”
“Oo..”
“Sudahlah, tenang saja, aman.”
Intan tersenyum lega. Lalu, duduknya bergeser menyandar ke bahu suaminya. Potongan-potongan buah mangga itu disuapkan ke Mas Agusnya. Mau pula Agus diperlakukan begitu. Tidak sadar mereka kalau Sari yang barusan dari kamar mandi memperhatikan. “Adik tiri” Intan itu tersenyum. Ada-ada saja kelakuan ayah dan “anak” di sana.
Besoknya...
“Bener nih nggak bisa ikut?” tanya Sari.
“Iya, Mbak. Mendadak jadwal wawancaranya dimajukan. Tim liputan berita kampus minta begitu. Terpaksa kita besok sudah harus berangkat.”
Sari kelihatan kecewa.
“Mbak berangkat aja, udah kelamaan ketunda. Nanti saya ikut yang kapan lagi mau ke sana. Masih banyak kesempatan, kan?”
“Liputanmu itu berapa lama, sih?”
“Tidak bisa ditentukan, Mbak. Tergantung dengan informasi yang didapat sudah cukup atau belum. Kita kan cuma ikutan, sambil belajar. Bisa cepat bisa juga lama. Soalnya tempat liputannya ada banyak.”
Sari manggut-manggut. Kelamaan kalau menunggu yang tidak pasti ini. Mending kalau tepat, giliran molor kan nyebelin. Soalnya, sudah tidak tahan Sari memendam rindu ingin segera “jumpa” ibunya.
“Jadi, nggak apa-apa nih kamu nggak ikut sekarang?”
Devi mengangguk datar, “Gampanglah. Nanti kalau memang perlu banget biar aku ke Semarang sendiri. Nggak jauh juga dari sini....”
Sari agak terkesiap. Ucapan adiknya barusan normal secara logika, tapi kok terasa lain. Dia pun memperhatikan Devi yang sedang mempersiapkan apa-apa yang mesti dibawa untuk liputan itu. Tidak tampak sesuatu pada ekspresinya. Tenang seperti yang sudah-sudah. Teramat tenang. Seperti air.
Benar, Devi tidak bisa ikut karena besoknya, sekitar pukul enam pagi, Dini dan Nina sudah datang menjemput. Intan dan Agus yang kebetulan sedang duduk di teras, menyambut ramah kemunculan sahabat putri mereka. Di kampus, tiga serangkai cantik ini sering dicandai “three musketeer” oleh teman, temannya.
Bincang-bincang ringanlah mereka di situ sambil menunggu Devi.
“Liputan apaan sih, Din?” tanya Intan.
“Ekskursi, Tante,” jawab Dini.
“Apa itu? Bikin kursi?” Intan bertanya lagi.
Serentak mereka tertawa. Termasuk Agus yang sebenarnya juga tidak tahu. Cuma, jelas bukan bikin kursi.
“Anu, Tante, liputan tentang wisata alam begitu,” Dini mencoba menjelaskan. Entah Tante Agus jadi tahu atau malah tambah bingung.
“Oo, nggak ada hubungannya sama kursi, ya?” masih kursi juga Intan.
“Ada, Tante...,” Nina menyambar.
Semua menoleh.
“Duduknya di kursi waktu wawancara, hehehe....”
Tertawa lagi semua.
“Sudah, Bu, jangan tanya-tanya. Nggak kuat otak zaman kita ngelawan otaknya anak-anak sekarang. Nanti malah malu-maluin...,” Agus nyeletuk ringan.
Tertawa lagi, tertawa lagi.
Tapi, Dini memperhatikan. Tumben Om Agus bersuara? Biasanya kan diam dingin. Paling banter meringis dikit kalau jumpa mereka di sini. Dua bulan tidak main ke rumah Devi, tahu-tahu ada kemajuan signifikan seperti ini di sini.
Pancing ah.... Coba, ngobrol nggak?
“Om, kemarin saya main ke galeri...,” Dini pun ngibul.
“Oh ya? Kok nggak ketemu sama Om?”
Nah lo, untung sigap, “Nggak pas kemarin sih. Tiga hari lalu.”
Agus manggut-manggut, “Mungkin Om sedang keluar. Ada apa, Din?”
Busyet, benar ngobrol cuy....
“Nganter Mas Yudi, perlu katalog apalah katanya gitu.”
“Oo...,” Agus mengangguk-angguk. “Kalau nanti perlu lagi, langsung saja ke ruangan Om. Tahu, kan?”
Dini tersenyum puas. Terbukti ada kemajuan.
“Iya deh, Om. Nanti saya bilangin ke Mas Yudi.”
Agus balas tersenyum manis.
Dini pun makin terpesona. Baik juga ternyata bapaknya Devi. Devi muncul. Tiga sahabat itu pun pamit. Devi menyalami dan mencium tangan kedua orang tuanya. Dini dan Nina juga ikutan. Sumpah, baru itu sekali-kalinya Dini dan Nina sempat mencium tangan Om Agus. Hebatnya, Om Agus juga mengucek-ucek sayang rambut mereka berdua. Sama seperti ke Devi. Gejala apa ini? Apa kiamat sudah dekat?
“Dev, ayahmu baik ternyata, ya?” Dini membuka obrolan di perjalanan.
“Eh, iya lho. Tumben Om Agus.... Sampai kaget aku,” Nina menimpali.
Devi tertawa ringan saja. Tidak ada komentar.
“Kenapa ya, Dev?” Dini mengejar.
“Tahu tuh. Lagi senang aja mungkin,” jawab Devi datar.
“Yee, kamu. Kalau ditanya jawabnya gitu deh...,” Dini Protes.
Devi meringis, “Ya habis aku mesti jawab apa? Kenapa nggak tanya langsung tadi ke ayahku?”
Nina terkikik. Dini agak manyun. Benar juga sih yang dibilang Devi barusan.
“Jangan marah dong, Sayang. Nanti aku tanyain deh ke Ayah. Ayah, Dini demen sama Ayah tuh...,” Devi menggoda sahabatnya.
Nina ngakak. Dini tambah manyun. Devi cuek bebek...,
Selanjutnya, perbincangan beralih ke studi “bikin kursi” ini. Devi yang mengalihkan. Terus mantheng topik itu sampai tiba di kampus. Devi tidak memberi celah kepada dua sahabatnya untuk ngulik ayahnya lagi.
Bukan apa-apa. Jelas gembira ayahnya karena hari ini mereka berangkat sama-sama menengok kuburannya Asih yang ganjen itu. Ibunya ibu dan ibunya Mbak Sari. Neneknya Devi juga sih. Cuma Devi malas mengakuinya. Tidak membanggakan jadi cucunya Asih yang doyan selingkuh.
Sumpah nggak.... Jijik iya....
***
Satu setengah minggu ternyata. Begitu sampai rumah usai “bikin kursi” yang lumayan melelahkan itu, Sari langsung nyembur berkisah Semarang. Kesal sebenarnya Devi, tapi dia tidak hendak melukai perasaan kakaknya yang sedang gembira karena berhasil melihat kuburan ibu kandungnya.
Agus sedang di galeri. Intan sedang ke pasar. Cuma ada Sari di rumah saat Devi datang. Dia sedang liburan semester seperti juga Devi. Tidak ada pembantu karena Intan tidak merasa perlu pembantu untuk menangani rumah mewah segede itu. Banyak tetangga yang salut, walau ada juga sih yang sirik. Orang kaya tapi tidak mau bayar pembantu, katanya. Suka-sukalah. Urusane dewe-dewe.
“Benar, Dev, Ayah nggak bohong bilang merawat kuburan ibu. Bersih, rapi. Tadinya Mbak kira bakal lihat kuburan misterius...,” Sari nyerocos.
Devi manggut-manggut saja sambil menyangga dagunya di tepi tempat tidur.
“Coba lihat...,” Sari memperlihatkan foto kuburan itu.
Devi melihat-lihat sebentar tanpa komentar. Benar, bersih dan rapi. Terus apa? Kalau memang bersih dan rapi, apa berpengaruh ke statusnya sebagai “anak haram”? Apa akan bersih seperti kuburan itu?
“Bersih, kan?” tanya Sari.
Devi mengangguk saja.
“Kalau ini rumah kita dulu di Semarang. Sekarang jadi kantor notaries,” Sari kembali memperlihatkan foto-foto.
Devi terpaksa melihat lagi. Bagus, rumah model dulu. Tapi, buat apa? Sejak kecil Devi tahunya rumah ini. Apa perlunya segala mantan rumah di Semarang sana? Emang notarisnya bisa untuk ngurus “pemutihan” status haram?
Devi pun mengembalikan foto-foto itu tanpa komentar.
“Gimana, Dev?” Sari malah nanya.
“Apanya, Mbak?”
“Rumahnya?”
“Yaa, baguslah. Klasik.”
Sari mengangguk-angguk senang. Dia memandangi lagi foto-foto rumah tadi. Kata ayah dan ibunya, dia dulu sempat tinggal di rumah itu sebentar sebelum pindah ke Jogja.
“Sudah, Mbak?”
“Belum, masih ada lagi dong. Nih...,” kembali Sari menyerahkan foto, tapi cuma selembar yang ini. Wajahnya tersenyum kecil.
Terperanjatlah Devi. Harusnya tidak kaget karena “sudah tahu”, tapi ternyata mencengangkan juga. “Siapa ini, Mbak?” dia bertanya walau telah menduga.
“Ibuku...,” jawab Sari bersemangat. Senyumnya makin lebar.
Devi memelototi foto repro itu. Sialan! Betul-betul mirip dengannya. Sampai ke lesung pipit tunggalnya di pipi kanan itu.
“Kita singgah di tetangga rumah Semarang. Ternyata dia masih kenal ayah; dan masih menyimpan beberapa foto ibu yang diambil waktu acara-acara RT di situ. Dia bilang dekat dengan ibu. Katanya, ibu orangnya baik....”
Devi mendengus, tapi Sari tidak memperhatikan.
“Nanya-nanya nggak orang situ?”
“Nanya apa, Dev?”
“Nanya siapa istri ayah sekarang mungkin...?”
Kening Sari berkerut. Suara Devi barusan terdengar bergetar.
“Nanya nggak, Mbak?” tambah terasa getarannya.
“Nggak...,” Sari menjawab. Matanya terus memperhatikan Devi.
“Kok nggak, sih? Aneh?”
“Nggak tahu. Kita juga sebentar aja di sana. Aku pinjam satu fotonya, repro, terus besoknya dikembalikan sambil pulang.”
“Eemm...,” Devi menggeram pelan. Napasnya terlihat agak naik turun.
“Devi, kamu nggak apa-apa?”
Devi menggeleng cepat, “Sudah ya, Mbak, aku capek. Pengen tidur.”
Sari masih memandang lekat adiknya. Tadinya, habis cerita Semarang, dia mau nanya kisah “bikin kursinya” Devi. Gantian. Tapi, karena cuaca tiba-tiba terasa berangin kencang, lebih baik ditunda. Masih banyak waktu.
“Baiklah, tidurlah, Dev. Nanti ada waktu kita ngobrol lagi.” Devi mengangguk ala kadarnya. Foto repro itu dikembalikan dengan kasar. Untung tidak robek.
Sari terkejut, lalu sadarlah dia kalau adiknya belum sepenuhnya sembuh. Sari bergegas keluar dari kamar Devi, pintu ditutup pelan. Di luar, dia merenung. Akhirnya, memutuskan untuk menyimpan sendiri dulu dugaan ini. Jangan sampai kembali geger gara-gara salah bertindak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments