Dua setengah bulan kemudian, semuanya masih baik-baik saja. Perburuan barang antik Agus akhirnya selesai. Barang-barang yang diminta oleh bule itu didapat, sekalian beberapa barang istimewa lain yang akan dia jual kepada mereka. Pasti laku, soalnya langkah dan bagus. Dalam beberapa kepulangannya ke Nganjuk selama sisa kurun waktu perburuan itu, Marta masih saja bercerita tentang ‘peperangan’ rumah tangga sahabatnya yang tidak kunjung selesai itu. Agus menghela napas. Ah, Asih ‘gula aren...’
Semuanya berjalan dengan baik walaupun pernikahan Agus dengan Marta harus tertunda terus karena bisnis barang antik masih banyak yang meminta dan membutuhkan perburuan siang-malam.
Semuanya baik-baik saja. Sampai tiba-tiba hari itu...
“Agus...! Keluar kau, bangsat!” terdengar teriakan Winardi dari luar sana. Asih tersungkur di tanah karena sepanjang perjalanan diseret-seret Winardi seperti kambing saja.
Agus menggeram, lalu beranjak keluar dengan wajah amarah. Dari dulu dia tidak pernah takut dengan playboy saingannya itu. Walau berteman, beberapa kali mereka sempat bentrok. Sekarang bakalan kejadian lagi.
Sesaat Agus lupa. Lupa kalau dirinya adakah tunangan Marta dan sedang mempersiapkan acara pernikahan dalam seminggu dua minggu ke depan. Yang ada dalam benaknya itu hanyalah Asih.
“Agus...!” Pak Tulus berusaha menahan langkah anaknya, tapi percuma. Agus terus saja melangkah keluar. Terpaksa Pak Tulus pun ikut keluar.
Betapa terkejutnya Agus saat melihat kondisi Asih. Benar-benar ‘setan alas’ suaminya itu. Wajah Asih lebam-lebam berdarah, seperti maling yang digebukin massa. Rambutnya acak-acakan, habis dijambak. Baju terkoyak parah sampai BH-nya kelihatan. Kelihatan BH bukan hal yang keren seperti sekarang, ini benar-benar pelecehan. Asih tidak berdaya.
Beberapa warga kampung mengepung Winardi setengah lingkaran di belakangnya. Tidak ada keluarga Asih karena ayahnya sudah meninggal tiga tahun lalu, tinggal ibunya yang sakit-sakitan. Tidak ada kakak, tidak ada adik.
“Keparat! Lepaskan Asih!” bentak Agus.
“Kau yang keparat! Dasar perusak rumah tangga orang!” Winardi balas bentak. Tanpa ada rasa kasihan dia menarik dengan kuat ke atas rambut istrinya. Asih pun terangkat berdiri dengan menahan rasa sakit. Lalu, istrinya di dorong ke tengah arena. Asih menjerit keras, jatuh berguling di tanah kemudian diam terlungkup. Pingsan nampaknya. Semua mata terkejut...
Tanpa banyak bicara, Agus langsung berlari menerjang lawannya. Kardi ketarik maju. Para tetangga pun merangsek bersama-sama.
“Berhenti!” seru Agus. “Ini urusanku!”.
Langkah Kardi dan para tetangga yang ada di sana berhenti mendengar seruan tadi. Agus pun lanjut menerjang, Winardi sudah siap menanti. Maka, pertarungan hidup dan mati itu pun tidak bisa terhindar lagi. Golok saling menyabet liar, diiringi teriakan-teriakan tak menentu yang mengiris hati. Dua-duanya playboy, dua-duanya mahir silat. Satu perguruan dulu di Padepokan Ki Ageng walaupun tidak lama mereka berlajarnya, hanya menguasai teknik dasar tapi itu sudah sangat cukup. Jalanan tanah depan rumah Pak Tulus pun ngebul debu berterbangan.
Melihat ‘pertarungan’ sudah terjadi, yang artinya tinggal menunggu hasil, para tetangga pun menolong Asih yang telungkup tidak bergerak di tengah jalan itu. Debu tanah dari pertarungan antara hidup dan mati antara suami lawan ‘kekasihnya’ itu mengotori tubuh Asih. Belepotan tidak karuan wajah mantan ‘gula aren’ ini. Debu tahan tercampur merah darah yang mengalir.
“Cepat gotong ke dalam rumah...,” perintah Pak Tulus.
Para tetangga membopong Asih ke dalam rumah Pak Tulus. Dari kejauhan nampak Bu Tulus dan Marta berlarian menuju rumah. Lewat samping rumah, tidak lewat jalan depan yang sudah menjadi arena tanding itu.
“Kardi! Mana Kardi?” seru Pak Tulus.
“Ya, Pak...,” Kardi bergegas menghampiri.
“Kardi, kamu cepat cari Pak Gomad. Cari sampai ketemu. Kasih tahu kejadian ini. Cepat! Pakai motor!”
Kardi pun mengangguk. Dia mengambil kunci Ninja Agus dan langsung tancap gas mencari Pak Gomad. Beliau adalah Babinsa, bintara pembina desa. Anggota TNI yang ditugaskan membina desa. Semacam penjaga keamanan seperti itulah.
“Asih... Asih...,” Marta menerobos kerumunan. Terbelalak dia melihat sahabatnya yang tergeletak di atas sofa.
“Keluar, keluar.... keluar semua...,” seru Bu Tulus.
Para tetangga yang laki-laki segera keluar dari dalam rumah, termasuk Pak Tulus. Mereka sudah bisa merasa tenang karena ada Bu Tulus dan Marta yang lebih tahu menangani hal darurat Asih. Mereka pun bergegas kembali ke arena tanding. Belum selesai ternyata pertandingan itu. Belum ada yang kalah. Memang silat Ki Ageng tidak bisa diragukan lagi walaupun hanya dasarnya saja.
Untungnya Pak Gomad tidak susah ditemukan. Kardi ketemu di jalan tadi dan langsung lapor tentang kejadian ini. Babinsa itu pun segera mengontak polsek dengan HT-nya, lalu meluncur bersama Kardi ke tempat kejadian. Ninja pun dipacu cepat, tidak pakai rem, tancap gas terus. Sekalinya direm saat tiba di lokasi kejadian. Ciiittt...!
“Berhenti!” seru Pak Gomad keras. Namun, seruan itu tidak dihiraukan. Terpaksa dua tembakan pistol dilepaskan ke udara. Dor! Dor!
Belum ada yang berhenti juga para petarung itu, malah makin menjadi. Kerumunan warga segera membuka melihat kehadiran petugas Babinsa ini. Kala itu, tentara sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat, terutama di desa-desa.
“Winardi! Agus! Berhenti!” seru Pak Gomad lebih keras dan tegas.
Dor! Dor! Dor! Kembali tembakan peringatan dilepaskan.
Akhirnya, Agus dan Winardi sama-sama melompat mundur. Pertarungan pun berhenti, namun kedua mata masih berusaha untuk saling mengincar satu sama lain. Mereka bergerak memutar, dengan memainkan golok masing-masing. Melihat ada celah, Pak Gomad langsung melompat masuk di antara mereka tanpa takut. Bak net badminton beliau sekarang.
“Winardi! Agus! Berhenti! Atau saya tembak kalian berdua...!”
Winardi dan Agus sama-sama mendengus kesal. Tapi perlahan keduanya menurunkan golok masing-masing. Pak Gomad menghela napas lega. Di sana, Pak dan Bu Tulus ikut lega. Begitu juga Marta. Apalagi saat terdengar ruangan sirine polisi yang mendekat ke lokasi.
Pak Gomad terus berada di tengah suami dan ‘kekasih’ Asih ini sampai anggota polisi datang. Setelah para polisi mengamankan keduanya, barulah dia menyarungkan kembali pistolnya. Agus dan Winardi, berikut barang bukti dua bilah golok itu, akan dibawa ke kantor polsek setempat untuk dimintai keterangan.
Agus memanggil tunangannya sebelum mobil pick up dinas polisi itu membawanya. Marta segera menghampiri, matanya sembab menangis. Polisi pun memberi waktu kepada Agus untuk bicara.
“Jangan menangis, aku tidak apa-apa. Tolong Asih dibawa ke rumah sakit, dia butuh perawatan. Dia juga tidak salah. Bajingan ini yang biadab!” Agus menunjuk Winardi yang duduk berhadapan dengannya.
“Kau yang bajingan! Perusak rumah tangga orang! He, Marta calon suamimu ini selingkuh dengan istriku di hotel sewaktu dia ke Malang. Masak kamu sebagai calonnya tidak tahu...?!”
Terkejutlah Marta, wajah dan badannya serasa kesemutan.
Agus pun menyerang lagi, Winardi melawan. Maka, untel-untelan mereka di atas pick up itu. Untung para polisi dengan sigap melerai. Mobil pun segera beranjak dari lokasi. Meninggalkan Marta yang mematung terpana.
Mas Agus selingkuh? Dengan Asih?
***
Dan Marta pun membeku. Dingin tak terbayang. Seperti berdiri di tengah gurun es kutub utara. Agus gagal mencairkan kebekuan suasana hati tunangannya. Dia hanya diberi kesempatan bicara sekali selanjutnya pintu hati putri Pak Sarikun itu tertutup rapat entah di mana kuncinya sudah dibuang. Bahkan seolah sudah dilas paten, hampir tidak ada cela untuk membukanya lagi.
Asih belum sepenuhnya sembuh dari luka akibat perlakuan suaminya itu pun gagal untuk melunakkan hati Marta. “Aku yang salah, aku yang sudah menggoda, Mas Agus.” katanya memohon pengertian.
Marta diam tanpa ekspresi.
“Mengertilah, Marta. Maafkan Mas Agus, ini semua salahku. Jangan kamu sakiti dia, percayalah seburuk-buruk Mas Agus, jauh lebih baik daripada sebaik-baiknya Mas Winardi. Percayalah itu...” Asih memohon.
Marta masih diam. Hancur sudah hatinya, bahkan untuk dilem lagi pun tidak akan bisa.
Diam kemudian.
“Asih, aku di sini yang tersakiti. Kamu dan Mas Agus tidak akan paham dengan perasaanku.” kata Marta tegas sambil diiringi air mata yang turun membasahi pipinya. Marta pun beranjak masuk ke kamarnya. Tidak keluar lagi, walau di luar kamar Asih memohon-mohon.
Asih pun kembali ke rumah ibunya. Berjalan tertatih-tatih di tuntun Intan. Sakit di dada kiri akibat tendangan mantan suaminya seminggu lalu itu masih sangat terasa. Kata dokter, dua tulang rusuknya patah. Pak dan Bu Sarikun pun diam tidak menjawab salam saat Asih berpamitan tadi. Yang ada, mereka memandang muak kepadanya sampai lenyap di tikungan sana.
Sudah janda Asih sekarang. Setelah urusan dengan polisi tempo hari, Winardi langsung menalak tiga istrinya. Pakai gaya memaki-maki di depan banyak orang pula. Norak sekali. Tampak jelas dia hanya cari-cari alasan untuk kegagalannya dalam memimpin rumah tangga. Semua orang juga tahu kalau Winardi ini masih suka main perempuan walaupun sudah beristri. Apalagi Pak Karman, bapaknya Asih sudah meninggal. Maka bebaslah dia, tidak ada yang menghalangi. Giliran saja dia mendapati istrinya selingkuh, sekali, ngamuknya bukan main. Seolah dialah yang sangat-sangat tersakiti. Haduh...
Sementara itu, kebekuan hati Marta pun hal yang sangat wajar. Bayangkan, di tengah kebahagiaan yang tinggal selangkah lagi itu, tiba-tiba dia tertusuk oleh kenyataan bahwa calon suaminya telah ‘tubrukan’ dengan perempuan lain. Bukan sembarang perempuan pula. Asih... orang yang dia kenal selama ini, sahabat yang selalu dibelanya. Kalau perempuan itu bukan Asih mungkin tidaklah sesakit ini.
Sementara lainnya, Agus pun dilanda resah. Akhir-akhir ini dia sering terlihat termenung sendirian di tepian sungai. Di tempatnya dulu saat pertama kali ketemu dengan Marta. Hanya melamun tanpa ada alat pancing.
Kenapa semuanya seperti ini? Hampir tidak ada ruang gerak. Penuh tuduhan bersalah, dari segala arah.
“Bapak malu punya anak sepertimu...,” kata Pak Tulus. “Kamu kan tahu Asih itu istri orang.”
“Ibu, malu, Agus..., malu...,” Bu Tulus menimpali ucapan suaminya sambil mengusap-usap dadanya. “Lebih baik tidak punya anak sekalian!” lalu menangis lagi.
Agus terkejut, sangat terkejut.... Namun dia tetap diam, ekspresi wajahnya pun tidak berubah. “Lebih baik tidak punya anak...!” Tajam sekali ucapan ibunya ini, menikam tepat ke uluh jantung. Begitu dalamnya hingga menimbulkan luka yang tidak berdarah. Dalam gemuruh emosi yang menggumpal tahulah Agus bahwa dirinya tidak lagi dikehendaki. Dirinya telah dianggap mati...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments