“Maafkan, Ibu, Nak...,” Marta menangis di ruang tamu rumahnya.
Marta baru sadar sekarang kalau kisah kelam masa lalu yang dibuka ke Devi itu membuka tabir kalau Devi “anak haram”. Niatnya hanya ingin memberi tahu tentang kebenaran karena menurutnya Devi berhak tahu semua ini. Kini, semuanya malah menjadi masalah baru. Devi menjadi “anak haram” dan hubungan orang tua anak terancam hancur. Walau ini juga bagian dari kebenaran, namun sekarang Marta malah merasa sangat bersalah.
“Tidak apa-apa, Bu. Kebenaran memang harus dibuka.” jawab Devi santai sambil tersenyum kecut. Tidak ada air mata, tidak juga nada tertekan. Seolah, semua ini tidak pernah terjadi.
Marta memandang Devi, betapa terkejutnya dia saat melihat sorot mata Devi. Sorot mata siapa itu? Sorot mata yang sangat berbeda dari kemarin-kemarin, bahkan tadi sebelum Agus dan Intan datang. Devi yang lembut, yang kalem... yang ini tajam, dingin, dan... liar.
“Ada apa, Bu?” tanya Devi karena melihat Marta terus memandangnya terus.
“Kamu tidak apa-apa, Dev?”
Devi menggeleng pelan, “Semuanya sudah jelas kan, Bu? Anak haram? Mau diapain lagi?”
Kaget Marta mendengar kata itu keluar dari mulut Devi, “Yaa Allah, Devi, istighfar, Nak..”
Devi mengangguk-angguk saja. Tetap tanpa ekspresi.
Beberapa saat kemudian Devi pun pamit pulang. Marta melepas pergi cucu sahabatnya itu dengan hati yang gundah, air mata terus merembes di pipi.
“Jikalau kamu ada masalah, datanglah ke sini, Dev, rumah ini selalu terbuka untukmu. Ibu akan bantu sebisa mungkin...” kata Marta kemudian.
“Iya, terima kasih, Bu.” Devi tersenyum datar saja.
Mercedes pun kembali melesat kembali ke kandangnya. Marta terus memandang sampai mobil Devi menghilang di tikungan depan sana. Barulah dia masuk ke rumah dengan langkah lemah. Menangislah dia sejadi-jadinya. Tanpa suara...
Sementara itu di tempat kejadian, Pak RT masih siaga di rumah Pak Wadi, tetangga depan rumah Devi. Tadi, setelah Devi pergi begitu saja, Pak Agus berkata kepada mereka kalau ini hanya urusan keluarga biasa saja. Biasa soal anak gadis, katanya. Para tetangga pun maklum saja lalu mereka membubarkan diri. Tapi, Pak RT dan beberapa tetangga masih terus berjaga-jaga. Siapa tahu sewaktu-waktu Pak Agus membutuhkan bantuan.
Mobil Mercedes pun muncul, parkir di halaman dengan tenang. Tidak ada derum dan mendecit-decit lagi seperti saat pergi tadi. Devi turun dari mobil pun dengan tenang pula, dia berkata seperlunya kepada Sari dan ibunya yang panik menyambutnya, lalu melengos saja berjalan masuk ke dalam rumah. Ibu dan kakaknya mengikuti. Pak RT dan beberapa tetangga terus memperhatikan. Ditunggu beberapa saat, sepertinya aman-aman saja. Mereka pun membubarkan diri. Lagi pula mereka bukan intel yang harus memantau terus-menerus, atau satpam yang siap siaga menjaga keamanan. Biar Pak Agus sendiri yang menyelesaikan masalah rumah tangganya.
Saat masuk tadi, Devi sempat jumpa ayahnya di ruang keluarga. Agus menatap, Devi tidak mau kalah menatapnya. Tadinya Agus mau marah, tapi malah terkejut melihat sorot mata dingin penuh kebencian yang terpancar dari ekspresi putrinya itu. Agus gentar, sadar kalau putrinya itu telah tahu kisah kelam itu. Maka mantan playboy ini pun hanya sanggup menundukkan kepala. Devi pun mendengus, tadinya kalau ayahnya memarahinya, dia akan lebih marah. Devi pun beranjak masuk ke kamarnya.
Di dalam kamar, Devi duduk di sudut tempat tidur, mendekap kedua kakinya serta menyembunyikan kepalanya dibalik kakinya. Harusnya ada tangis, tapi air matanya tidak kunjung keluar juga. Perih memang perih, sakit hati pun masih menyayat, tapi Devi tidak merasa butuh cucuran air mata untuk itu semua. Buat apa? Menangis atau tidak, keadaan tidak akan berubah tetap saja haram. Apa dengan air mata yang tumpah membasahi pipi statusnya akan berubah menjadi “halal”? Kalau memang hal itu bisa, dia pasti akan menangis sejadi-jadinya, kalau perlu keluar air darah juga tidak masalah. Tapi itu tidak bisa kan? Jadi, buat apa hal sia-sia itu....
Saat menjerit dan membanting vas bunga di teras tadi, Devi merasakan ada secuil ‘kekuatan’, atau ‘semangat’, atau... apalah itu namanya yang merasuk di dalam jiwanya. Tiba-tiba saja dia merasa berani dan tegas untuk memprotes ‘label’ semesta yang telah mencapnya sebagai anak haram. Dalam hal yang lebih jelas, dia memprotes Tuhan... coba pikir saja, sholat, zakat, puasa sudah dikerjakan. Sedekah, senyum, baik hati, ramah, penyayang, pengasih, ikhlas, dan lain-lain juga sudah. Tinggal jadi hajjah saja yang belum. Dua puluh tahun lebih dia lakukan itu, tapi apa yang dia terima. Sebuah status hukum yang tegas, “Anak tidak pantas hidup di muka bumi...” kurang ajar, ini namanya ketipu sejak lahir. Apa-apaan Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang itu. Sialan...
Dari dalam kamarnya, Devi bisa mendengar pembicaraan yang sedang terjadi di ruang keluarga. Terdengar Sari menuntut ayah dan ibunya untuk menjelaskan semua permasalahan itu. Desi curiga ada sesuatu yang dirahasiakan. Sebuah rahasia yang bisa membuat Devi sampai berbuat seperti tadi. Jelas bukan masalah anak perempuan biasa, seperti yang dikatakan ayahnya pada Pak RT.
“Ayah, Ibu, ... coba jelaskan semua ini! Ada masalah apa ini?” tanya Sari.
Suasana hening sejenak.
“Sari, bukannya kami tidak ingin menjelaskan semua masalah ini, tapi ini demi kebaikan semuanya, terutama kamu dan Devi,” Intan mencoba memberi pengertian.
“Kalau memang ini memang baik, lantas kenapa Devi sampai bisa berbuat hal seperti tadi? Siapa juga Bu Marta? Kenapa ayah memarahinya? Apa salahnya dia?”
Agus menghela napas panjang. Intan menunduk lemas.
“Ayah, Ibu..., tolong jelaskan semua ini. Aku dan Devi akan menerima semuanya. Kami bukan anak-anak lagi.”
“Sari... Ayah tahu kalian bukan anak-anak lagi, tapi masalah ini sangat sulit untuk dijelaskan. Kita lupakan saja masalah ini, seperti kata ibumu ini demi kebaikan kita semua, kebaikan kalian juga.” kata Agus pelan.
“Ayah..., melupakan bukan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah justru akan semakin membuat rumit masalah ini.”
Intan terisak menatap suaminya. Agus hanya bisa menunduk.
“Ayah, Ibu...,” Sari masih meminta.
Intan diam, Agus pun diam.
“Baiklah, kalau Ayah dan Ibu tidak bisa menjelaskan, biar aku tanya Devi saja, dia pasti tahu sesuatu...,” kata Sari kemudian.
“Sari, jangan, Nak. Ibu mohon jangan semakin membuat rumit semua ini.” Intan memohon.
“Jadi, Ibu mau menceritakan semuanya?” mata Sari mulai berkaca-kaca. Ditunggu, ibunya tidak kunjung bicara, Sari pun beranjak melangkah menuju kamar Devi. Intan hanya bisa menangis. Agus ingin mencegah, namun itu percuma. Cepat atau lambat masalah itu akan terbongkar juga, akhirnya dia hanya bisa menenangkan istrinya. Kalut keduanya berselimut kabut yang kian pekat
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments