turun temurun

Tumindako kang becik marang sapada padaning urip, uga tumindako kang jujur marang gusti ngangga rasa kang ana ing rasa siro (berbuatlah baik kepada sesama manusia, juga jujur kepada Tuhan dengan rasa yang ada dalam badan lahirmu)

***

Malam kian larut. Keheningan menusuk ke relung hati. Inilah suasana malam hari di desa. Penduduk lebih memilih menyembunyikan diri dalam rumah dari pada harus keluar rumah. Mitos turun temurun akan ada hantu yang muncul saat malam hari menjadi salah satu faktor utama mereka untuk tetap diam di rumah. Kan tidak lucu malam-malam ketemu dengan makhluk seperti itu. Ihh ngeri...

Tidak lama, Asih pun terbangun. “Mas Agus...?” dia menyapa, lalu terlihat agak terkejut.

Agus dan Bu Karman sama-sama menoleh, lalu sama-sama tersenyum.

“Sini...” Agus menggeser duduknya, meminta Asih duduk di sebelahnya. Kebetulan kursi yang diduduki Agus yang panjang.

Asih terlihat agak ragu-ragu. Tapi, kemudian dia duduk di sana juga.

Bu Karman yang dari tadi sudah berkaca-kaca, sekarang sudah tidak bisa terbendung lagi air matanya melihat Agus dan Asih duduk berdampingan. Tapi, cepat-cepat dihapus dengan lengan bajunya.

“Ada apa, Mas?” tanya Asih.

“Nggak ada apa-apa kok. Aku jenguk kamu dan Intan. Sekalian nengok Ibu.”

Asih menghela napas. Bahagia dan khawatir bersamaan merayapi hatinya.

“Bagaimana, Bu...?” Agus bertanya lagi ke Bu Karman.

“Ada apa emangnya, Mas?” Asih penasaran, sedang terjadi pembicaraan apa antara Mas Agus dan Ibunya tadi.

“Asih, tadi Nak Agus bilang ke Ibu, dia hendak memintamu...” Bu Karman yang menjawab. Ditatapnya lekat putri tunggalnya itu.

Asih melongo. Benarkah ini ? Apa dia masih dipengaruh alam bawah sadarnya alias mimpi. Dia pun melihat ke arah Agus yang kebetulan juga sedang memandangnya. Langsung dag dig dug... terasa jantung berdebar. Dua-duanya.

“Maksudnya bagaimana ini, Mas Agus?”

“Ya..., kita nikah. Bagaimana, Asih mau? Kalau Ibu sih terserah kitanya bagaimana baiknya.”

“Terus Marta bagaimana, Mas?”

“Sudah selesai semuanya. Dia sudah tidak menganggapku lagi. Tadi aku dari rumahnya sebelum ke sini. Keluar kamar untuk menemuiku saja dia tidak mau. Aku kan sudah menjadi sampah sekarang.”

“Mas...” Asih memegang tangan Agus.

Agus menghela napas. “Orang tua dan Mbahnya, bilang aku ini sampah.”

“Tapi, Marta tidak mungkin menganggap Mas Agus seperti itu.” Asih membela sahabatnya.

“Semuanya sama saja. Kalau nggak, kenapa dia nggak mau menemuiku? Kalau aku bukan sampah, pasti dia keluar walaupun sebentar. Aku hanya ingin minta maaf. Kalau dia marah pun nggak apa-apa, aku akan terima semuanya. Tapi, ini apa?”

“Nak Agus, tidak boleh begitu. Janganlah terbawa emosi saat sedang begini,” Bu Karman menasehati.

“Maaf, Bu. Mungkin saya sedang lelah dengan semua ini.”

Bu Karman mengangguk-angguk paham.

“Jadi, bagaimana keputusannya?” Agus bertanya.

Asih diam menunduk sebentar, lalu mengangkat wajah memandang ibunya. Meminta pendapat. Bu Karman mengangguk pelan. Pelan sekali dan hanya Asih yang paham.

“Baiknya kata Mas Agus bagaimana?” tanya Asih. Dia ingin tahu rencana Agus tentang ini.

“Kita akan pergi dari sini. Sudah tidak ada tempat bagi kita di sini. Nanti kita akan mencari tempat baru dan menyusun kehidupan baru. Aku yang akan cari nafkah, sementara kamu jaga rumah sama mengasuh anak-anak. Begitu saja. Selanjutnya kita jalani saja. Oh iya, Ibu nantinya juga ikut saja dengan kita.”

Asih terisak. Dia setuju dengan rencana Agus itu.

“Bagaimana Asih?” Agus agak mendesak.

“Bu...” Asih memandang ibunya lagi.

Bu Karman memandang Agus dan Asih. Dua insan yang sudah dibuang oleh masyarakat. “Pergilah, Nak. Ibu merestui kalian...” kata beliau pelan tapi tegas.

Agus menghela napas lega, “Terima kasih, Bu, terima kasih sekali. Hormat saya setulus hati. Kenapa ibuku tidak bisa seperti ini? Begitu juga bapakku. Orang tua Marta juga. Mbahnya sekalian...!” suara Agus meninggi. Kelihatan jelas sisa emosinya.

“Nak Agus, tidak boleh seperti itu. Semua orang pasti ada kekurangan dan kesalahan. Tugas kita bukan mencacinya tapi menerimanya dengan lapang dada.”

Agus tertawa pelan. “Memang berbeda. Terasa sekali bedanya dengan di sini...” dia bergumam sambil mengangguk-angguk.

Bu Karman pun hanya bisa menghela napas.

“Jadi, ibu merestui hubungan kami?” Agus bertanya lagi. Dia membutuhkan ketegasan.

Bu Karman mengangguk mantap.

“Nah, restu sudah ada. Bagaimana, Asih? Sudah siap?”

Bibir Asih tampak bergetar, air mata bergulir turun jatuh dari kelopak membasahi pipi. Dia pun mengangguk tanda setuju.

Agus pun membeberkan rencananya. Mereka akan ke Semarang. Agus banyak teman di sana, yang pasti akan menolongnya. Ada juga rumah di sana yang bisa dia beli, atau dikontrak sementara. Berangkat langsung subuh ini, menggunakan mobil sewaan. Agus akan mengaturnya. Tapi...

“Kenapa, Bu? Lebih baik ikut dengan kami,” ajak Agus.

Bu Karman menolak ikut ke Semarang.

“Almarhum Mas Karman membawa Ibu ke sini. Ada banyak kenangan di setiap sudut rumah ini. Di sini juga Mas Karman meninggal. Jadi, Ibu akan tetap di sini bersama semua kenangan itu. Pergilah, Nak, jangan ragu-ragu. Ibu merestui kalian.”

Agus hanya bisa diam. Sungguh luar biasa istri almarhum Pak Karman ini. Asih terisak memeluk ibunya. Bu Karman mengusap-usap punggung anaknya. Sayang betul dia sama putrinya ini.

“Tapi, Bu, nanti pasti orang kampung pada nanya-nanya. Terus mereka bakalan mencemooh. Bagaimana?” Agus masih mencoba untuk mengajak calon mertuanya ini. Sayang kalau Ibu sebijak ini dengan kata-kata yang dapat menentramkan hatinya ini tidak kebawa.

Bu Karman tersenyum, “Terserah mereka kalau ingin mencemooh perempuan tua seperti Ibu ini. Itu tidak masalah bagi Ibu. Yang penting kalian dan Intan. Kalian yang akan membuka lembaran baru. Kalau Ibu kan rasa-rasanya sudah waktunya untuk menutup lembaran itu.

Agus menghela napas. Dia semakin kagum dengan Bu Karman, “Tapi, maaf, Bu, maaf sekali lagi, mungkin nanti kami nggak bisa menengok Ibu ke sini.”

“Tidak apa-apa, Nak Agus. Ibu sudah terbiasa sendirian sejak Mas Karman wafat. Beberapa waktu ini saja ada Asih dan Intan yang menemani. Sudah, Ibu bakalan baik-baik saja. Yang penting carilah kebahagiaan kalian di sana. Itu saja.”

Mata Agus berkaca-kaca. Tidak ada lagi yang bisa dia katakan, “Baiklah kalau begitu, Bu. Terima kasih untuk segala pengertian Ibu. Nanti akan kami kirimi wesel untuk mencukupi kehidupan Ibu di sini.”

Bu Karman tersenyum.

Selanjutnya, mereka pun bergegas bersiap. Agus melesat pukul satu dini hari itu ke kota untuk mencari sewaan mobil. Tidak butuh waktu lama dan dapat, dia kan banyak kawan. Sekalian sama sopirnya. Janji ketemuan jam empat subuh di sekitar jembatan tempatnya dulu pertama jumpa Marta. Sekalian membalas sakit hati dalam angan-angan. Lumayan.

Selesai itu, Agus pulang untuk membawa baju seadanya. Sekalian dia memberikan motor Ninjanya ke Kardi. Sudah pasti Kardi bengong mendapat hal itu, tapi setelah dijelaskan oleh Agus, akhirnya dia mengerti juga.

“Paklik akan pergi jauh dan dalam waktu yang lama,” kata Agus.

Pukul setengah empat subuh. Waktu telah menghampiri. Agus mencium tangan ‘mertuanya’ lalu memeluknya erat. Begitu juga Asih. Sebaliknya Intan malah menerima banyak ciuman dari sang nenek. Antara sedih dan gembira, tapi ini lah yang terjadi. Maka, mereka pun berjalan menelusuri gelapnya malam, menuju jembatan. Bu Karman memandangi punggung putri, cucu, dan ‘menantunya’, hingga lenyap tertelan gelapnya malam. Tidak ada kata-kata yang sanggup keluar dari mulutnya, hanya air mata yang kian deras serta bahunya yang berguncang hebat.

***

“Mas...”

Agus tersadar dari lamunan. Tampak Intan berdiri di sampingnya. Matanya masih sembab. Sepertinya tadi di kamar menangis lagi.

“Belum tidur?”

Agus menggeleng.

“Sudah waktunya tidur. Nanti malah sakit...,” ajak istrinya.

Agus menghela napas. Teringat akan lamunan tadi. Sekarang gadis kecil itu adalah istrinya. Sudah pula memberi seorang putri yang tiba-tiba membongkar semua rahasia.

Asih cintaku... Anakmu adalah istriku sekarang. Jangan kamu marah kepadaku. Rapuh sekali diriku ini. Percayalah aku mencintaimu, aku menyayangi anakmu. Asih cintaku... Maafkan aku.

Agus pun beranjak ke kamar. Lunglai terasa tulang-tulangnya. Hal yang serupa pada Intan.

Sunyinya malam semakin menambah remuk hati mereka....

Terpopuler

Comments

Rosiyatun

Rosiyatun

trenyuh rasane😔😔😔

2022-05-21

0

lihat semua
Episodes
1 00. Prolog
2 Kampus putih
3 vespa primavera
4 minimarket
5 islamic center
6 rs bethesda
7 teras
8 Mercedes
9 ruang tamu
10 kisah itu
11 ninja pasar
12 tentang cerita
13 dan terjadi
14 sesaat itu
15 kehadiran
16 turun temurun
17 di situ
18 titik balik
19 kembali ke kisah
20 foto repro
21 ada yang aneh
22 senyum pahit sang bangsawan
23 keputusan anak haram
24 perasaan bahagia
25 full cengar-cengir
26 ketemu yang haram juga
27 panik
28 haram oh haram
29 sekedar menemui
30 kisah haram
31 mencari bahagia
32 prinsipnya sama
33 briefing bahagia
34 selamat bertugas
35 jalan pergi
36 tidak susah ternyata
37 tidak terasa
38 lanjut dong
39 ketemu akhirnya
40 komitmen biang preman
41 proklamasi diri
42 jangan khawatir
43 rela
44 loh kok?
45 soal pertandingan
46 divisi utama
47 terbongkar
48 ribut sayang
49 peta mbah
50 tanda cincin
51 wasiat mbah
52 what's wrong
53 kembar atau mirip
54 si pengacau
55 riang
56 badak ujung kulon
57 hakikat minyak
58 apa boleh buat
59 MoU
60 fatal akibatnya
61 salah
62 buah tangan preman
63 buah tangan preman
64 runyam
65 sudah kenal lama
66 datang kembali
67 berjalan
68 maha menyebalkan
69 syarat bahagia
70 telah berlalu
71 capek deh
72 oh bahagia
73 syarat lagi
74 banyak kejutan
75 cinta
76 yang ketiga
77 bulpen komandan
78 000. selamat jalan
Episodes

Updated 78 Episodes

1
00. Prolog
2
Kampus putih
3
vespa primavera
4
minimarket
5
islamic center
6
rs bethesda
7
teras
8
Mercedes
9
ruang tamu
10
kisah itu
11
ninja pasar
12
tentang cerita
13
dan terjadi
14
sesaat itu
15
kehadiran
16
turun temurun
17
di situ
18
titik balik
19
kembali ke kisah
20
foto repro
21
ada yang aneh
22
senyum pahit sang bangsawan
23
keputusan anak haram
24
perasaan bahagia
25
full cengar-cengir
26
ketemu yang haram juga
27
panik
28
haram oh haram
29
sekedar menemui
30
kisah haram
31
mencari bahagia
32
prinsipnya sama
33
briefing bahagia
34
selamat bertugas
35
jalan pergi
36
tidak susah ternyata
37
tidak terasa
38
lanjut dong
39
ketemu akhirnya
40
komitmen biang preman
41
proklamasi diri
42
jangan khawatir
43
rela
44
loh kok?
45
soal pertandingan
46
divisi utama
47
terbongkar
48
ribut sayang
49
peta mbah
50
tanda cincin
51
wasiat mbah
52
what's wrong
53
kembar atau mirip
54
si pengacau
55
riang
56
badak ujung kulon
57
hakikat minyak
58
apa boleh buat
59
MoU
60
fatal akibatnya
61
salah
62
buah tangan preman
63
buah tangan preman
64
runyam
65
sudah kenal lama
66
datang kembali
67
berjalan
68
maha menyebalkan
69
syarat bahagia
70
telah berlalu
71
capek deh
72
oh bahagia
73
syarat lagi
74
banyak kejutan
75
cinta
76
yang ketiga
77
bulpen komandan
78
000. selamat jalan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!