Dini dan Nina hanya bisa diam menenangkan Devi. Bingung mereka mau jawab apa? Pengetahuan mereka minim soal agama. Terlebih soal status haram-halalnya anak. Baru tahu juga tadi saat Devi bilang kalau ada status anak haram. Apakah memang begitu? Ahh...
“Sudahlah, Dev, masih ada kami yang bakalan menemanimu. Sampai kapan pun.” Nina bergeser duduk ke dekat Devi menguatkan ucapan Dini sambil mengusap-usap punggung sahabatnya seperti biasa.
Devi memejamkan mata. Air matanya bergulir dan jatuh. Dini dan Nina pun larut dalam kesedihan sahabatnya ini.
Terdengar suara langkah kaki Marta menuju kembali ke ruang tamu. Devi cepat-cepat menghapus air matanya dengan sweeter ya. Dini dan Nina pun berpura-pura semuanya baik-baik saja.
“Maaf ya lama, adanya cuma jus jambu, nggak apa-apa kan?” Marta meletakkan nampan sambil tersenyum.
“Terima kasih, Bu. Maaf jadi merepotkan begini..” Nina berbasa-basi.
Marta tertawa kecil. Namun, nampak bekas usapan air mata di bawah kelopak matanya. Sama-sama rapuh. Sama-sama butuh. Sama-sama runtuh.
Persoalan dengan Bu Marta sudah selesai dan jelas semuanya. Dini dan Nina pun melanjutkan berbincang-bincang ringan saja sambil menikmati jus jambu. Cuma kurang pas rupanya saat Nina bertanya soal anak-anak Marta. Maksudnya sih biar lebih akrab begitu.
Marta menghela napas, “Sudah meninggal dunia semuanya...,” kata Marta pelan. Matanya jelas berkaca-kaca walau bibirnya terbesit senyum. “Kalau pun masih hidup, mungkin sekarang usianya sepantaran dengan kalian.”
Anak Marta meninggal saat bus darmawisata sekolah yang ditumpanginya menabrak bukit saat jalanan turun di Bantul. Tragis peristiwa itu merenggut 13 korban jiwa termasuk anaknya. Marta tidak bisa punya anak lagi karena bersamaan saat melahirkan anaknya itu, rahimnya ikut diangkat karena terserang kanker rahim.
“Maaf, Bu,.... saya ikut berduka cita atas peristiwa itu,” kata Nina tidak enak hati.
Marta kembali tersenyum, “Nggak apa-apa. Sudah lama juga kejadian itu.”
Setelah pertanyaan itu, Nina jadi sungkan untuk bertanya-tanya lagi. Sementara untuk mengalihkan itu, Dini mengisi kekosongan dengan pertanyaan-pertanyaan biasa. Devi, ahh...dia lebih banyak diam saja dari tadi, sesekali cuma ikut tersenyum saja. Susah sekali baginya untuk menyusun kembali hati yang hancur setelah mendapat label itu. Anak haram...
“Eh, ngomong-ngomong, kalian bertiga sudah punya pacar, belum?” tanya Marta.
Dini dan Nina tertawa kecil, “Sudah dong, Bu, cantik-cantik begini masak dianggurin menjomblo.” jawab Nina. Kepancing nyeletuk lagi dia.
“Iya sih, mana ada cowok yang tidak tergoda dengan pesona kalian bertiga ini?”
“Devi primadona kampus loh, Bu...,” Dini bercanda.
Devi mendelik, mesem sedikit lalu kembali diam.
Marta tertawa pelan, “Tapi kalian harus hati-hati dengan rayuan gombal yang menghanyutkan dari para lelaki itu..”
“Siap, Bu..,” Nina menyambar cepat.
“Seorang lelaki yang baik, harusnya masih bisa marah. Masih mau menegur kita saat punya salah. Kalau lelaki yang justru memuji kita terus, seolah-olah nggak ada salahnya, justru ini harus di hati-hati.”
“Memangnya kenapa, Bu?” kejar Nina penasaran.
“Biasanya sih, lelaki seperti itu juga suka memuji perempuan lain.”
“Maksudnya, Bu?” Dini kini yang penasaran.
“Ya.., biasanya sih mudah tergoda perempuan lain. Selingkuh begitu.”
Nina tersenyum. “Berarti Bang Fajar aman dong. Kerjanya kan marah mulu tuh orang.”
Tertawa semua, termasuk Devi. Tidak enak kalau diam terus.
“Ya... kalau yang marah terus yang marah terus juga jangan. Nanti kalau marahnya awet sampai tua, repot juga kan.”
“Memang sayangnya juga sih, Bu, yang suka bikin kesel.” Nina mengaku.
“Nah, kalau sadar seperti itu bagus. Mengakui kesalahan, jadi marah-marahannya nggak lama-lama...,” puji Marta. Tersanjung juga Nina. Mekarlah rasanya itu hidung.
“Mas Yudi juga bisa marah kok...,” Dini tidak mau kalah.
Nina tertawa, “Pastilah marah, orang nggak selingkuh dipaksa ngaku.”
Tertawa lagi semua.
“Kalau Devi bagaimana?” tanya Marta sambil meliriknya.
“Wah, hening ketemu hening, Bu...,” celetuk Nina.
“Maksudnya?” Marta mengerutkan keningnya.
“Ya lihat saja Bu, Devinya pendiam, eh Mas Dika pacarnya juga pendiam. Senyap sepi deh...” kata Nina dengan santainya.
Devi mesem. Dini tertawa kecil. Marta menatap lembut Devi sambil tersenyum.
“Tapi, masih bisa marah kan, Dev?” Marta memastikannya langsung.
“Belum tahu juga sih, Bu, belum di coba juga,” Devi menjawab dengan jujur.
“Sudah, Dev...., jangan, Dev... Paling cuma begitu, Bu...,” celetuk Nina enteng saja.
Marta memandang Devi lagi, kelihatannya tatapan serius, lalu mengangguk-angguk tanpa berkomentar, “Yah, apa pun itu. Kalian semua harus tetap hati-hati...,” nasihatnya kemudian.
Obrolan masih berlanjut hingga beberapa saat kemudian. Akhirnya, Dini, mewakili yang lain, berpamitan mohon diri. Acara investigasi ke Bu Marta sudah cukup. Kesimpulannya sudah didapat, bahwa Bu Marta berkata sebenarnya. Dari kaca spion motornya, Nina bisa melihat Marta yang berdiri di tepi jalan depan rumahnya memandang kepergian mereka sambil mengusap air mata.
“Sekarang kita mau ke mana?” tanya Nina saat berhenti untuk mengisi bahan bakar di SPBU.
“Kita cari ustadz saja, bagaimana?” Dini memberi saran.
“Untuk apa?” tanya Devi.
“Kita cari pendapat lain mengenai masalahmu itu.”
“Percuma, Din. Jawabannya pasti sudah ketebak.”
“Tapi nggak ada salahnya juga kan, Dev...,” Nina menimpali.
Devi diam, matanya mulai berkaca-kaca kembali.
“Ya sudah, aku ngikut saja.” kata Devi akhirnya.
Vespa-vespa itu pun kembali meluncur ke arah Islamic Center. Sebenarnya Islamic Center adalah masjid kampus, namun para akademis sering menyebutnya Islamic Center biar lebih keren mungkin. Selain itu fungsi masjid kampus bukan hanya sebagai tempat shalat saja. Diskusi, kajian, mengerjakan tugas, kumpul-kumpul dengan teman, mengamati mantan...ealah.
Sebentar saja mereka sudah sampai di sana karena tidak jauh tempatnya dari posisi mereka sekarang. Devi awalnya menolak untuk ikut masuk, dia mau menunggu saja di kantin yang tepat berada di bawah Islamic Center itu. Tapi, Dini dan Nina terus memaksa.
“Ayolah, Dev, ini semua juga demi kebaikan juga kan. Kalau semuanya jelas tinggal cari solusinya.” rayu Nina.
Dini ikut menguatkan.
Akhirnya dengan berat hati Devi bersedia ikut, “Tapi ingat, aku diam saja ya. Kalian yang nanti berbicara.”
“Oke, beres itu.” Dini dan Nina setuju.
Mereka bertiga pun menelusuri selasar Islamic Center. Mudah bagi mereka untuk mencari narasumber di sini, banyak di sini.
“Yang mana, nih?” tanya Nina.
“Itu saja...,” Dini menunjukkan seorang pemuda berbaju kemeja biru berjaket hitam dengan logo salah satu organisasi dakwah kampus. Tidak diragukan lagi sedikit banyak pasti tahu lah soal hukum Islam. Lawong, mereka diwajibkan baca buku tentang Islam lebih banyak.
“Siapa dia?” tanya Nina.
“Nggak tahu, kamu tidak lihat ada logo organisasi dakwah kampus yang terkenal itu.” Dini meyakinkan.
“Sialan, aku kira kenalanmu..,” bisik Nina.
Dini meringis sambil menunggu Devi yang berjalan agak di belakang mereka.
“Assalamu’alaikum...” Dini menyapa.
“Wa’alaikumsalam...” jawab pemuda itu sambil tersenyum ramah.
Mereka saling memperkenalkan diri dengan mendekap telapak tangan di depan dada. Kan yang bukan mahram dilarang bersentuhan, takut terjadi sesuatu yang diinginkan. Mereka basa-basi sebentar, akhirnya Dini dan Nina sepakat kalau pemuda ini dipandang mampu menyelesaikan masalah lebel anak haram. Masuklah ke sasaran, Dini, Nina, dan Devi pun serius menyimak penjelasannya.
“Jadi, hukumnya haram. Pernikahan dengan anak tiri, cucu tiri, cicit tiri, dan seterusnya dilarang dalam Islam...,” jelas Mas Ustadz setelah membeberkan beberapa dalil-dalilnya.
“Kalau semisal sudah terjadi pernikahan itu, bagaimana Mas?” kejar Dini.
“Ya, inilah hukum, Mbak. Hukum tetaplah hukum, sebelum maupun sesudah.”
“Kalau dari pernikahan itu lahirlah seorang anak, apa statusnya?” Nina bertanya.
“Segala sesuatu yang halal datang dari yang halal, begitu juga haram datang dari yang haram pula. Kecuali terpaksa..”
Mendengar jawaban itu, Dini memegang tangan Devi yang duduk di sebalahnya. Dingin sekali.
“Maksudnya terpaksa bagaimana?” Nina masih terus mengejar.
“Hukum haram bisa dianulir kalau benar-benar berada dalam kondisi terpaksa,” jawab Mas Ustadz. Lantas dia menjelaskan tentang bagaimana hukum memakan daging babi, ular, dan lain-lain. “Sifatnya hanya sementara, kalau situasinya sudah normal, ya kembali ke hukum awal. Haram. Tapi, dalam hal perkawinan, jelas hukum keterpaksaan ini tidak dapat digunakan. Saya kira tidak ada orang yang mengawini anak tiri atau cucu tirinya karena terpaksa. Bisa saja beralasan begitu, tapi itu tidak masuk logika.
“Jadi, status anak tersebut apa?” Nina menegaskan.
“Ya seperti yang saya bilang tadi. Halal dari halal, haram dari haram.”
“Jadi status anak tersebut adalah anak haram maksudnya?”
Pemuda itu mengangguk, “Seperti itulah.”
Skak mat. Mau tanya apa lagi?
Setelah berbasa-basi sesaat dan mengucap terima kasih mereka beranjak pergi. Tangan Devi semakin dingin menggenggam Dini. Wajahnya mulai pucat.
“Laki-laki kali, Din, coba sekarang perempuan ah....” Nina langsung ngeloyor menghampiri seorang mbak-mbak berhijab yang dirubung beberapa gadis yang lebih mudah. Mungkin sedang mengadakan kajian. Dini tidak sempat menahan, alhasil terpaksa dia dan Devi mengikuti dari belakang.
Di luar dugaan, pendapat mbak berhijab itu lebih gawat. Mbak itu berkata tanpa basa-basi, “Anak hasil zina tidaklah pantas untuk hidup di bumi. Anak haram itu!”
Ampun dah, Nina langsung kepancing emosi. Untung Dini dan Devi bisa menahan diri.
“Sialan tuh perempuan. Kalau potongannya biasa seperti kita, sudah aku robek itu mulut,... enak bener kalau nyerocos,” Nina ngomel-ngomel sambil berjalan ke parkiran. Maklum, meskipun blasteran dia kan tetap berdarah Batak.
“Mbak itu tidak salah, dia hanya mengungkapkan apa yang dia ketahui,” Devi berkata pelan, seolah tegar. Padahal, hancur juga tuh hati Devi.
“Tapi, nggak gitu juga kali. Macam paling pantas saja hidup di bumi ini!”
“Sudah-sudah...,” Dini menenangkan sahabatnya.
Hening kemudian. Berlanjut hingga di halaman parkiran.
“Nin, aku boleh ikutan istirahat di kamarmu?” kata Devi pelan.
Nina dan Dini memandang lekat sahabatnya itu. Kelihatan wajah Devi semakin pucat.
“Ayo...,” Nina segera mengeluarkan motornya.
Dini menghampiri Devi, “Sakit?”
Devi menggeleng, “Cuma pusing sedikit...”
“Din, Nin, aku minta tolong supaya masalah ini kalian rahasiakan, ya” kata Devi kemudian.
“Kenapa, Dev? Apa Mbak Sari nggak perlu dikasih tahu?” tanya Dini.
Devi diam sejenak, “Masalah ini kan di aku. Mbak Sari nggak ada kaitannya. Aku yang anak haram, Mbak Sari bukan...,”
“Tapi dia kan kakakmu? Pantaslah kalau dikasih tahu,” Nina menanggapi.
“Iya, benar juga itu Dev,” kata Dini.
Devi menggeleng pelan, “Kalian kan tahu, Mbak Sari kalem orangnya. Nanti malah jadi dua masalahnya kalau dia juga ikut ngerasain sakit hati ini. Lagi pula, dia kan tanteku. Bukan kakakku.”
Benar juga sih. Sari dan Devi sama lembutnya. Kalau di buka malah bisa jadi dua masalah. Heran juga Dini, kalau mendengar cerita Devi tentang Asih yang sikapnya ganjen, kok sangat jauh berbeda dengan Sari anaknya dan Devi cucunya? Jangankan ganjen, centil saja tidak ada. Tapi, memang mungkin bisa saja itu semua terjadi. Nenek ganjen, cucu kalem. Playboy, eh... bapaknya kiai.
“Tante atau kakak sama sajalah, Dev. Itu kan cuma urutan lahir dan dari mana lahirnya. Tapi dia kan tetap saja saudaramu. Kalau menurutku, lebih baik Mbak Sari tahu tentang masalah ini,” Nina menyarankan.
Tapi, Devi masih tetap pada keputusannya.
“Jadi, Om dan Tante Agus juga nggak dikasih tahu?” tanya Dini.
Devi mengangguk cepat tapi pelan.
“Apa nggak terlalu berat jika kamu pikul sendirian?”
Devi menggeleng, “Memangnya apa yang bisa dibagi dari anak haram?”
Dini dan Nina menghela napas panjang.
“Tentang Bu Marta juga tolong jangan bilang siapa-siapa. Pokoknya semua yang berkaitan dengan status anak haramku, aku minta kalian rahasiakan.”
Dini dan Nina terdiam.
“Janji ya.” Devi menuntut.
Dini dan Nina memandang Devi, lalu menganggukkan kepala.
Sesampainya di kamar kost Devi bilang mau tidur dulu, pusing katanya. Nina memberi obat sakit kepala. Devi meminumnya lalu berbaring. Beberapa saat kemudian, entah sudah tidur beneran atau masih pura-pura, Dini dan Nina melihat air mata Devi merembes dari sudut matanya yang mengatup senduh. Berat sekali bebannya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Rosiyatun
🤔🤔nyimak dulu
2022-05-10
0