“Hai, Cantik...., Eehemmm...,” Agus menggoda Asih yang kebetulan lewat di depannya saat dia sedang nongkrong di depan pasar. Seperti biasa Agus selalu nangkring di atas jok motor Ninja dua tak miliknya. Kala itu, Ninja begitu populer. Motor pembalap katanya. Maklum desain dari motor itu paling modern dibanding motor pada umumnya.
Asih tertawa senang saja. Memang sudah ganjen dari bawaan bayi. “Ah, Mas Boy, beraninya cuma menggoda aja dari dulu..., emang nggak mau?”
Para teman Agus yang ikut nongkrong bersorak riang. Ibarat srigala yang melolong di tengah malam.
“Lho? Siapa yang tidak mau dengan madu, sih?” pancing Agus.
Asih hanya melengos manja sambil melenggak-lenggok menjauh. Agus menelan ludah, yang lain malah meneteskan air liur.
“Sudah kepunyaan Winardi itu, Gus...” Joyo menasihati.
Joyo memang tidak terhitung playboy. Dandannya saja culunnya minta ampun. Lagi pula dia kan anaknya Pak Minto, salah satu tokoh agama sekaligus orang terpelajar di kampung ini. Tapi, Joyo teman mereka juga. Teman satu sekolah, teman main bola, teman ngoprek motor dan lainnya. Konco kenthel. Makanya, dia juga sering ikut nongkrong di situ. Kalau Winardi ‘seproduk’ dengan Agus, cuma lain geng. Satu kampung tapi beda RW.
Kebiasaan yang terjadi kala itu, setelah lulus SMA pada umumnya langsung di nikahkan, itu berlaku untuk anak laki-laki. Tapi, tidak ada kewajiban, kalau belum mau tidak apa-apa. Berbeda dengan anak perempuan, kalau perlu, belum lulus SMP sudah dipaksa bapak ibunya untuk dijadikan istri orang. Bahkan, tidak jarang saat di bangku SD pun sudah diambil mantu.
Begitu Pak Karman buka lelang, Winardi langsung dengan cekatan menawar dengan nilai tinggi untuk memiliki sang madu, takut disrobot dengan lebah lain. Soalnya putri Pak Karman ini manis dan legit. Wuih, beruntung nian si Winardi. Telat Agus, habis bapaknya waktu itu sedang ke Temanggung ngurusi bisnis tembakau.
Begitulah gayanya Agus. Namanya juga anak muda. Agus suka menggoda, Asih balas menggoda. Begitu sebaliknya. Ya, seperti berbalas pantun.
Waktu terus berjalan. Hampir sepuluh tahun pun terlampaui...
Rumah tangga Winardi dan Asih mulai muncul keretakan akibat banyaknya masalah yang datang. Beragam menjadi pemicunya, tapi semuanya mengerucut pada satu masalah, ekonomi. Bisnis truk sewaan Winardi yang diwarisi dari orang tuanya mulai tersendat. Para pelanggan banyak yang berpindah sewa ke pihak lain. Alasannya, truk-truk Winardi kurang update, sudah pada kemakan usia. Memang iya sih. Sepertinya Winardi tidak mengantisipasi tentang hal ini. Mungkin dia lupa kalau besi juga bisa tua. Uangnya kebanyakan dijadikan tanah, niatnya mungkin untuk investasi. Giliran butuh, susah untuk dicairkan, tidak gampang ternyata menjual sebuah aset, kecuali bersedia untuk rugi besar. Jadilah Winardi seperti bank kekurangan likuiditas. Banyak aset, tapi bokek cash.
Sementara itu, Agus semakin cemerlang. Bisnis jual beli barang antik yang dirintisnya sendiri itu terus berkembang pesat. Modal awal dia pinjam dari bapaknya yang juragan tembakau. Dulu bapaknya meminta agar Agus ikut jualan tembakau seperti dirinya, tapi si anak malah menolak. “Bau ikan”, katanya. Tembakau, kalau sudah diolah jadi rokok memang harum. Tapi, saat masih racikan basah itu... emmh. Tidak salah tuduhan Agus tadi.
Dengan semangat, Agus menekuni di bidang ini. Jadilah Agus pemburu barang antik. Uang datang dengan begitu mudahnya. Tapi kan tidak mungkin selamanya begitu, maksudnya membujang terus. Dia tetap dituntut untuk mempunyai seorang istri dan anak oleh orang tuanya. Usia sudah lewat memadai, usaha untuk nafkah juga mencukupi. Tinggal pendamping yang belum ada. Teman-teman ‘ninja pasar’-nya dulu sudah pada nikah semua, sudah banyak pula anak mereka.
Agus sampai dibuat pusing kepalanya setiap kali ditanya pendapat oleh bapak ibunya soal calon yang mereka ajukan. Teguh sekali Pak dan Bu Tulus ini mencarikan jodoh buat anaknya.
Besoknya, daripada pusing di rumah terus ditanyain jodoh, Agus ngeluyur duluan keliling kampung naik motor Ninjanya. Lama juga motor dua tak andalan masa lalu itu dianggurin. Selama ini, cuma dipanaskan mesinnya oleh Kardi, anak yatim yang bantu-bantu di rumah Pak Tulus. Tapi lama-lama, Agus kesel juga. Ternyata geng ‘ninja pasar’ sudah bubar. Mantan anggotanya sekarang pada sibuk ngurus istri dan anaknya masing-masing. Diajak ngumpul sama Agus pada nolak semua, alasannya repot. Lebih baik nyari duit buat anak istri daripada kongkong-kongkong tidak jelas seperti itu. Payah juga para mantan ‘ninja pasar’ itu. Sekarang sudah pada jadi kucing rumahan, bukan kucing pasar lagi.
Kesal tidak dapat teman, terpaksa Agus bali lagi ke rumah dan bersiap nyut-nyutan lagi kepalanya. Saat melintasi jembatan, ada ‘payung fantasi’ lewat. Maka Bing Slamet pun bernyanyi, “Payung fantasi melintas di siang hari, hai-hai siapa dia...” Dan, tidak sampai bait kedua, Ninja sudah berbalik arah. Langsung mengejar.
“Dik, mau ke mana?” Agus menyapa duluan.
Langkah di gadis berhenti, menoleh, lalu tersenyum, “Pulang.”
“Oo..., tinggal di sini juga?”
Dia hanya mengangguk pelan.
Kening Agus agak berkerut, sepertinya dia belum pernah lihat gadis ini, “Kok saya nggak tahu, ya?”
Si gadis tersenyum manis. “Masak sih? Emang, Mas, ke mana aja?” godanya.
Agus ikut tersenyum. Boleh juga gadis ini, “Kenalan dong...”
“Marta..” katanya lembut.
“Marta....? Putrinya Pak Kasim?” Setahu Agus yang namanya Marta di kampung ini cuma anaknya Pak Kasim. Tapi, kayaknya dulu masih dekil anaknya.
“Bukan. Mas ini siapa?” Marta balik bertanya.
“Kenalkan, namaku Agus.”
“Ooh, Mas Agus. Tahu saya...,” Marta tersenyum lagi. Siapa yang tidak kenal dengan Agus di kampung ini? Walaupun dia jarang pulang.
“Lho? Marta kenal saya, kok malah saya yang nggak kenal Marta?”jiwa playboy Agus mulai keluar.
“Mas Agus sih yang diurusi bisnis mulu. Sampai lupa nengok kampung sendiri.”
Agus terkekeh, “Jadi, Marta yang cantik jelita ini anaknya siapa?”
Marta menunduk menyembunyikan wajah yang mulai kemerahan. “Pak Sarikun,” jawabnya pelan.
“Pak Sarikun...?” Agus bingung lagi. Pak Sarikun yang mana lagi ini?
“Nggak kenal ya, Mas? Makanya sering ke kampung, pergi-pergi terus...”
Agus tertawa pelan, “Di sana saja ya, panas di sini. Tapi boleh nggak kira-kira sama Pak Sarikun?” rayuan mulai dilancarkan kembali.
Marta tersenyum manis. Awalnya agak ragu, tapi akhirnya naik boncengan Ninja Agus setelah menutup payungnya.
Agus membawa Marta ke tepian sungai. Sungai dulu masih jernih, jadi enak buat nongkrong sambil lihat ikan berenang, berbeda dengan sungai sekarang. Boro-boro lihat ikan, dasar sungai saja tak nampak tertutup limbah.
Ngobrol panjang lebar lah mereka di sana. Ternyata, Marta belum lama tinggal di kampung ini. Ikut bapak ibunya pindah ke sini. Dia adalah cucunya Mbah Tejo. Agus kenal kalau Mbah Tejo. Ibunya Marta salah satu anak Mbah Tejo yang istrinya banyak dan anaknya tersebar ke mana-mana. Marta ternyata juga sedang dekat dengan Asih, ceritanya sahabatan. Tidak ada alasan khusus, hanya merasa saling cocok saja katanya. Walau ada manja-manjanya, tapi Marta tidak seganjen Asih. Masih bisa dibilang wajarlah.
Dua hari kemudian...
“Pokoknya Agus mau Marta, atau nggak usah sekalian...,” kata Agus tegas.
Di hadapannya, duduk Bapak dan Ibunya dengan wajah sedikit kesal. Rupanya mereka habis berdebat soal jodoh untuk Agus. Orang tuanya keberatan dengan Marta. Hampir dua puluh enam tahun kok belum nikah. Tapi, Agus tetap ngotot harus dengan Marta. Akhirnya, ,mau tidak mau ibunya mengalah juga.
“Baiklah, Ibu menuruti kemauanmu, tapi Ibu minta tunangan dulu...” Bu Tulus mulai bernego.
“Aku ini sudah tiga puluh tahun. Sudah nggak musim main tunangan segala, Bu.”
“Maksudnya ibumu itu baik, agar kamu bisa mengenalnya lebih dalam dulu, Gus. Kamu kan baru ketemu sekali. Kalau nggak cocok gimana? Tunangan kan lebih mudah urusannya kalau ada apa-apa.” Pak Tulus yang kali ini ikut bernego.
Akhirnya diputuskan untuk tunangan terlebih dahulu. Pada hari H-nya, acara syukuran tunangan itu pun terlaksana dengan baik dan benar. Agus telah menjadi tunangannya Marta.
Waktu pun terus berjalan...
Secuil kopi
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments