Sudah dua hari lebih Devi kembali kuliah. Wajahnya nampak sekali pucat, walaupun dia sudah berusaha disamarkan dengan pulasan bedak. Dini dan Nina sudah berulang kali mengajaknya untuk periksa ke dokter, namun selalu ditolaknya. Hari ini, Devi berjalan terhuyung saat menuruni anak tangga. Untung ada Nina yang dengan sigap menopang badannya. Kalau tidak, sudah tersungkur ke bawah. Dini dan Nina berteriak meminta bantuan. Beberapa teman cowok mereka datang menolong. Devi segera dibopong ke kursi panjang di lorong Jurusan Jurnalistik.
Segera Nina menghubungi Fajar, untuk mencarikan mobil. Agak sulit peraturannya, mahasiswa dilarang membawa mobil ke kampus kecuali dengan izin khusus. Setelah beberapa saat mencari akhirnya dapat juga. Sebuah mobil Avanza milik teman mereka yang rencananya hendak digunakan untuk pergi penelitian. Sebentar kemudian tampak Fajar berlari-lari ke arah kerumunan. Segera kerumunan itu memberi jalan.
“Gimana, Nin?”
“Belum sadar, Bang. Kita bawa saja Devi ke rumah sakit. Sudah dari kemarin sebenarnya dia ini sakit.”
Dengan cepat Fajar mengangguk. Fajar membopong sendirian Devi ke mobil. Kuat tubuh pemuda ini, maklum pentolan menwa yang setiap hari berlatih fisik. Fajar yang pegang kemudi, Nina di depan, Devi terbaring di pangkuan Dini di jok belakang. Dini terus memijit-mijit tangan Devi, berusaha dia segera sadar. Namun mata gadis yang dicap anak haram ini masih rapat terkatup. Makin panik dan takutlah Dini.
Mobil pun melaju lumayan kencang.....
Setibanya di RS Bethesda seorang dokter muda segera memeriksa Devi. Fajar dan Nina berdiri di dekat situ sambil terus memperhatikan dokter itu memeriksa. Dini keluar sebentar menghubungi keluarga Devi, dapat Tante Agus.
“Iya, Tante, di Bethesda. Belum,belum... Sedang diperiksa. Di UGD sekarang. Iya, Tante, ditunggu.”
Setelah selesai menelpon, Dini bergegas kembali ke ruang UGD. Tampak jarum infus sudah tertancap di tangan kiri Devi. Selang menjuntai dari kantong infus, tetes demi tetes mengalir ke tangan Devi. Selang oksigen terpasang di hidung Devi. Gadis itu masih memejamkan mata, entah tidur entah pingsan. Dini melihat Devi sebentar lalu menghampiri Fajar dan Dini yang sedang bicara dengan dokter muda tadi.
“Kalau begitu saya permisi...” kata dokter muda itu saat Dini menghampiri.
Mereka bertiga mengangguk mempersilakan.
“Apa kata dokter?” tanya Dini kemudian.
“Belum dapat dipastikan Devi sakit apa, tapi dia mengalami kelelahan akut. Dipicu stres berat pula. Beban kuliah kali ya?” kata Fajar sambil memaksakan tersenyum.
Nina dan Dini sama-sama terdiam, boro-boro ingin tersenyum. Bukan karena mereka khawatir dengan kondisi Devi saat ini, melainkan mereka tahu penyebab Devi bisa mengalami semua ini.
“Jadi, gimana selanjutnya?” tanya Dini kembali.
“Kata dokter, kita lihat dulu perkembangannya dalam sejam dua jam ini. Setelah ada laporan dari uji lab dari sampel darahnya, baru bisa didiagnosis lebih lanjut.”
“Kira-kira parah nggak sih?” Dini penasaran.
“Semoga saja tidak.” jawab Nina.
Fajar manggut-manggut setuju.
“Untuk sementara kita biarkan Devi istirahat dulu.” ajak Fajar untuk keluar ruangan.
Mereka pun berjalan keluar ruangan.
“Dika udah dikabari belum?” tanya Fajar saat berjalan keluar.
“Belum. Baru Tante Agus tadi,” jawab Dini. Dia mengeluarkan HP.
“Biar aku saja....,” Fajar segera menghubungi Dika dengan HP-nya.
Tanggung, Dini juga mengontak Yudi. Siapa tahu bisa ke situ. Ternyata tidak bisa, dia sedang di Solo. Tugas liputan di sana.
Tidak lama berselang Dika muncul.
Sementara di sisi lain, Intan sedang berjalan di anak tangga menuju ke situ.
“Tante Agus...,” bisik Nina. Segera dia menghapus air mata Devi yang merembes di kedua sudut matanya, menggunakan tisu yang dia bawa. Nina baru bisa yakin kalau Devi memang benar-benar pingsan karena tadi waktu ditancap infus diam saja. Padahal, gadis ini sangat takut sekali dengan jarum suntik. Apalagi jarum infus yang lubangnya nganga lebih gede. Apa nggak kebawa sampai alam bawa sadar rasa sakitnya itu?
Dini beranjak menyambut Intan. Diikuti Dika juga, ceritanya adab ke calon mertua. Fajar masih tetap di tempat bersama Nina.
“Maaf, agak lama datangnya. Tadi sempat kejebak macet. Ditambah tidak ada orang di rumah yang bisa ngantar. Eh, Dika...,” Intan menyapa Dika yang sudah diketahui keluarga sebagai pacarnya Devi. “Gimana keadaan Devi?”
“Sudah ditangani sama dokter, Tante, tapi masih menunggu hasil lab dulu baru bisa diketahui Devi sakit apa.” jelas Dini.
Intan mengangguk-angguk. Dia mempercepat langkahnya menuju ke tempat anaknya terbaring. Nina dan Fajar segera berdiri menyapa, Intan membalas. Ramah ibunya Devi ini. Walau sekarang Dini dan Nina sudah tahu sedikit kisah masa lalunya, tapi mereka tetap menghormati Intan. Bukan salah Tante Agus semua sih.
Berbincang-bincang kemudian....
“Diagnosis sementara, Devi mengalami kelelahan akut dan stres, Tante,” Nina menjawab pertanyaan Intan.
“Memang beberapa hari ini Tante perhatikan Devi kelihatan sakit, tapi dia ngotot nggak mau dibawa ke dokter. Apa tugas kuliah sedang banyak, Nin?”
“Begitulah, Tante...,” jawab Nina sambil memberi kode ke abangnya lewat tatapan mata.
Fajar paham lalu ikut mengangguk-angguk.
Beberapa saat tampak dokter muda tadi menghampiri mereka membawa selembar kertas. Setelah berkenalan dengan Intan dan Dika, dokter itu menjelaskan kondisi Devi berdasarkan hasil analisis sampel darah dan gejala yang dialaminya. Awalnya stres berat, terus berlarut hingga berujung pada tifus.
“Pasien bisa dirawat di rumah, namun saran saya alangkah baiknya untuk rawat inap terlebih dahulu di sini untuk memantau perkembangannya. Walau sebenarnya tifus bukanlah penyakit yang serius, tapi jika salah dalam perawatan, luka di dinding lambung itu bisa tambah parah. Dan dapat membahayakan pasien.”
Entah dokter ini bicara yang sebenarnya atau sekedar hanya ingin menarik pasien untuk masuk, yang pasti Intan menuruti sarannya. Diantara mereka tidak ada yang paham ilmu kedokteran. Siapa yang berani ambil risiko? Lagi pula apa yang dikatakan dokter itu logis juga. Maka, Intan ditemani Dini dan Dika untuk mengurus administrasi rawat inap, sementara Nina dan Fajar ikut mengantar Devi ke kamar inapnya.
******
Hampir seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Devi sembuh juga. Itu pun masih harus ditambah beberapa hari lagi dirawat di rumah untuk bisa sembuh total. Sekarang dia sudah masuk kuliah lagi. Dini dan Nina membantu ketertinggalan Devi. Semua catatan dan beberapa fotocopyan disediakan dengan sukarela oleh mereka sebagai sahabatnya. Fika, teman mereka yang encer otaknya dan baik itu pun turut membantu. Teman-teman mereka yang cowok pun tidak mau ketinggalan. Semua memang sayang kepadanya. Devi yang cantik, Devi yang lembut, Devi yang terluka tapi tidak berdarah.
Mereka melakukan ini karena dosen-dosen mereka banyak yang menganut paham “sakit bukan alasan”. Maka, jangan coba-coba untuk membuat alasan sakit untuk sekedar memelas ujian susulan atau semacamnya. Pokoknya jangan sampai, kalau tidak ingin sakit hati. Sedang sekarat atau sedang sehat bukan urusan mereka saat ujian. Ujian tetap harus jalan terus. Nilainya, ya apa adanya. Titik.
Maka, untuk menghargai kebaikan hati sahabatnya, dan temannya demi kebaikan Devi sendiri, dia berusaha untuk mengejar ketertinggalannya itu. Berhasil nampaknya karena meskipun dia tidak sepintar Fika, dia juga tidak begitu bodoh. Dini dan Nina puas melihat itu. Devi pun siap untuk menghadapi ujian semester yang sebentar lagi akan dilaksanakan.
Waktu terus berjalan, ketertinggalan pelajaran Devi sudah tidak begitu kentara. Dia sudah kembali tenang kuliah bersama Dini, Nina, dan teman-teman yang lain. Kelihatan normal, sudah bisa bercanda juga. Namun, tenang permukaan yang sekarang ini tidaklah sama lagi. Sebongkah batu hitam telah masuk ke dasar “danau” Devi, terbenam diam dan dingin. Kisah tentang seorang gadis lugu yang dikawini ayah tirinya sendiri. Berikut kelamnya makna hidup bagi sang “anak haram”.
Jika diperhatikan di sela-sela canda tawanya bersama teman-temannya, terselip sebuah rasa minder. Bahkan lebih jauh lagi, boleh dikata kepada semua orang yang dia temui. Seperti kata mbak berhijab dulu, “Anak haram tidak pantas hidup di bumi...”. Hanya kedua sahabatnya yang sadar akan perubahan pada diri Devi. Bahwa dia sudah tidak sama lagi dengan yang dulu. Diam dan dingin dicuaca hangat.
Sejak kembali kuliah lagi, Devi tidak pernah mengungkit-ungkit kembali persoalan anak haram pada Dini dan Nina. Mereka juga berharap dengan berselangnya waktu, Devi akan bisa melupakan persoalan itu. Benar atau tidaknya tentang hukum haram itu, mereka tidak terlalu paham. Persoalannya kini pada keheningan Devi yang terlalu hening. Keheningan yang menyimpan bom waktu, kapan bom itu akan meledak? Tidak ada yang tahu.
Entalah....
**********
Sementara di tengah keramaian suara musik diskotik serta bau alkohol yang begitu menyengat. Seorang pria berperawakan sangar menghisap dalam-dalam rokoknya lalu menghembuskannya...
“Di mana kamu berada, anak haram?” gumamnya.
Secuil Kopi
Rumah Sakit Bethesda didirikan oleh Dr. J.G Scheurer, seorang dokter yang diutus oleh Nederlandse Zendingsvereniging berdasarkan Injil Lukas 10:9 yang berbunyi “dan sembuhkanlah orang-orang sakit yang ada di situ dan katakanlah kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat padamu”. Rumah Sakit Bethesda pada awalnya diberi nama Zendingsziekenhuis “Petronella”. Nama Petronella ini diambil dari nama istri seorang pensiunan pendeta bernama Coeverden Andriani yang memberikan bantuan uang untuk membangun Rumah Sakit. Masyarakat sekitar pada waktu itu mengenal Rumah Sakit “Petronella” dengan nama “Dokter Pitulungan” atau “Dokter Tulung”.
Dalam perjalanannya sejak didirikan Rumah Sakit Petronella mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika yang terjadi di Indonesia maupun Dunia. Pada masa pendudukan Jepang Rumah Sakit Petronella diambil alih oleh Jepang dan diganti namanya menjadi “Jogjakarta Tjuo Bjoin” pengambil alihan ini mengakhiri nama dan asas Rumah Sakit Petronella sebagai rumah sakit Kristen. Setelah berakhirnya pendudukan Jepang, Rumah Sakit “Jogjakarta Tjuo Bjoin” berhasil dikembalikan ke asasnya yang semula sebagai Rumah Sakit Kristen tetapi diganti namanya menjadi “Roemah Sakit Poesat”. Agar masyarakat umum mengetahui bahwa Rumah Sakit Pusat ini merupakan salah satu rumah sakit pelayanan kasih (Kristen), maka pada tanggal 28 Juni 1950 “Rumah Sakit Pusat” diumumkan sebagai Rumah Sakit Kristen dan Namanya diganti menjadi “RUMAH SAKIT BETHESDA”.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Rosiyatun
baru sampai sini mode alon2 😊🤭
2022-05-11
0
Rosiyatun
hm.....😊👍🏻👍🏻👌
2022-05-11
0