Pukul delapan lewat lima belas menit, Vespa Primavera Dini masuk gerbang sebelah barat dan langsung memasukkan motornya di parkiran perpustakaan. Gerbang ini lebih dekat dari pada gerbang utama yang berada di selatan sana. Kalau janji ketemuan, mereka saling menunggu di ruang tunggu perpustakaan, lebih adem dan nyaman kursinya. Dini baru saja hendak mengunci stang motornya saat Vespa Primavera Nina masuk. Kendaraan mereka bertiga ini memang sama-sama Vespa Primavera. Motor itu menjadi pilihan mereka bertiga karena bentuknya yang lucu. Scoter bergaya klasik dan terkesan mewah. Scoter ini pun dapat mencerminkan kepribadian mereka bertiga yakni sebuah hasrat yang membebaskan untuk bergaya. Tapi punya Devi jarang sekali dipakai kecuali kalau sangat perlu. Enakkan naik Trans Jogja katanya. Bisa leha-leha. Walau sedikit ngebut.
Setelah motor dianggap sudah aman, beranjaklah mereka berdua ke ruang tunggu perpustakaan. Ternyata di sana Devi sudah duduk menunggu. Duduk sendirian pakai sweater abu-abunya dengan kepala menunduk. Dini dan Nina pun bergegas menghampirinya.
“Dev...,” sapa Dini, lalu duduk di sebelah Devi. Nina mengikuti. “Sudah lama?”
Devi menghela napas , “Jam enam.”
“Jam enam...?” Nina kaget campur meringis.
Jam segitu di kampus masih langkah manusia, sekarang juga masih sedikit. Paling satpam dan para aktivis kampus yang hobi ngalong. Layanan perpustakaan pun baru dibuka jam delapan. Salah satu aktivis tersebut adalah para anak Menwa yang kabarnya kena piket markas. Seperti Bang Fajar yang salah seorang pentolannya.
“Sudah sarapan?” Dini menawarkan kue yang dia bawa dari rumah.
Devi mengambil sepotong, lalu mengunyahnya pelan.
“Makasih...” katanya sambil menunduk.
“Berat sekali masalahnya ya, Feb?” tanya Nina.
Devi hanya mengangguk pelan.
“Ceritakan semuanya kepada kami, Dev. Jangan kamu tanggung sendiri,” kata Nina.
Devi memandang Nina, lalu menghela napas panjang.
“Kita ke dalam perpustakaan yuk, layanan sudah di buka...,” ajak Nina.
Devi dan Dini menganggukkan kepala setuju. Mereka pun menghampiri petugas layanan perpustakaan untuk mendapat kunci loker tempat menyimpan tas atau jaket. Kunci loker tersebut didapat dengan menyerahkan kartu mahasiswa yang mereka miliki. Setelah tas dan perlengkapan lain tersimpan dengan baik, mereka langsung ke lantai empat yang tertinggi dan sepi. Pilih posisi meja yang pojok pula dan menghadap ke jalan raya. Jam-jam segitu lalu lintas padat merayap. Rapi, sepi, menepi...
“Baiklah, sekarang kalau mau cerita, ceritakan semuanya....kalau mau nangis dulu, nangislah...” Dini membuka acara curhat ini.
Devi masih diam semanjak naik tangga tadi. Maka, menangislah dia. Terisak pelan, tapi lama. Dini dan Nina menunggu dengan rasa prihatin, mereka berdua paham masalah ini pasti begitu berat bagi Devi.
Hampir setengah jam, mulai reda akhirnya. Dini dan Nina menghela napas. Bersiap menerima semua tumpahan masalah sahabatnya ini.
“Din, Nin, aku sudah menjadi haram...,” Devi berujar pelan.
“Hah?” Dini dan Nina sama-sama kaget.
“Haram bagaimana, Dev?” tanya Nina.
“Apa yang sudah dilakukan Mas Dika kepadamu?” tanya Dini.
Devi hanya menatap lesu, lalu menggeleng pelan. “Bukan itu, ini tidak ada hubungannya dengan Mas Dika.”
Dini dan Nina sedikit bisa menghela napas lega, setidaknya Devi masih bisa menjaga kehormatannya. Memang akan sangat sulit untuk menjaga sebuah mahkota di dunia kampus terlebih kampus di kota besar seperti ini. Butuh ekstra tenaga lebih.
Devi terisak kembali. Dini dan Nina mencoba menenangkan.
Devi melihat kedua sahabatnya, “ Ternyata Mbak Sari itu tanteku, bukan kakakku...,”
Dini geleng-geleng kepala. Dia belum bisa menangkap maksud ucapan Devi itu. Nina terlebih lagi. Selama ini kan sudah jelas kalau Devi adiknya Sari, merek berdua putrinya Om dan Tante Agus. Kenapa sekarang tiba-tiba tiada hujan atau pun angin muncul label “anak haram” dan kakak menjadi tante?
“Tenang dulu, Dev.... coba tari napas dalam-dalam...,” kata Nina.
Devi mencoba mengendalikan dirinya. Dia mulai menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, dia lakukan hal itu beberapa kali. Dini dan Nina masih memandangnya dengan perasaan yang tak kalah gundah. Jika apa yang dikatakannya itu benar, berarti memang ini masalah yang serius karena langsung menyerang aspek psikis. Devi orang yang lembut. Kalem dan halus perangainya.
“Bagaimana, Dev? Sudah merasa lebih tenang sekarang?” tanya Nina.
Devi mengangguk.
“Nah, sekarang coba ceritakan yang jelas. Apa yang kamu maksud haram tadi dan apa hubungannya dengan Mbak Sari?” tanya Nina.
Devi kembali mengambil napas panjang sekali lagi, lalu mulailah bertutur. Dini dan Nina menyimak dengan serius.
“Jadi, Mbak Sari itu anak dari nenekku. Ibu kandung ibuku...”
Kening Dini dan Nina sama-sama berkerut. Masih bingung mereka berdua.
“Oke, taruhlah Mbak Sari benar tantemu. Tapi, kamu tetap saja anak Om dan Tante Agus, kan? Bukan anak haram dong,” Dini berkomentar.
Devi terisak kembali, “Masalahnya, ayahku juga kakekku. Walau kakek tiri...”
“Hah?” Dini dan Vina terbelalak. Apa lagi ini? Masalah anak haram saja belum jelas, ini ditambah lagi dengan kakek tiri.
“Sebentar, sebentar, Dev... maksudnya gimana ini?” tanya Nina.
Devi kembali tersedu. Dini da Nina menghela napas. Dibiarkan saja Devi menumpahkan perasaannya, hingga beberapa saat.
“Ayahku menikahi seseorang perempuan bernama Asih. Dia janda waktu itu, punya anak satu. Anaknya bernama Intan, ibuku. Dari pernikahan itu lahirlah Mbak Sari. Itu yang artinya Mbak Sari adalah adik tiri ibuku. Entah bagaimana selanjutnya tentang Asih, tetapi yang jelas ayahku menikahi Asih...,” suara Devi tersendat. “Dan lahirlah aku..,” tumpah, nangis lagi Devi.
Dini kaget, Nina melongo...
“Ayahku mengawini anak tirinya. Kamu tahu kan, Din, Nin...., haram itu hukumnya. Dari yang haram, lahir aku... maka anak haramlah aku...,” kata Devi agak keras.
Dini dan Nina segera memeluk sahabat mereka ini. Sahabat sejak masa Ospek dulu, hingga saat ini.
Terisaklah mereka bertiga di lantai empat gedung perpustakaan itu. Beberapa mahasiswa dan mahasiswa yang melintas sekilas memerhatikan kelakuan mereka, tapi kemudian cuek. Di kampus ini, hukum “urus urusanmu sendiri” sudah mendarah daging.
Setelah mereda, suasana hening sejenak. Masing-masing merenungi situasi yang terjadi.
“Kacaunya lagi, suami pertama Asih adalah Mbah Winardi. Kakekku yang di Pasuruan. Asih ini katanya selingkuh dengan ayahku sehingga dicerai oleh kakekku itu. Ngerti nggak kamu, Din, Nin?”
Dini memejamkan mata. Sedikit paham. Nina menggeleng, masih buntu dia.
“Jadi begini, Nin, Mbah Winardi sama Asih itu suami istri. Si Asih ini katanya ganjen, dia selingkuh sama si Agus...,”
“Dev, itu kan ayahmu. Jangan manggil ‘si’ gitu dong...” tegur Dini.
“Biarin! Brengsek semua. Kecuali Mbak Sari, brengsek semua...!”
“Aku rasa Dini benar. Panggil ayah sama ibu aja kayak biasanya, Dev.” Nina menimpali.
“Kalian ini paham tidak sih dengan apa yang aku rasakan saat ini!?” Devi membentak, lalu bangkit hendak beranjak.
Dini dan Nina kaget, tidak seperti biasanya Devi bersikap seperti ini. Terlalu lembut dia untuk bisa marah. Mereka pun segera meredahkan suasana. Mereka sadar kondisi psikis yang sedang dialami sahabatnya.
“Tenang dong, Dev. Jangan marah, kami paham kok...,” Dini menahan Devi yang sudah berdiri. Nina turut berdiri menghalangi Devi.
Devi diam sejenak lalu kembali duduk dengan sedikit mendengus.
“Lanjut, Dev..,” Nina membuka kembali acara curhatan itu.
“Tapi jangan dipotong! Biarkan aku selesai ngomong...,” kata Devi rada ketus.
Dini dan Nina mengangguk paham.
Devi mengambil napas dalam, “Setelah ketahuan selingkuh, Mbah Winardi menceraikan istrinya, terus pergi ke Pasuruan. Tinggal di sana sampai sekarang. Ayahku membawa Asih ke Semarang, sekalian sama ibuku yang waktu itu masih SD. Kawin katanya mereka di sana. Lahirlah Mbak Sari.”
“Ooo...,” Dini dan Nina ber-’O’ bersama.
“Katanya, Agus itu playboy. Cocok sama Asih yang ganjen. Keterlaluannya, si Agus ini anak tirinya diembatnya pula. Ibuku kan jelas anak tirinya kalau dia kawin sama ibunya. Dasar buaya! Jangkrik! Kambing!” mata Devi nanar menahan air matanya yang menggenang di kelopak.
Dini dan Nina hanya bisa menunduk lemas. Mulai jelas masalah ini. Kaget bukan main, ternyata Devi bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu untuk ayahnya. Padahal betapa lembutnya dia selama ini. Tutur katanya halus dan pelan. Kalau pun marah, dia hanya diam, atau pergi. Tidak pernah ada kata-kata kasar yang terlontar dari bibirnya. Teramat sakitkah hati Devi...?
“Kemarin aku sempat cari ustadz, mau tanya masalah seorang ayah yang kawin dengan anak tirinya. Dan ustadz-ustadz yang aku tanya semuanya bilang hukumnya haram. Karena kawinnya sudah haram, maka anaknya pun juga haram. Sampai kapan pun itu...,” kata Devi sambil menatap ubin putih perpustakaan, tidak ada air mata kali ini. Mungkin sudah habis, atau sudah tidak diperlukan lagi.
Dini memeluk Devi. Nina mengusap-ngusap punggungnya. Hening sejenak. Terdengar beberapa mahasiswa yang mulai berdiskusi.
“Tapi, Dev, apa memang benar hukumnya seperti itu?” tanya Nina.
Devi mengangguk pelan, “Kawinnya haram, anaknya pun haram. Haram + Haram = Haram. Titik.”
Dini menghela napas. Setahu dia memang demikian hukum yang berlaku, “Mbak Sari sudah tahu persoalan ini?”
“Belum tahu. Aku belum cerita ke dia.”
Dini mengangguk-angguk, “Kamu dapat cerita ini dari siapa? Aku dengar tadi kok katanya-katanya terus?”
Devi menghela napas, “Ada seseorang yang memberitahuku.”
“Siapa?” kejar Dini.
***
“Siapa? Dan di mana kau berada?” geram seseorang bertubuh besar dan berpenampilan sangar itu. Rokok disulutnya, dihisap dalam-dalam lalu dikeluarkan dengan lembut. Tapi tak selembut perawakannya.
Secuil kopi
Primavera S adalah sosok evolusi paling trendi, romantis, dan manis dalam keluarga Vespa. Sang bintang dengan evolusinya yang tak henti agar tetap mengikuti tren terkini, Primavera S skuter adalah modis yang berkelas.
Warna baru disajikan sebagai pembuktian akan statusnya sebagai pemimpin tren. Blue Vivace hadir di 2020 dengan meleburkan high fashion dan elegance dalam sebuah harmoni yang penuh simfoni.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ekatea
lanjuut
2022-03-25
0