Di dalam kamar, Devi sudah bersiap. Dia tahu kalau kakaknya itu sedang menuju ke kamarnya.
“Dev...,” Sari memanggil dan mengetuk pintu kamar pelan. Suara Sari pelan namun dapat memecahkan suasana rumah yang kalut.
“Masuk, Mbak. Nggak di kunci.” terdengar sahutan Devi.
Pintu pun dibuka dan perlahan Sari masuk. Devi yang melihat kakaknya itu bangkit dari tempat tidur. Mereka saling berpelukan erat, Sari menangis sementara Devi hanya bergeming. Bahkan tanda ada air mata yang turun ke pipinya pun tidak nampak.
Devi melepas pelukan, menatap dengan tatapan yang belum pernah di lihat oleh Sari sebelumnya. “Ayo, Mbak...!” Devi menarik tangan kakaknya keluar kamar. Tujuannya hanya satu ruang tamu tempat orang tua mereka sedang berpelukan sedih.
“Mau ke mana kita? Di sini saja, Dev...,” Sari mencoba menahan.
Kembali Devi menatap kakaknya itu dengan tatapan yang belum berubah. Devi menggeleng dan kembali menarik tangan kakaknya. Sari hanya bisa nurut, dia juga ingin masalah ini cepat selesai dan keluarganya kembali damai.
Cemas. Seperti itulah raut wajah Agus dan Intan saat melihat kedua putrinya mendekat ke arah mereka. Sari segera duduk di kursi yang tadi. Devi duduk di kursi satunya yang kosong. Agus dan Intan di kursi panjang menghadap mereka berdua. Intan masih terisak, sementara Agus menatap kedua putrinya itu dengan tatapan seorang ayah. Lembut tapi tegas.
Hening sejenak.
“Devi, kamu harus percaya, Ibu sayang kamu...,” Intan berkata parau.
Devi memandang ibunya dengan tatapan aneh, lalu tersenyum dingin.
“Ayah juga sayang, kalian berdua adalah putri kesayangan ayah...” Agus mengutarakan hal yang sama. Dia memandang Devi dan Sari bergantian. Lalu, menghembuskan napas panjang.
Devi kembali tersenyum. Dingin sekali. Kayaknya minum es teh di kutub utara masih kalah dingin.
Hening kembali...
“Mbak Sari, katanya tadi ada yang mau ditanyakan? Sepertinya saat ini waktu yang tepat.” Devi memecah keheningan.
Sari menghela napas. “Devi, Mbak hanya ingin tahu, ada apa ini?”
Sari menatap Devi meminta penjelasan. Perlahan Devi memandang kedua orang tuanya. Dia merasa kasihan, ibah, sekaligus jijik, tapi entahlah mana yang benar tentang rasa itu.
“Tolong Dev, jelaskan semuanya ke Mbak!”
Devi kembali menatap Sari, “Mbak inilah kenyataannya. Mbak bukanlah kakakku, tapi tanteku...”
Bak gunung Merapi meletus tanpa ada aba-aba. Sari terkejut bukan main, matanya melotot. Intan semakin erat memeluk lengan suaminya itu. Agus hanya bisa menghela napas. Rahasianya selama ini telah terbongkar. Keluarga yang nyaman dan tentram kini terancam hancur.
“Kamu jangan bercanda, Dev. Ini nggak lucu.” kata Sari setelah sadar dari terkejutnya.
“Mbak bisa tanyakan hal ini ke Ayah dan Ibu. Yang jelas Mbak adalah tanteku. Mbak adiknya Ibu, adik tiri...” Devi melontarkan katanya begitu enteng tanpa ada beban. Kata yang dingin menusuk ke uluh hati.
“Ini tidak benar kan, Dev?” Sarii mulai panik antara percaya kepada adiknya itu atau tidak.
Devi hanya tersenyum dingin tanpa berkomentar.
“Ibu! Apakah ini semuanya benar?” Sari makin panik.
Intan tidak menjawab, terus sesenggukkan.
“Ayah...?!” giliran Agus menjadi sasaran Sari.
Lagi-lagi Agus hanya menghela napas yang kian berat.
Sari pun menangis, “Lalu, siapa ayah ibuku?”
“Ayah kita sama. Ibu, bernama Asih...,”
“Devi, cukup!” potong Agus dengan nada sedikit tinggi.
Devi tidak peduli, “Ibu Mbak Sari, sama dengan ibunya Ibu. Asih tadi.”
“Tidak.. ini tidak mungkin..” Sari menggelengkan kepala. “Ibu! Ayah! Benarkah apa yang dikatakan Devi?”
“Devi anakku...,” Intan berdiri menghampiri ‘putrinya’ sambil terus menangis.
“Tunggu!” Sari menahan pelukan Intan. “Jelaskan semua ini?!” tegasnya
“Sudahlah, apalagi yang mau kalian tutupi.” kata Devi.
Pyaaarrrr!!!
“Devi! Ayah bilang cukup...!” bentak Agus. Sebuah vas bunga yang menghiasi meja terbang melayang ke tembok dan pecah berantakan.
Semua diam. Intan dan Sari sesenggukan. Agus melotot menahan amarah. Devi... dia hanya diam tanpa ada ekspresi.
Hening sejenak.
“Ibu, Sari mohon. Tolong jawab pertanyaan Sari, apa benar semua yang dikatakan Devi?” suara Sari pelan penuh tekanan.
“Sa...ri...itu semu-” Intan masih tersenggal-senggal.
“Benar...”
Semua pandangan tertuju pada Agus. “Apa yang dikatakan Devi benar semua.”
Semakin deras air mata Sari dan Intan.
Devi. Masih diam, tenang-tenang saja memandangi adegan dihadapannya.
“Assalamu’alaikum...” terdengar salam dari luar. “Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam...” Devi menyahut lalu beranjak keluar. Tampak Pak RT dan Pak Wadi di teras rumah.
“Mbak...,”sapa Pak RT tersenyum.
Devi membalas senyum manis, “Ada apa ya, Pak?”
“Maaf, Mbak, ada apa ya? Kok tadi terdengar suara kaca pecah?” sebenarnya bukan hal yang aneh jika di rumah ada perabotan kaca yang pecah, hanya saja rumah Pak Agus ini baru saja terjadi konflik. Maka, Pak RT berjaga-jaga kalau terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Oww, tadi Mbak Sari sedikit kaget lihat ada kecoa dan tidak sengaja menyenggol vas bunga..., tapi nggak apa-apa kok,” tenang sekali Devi menjawab.
Pak RT dan Pak Wadi memandang Devi, yang dipandang malah kembali tersenyum manis. Sebenarnya Pak RT dan Pak Wadi merasa ada sesuatu yang janggal. Sejak kapan, wilayahnya ada kecoa. Padahal setiap seminggu sekali selalu diadakan kerja bakti. Terkadang sampai bingung apa yang harus dibersihkan, alhasil cuma duduk-duduk saja sambil ngobrol. Dilihat, rumah Pak Agus juga bersih, paling bersih dan asri malahan.
“Benar nih, Mbak, nggak ada apa-apa?” tanya Pak RT memastikan.
“Tenang saja, Pak. Tadi, Mbak Sari cuma kaget saja. Semua baik-baik saja kok.”
“Baiklah. Bapak cuma khawatir, takut ada apa-apa gitu.”
Devi tertawa kecil.
“Mbak juga nggak apa-apakan?” tanya Pak Wadi. Penasaran dia melihat Devi begitu tenang. Perasaan tadi Devi yang membuat gaduh di rumah ini. Jangan-jangan di balik tenangnya air terdapat arus yang deras di dalamnya.
“Saya, Pak? Sehat dong...,” Devi menekuk tangannya ke atas macam Ade Rai.
Terpaksa Pak RT dan Pak Wadi tertawa kecil. Ono ono ae si mbak...
“Ya sudah kalau begitu. Salam saja buat Pak Agus,” kata Pak RT.
Devi mengangguk, “Nanti saya akan sampaikan.”
Sepergian Pak RT dan Pak Wadi, Devi kembali masuk ke ruang tamu. Terlihat Sari sedang berpelukan dengan Intan, Agus sedang membereskan pecahan beling. Sepertinya saat Devi menemui Pak RT tadi, telah terjadi perbincangan di sini. Si anak haram pun kembali duduk di kursinya yang tadi. Menunggu kelanjutan pertunjukkan.
Hening lumayan lama...
“Kalau semuanya sudah jelas dan tidak ada lagi yang dibahas, saya mau balik ke kamar. Tidur....” kata Devi. Habis lama sekali diam-diaman di situ.
“Tunggu sebentar, Dev! Dari mana kamu tahu semua ini?” tanya Sari.
“Bu Marta.”
“Siapa sih Bu Marta tadi?” Sari bertanya lagi.
“Kalau soal itu, biar Ayah yang menjelaskan...” jawab Devi
Sari memandang ayahnya. Agus hanya diam menatap anggota keluarganya.
“Sudahlah, Mas, tidak perlu ada yang ditutupi lagi.” Intan menimpali.
Tapi, Agus masih diam. Hanya helaan napas beratnya yang terdengar.
Devi tidak tahan melihat ayahnya masih diam saja, “Saat itu, Bu Marta adalah tunangan Ayah. Ayah mencampakkannya setelah selingkuh dengan ibunya Mbak Sari...” Devi yang menjawab akhirnya.
Desi melongo tidak percaya. Intan membisu.
“Devi...,” Agus berkata pelan.
“Kenapa Ayah? Apa ceritaku salah?”
Agus geleng-geleng kepala.
Hening lagi. Kelihatannya semua sedang menelaah cerita ini.
“Kalau begitu Devi...,” tiba-tiba Sari sadar akan sesuatu.
Devi mengangguk, “Anak haram. Karena pernikahan Ayah dan Ibu juga haram. Dari yang haram maka akan turun haram...,” dia mengutip Mas Ustadz dulu.
Intan yang sudah mulai tenang, mulai terisak lagi. Desi segera beranjak dan memeluk adiknya. Intan ikut memeluk. Devi diam tanpa menolak. Dia membalas pelukan kakaknya bahkan lama mendekap ibunya. Semua larut dalam kesedihan, kecuali Devi. Entah ke mana perginya air mata itu. Padahal, hatinya pedih bukan main tersayat-sayat...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments