Devi pun menceritakan pertemuan dan perkenalannya dengan seseorang yang bernama Marta. “Pertama kali jumpa di minimarket dekat pom bensin, terus sering ketemu di situ. Awalnya cuma saling angguk-anggukan kepala karena dia yang selalu menyapa duluan. Lanjut kenalan. Orangnya baik. Nggak ada cerita apa-apa sampai dia tahu aku adalah anaknya Agus. Setelah tahu, dia seperti terguncang. Terus, ceritalah yang tadi aku ceritakan ke kalian berdua.”
“Wah, nggak bisa begitu dong, Dev!” Nina langsung nyembur. “Kok kamu bisa percaya sepenuhnya begitu, sih? Emang siapa dia? Jangan-jangan kamu dihipnotis...”
“Benar juga kata Nina, Dev. Kita harus hati-hati,” Dini ikut mendukung.
Devi diam menunduk.
“Kita tidak tahu apa maunya perempuan itu kan?” tanya Nina lagi.
Devi menggeleng pelan, “Dia biang hanya mau kasih tahu apa yang sebenarnya. Alasannya, karena aku berhak tahu yang sebenarnya. Dia tahu nama lengkap Mbah Winardi. Tahu juga kalau rumahnya di Pasuruan. Tahu nama lengkap Asih. Tahu nama lengkap ayahku, sekalian bekas luka di lengan tangannya. Kata Bu Marta, luka di lengan ayahku itu gara-gara berkelahi dengan Mbah Winardi. Kata ayah, jatuh dari motor. Dan dia tahu persis siapa Intan, ibuku. Yang nggak tahu cuma tentang aku. Tentang Mbak Sari, dia hanya jenis kelaminnya dulu saat mbak belum lahir. Kata Bu Marta, informasinya habis setelah lahir anak perempuan dari kawinan ayahku dan Asih. Nggak lama kemudian ibunya Asih meninggal. Bu Marta, ayahku, Mbah Winardi, Asih, dan ibuku, dulu satu kampung di Kertosono. Benar juga soal ini, ibuku pernah cerita. Walaupun aku sendiri belum pernah ke sana.”
Dini dan Nina menyimak dengan seksama. Sepertinya masuk akal kalau Devi percaya.
“Lantas ada apa Bu Marta itu ada di dekat-dekat Godean?” Dini masih terus mengorek informasi.
“Rumahnya memang di sekitar Godean. Dan suaminya dulu kerja di situ sampai pensiun. Tapi, sekarang sudah meninggal tiga tahunan lalu.”
“Sudah lama dong dia di situ?” kejar Dini.
Devi mengangguk, “Katanya hampir tujuh tahunan.”
“Kok nggak singgah ke rumahmu saja kalau memang kenal dengan ayah dan ibumu?” tanya Nina.
“Dia nggak tahu. Tahunya ya setelah aku bilang anaknya Agus. Kaget pula dia, kemudian tanya nama lengkap, aku kasih tahu. Nangislah dia...”
“Kenapa nangis?” tanya Dini.
Devi mengangkat bahu, “Entah nangis saja.”
“Berarti kamu dong yang kasih tahu nama ayahmu?” tanya Nina.
“Nama ayahku kan cuma tiga kata. Nah, baru aku sebut dua kata saja, dia bisa sebutkan yang ketiga. Benar, terus nangis.”
Dini dan Nina terdiam. Devi mengusap kelopak matanya yang mulai banyak bening menggenang.
“Tapi, Dev, kenapa saat pertama ketemu dia tanya-tanya orang tuamu?” Dini bertanya kembali.
Devi memandang Dini, dia tidak langsung menjawab.
“Maaf, Dev, kita penasaran saja,” kata Dini kemudian.
“Katanya, wajahku mirip dengan Asih...Sialan!” desis Febi, matanya kembali penuh dengan air mata yang hampir jatuh.
Dini dan Nina menghela napas. Nina mengusap-usap punggung sahabatnya yang sedang dirundung permasalahan jati diri ini.
“Kata Bu Marta, dia dan Asih adalah sahabat karib. Amat akrab sekali...,” Devi terhenti sejenak, matanya sudah tidak tertahan lagi. “Ayahku adalah tunangan Bu Marta waktu dia selingkuh dengan Asih. Berantakan semua rencana pernikahan ayahku dengan Bu Marta gara-gara perselingkuhan itu terbongkar oleh Mbah Winardi. Padahal, tinggal selangkah lagi menuju bahtera rumah tangga yang bahagia.”
Kembali Dini dan Nina menghela napas, udara AC cukup untuk menenangkan pikiran.
“Kamu sudah tahu rumahnya Bu Marta?” tanya Nina kemudian.
Devi mengangguk.
“Pernah ke sana?”
Devi mengangguk lagi.
Dini dan Nina lirik-lirikan.
Devi paham akan maksud kedua sahabatnya itu. “Kuliah gimana?”
Dini melihat jam tangan mungilnya, jarum kecilnya menunjuk ke angka sepuluh. Ada tiga mata kuliah hari ini, dua mata kuliah gampang lah itu, tinggal baca materi dari buku. Masalahnya yang satu lagi ini rada merepotkan, metode penelitian sosial. “Nin, biasa... Fika,” kata Dini.
Nina mengangguk paham. Nina pun menghubungi Fika, teman mereka yang pandai sekaligus baik dalam hal meminjamkan catatannya.
“Iya, Fik, mendadak banget ini keperluannya. Boleh, ya? Nah gitu dong. Gampang lah nanti aku traktir bakwan kawi atau cilok deh. Ya? Oke... Terima kasih cantik.” Beres.
Dini mengangguk-angguk.
“Dev, kami mau kenalan juga dengan Bu Marta. Boleh kan?” tanya Dini.
Devi mengangguk, “Boleh... Ayo...”
Mereka berangkat ke kawasan Godean. Devi di bonceng Dini, helm pinjam punya Fajar, sementara Nina naik motor sendirian buntut di belakang mereka. Devi menunjukkan belokan-belokan jalan ke rumah Bu Marta. Ini berarti Devi pernah ke sana. Akhirnya, tiba di depan rumah berukuran sedang, tapi berhalaman luas. Asri, banyak pohonnya, macam-macam bunga juga ada.
Turunlah mereka bertiga dari motor masing-masing.
“Assalamu’alaikum,” Devi mengucap salam. Namun belum ada jawaban.
“Assalamu’alaikum...,” Devi mengulang lagi dengan suara agak keras.
“Wa’alaikumsalam...,” terdengar sahutan dari dalam rumah.
Seorang wanita paruh baya membukakan pintu, “Eh, Devi...” wanita itu tersenyum ramah. “Ayo masuk,” ajaknya.
Devi, Dini, dan Nina pun masuk. Di dalam rumah terlihat rapi juga. Berbagai perabotan kuno tertata begitu apik dan bersih. Terus terang, Nina rada-rada kecewa karena Bu Marta tidak terlihat seperti tukang gendam. Tadinya, kalau saja dugaannya benar, dia mau labrak duluan. Sudah siap jurus khas Bataknya.
“Bu, ini teman-teman saya.” Devi memperkenalkan Dini dan Nina.
Bu Marta tersenyum manis sambil melihat mereka satu persatu. Rindu sekali kelihatannya.
“Maaf, Bu, kami mengganggu nggak?” tanya Devi lagi.
“Oo, tidak. Malah senang ibu kedatangan wanita-wanita cantik seperti kalian.”
Mereka tersenyum kecut.
“Ada yang bisa ibu bantu, Dev? Apa ini semua tentang Mas Agus ya?” tebak Marta.
Devi mengangguk.
Marta hanya tersenyum, “Kalian bertiga sekampus?”
“Iya, Bu,” kali ini Dini yang menjawab.
“Sekelas?Eh, apa? Sejurusan yak kalau di kampus namanya?”
“Iya, Bu. Seangkatan, seumuran juga,” Nina yang jawab.
Marta mengangguk-angguk, “Berarti dua puluh tahunan ya kira-kira?”
Ketiganya mengangguk.
“Pantesan, masih cantik-cantik...,” kata Marta. “Oo iya, apa yang mau Devi tanyakan? Kalau bisa jawab nanti pasti ibu jawab.”
“Sebenarnya yang mau nanya teman-teman saya ini, Bu. Kalau boleh.” jawab Devi.
“Oo, boleh. Silakan. Sahabat memang harus saling tahu dan membantu.”
Dini dan Nina mesem lagi.
Lalu hening....
“Lho, kok malah diam semua?” Marta tersenyum. “Sampai lupa Ibu. Sebentar ya, Ibu buatkan minum dulu ya.”
“Nggak usah, Bu, terima kasih. Kami cuma sebentar saja.” kata Dini. “Eem... begini, Bu, memang ini bukan urusan saya sama Nina. Tapi, Devi adalah sahabat kami. Seperti yang Ibu katakan, sahabat mesti tahu dan saling membantu...,” Dini membuka acara curhat.
Hening sesaat. Marta terlihat menghela napas tapi masih tetap tersenyum.
“Tadi Devi sempat cerita tentang Ibu, Om, dan Tante Agus. Terus terang, kami sempat kaget sekali saat mendengar itu semua. Apa semua cerita Devi benar?” tanya Dini. Langsung tembak.
Marta menghela napas lagi, “Semuanya memang benar.”
Kembali hening. Dini dan Nina sekarang jadi bingung sendiri mau tanya apa lagi.
“Devi, Dini, sama.... Nina. Betul Nina, ya?” Marta bertanya pelan.
Nina mengangguk.
“Ibu tidak berniat apa-apa saat memberi tahu semuanya itu ke Devi. Awalnya hanya terkejut saja saat Ibu melihat Devi yang wajahnya mirip sekali dengan sahabat Ibu dulu. Mulai dari lesung pipitnya, matanya, bibirnya, alisnya, semuanya lah mirip sekali. Cuma Devi lebih tinggi dibandingkan sahabat Ibu dulu. Maklum anak dulu kurang gizi. Beda dengan anak zaman sekarang kan gizinya cukup...” Marta tertawa kecil mencairkan suasana.
“Ah nggak, Bu, Devinya aja memang jangkung...,” celetuk Dini yang terlihat paling pendek di antara mereka, walaupun tingginya masih terhitung normal dari cewek pada umumnya.
Mereka pun tertawa semua. Pelan saja.
“Nah, nggak tahu kenapa setelah bertemu yang pertama itu kok rasanya jadi sering ketemu sama Devi di minimarket sana. Lalu kenalan lah kita. Lalu, terbesit begitu saja Ibu menanyakan siapa orang tuanya. Dan....ya itulah.”
Hening lagi.
“Setelah tahu nama ayahnya, waktu itu Ibu mengira kalau Devi putrinya Asih, sahabat Ibu itu. Demi Allah, Ibu tidak tahu... sama sekali tidak menyangka kalau Devi ternyata putrinya Intan. Dini dan Nina sudah tahu nama aslinya Tante Agus?”
Mereka berdua mengangguk.
Marta menghela napas panjang. Lalu suasana kembali hening. Kini sedikit lama.
“Dulu, Ibu sering momong Intan kalau ibunya sedang repot. Waktu itu, suami Asih bukan atau belum Mas Agus,” mata Marta mulai tampak berkaca-kaca.
Hening lagi.
“Yah, begitulah...,” kata Marta kemudian sambil tersenyum kecut, di matanya semakin jelas terlihat kabut menyelimuti.
“Waktu tahu ayahnya Devi, Ibu langsung cerita?” tanya Nina.
Marta menggeleng.
“Kata Devi tadi, Bu Marta langsung cerita...?” kejar Nina.
“Maksudku, setelah beberapa kali bertemu lagi, Nin. Yang pertama kali bertemu kan Bu Marta cuma menangis. Aku juga nggak tahu kenapa Bu Marta menangis.” Devi memperjelas ceritanya di perpustakaan tadi.
Marta mengangguk-angguk.
“Oo...,” Nina ber-O-.
“Kalau kami boleh tahu, kenapa Bu Marta mengangis waktu itu?” giliran Dini yang penasaran.
Marta tidak langsung menjawab, dia melihat Devi dulu.
Devi mengangguk.
“Apa Devi sudah menceritakan tentang perselingkuhan?” tanya Marta pelan.
Dini dan Nina mengangguk.
“Itulah sebabnya... Tapi, itu sudah bukan masalah, sudah lama juga. Yang membuat Ibu terkejut justru soal Intan. Setelah direnungkan dengan matang-matang, Ibu memutuskan, kalau Devi memang benar-benar harus tahu. Ibu melakukan ini agar tidak terlambat di kemudian hari.”
Hening kembali. Lama seperti yang tadi. Hanya terdengar deting jam berdetak mengiringi detak jantung mereka.
Marta berdiri, “Sebentar ya, Ibu buatkan minum dulu...” katanya dan langsung beranjak. Dini tidak sempat mencegahnya.
“Gimana, Din? Vin?” bisik Devi saat Marta sedang di dapur.
Dini dan Nina sama-sama menghela napas. Sepertinya memang Bu Marta tidak berbohong. Perasaan mereka berkata begitu.
“Gimana?” bisik Devi lagi.
“Sepertinya cerita Bu Marta benar terjadi, bukan rekayasa.” jawab Nina.
Dini mengiyakan.
Devi pun menghela napas panjang, lalu diam terpekur menatap ubin. Matanya berselaput air mata.
“Tenang, masih ada kami bersamamu, Dev...” bisik Dini. Nina ikut menenangkan.
“Berarti, jelas sudah aku ini anak haram, kan?” Devi mulai terisak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ekatea
bacanya harus benar-benar teliti untuk bisa sampai memahami bagaimana sebutan anak haram itu bisa tersemat ke Devi
2022-03-27
1
Ekatea
lanjut
2022-03-27
0