Agus membawa motor Ninjanya ke halaman rumah Pak Sarikun. Tampak di teras rumah Pak dan Bu Sarikun. Mbah Tejo tegang melihat kehadiran Agus.Tadi, sampai setengah sepuluh malam Agus berada di tepian sungai, dia merenungkan tentang langkah selanjutnya. Kesimpulannya, harus ada ‘kata putus’ tidak bisa digantung terus persoalan ini. Maka, dia akan menanyakan sekali lagi kepada Marta. Apa pun itu, selanjutnya tergantung Marta. Agus sudah siap dengan semua kemungkinan, bahkan yang terburuk sekali pun. Dia kan sudah mati...
Tadinya dia mau menyapa orang tua dan Mbah Tejo itu. Tapi, karena mereka semua malah melengos, Agus pun mengurungkan niatnya. Langsung saja dia melangkah masuk ke rumah tanpa permisi. Kalau misalnya ditahan atau dilarang, maka Agus menganggap itulah keputusan Marta. Tapi ternyata mereka yang di teras diam saja, membiarkan Agus begitu saja masuk ke rumah.
Agus termenung sejenak di depan kamar Marta yang pintunya tertutup rapat. Perlahan, pintu pun diketuk Agus.
“Marta.., ini aku. Bisa kita berdua bicara sebentar?” katanya.
Tidak ada jawaban dari dalam, tapi volume tape yang melantunkan lagu sendu itu mengecil. Berarti Marta dalam keadaan sadar di dalam sana. Tidak sedang tidur atau melamun.
“Marta..., tolong buka pintu. Aku ingin menjelaskan semuanya.”
Masih tidak ada jawaban. Agus menunggu beberapa saat. Lalu, menghela napas panjang. Sekali lagi, kan katanya jatah mengetuk pintu itu tiga kali. Apa pun itu keputusannya Marta ada di ketukan terakhir ini. Setelah membulatkan hati, dia kembali mengetuk.
“Marta..., aku mohon kamu mau mendengar ceritaku. Kalau aku memang salah, salahkanlah. Tapi aku mohon kamu dengarkan dulu ceritaku....”
Habis sudah jatah ketukannya. Agus menunggu sesaat. Kesepakatan hatinya tadi, tiga menit. Kalau melebih itu, dia akan pergi dan berarti sudah jelas keputusan yang diambil Marta. Sementara, di dalam sana Marta sudah mulai goyah sebenarnya. Bagaimanapun, dia memang mencintai Agus. Kesadaran bahwa tidak ada manusia yang lepas dari khilaf, sebagaimana yang tertera dalam buku agama yang sedang dibacanya, sudah mulai merasuk ke hati. Tinggal memaafkan saja, lalu semuanya akan baik-baik saja.
Tapi, perasaan Marta masih ragu dan bimbang. Begitulah wanita, memainkan ombak perasaan dan mengorbankan perahu yang berlayar.
Sementara waktu tidak dapat dibendung lagi. Satu menit, dua menit..., Agus menghela napas, dia memejamkan mata. Tiga menit... Selesai sudah. Dengan napas yang berat, dia melangkah keluar rumah. Orang tua Marta yang ada di teras tidak dianggapnya sama sekali. Ngelonyor saja Agus melintas karena mereka juga masih cuek saja seperti tadi. Aku sampah, begitu juga kalian tidak jauh beda. Begitu suara ‘setan’ membisik dalam hati. Motor distarter, dan langsung melesat pergi...
Mendengar suara motor berlalu, Marta terkejut. Tadinya dia berharap akan ada satu panggilan lagi untuk meyakinkan hati. Cucu Mbah Tejo itu bergegas keluar kamar dan berlari ke depan. Tapi Agus sudah lenyap, yang tersisa hanya kepulan asap putih motornya. Marta pun terisak, sebentuk sesal mulai menyergap hati. Besok dia kan menemui Agus. Meminta maaf dan memintanya untuk kembali menjalin hubungan dengannya. Sekarang sudah teramat larut malam. Aku mencintaimu, Mas...
Orang tua Marta dan Mbah Tejo hanya bisa memandang ibah kepada nasib anak dan cucu perempuannya itu.
Tadinya, Agus mau balik ke sungai lagi. Kalau perlu tidur sekalian di situ seperti orang edan. Rumah sudah menolaknya, begitu juga para penghuninya. Untuk itu kenapa harus pulang. Toh sudah dianggap mati. Rasanya setengah kesadaran dirinya sudah lenyap. Dengan mata merah menahan marah, motor Ninjanya dipacu kencang. Jalanan desa sudah sepi malam itu. Tapi di persimpangan sana rasa ingin menengok Asih tiba-tiba saja muncul. Agus belum tahu keadaan Asih lagi sejak diambil paksa oleh ibunya dari rumah sakit karena tidak ada biaya. Sedihnya, tidak ada warga yang berani membantu mereka karena menurut hukum adat, Asih adalah ‘goro-goro’, penyebab masalah dan sudah berzina.
Terlihat rumah almarhum Pak Karman yang terang temarang. Sejak Pak Karman meninggal, kehidupan Bu Karman memang sedikit terganggu dalam masalah perekonomian. Winardi, sang menantu, tidak bisa diandalkan. Bukannya menolong, malah tambah buat susah.
Agus berhenti sebentar, mengatur niatnya. Lalu menlanjutkan ke sana. Setelah memakirkan motor, dia menuju pintu depan dan langsung mengetuk pintu.
Bu Karman membuka pintu. Agak terkejut awalnya tapi segera tersenyum kembali saat melihat kemunculan putra Pak Tulus yang sedang menjadi sorotan di kampung ini. Sama seperti yang dialami putrinya.
“Assalamu’alaikum, Bu. Maaf mengganggu malam-malam. Asih ada?” Agus menyapa.
“Wa’alaikumsalam, Nak Agus. Ada kok. Larut malam begini, ada apa ya?” balas Bu Karman.
Agus sedikit tertegun saat dipanggil ‘Nak’ oleh ibunya Asih. Cuma sedekar ‘Nak’ padahal, tapi ada suasana yang berbeda, ada rasa lain yang meresap dalam hati. Adem, sejuk di hati. Bu Karman, termasuk salah seorang korban terberat dari kejadian ini walau tidak langsung, masih punya pancaran kasih sayang. Kenapa bapak ibunya begitu juga orang tua Marta kejam semua? Kasar sekali kata-kata yang keluar, sumpah serapah yang ada.
“Nak Agus...,” Bu Karman menyadarkan Agus yang agak melamun.
“Eh, iya, Bu. Anu, Asih ada?” Agus mengulang pertanyaannya kembali.
“Ada kok. Mari masuk.” ajak Bu Karman ramah.
Maka jatuh hatilah Agus. Rasa punya ibu baru.
Asih terbaring di dipan kayu beralaskan kasur tipis. Intan tidur di bawahnya, beralaskan kasur tipis juga. Agus mendekat, terenyuh dia melihat derita yang dialami mantan pujaan hati para pemuda di masa lalu itu.
“Biarlah Asih istirahat, Bu. Pasti lelah sekali dia.”
Bu Karman mengangguk-angguk. Matanya mengejap-ngejap menahan tangis.
Akhirnya, Agus duduk berdua saja dengan Bu Karman di ruang tamu. Tidak ada apa-apa di ruang tamu ini. Hanya satu set kursi kayu tua.
Bu Karman masuk ke dalam, sesaat kemudian muncul membawa air minum. Cuma air putih. Itu yang ada kata beliau.
“Terima kasih, Bu.” kata Agus seraya meminumnya habis. Panas badannya terbakar api amarah seharian.
“Mau Ibu ambilkan lagi?” tanya Bu Karman melihat Agus yang kehausan itu.
“Nggak usah, Bu. Terima kasih.”
Bu Karman tersenyum pedih. Hanya bisa memberi air putih.
Hening agak lama. Agus masih bergejolak dengan hati dan pikiran. Riuh nian keduanya.
“Bu Karman, bolehkah saya menikahi Asih?” akhirnya Agus memberanikan diri. Sangat hati-hati dia berbicara.
Istri almarhum Pak Karman itu terkejut, lalu terdiam. Mencoba tenang, dia tahu ini adalah keputusan yang sangat berat bagi Agus setelah kejadian itu.
Bu Karman menghela napas, “Kalau buat Ibu, terserah Asih saja. Kalau memang itu yang bisa buat bahagia, silakan. Tapi maaf, sebaiknya ditanyakan dulu ke bapak dan ibu Nak Agus. Selain itu, bagaimana dengan Marta?”
“Marta sudah tidak mau lagi dengan saya, Bu. Sebelum ke sini, saya sudah ke rumahnya. Kedua orang tuanya juga sudah tidak menganggap saya lagi.”
Bu Karman terdiam.
“Nak Agus, kejadian seperti ini jelas bukan hal yang sepele. Pasti banyak yang kecewa, sedih, marah, dan lain-lain. Tapi kejadian ini bukanlah yang pertama kali di sini. Pernah beberapa kali kejadian ini sudah terjadi. Nanti lama-lama juga reda. Memang akan membutuhkan waktu yang lama tapi pasti akan reda kok. Saat ini, Marta memang masih marah, kecewa, dan sedih itu pasti. Perlu waktu untuk dia pulih. Begitu juga dengan Bapak dan Ibu Nak Agus...”
Giliran Agus terdiam takzim. Tapi, bukannya tergugah oleh nasihat Bu Karman, dia malah semakin yakin dengan keputusan yang dia ambil yakni memilih Asih. Buat apa lama-lama? Toh kejadian ini tidak akan bisa disembuhkan secara total. Mereka semua sudah menyakiti hati Agus begitu dalam, untuk alasan apalagi dia yang harus dikorbankan lagi? Begitu bisikan ‘setan’ di telinga Agus.
“Tidak, Bu, semuanya sudah selesai. Saya tidak punya kesabaran seperti Ibu. Saya akan tetap teguh dengan keputusan untuk memilih Asih...”
Bu Karman kembali menghela napas. Nampak kedua kelopak matanya berkaca-kaca.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments