di situ

Agus menimbang-nimbang niatnya. Kemarin dia sudah mengecek langsung alamat Marta. Benar ternyata. Terlihat mantan tunangannya itu sedang menyapu halaman sebuah rumah asri di kawasan atas Kaliurang. Alamat itu bukan dari Devi, Agus sendiri yang mendapatkan alamat itu dari buku telepon. Tinggal buka halaman ‘T’, lalu berderetlah nama Tri Wibowo di situ.

Dari sekian, yang insinyur cuma ada tiga. Dari tiga yang dekat-dekat dengan Godean cuma satu. Dua yang lain kejauhan kalau Devi mesti ke sana hanya untuk masuk tokoh. Tri Wibowo, Ir., M.Sc. Walau ada M.Sc.-nya, Agus yakin itulah Tri Wibowo sahabatnya. Tapi memang siapa sangka Tri ada di Yogyakarta? Pastinya, dulu Tri pun tidak menyangka kalau Agus ada di sini. Alangkah dekatnya mereka selama ini.

Agus memanggil istrinya. Intan menghampiri. Duduklah mereka berdua di teras depan. Sari dan Devi belum pulang dari kampus. Suasana gonjang-ganjing ini masih sangat terasa karena baru empat hari lalu terjadi.

“Intan, kamu mau ketemu Bulik Marta?” tanya Agus.

Intan memandang suaminya, lalu mengangguk.

“Benar mau?”

Intan kembali mengangguk, “Mau sekali, tapi, Mas tahu alamat rumahnya?”

“Aku tahu alamat rumahnya...”

Kening Intan sedikit berkerut, “Devi yang ngasih tahu?”

Agus menggeleng, “Ada lah pokoknya. Ayo segera bersiap-siap”

Maka, mereka berdua pun bersiap. Intan kelihatan bersemangat sekali. Dia ingin minta maaf langsung ke Bulik Martanya yang baik hati.

Beberapa waktu kemudian...

Mercedes abu-abu itu pun berhenti di depan sebuah rumah. Rumah yang dihuni oleh mantan tunangan Agus dulu, Marta. Agus terlihat sedikit gugup. Bagaimana jika nanti Marta menolak kehadiran mereka atau malah membalas perlakuan kasarnya waktu itu? Membentak atau mengusirnya? Ahhh, bagaimana ini....?

“Mana, Mas? Rumah ini?” Intan bertanya sambil menunjuk rumah di sisi kirinya.

Agus mengangguk.

Intan segera turun tanpa gentar. Dia yakin Bulik Marta orangnya baik. Agus menghela napas dan meminggirkan mobil. Setelah yakin mobilnya tidak mengganggu pejalan lain, dia pun menyusul Intan. Ada rasa dag dig dug bagaimana gitu..., jantungnya berdebar.

Intan mengetuk pintu, “Assalamu’alaikum...”

“Wa’alaikumsalam,” langsung dapat jawaban dari dalam rumah.

Pintu terbuka. Marta terbelalak melihat siapa yang ada di depan pintu. Intan dan Agus. Serasa lepas tulang tempurung lututnya. Untung tidak sampai ambruk ke lantai.

“Apa kabar Bulik...?” sapa Intan.

“Intan...,” Marta mendesah.

Sesaat saling memandang, lalu berpelukan erat. Lanjut saling tangis. Agus dicuekin saja. Sekejap Marta lupa kalau ada ‘sang mantan’ juga di situ. Agus memandang adegan ini dengan senyum kecut.

“Eh, Mas Agus..., Maaf...” Marta melepas pelukan, terus tersenyum ke arah Agus.

Agus pun ikut tersenyum. “Marta..., apa kabar?” katanya pelan sambil mengangguk dan mengulurkan tangan.

Marta menyambut. Punggung tangan kanan mantan tunangannya itu diciumnya dengan syahdu. Menghayati sebentuk perasaan yang sulit untuk diungkapkan lewat kata-kata. Bagaimanapun, mereka berdua dulu pernah sedemikian dekat.

Melihat ini, Intan jadi terharu dengan adegan ini. Antara senang dan sedih.

Marta pun mempersilakan masuk kedua tamu istimewanya ini. Duduklah mereka bertiga di ruang tamu yang tertata rapi itu.

“Sebentar ya, Mas, Intan. Saya buatkan minum dulu.” kata Marta. Sekalian ganti baju, soalnya saat itu dia mengenakan daster rumahan.

Intan dan Agus mempersilakan.

Sebentar, Marta sudah membawa nampan berisi dua gelas teh hangat dan segelas kopi. Dia tahu kalau Agus ini suka ngopi. Tidak lupa kue kering buatannya sendiri.

“Maaf, adanya cuma ini... Silakan, Mas, Intan diminum.” kata Marta

Agus mengangguk. Agus dan Intan saling memandang, lalu sama-sama tersenyum. Ternyata, Marta masih ramah seperti dulu.

“Terima kasih, Bulik.” jawab Intan.

Merek bertiga pun menyeruput minumannya masing-masing.

Di dinding ruang tamu ini terpajang foto Tri dengan ukuran yang cukup besar. Tampan juga, berkumis rapi dan berjas hitam. Kaca matanya masih tebal, tapi sudah bergaya kekinian. Tidak kentara tebalnya. Cuma, rambutnya sedikit amat alias hampir botak. Mungkin kebanyakan mikir. Maklum,orang pintar.

Agus tersenyum sendiri saat melihat foto itu.

“Kenapa, Mas?” tanya Intan.

“Kamu masih ingat dengan Paklikmu itu?” Agus balik bertanya.

Intan menggeleng. Selain ibu, nenek, dan ayahnya, hanya Bulik Marta saja yang masih dia ingat wajahnya dari orang-orang kampung di Nganjuk sana. Tentu Mas Agusnya tidak ketinggalan. Selain itu, sudah tidak ada memorinya.

“Itu Paklik Tri. Sahabat terbaikku...,” Agus berkata dengan rindu yang mendalam. “Saat semua orang menjauhiku, dia satu-satunya orang yang justru mendekat.”

Intan yang duduk di samping Agus manggut-manggut. Marta tersenyum, dia membenarkan apa yang diungkapkan Agus. Mas Tri sendiri yang sering cerita tentang Mas Agus.

“Marta, aku minta maaf soal kejadian kemarin. Aku yang salah. Aku kaget sekali saat melihat kehadiranmu...,” Agus membuka pembicaraan.

“Sama-sama, Mas. Saya juga minta maaf sudah membuat tidak nyaman keluarga kalian.”

“Nggak nyangka, selama ini kamu dan Tri begitu dekat dengan rumahku. Kata Devi, sudah hampir enam tahun di sini, ya?”

Marta mengangguk.

“Tri kerja di mana?”

Marta menyebutkan sebuah instansi tempat suaminya dulu bekerja.

“Pasti menjadi kepalanya?” tebak Agus.

Marta mesem mengangguk.

“Nah kan, memang pintar Tri, tekun belajarnya. Beda jauhlah kalau sama aku.”

Marta dan Intan sama-sama tersenyum.

“Mas Agus juga pintar kok. Bisnisnya lancar, rumahnya besar, duitnya banyak,” Marta mengimbangi pujian Agus.

“Hehehe..., iya pintar  ngibul. Kalau Tri memang pintar beneran.”

 Tertawa semua.

“Maaf, kapan Tri meninggal?” tanya Agus lagi. Sudah tahu sih samar-samar dari Devi. Cuma belum tahu penyebabnya.

“Mas Tri, meninggal dua tahunan lalu, dia kena serangan jantung.”

Agus menunduk, “Tri orang baik. Pasti dia tenang di alam sana. Penuh kantong pahala sih. Nggak pernah aneh-aneh, sahabatku satu itu...”

Marta dan Intan menunduk.

Hening sejenak.

“Bagaimana kabar Devi dan Sari?” tanya Marta kemudian.

“Alhamdulillah, baik-baik saja, Bulik,” Intan menjawab.

“Devi...?” Marta khusus bertanya, soalnya dia masih kebayang sorot mata aneh yang sempat diperlihatkan gadis itu kepadanya.

“Baik. Semuanya sudah kembali tenang.” jawab Intan.

Marta menghela napas. Mudah-mudahan demikian yang terjadi.

Hening lagi beberapa saat.

“Eem...., Mas, saya belum tahu kabarnya Asih...,” Marta berkata dengan hati-hati.

Agus mengangkat kepalanya yang tadi agak menunduk. Intan yang justru sekarang menunduk.

“Sudah lama meninggal. Sesaat setelah melahirkan Sari. Berarti, hampir dua puluh tiga tahun yang lalu...,” Agus menjawab pelan.

Mata Marta berkaca-kaca. Walau dia sudah bisa menduga itu, tapi tetap saja menekan hati. Tidak mungkin Agus menikahi Intan kalau Asih masih ada. Sekalipun, katakanlah mereka telah bercerai. Pasti Asih sudah tidak ada, pasti sudah meninggal. Begitu dugaan Marta, dan ternyata benar juga. Kalau soal Agus menikahi Asih, Marta sudah tahu itu. Bu Karman yang memberi tahu berdasarkan info surat yang dikirim menantunya dari Semarang.

“Marta, kenapa malam itu kamu tidak mau keluar menemuiku?” tanya Agus. Suaranya bergetar. “Aku tahu kamu ada di dalam kamar. Aku tahu kamu marah kepadaku. Kalau mau memaki-maki, aku terima itu. Asal keluar... Aku sangat butuh bertemu kamu malam itu. Aku sangat berharap itu...”

Marta menunduk. Pita kenangannya terulang kembali ke saat Agus datang malam-malam mengetuk pintu kamarnya. “Saya keluar, Mas, tapi sudah terlambat...”

Agus terkejut, “Maksudmu?”

Marta menghela napas, “Saya melihat Mas Agus pergi naik motor. Saya panggil-panggil, tapi kayaknya Mas tidak dengar. Ngebut sekali waktu itu.”

Agus memandang Marta.

Marta memandang dengan sendu. “Tadinya mau saya susul ke rumah Mas, tapi sudah terlalu malam. Besoknya, pagi-pagi, saya datang ke sana. Mas sudah tidak ada. Siangnya saya tunggu masih nggak ada. Sore saya ke sana lagi. Tetap nggak ada juga. Bapak dan Ibu nggak tahu ke mana Mas perginya. Saya pikir belum pulang saja. Tiga hari saya bolak-balik ke rumah, sambil terus tanya-tanya ke teman-teman Mas mungkin ada yang tahu. Ternyata, Mas Agus memang sudah tidak ada di kampung. Bu Karman yang ngasih tahu. Beliau juga yang cerita semuanya...”

Marta terisak pelan. Intan juga. Agus masih terkejut.

Terpopuler

Comments

Rara Dapoer Snacks

Rara Dapoer Snacks

lama g up... sudah menanti sekian purnama 😆🙏

2022-04-27

1

lihat semua
Episodes
1 00. Prolog
2 Kampus putih
3 vespa primavera
4 minimarket
5 islamic center
6 rs bethesda
7 teras
8 Mercedes
9 ruang tamu
10 kisah itu
11 ninja pasar
12 tentang cerita
13 dan terjadi
14 sesaat itu
15 kehadiran
16 turun temurun
17 di situ
18 titik balik
19 kembali ke kisah
20 foto repro
21 ada yang aneh
22 senyum pahit sang bangsawan
23 keputusan anak haram
24 perasaan bahagia
25 full cengar-cengir
26 ketemu yang haram juga
27 panik
28 haram oh haram
29 sekedar menemui
30 kisah haram
31 mencari bahagia
32 prinsipnya sama
33 briefing bahagia
34 selamat bertugas
35 jalan pergi
36 tidak susah ternyata
37 tidak terasa
38 lanjut dong
39 ketemu akhirnya
40 komitmen biang preman
41 proklamasi diri
42 jangan khawatir
43 rela
44 loh kok?
45 soal pertandingan
46 divisi utama
47 terbongkar
48 ribut sayang
49 peta mbah
50 tanda cincin
51 wasiat mbah
52 what's wrong
53 kembar atau mirip
54 si pengacau
55 riang
56 badak ujung kulon
57 hakikat minyak
58 apa boleh buat
59 MoU
60 fatal akibatnya
61 salah
62 buah tangan preman
63 buah tangan preman
64 runyam
65 sudah kenal lama
66 datang kembali
67 berjalan
68 maha menyebalkan
69 syarat bahagia
70 telah berlalu
71 capek deh
72 oh bahagia
73 syarat lagi
74 banyak kejutan
75 cinta
76 yang ketiga
77 bulpen komandan
78 000. selamat jalan
Episodes

Updated 78 Episodes

1
00. Prolog
2
Kampus putih
3
vespa primavera
4
minimarket
5
islamic center
6
rs bethesda
7
teras
8
Mercedes
9
ruang tamu
10
kisah itu
11
ninja pasar
12
tentang cerita
13
dan terjadi
14
sesaat itu
15
kehadiran
16
turun temurun
17
di situ
18
titik balik
19
kembali ke kisah
20
foto repro
21
ada yang aneh
22
senyum pahit sang bangsawan
23
keputusan anak haram
24
perasaan bahagia
25
full cengar-cengir
26
ketemu yang haram juga
27
panik
28
haram oh haram
29
sekedar menemui
30
kisah haram
31
mencari bahagia
32
prinsipnya sama
33
briefing bahagia
34
selamat bertugas
35
jalan pergi
36
tidak susah ternyata
37
tidak terasa
38
lanjut dong
39
ketemu akhirnya
40
komitmen biang preman
41
proklamasi diri
42
jangan khawatir
43
rela
44
loh kok?
45
soal pertandingan
46
divisi utama
47
terbongkar
48
ribut sayang
49
peta mbah
50
tanda cincin
51
wasiat mbah
52
what's wrong
53
kembar atau mirip
54
si pengacau
55
riang
56
badak ujung kulon
57
hakikat minyak
58
apa boleh buat
59
MoU
60
fatal akibatnya
61
salah
62
buah tangan preman
63
buah tangan preman
64
runyam
65
sudah kenal lama
66
datang kembali
67
berjalan
68
maha menyebalkan
69
syarat bahagia
70
telah berlalu
71
capek deh
72
oh bahagia
73
syarat lagi
74
banyak kejutan
75
cinta
76
yang ketiga
77
bulpen komandan
78
000. selamat jalan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!