teras

Di waktu yang sama, tepat di Godean sana, Marta sangat gelisah. Hampir sebulan semenjak terakhir Devi dan teman-temannya berkunjung ke rumahnya, dia tidak pernah berjumpa kembali dengan Devi di minimarket langganan mereka. Padahal hampir dua tiga hari sekali Marta mengunjungi minimarket kecil itu, berharap penuh dia bisa berjumpa dengan anak mantan tunangannya, sekaligus cucu sahabatnya dulu itu. Namun sekian purnama,batang hidung Devi tak kunjung kelihatan juga. Marta juga sempat menitip pesan lewat kasir yang kebetulan kenal dengan mereka pun hasilnya masih nihil karena gadis itu memang belum pernah datang lagi.

Kira-kira dua mingguan yang lalu, Marta sempat nekat untuk datang ke rumah Devi. Rasa rindu sudah tidak bisa lagi ditahan, bisa-bisa ambrol itu dada kalau terus ditahan, ditambah rasa gelisah yang tanpa alasan itu terus muncul. Tidak begitu susah menemukan rumah Pak Agus ini karena di sana banyak yang kenal. Tapi, kosong. Tidak nampak siapa-siapa di rumah berpohon cemara di halaman depannya itu. “Kayaknya orangnya pada ke rumah sakit, Bu, Devi kan sedang dirawat....,” kata tetangga sebelah yang melihat Marta. Dan dugaan Marta tentang perasaannya terbukti sudah.

Tiga hari lalu Marta datang lagi berkunjung. Sepertinya ada orang di dalam rumah, terdengar suara televisi dari dalam. Sebuah mobil juga nampak terparkir di halaman rumah, Mercedes. Berarti kemungkinan Agus ada. Marta sedikit ragu-ragu, ditimbang-timbangnya sejenak lalu memutuskan untuk tidak jadi menekan bel pagar. Lalu balik ke rumah naik ojek sebelum ketahuan.

Kata orang, hal yang berat di dunia ini bukan saat memanggul gunung atau menyeberangi samudera. Hal yang berat di dunia ini adalah menanggung rindu. Itu yang sedang dialami Marta sejak dia tahu kalau Devi sakit. Hari ini Marta mencoba lagi ke rumah Devi. Bisa dibilang nekad sih. Ragu kembali datang saat ojek tiba di sana, tapi Mercedes tidak ada, yang terlihat hanya motor mungil seperti yang digunakan Devi dan teman-temannya saat berkunjung ke rumahnya dulu. Kalau bukan motor Devi, berarti motor kakaknya. Kalau bukan juga, paling punya Intan. Beranilah Marta kalau cuma Intan. Dia pun turun dari ojeknya, bayar, lalu menuju pagar dan langsung membunyikan bel pagar. Pencet saja...

Ditunggu sebentar, lalu keluarlah seorang gadis dari dalam rumah itu. Perawakannya kalem seperti Devi walau tipikal wajahnya berbeda.

“Assalamu’alaikum...,” sapa Marta sambil tersenyum.

“Wa’alaikumsalam...,” gadis itu membalas tersenyum. “Maaf, Ibu, cari siapa ya?”

“Oww iya, benar di sini rumahnya Devi?”

“Benar. Maaf, Ibu siapa?”

“Saya Marta. Devi kenal dengan saya kok.”

“Oo... Mari, Bu, silakan masuk.”

“Terima kasih,” Marta beranjak masuk. “Ini pasti dengan Sari, ya?”

“Iya. Kok Ibu tahu saya?” Sari sedikit kaget tapi tetap masih bisa tersenyum.

“Devi yang cerita. Katanya dia punya kakak yang baik dan cantik.”

“Ah, bisa saja. Saya tidak secantik Devi, Bu,” Sari tersipu. “Mari, Bu, di dalam saja.”

“Tidak usah. Saya di sini saja,” Marta menolak masuk ke dalam.

“Baiklah, saya panggilkan Devi dulu ya.”

Marta mengangguk, “Terima Kasih.”

Ya Allah..., anaknya Mas Agus dari Asih. Marta mendesah dalam hati. Wajah Sari percampuran sempurna antara wajah ayah dan ibunya, jadinya tidak mirip lagi dengan Asih maupun dengan Agus. Devi yang mirip sekali dengan neneknya, bahkan sampai lesung pipitnya itu.

Di dalam, Sari mengetuk kamar Devi, “Dev, Devi...”

“Ya, Mbak...” terdengar sautan dari dalam kamar.

“Di luar ada tamu.”

Devi membuka pintu, “Ada apa, Mbak?”

“Di luar ada tamu. Bu Marta namanya.”

Devi sedikit terkejut. Bu Marta berkunjung ke rumahnya? Bergegas dia berbenah sedikit, lalu segera ke ruang tamu. Tidak ada. Rupanya ada di teras depan.

“Assalamu’alaikum, Bu Marta...?” Devi menyapa duluan.

“Wa’laikumsalam.” senyum Marta mengembang saat melihat Devi baik-baik saja. “Apa kabar, Dev? Sudah sehat?”

Devi ikut tersenyum manis, “Sudah, Bu. Tapi, kok Bu Marta tahu saya habis sakit?”

“Dari perasaan, terus dikuatkan sama tetangga sebelahmu itu.”

“Lho, berarti Ibu sudah pernah ke sini sebelumnya?”

Marta tersenyum sambil mengangguk, “Kali dihitung, ini yang ke tiga kalinya. Pertama dan kedua kosong rumahnya. Kata tetangga sebelah, semua orang rumah sedang ke rumah sakit jenguk Devi. Pengennya sih Ibu nyusul ke sana juga, tapi nggak mungkin juga kan...”

Devi hanya bisa tersenyum kecut.

“Tunggu sebentar ya, Bu, saya buatkan minum dulu.”

“Eh, nggak usah. Ibu cuma sebentar saja kok, hanya ingin memastikan keadaan Devi. Sekarang sudah lega rasanya melihat Devi baik-baik saja. Habisnya lama nggak ketemu Devi di minimarket. Lagi banyak diskon loh.” canda Marta.

Devi tertawa kecil. Dia memang sering mencari diskon, terutama diskon makanan ringan.

“Iya, Bu, sejak sakit sampai sekarang saya memang belum ke sana lagi.”

Marta mengangguk-angguk paham tentang kondisi Devi yang perlu banyak istirahat. Ditatapnya lekat cucu Asih ini. Mereka berdua asyik berbincang ke sana ke mari sampai Marta memutuskan untuk pamit.

“Ya sudah, Devi, Ibu pulang dulu. Kamu kan butuh banyak istirahat. Nanti kalau ada waktu main ke rumah bareng Dini dan Nina. Ibu kangen juga sama mereka.”

Devi mengangguk.

Mereka pun berpelukan. Marta bahkan sempat mencium sayang kening Devi.

Tapi...., suasana kangen rindu itu seketika berubah tegang saat Mercedes hitam “tiba-tiba” masuk ke halaman rumah. Devi memandang mobil itu dengan serius, dia sudah siap. Tidak bagi Marta, dia belum siap. Tidak ada lagi kesempatan bagi Marta untuk pergi karena di sana Agus dan Intan yang baru saja pulang dari acara nikahan keluar mobil dan segera berjalan menuju teras rumah. Menghampiri mereka berdua.

“Marta...?” Agus terbelalak kaget. Benar-benar kaget.

Intan tertegun. Walau sudah lama, dia masih ingat betul dengan wajah sahabat ibunya itu, sahabat yang sering mengasuhnya dan sering mengambilkan buah jambu untuknya. “Bulik Marta...,” katanya pelan tanpa sadar.

“Apa kabar, Mas Agus..., Intan...,” Marta menyapa. Entah seperti apa perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya sekarang ini.

Devi menghela napas panjang. Semua tentang kebenaran itu. Devi percaya akan kisah yang diceritakan Bu Marta. Namun, hati kecilnya dia masih menaruh harapan kalau cerita itu salah. Semoga salah..., semoga hanya cerita... Namun, semuanya kini telah terpampang dengan jelas. Ekspresi ayah dan ibunya saat bertemu Bu Marta itu sudah dapat menjawab semua kebenaran kisah itu. Aku anak haram...!

“Sendang apa kamu di sini?!” bentak Agus gusar. Dia khawatir rahasia yang selama ini dia simpan akan terungkap semuanya. Padahal, memang sudah bocor. Banjir pula.

“Aku hanya ingin menjenguk Devi. Kabarnya dia sakit...,” Marta menjawab pelan.

“Devi? Kamu kenal dengan Devi?” nada Agus masih tinggi.

Sari yang sedang di kamar mengerjakan tugas bergegas ke teras rumah saat mendengar keributan. Seketika dia bingung melihat suasana tegang menyelimuti semua orang yang ada di sana.

“Ada apa ini Dev?”

Devi hanya menggeleng. Terlihat matanya sudah sembab.

“Maaf, Mas Agus, Intan.... aku ke sini cuma ingin menjenguk Devi. Kalau begitu aku mohon diri..., permisi.” Marta beranjak pergi. Matanya juga sudah sembab.

“Tunggu!” bentak Agus. Tangan kanan Marta diraihnya. Marta berusaha melepaskan, tapi apalah daya bagi perempuan yang sudah berumur. “Kamu ke sini ingin merusak keluargaku, hah?!” bentak Agus tepat di depan wajah Marta.

Marta hanya terdiam ketakutan. Air mata yang terbendung tumpah sudah.

“Ayah ! lepaskan Bu Marta...” jerit Devi tidak kalah kencang.

Namun permintaan anak gadisnya itu tidak digubris oleh Agus. Matanya masih menatap tajam ke Marta. Berusaha mencari apa tujuan Marta datang ke rumahnya.

“Pyaaarr...!” suara pecah beling terdengar keras di dekat mereka.

“Devi apa yang kamu lakukan?” tanya Sari panik.

Ternyata bunyi pecahan itu berasal dari vas bunga ukuran sedang yang diraih dan dibanting Devi ke lantai. Beling berserakan ke mana-mana, untung tidak ada yang terluka.

“Aku bilang lepaskan wanita itu, biadab!” kata Devi dengan mulutnya bergetar menahan marah dan tangis.

Agus, Intan, dan Sari tertegun. Seumur hidup, baru kali ini Devi bisa berkata seperti itu, dengan nada tinggi pula. Apalagi sampai membanting vas bunga segala. Terlalu polos anak ini untuk bisa berbuat seperti itu.

Devi masuk ke dalam rumah. Pyarr! Vas bunga yang menghiasi ruang tamu menjadi sasaran kemarahannya. Intan hanya sanggup menangis melihat anaknya berbuat seperti itu. Agus dan Sari masih tidak percaya semua ini. Sebentar kemudian, Devi keluar membawa sapu lantai. Lalu, melihat Agus masih mencengkeram tangan Marta, Devi mengayunkan gagang sapu lantai itu ke tangan Agus. Klak! Patah kayunya. Agus menjerit kesakitan, cengkeraman tangannya terlepas. Intan dan Sari ikut berteriak, hendak mencegah namun kejadian itu terlalu cepat. Belum puas. Devi menerjang, tubuh ayahnya yang agak membungkuk karena menahan sakit itu didorongnya kuat ke belakang hingga terjengkang ke lantai. Terkesima semua melihat kejadian sesaat ini. Intan, Sari, dan Marta hanya bisa menangis.

Devi segera mengambil kunci mobil Mercedes yang terlempar di sudut teras.

“Ibu, ikut saya...” kata Devi meraih tangan Marta sambil agak menyeret. Dia membuka pintu mobil dan meminta Marta masuk. Devi memang sudah diajari mengendarai mobil sejak SMA.

“Devi..., istighfar, Devi...,” Marta berkata terengah-engah.

Devi mendorong masuk mantan tunangan ayahnya itu ke dalam mobil. Terpaksa Devi menurut.

Intan bergegas menghampiri suaminya yang mengaduh-aduh. Sari menggedor-gedor kaca mobil, pintu sudah terkunci dari dalam. Devi cuek sambil memainkan gas Mercedes. Grummm... menderung keras. Gruummm Gruummm Gruummm....

“Devi, Devi..., buka, Dev...,” pinta Devi. “Devi...,” dia minta lagi, hampir menangis dia memohon.

Akhirnya, Devi menurunkan kaca jendela.

“Devi, Bu Marta..., ada apa semua ini?” air mata Devi pun mulai membasahi pipi.

Marta menggeleng-geleng sambil terisak.

“Mbak Sari tenang saja. Semua ini masalah saya, bukan mbak. Saya antar Bu Marta pulang dulu, nanti saya balik lagi. Urusan saya belum selesai dengan biadab itu.” Devi berkata dingin.

“Istighfar, Nak,...” Marta memegang pundak Devi.

“Tenang, Bu, biadab itu memang harus dihajar!” kata Devi lagi, kali ini lebih dingin. Tidak ada air mata. Matanya menyorot tajam ke arah ayahnya kesakitan.

Gruummm... Mercedes menderum lagi. Persneling mundur. Brak! Lampu belakang kiri Mercedes pecah menabrak pohon cemara. Devi cuek saja, sengaja mungkin. Putar-putar sedikit, lalu melesat meninggalkan rumah.

“Devi! Devi...!” teriakan Devi tidak dihiraukan.

Para tetangga mulai berdatangan.

****

Di sebuah mobil yang melaju pelan melewati kekacauan yang ada.

“Bang, lihat ada yang bertengkar, hahaha...” kata seorang pemuda yang memegang kemudi.

Sementara pria yang berada di sampingnya tidak peduli sambil menghisap rokok dan menghembuskan asapnya pelan.

“Anak haram... apa tidak ada petunjuk lain untuk menemukannya” gumamnya.

Episodes
1 00. Prolog
2 Kampus putih
3 vespa primavera
4 minimarket
5 islamic center
6 rs bethesda
7 teras
8 Mercedes
9 ruang tamu
10 kisah itu
11 ninja pasar
12 tentang cerita
13 dan terjadi
14 sesaat itu
15 kehadiran
16 turun temurun
17 di situ
18 titik balik
19 kembali ke kisah
20 foto repro
21 ada yang aneh
22 senyum pahit sang bangsawan
23 keputusan anak haram
24 perasaan bahagia
25 full cengar-cengir
26 ketemu yang haram juga
27 panik
28 haram oh haram
29 sekedar menemui
30 kisah haram
31 mencari bahagia
32 prinsipnya sama
33 briefing bahagia
34 selamat bertugas
35 jalan pergi
36 tidak susah ternyata
37 tidak terasa
38 lanjut dong
39 ketemu akhirnya
40 komitmen biang preman
41 proklamasi diri
42 jangan khawatir
43 rela
44 loh kok?
45 soal pertandingan
46 divisi utama
47 terbongkar
48 ribut sayang
49 peta mbah
50 tanda cincin
51 wasiat mbah
52 what's wrong
53 kembar atau mirip
54 si pengacau
55 riang
56 badak ujung kulon
57 hakikat minyak
58 apa boleh buat
59 MoU
60 fatal akibatnya
61 salah
62 buah tangan preman
63 buah tangan preman
64 runyam
65 sudah kenal lama
66 datang kembali
67 berjalan
68 maha menyebalkan
69 syarat bahagia
70 telah berlalu
71 capek deh
72 oh bahagia
73 syarat lagi
74 banyak kejutan
75 cinta
76 yang ketiga
77 bulpen komandan
78 000. selamat jalan
Episodes

Updated 78 Episodes

1
00. Prolog
2
Kampus putih
3
vespa primavera
4
minimarket
5
islamic center
6
rs bethesda
7
teras
8
Mercedes
9
ruang tamu
10
kisah itu
11
ninja pasar
12
tentang cerita
13
dan terjadi
14
sesaat itu
15
kehadiran
16
turun temurun
17
di situ
18
titik balik
19
kembali ke kisah
20
foto repro
21
ada yang aneh
22
senyum pahit sang bangsawan
23
keputusan anak haram
24
perasaan bahagia
25
full cengar-cengir
26
ketemu yang haram juga
27
panik
28
haram oh haram
29
sekedar menemui
30
kisah haram
31
mencari bahagia
32
prinsipnya sama
33
briefing bahagia
34
selamat bertugas
35
jalan pergi
36
tidak susah ternyata
37
tidak terasa
38
lanjut dong
39
ketemu akhirnya
40
komitmen biang preman
41
proklamasi diri
42
jangan khawatir
43
rela
44
loh kok?
45
soal pertandingan
46
divisi utama
47
terbongkar
48
ribut sayang
49
peta mbah
50
tanda cincin
51
wasiat mbah
52
what's wrong
53
kembar atau mirip
54
si pengacau
55
riang
56
badak ujung kulon
57
hakikat minyak
58
apa boleh buat
59
MoU
60
fatal akibatnya
61
salah
62
buah tangan preman
63
buah tangan preman
64
runyam
65
sudah kenal lama
66
datang kembali
67
berjalan
68
maha menyebalkan
69
syarat bahagia
70
telah berlalu
71
capek deh
72
oh bahagia
73
syarat lagi
74
banyak kejutan
75
cinta
76
yang ketiga
77
bulpen komandan
78
000. selamat jalan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!