Hari ini, tepat pukul sebelas siang, para mahasiswa yang telah selesai mata kuliah Jurnalistik berbondong-bondong turun dari lantai empat gedung Kampus Putih. Mereka berdesak-desakan di anak tangga. Ada yang tertawa-tawa, ada yang diam saja, ada juga yang merengut. Dini terlihat di antara gerombolan para mahasiswa itu.
Memang tidak sedikit jumlah mahasiswa di Kampus Putih ini. Maklum kampus ini masih menjadi pilihan terfavorit di kota pendidikan ini, Jogja. Bahkan gerombolan orang ini terlihat saat pembukaan dan ujian masuk kampus ini. Mungkin citra para alumni yang setelah lulus dari kampus ini mendapatkan pekerjaan yang cukup bergengsi, hal ini pula yang mendorong orang-orang ingin bernasib sama dengan para alumni itu. Hidup bahagia dengan banyak harta, istri/suami yang cantik/ganteng, serta pamor yang tinggi, siapa yang tidak mau itu semua.
Beberapa saat kemudian...
“Nin, kamu kok nggak masuk kuliah?” sapa Dini kepada Nina yang sedang asyik menikmati sebutir cilok khas bandung ke dalam mulutnya, di lantai bawah gedung kampus ini. Di situ ada semacam kantin kecil-kecilan ala kampus. Sederhana hanya menyajikan jajanan pasar, ATK, foto copy, dan berbagai cemilan.
Nina mendelik. Panas mungkin cilok yang sudah tanggung masuk ke mulutnya itu. Tidak bisa langsung menjawab karena ciloknya mesti ditelan dulu.
Melihat Nina yang mendelik berusaha menelan cilok, Dini tertawa kecil, “Sorry...”
“Panas tau...” Nina nyerocos, hah huh hah huh. Lalu, diambilnya teh botol dan meminumnya.
Dini masih tertawa melihat itu, “Iya, kan sudah minta maaf aku. Kenapa nggak masuk kelas sih? Dapat nilai jelek baru tau rasa kamu.”
“Males aku lihat Bang Fajar. Ada kan dia tadi?”
Dini tersenyum, tahu kalau Nina sedang merasa sebal sama Fajar, kakak angkatan mereka tiga tingkat yang menjadi asisten Pak Yuono, dosen mata kuliah analisis berita. Masalahnya hanya sepele, tugas laporan analisis berita Nina ditolak Fajar karena susunannya yang salah. Ngamuk deh Nina yang bermarga Lubis kepada Fajar yang bermarga Sihombing. Sempat ramai mereka adu argumen di Lab jurnalistik menggunakan bahasa daerah. Sama-sama batak, sama-sama kencang dan sama-sama cinta.
“Nina... kangen sekali aku...”
Sontak Nina dan Dini sama-sama menoleh ke sumber suara. Fajar meringis manis tepat di belakang mereka. Tampan pemuda batak ini, pandai juga. Cuma saklek saat menjadi asisten dosen. Tidak mempan dirayu untuk mendongkak nilai praktikum atau tugas-tugas yang diberikan. Bahkan kepada Nina, pacarnya sendiri. Padahal, asisten dosen yang lainnya tidak se saklek itu, hanya butuh modal secuil senyum maka melelehlah mereka. Maka, dibuat merenggutlah para mahasiswi itu karena Batak tampan yang satu ini.
Nina langsung pura-pura tidak tahu dan memalingkan wajahnya.
Dini tersenyum, “Sini, Mas...”ia mempersilakan Fajar duduk di antara mereka. Nina melotot gaya jinak-jinak ikan koki. Sang Arjuna pun duduk sambil tertawa renyah.
“Permisi ya...” setelah duduk Fajar mengambil berkas dari dalam tasnya. “Nih...”
“Apaan, Bang?” tanya Nina.
“Tugasmu.”
Nina mulai mengecek, satu persatu halaman diperiksanya, lalu bibirnya tersenyum. Itu adalah laporan tugas analisis berita. Fajar membuatkannya khusus untuk Nina. Namanya juga sudah cinta. Jika cinta sudah melekat, tai kucing pun rasa coklat. Ah, indah sekali.
“Gimana? Baikkan lagi kita?” Fajar memancing.
Nina hanya diam saja, tapi nampak senyumnya semakin merekah.
“Tolong jelaskan kepadaku, Din, apa maksudnya ini? Sebuah senyuman merekah tanpa kata-kata. Aihh, alangkah misteriusnya...,” Fajar berdeklamasi.
Dini hanya terkekeh pelan. Sementara Nina tetap tersenyum dengan pipi merona merah di kulit putih bersihnya. Maklum, blasteran Batak-Austria punya ini. Maka, rona kemerahan itu pun perlahan semakin nampak ketara.
“Din, sekarang malah merah....,” Fajar mendesah lagi.
Malulah Nina diperlakukan seperti itu oleh Fajar. Sebuah cubitan sayang terpaksa melayang ke lengan abangnya.
Lalu mereka bertiga pun tertawa ikut menyumbang keramaian kantin kecil itu.
“Tapi ingat! Tugas ini harus langsung diserahkan ke aku di Lab. Nggak ada serah terima tugas di sini.” tukas Fajar setelah tawa mereka mereda. Mulai lagi deh sakleknya.
“Iya,Bang. Paham aku juga,” Nina manyun manis.
Mereka pun tertawa lagi.
Fajar mengajak Nina dan Dini untuk pindah ke kantin fakultas. Sekalian makan siang. Di kantin fakultas banyak menunya, mulai dari bakso, mie ayam, pecel, lotek dan berbagai macam lauk. Harganya sesuai kantong mahasiswa. Mahasiswa elit, mahasiswa miskin, mahasiswa alim, mahasiswa revolusi, masuk semua di kantin ini. Jam makan siang menjadi momen berjubelnya para mahasiswa itu. Seperti saat itu, ada yang nongkrong, makan, nyanyi-nyanyi, ngelamun, saling cemberut, saling tatapan cinta. Ealah... yang tidak bisa tertinggal pasti ada yang diskusi. Hal yang sangat wajar ditemui di Kampus Putih ini. Namanya juga kampus rakyat, kampus perlawanan, kampus revolusi. Hidup rakyat! Hidup mahasiswa!
Fajar pun memesan dua porsi lotek. Dini sebenarnya tidak mau karena masih kenyang, tapi Fajar tetap memesankannya. “Kalau nggah habis, biar aku yang sapu.” Sementara Nina masih sibuk melahap ciloknya, nanti kalau kepingin tinggal sendok punya abangnya.
Ngobrolah mereka sambil menunggu pesanan datang.
“Eh, kok tumben Devi tidak kelihatan? Ke mana dia? Biasanya kalian bertiga nempel terus?” tanya Fajar.
“Tahu tuh. Tadinya aku mau tanya ke Nina kali aja tahu,” jawab Dini.
“Tadi aku sempat lihat dia di sana...,” Nina menunjuk pertigaan arah ke Perpustakaan. “Kupanggil cuma balas melambai, terus ngeloyor begitu saja.”
“Nggak nyamperin?”Dini heran. Tidak biasanya Devi bersikap begitu.
Nina menggeleng, “Mau kususul, dianya keburu jauh. Paling ke Perpustakaan. Nantilah kita sekalian ke sana.”
“Setuju. Sekarang kita makan dulu,” ajak Fajar. Lotek pesanannya sudah datang.
Dini yang tadinya bilang tidak lapar, ternyata habis juga. Memang salat Jawa ini enaknya bukan main. Perpaduan bumbu kacang dan sayuran begitu serasi. Sulit untuk menolaknya.
Beberapa saat setelah makan kemudian...
Ternyata, Devi tidak ada di Perpustakaan. Dicari sampai pelosoknya oleh Dini tetap tidak ketemu juga. Ditelpon, Hpnya mati. Paniklah Dini.
“Bagaimana? Ada Devi?” tanya Nina yang baru saja beres urusan dengan Fajar di Lab.
Dini hanya menggeleng. Dicobanya lagi untuk mengontak Devi, masih saja tidak aktif.
“Ke mana nih anak.” Dini bergumam. “Nin, kok perasaanku jadi nggak enak begini. Kamu mau masuk kuliah pengantar jurnalistik media nanti?”
Nina mengangkat bahu.
“Masuk aja deh, nanti absenin aku. Dan jangan lupa pinjamin aku catatanmu.”
“Emang kamu mau ke mana, Din?”
“Mau nyari Devi. Ini perasaaanku nggak enak bener deh.”
“Aku ikut sajalah...”
“Jangan! Kita bagi-bagi tugas. Kalau dua-duanya bolos, siapa yang absenin. Ini kan kuliah MKDU.”
Nina mengangguk-angguk. Di MKDU alias Mata Kuliah Dasar Umum, urusan absensi sangatlah penting. Kehadiran di bawah yang telah ditentukan, dijamin bakalan tidak lulus atau mendapat nilai jelek. Meskipun waktu ujian mendapat nilai yang cukup bagus.
“Sekalian absenin Devi. Siapa tahu nggak nongol juga.”
Nina mengangguk setuju.
“Oke. Baiklah kalau begitu, Din.”
Mereka pun berpisah. Nina melangkah menuju ke ruang kuliah R 302, Dini segera ke parkiran. Dengan motor Vespa Primavera hijau tosca, dia meluncur ke rumah Devi di kawasan Depok.
“Eh, ada Dini. Ke sini sama siapa?” sapa Tante Agus, ibunya Devi, saat Dini sampai di depan rumah.
Dini tersenyum manis, “Sendirian saja, Tante.”
“Kok Tumben? Biasanya kan bertiga, minimal berdua.”
“Itulah, Tante, Devi ada di rumah nggak?”
“Loh? Dia kan pergi kuliah?” Tante Agus yang bernama asli Intan ini balik bertanya ke Dini.
“Nah itu, Tante. Di kampus nggak ada. Tadi saat di telepon juga nggak nyambung, dimatiin. Saya kira dianya sudah balik ke rumah karena tadi Nina bilang sempat lihat di kampus dan buru-buru pergi.”
“Dia belum balik tuh...”
“Duh, ke mana nih anak,” gumam Dini gemes. “Ya sudah kalau begitu, Tante, saya pamit.”
“Nggak mau masuk dulu nih?”
“Terima kasih, Tante, lain kali saja. Ini mau cari Devi dulu, mungkin masih di kamus dia.”
“Baiklah, mungkin ada pesan untuk Devi kalau dia sudah pulang?”
“Apa, ya? Bilangin saja ke Devi suruh hubungi saya kalau sudah balik ya, Tante.”
“Iya nanti Tante sampaikan.” Intan tersenyum.
Dini ikut tersenyum. “Baiklah saya pamit, Tante.” Dini meraih tangan Intan dan mencium layaknya ibu sendiri.
Di perjalanan balik, HP Dini berdering. Nampak di layar tertulis nama Nina memanggil. Dini pun memberhentikan motornya di pinggir jalan. Cari pohon yang teduh.
“Gimana, Din? Ada?” Nina langsung nyambar.
“Nggak ada. Belum pulang kata Tante Agus.”
“Nih anak ke mana sih..?” Nina kebawa sewot.
“Eh bentar, kok kamu bisa nelpon aku? Emang udahan kuliahnya?”
“Udah. Nggak datang dosennya. Sialan. Giliran dia yang bolos nggak apa-apa.”
Dini tersenyum. “Tapi, absensi tetap jalan kan?”
“Tetap. Kasih absen doang asistennya, terus cabut.”
“Baguslah. Sekarang kamu di mana?”
“Pulang”
“Ya sudah. Sampai besok.”
“Okey, bye.”
Dini pun kembali memacu Vespa Primavera ke arah Ngaglik...
Malam harinya, sekitar pukul delapan, Dini sedang asyik membaca novel, HPnya berdering. Dari rumah Devi, ada pararelnya di kamar gadis itu. Selepas Maghrib tadi, sudah tiga kali Dini mengontak Devi. HPnya masih tidak aktif. Ke rumahnya sekali, belum pulang juga.
“Halo, Dev, ke mana saja sih kamu?” Dini langsung nyerocos. Tapi, kemudian dia tertegun mendengar isak Devi di sana. “Dev? Ada apa?”
Terdengar masih terisak, belum menjawab.
“Devi..., ada apa?” Dini mencoba bersikap lembut.
“Nggak apa-apa, Din. Maaf, tadi aku nggak nemuin kalian...,” jawab Devi lemah bahkan lebih dominan isaknya.
“Sudah nggak apa-apa. Ada apa, Dev? Semua baik-baik saja kan? Atau ada masalah sama Mas Dika, ya? Tenang saja biar aku labrak dia nanti, enak saja temanku di...”
“Din... Bukan itu.” belum selesai Dini ngomel sudah di potong oleh Devi.
Dika adalah pacar Devi. Seorang mahasiswa dari perguruan tinggi lain.
“Terus apa dong kalau gitu? Ayo cerita, cerita... atau, kita ketemuan saja?”
Devi masih terus terisak.
“Dev... Ya sudah, aku ke sana sama Nina. Ya?”
“Nggak usah, Din. Besok aja kita ketemuan.”
“Benar nih nggak apa-apa, mumpung masih sore ini?”
“Ini persoalan yang berat, Din, besok sajalah...”
“Persoalan berat? Kalau begitu aku ke sana sekarang.”
“Jangann..jangan, Din. Besok saja aku ceritakan.”
“Yakin kamu nggak apa-apa?” Dini agak cemas. Soalnya Devi ini orangnya lembut, gampang banget hanyut kebawa perasaan. Agak berbeda dengan dirinya dan Nina yang lebih santai.
“Semoga saja...” jawabnya masih lemas.
“Baiklah kalau begitu. Besok kami tunggu, jangan dipendam sendiri.”
“Hmm...iya...”
“Ya sudah, sekarang kamu istirahat dulu. Apa pun itu, jangan dipikirkan terlalu dalam. Besok bagi-bagi sama kami biar bisa berkurang bebannya.”
“Makasih, Din.”
“Santai saja. Selamat istirahat...”
“Iya, bye..”
“Bye..”
Setelah itu, Dini langsung menghubungi Nina. Menceritakan tentang hal yang barusan.
“Bener nih, kita nggak usah ke sana?” tanya Nina.
“Pengennya sih ke sana, tapi Devi bilang besok saja. Kamu tahu sendiri kan Devi seperti apa?”
“Apa dia kuat sampai besok? Anak baperan gitu... Udah, ke sana aja, yuk!”
“Jangan, Nin, tambah acau nantinya. Yang penting kan sekarang Devi sudah ada di rumah. Amanlah sampai besok.”
“Iya deh, besok aja. Aku perlu telepon dia juga nggak?”
“Terserah sih. Tapi, kalau menurutku, biar besok saja sekalian semuanya. Kasih waktu dululah buat dia nenangin diri. Lagian malah salah paham nanti kalau cuma sepotong-potong.”
“Hmm... bener juga.”
Setelah berbincang-bincang sedikit. Dini kembali melanjutkan membaca novelnya. Tapi, sekarang susah fokus karena sebagian pikirannya terbang memikirkan Devi. Ahh, tuh anak...
Sementara itu di depan sebuah rumah, seseorang tertunduk lesu....
“Kerjakan perintahku, baru kau boleh ke sini lagi!” bentak seseorang yang lebih tinggi wibawanya. Yang dibentak hanya manggut-manggut tanpa berkomentar. Di lihat dari perawakannya, orang yang dibentak bukanlah orang yang bisa diremehkan. Penampilannya preman papan atas yang sudah memiliki jam terbang tinggi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ekatea
ditunggu up nya🙂
2022-03-23
1
Halim Sakdiyah
terkesan dengan Hazri Tiger
2022-03-23
3