kembali ke kisah

Kisah pun berlanjut....

“Aku yang salah waktu itu, Marta. Mestinya aku paksakan diri untuk mencari pelacur. Apa susahnya juga tutup rasa sebentar, set... selesai. Tapi, tidak begitu kenyataannya. Aku malah tergoda dengan kehadiran Intan. Asih tidak tahu tentang persoalan ini. Dia pikir bebanku sudah beres dengan pelacur. Ya Allah...,” Wajah Agus tampak memberat.

Marta mengangguk-angguk sambil memejamkan mata mencoba mencari sesuatu. Di batas menyalahkan atau membenarkan, dia tidak mampu menilai situasi ini. Alasan Agus logis, kejadiannya juga logis, namun tindakannya jelas salah menurut aturan agama. Entahlah, kagum dan sesal bercampur aduk. Abu-abu seperti itu.

“Sebenarnya bukan salah Mas Agus semua, Bulik. Saya yang menggoda Ayah saat itu...,” Terdengar suara Intan pelan. Hampir mendesah.

Agus dan Marta sama-sama kaget.

“Apa maksudmu, Intan? Aku tidak merasa digoda olehmu. Kalau tergoda iya, tergoda sendiri karena beban itu. Bukan karena digoda oleh anakku, ah.... Masak iya kamu menggodaku?” Agus bertanya serius.

Intan terdiam. Agus dan Marta sama-sama menunggu jawaban.

“Saya nggak tahu, Mas. Tapi, saya jujur berniat menggoda Ayah. Kalau Ayah tidak merasa tergoda, ya saya tidak tahu...,” Intan berujar pelan. Dia sendiri baru tahu kalau ayah tirinya tidak tergoda. Selama ini dia pikir tergoda olehnya.

Terdiam semua. Bagaimana sih ini?

“Ya sudahlah, Intan. Anakku, istriku..., apa pun itu biarlah. Yang jelas, aku meniduri anakku. Sekali,” Agus berkata setelah hening sesaat.

Intan menghela napas. Marta mengangguk-anguk.

“Tapi, Intan, kalau boleh Bulik tahu, kenapa kamu menggoda ayahmu?”

Intan memandang buliknya. Buka jangan buka jangan.... Akhirnya, Intan memilih tetap menyembunyikan tabir “not pirjin”-nya. Jangan nambah masalah. Biar yang ini jadi rahasianya sendiri. Toh, hanya dia yang terlibat.

“Nggak tahu, Bulik. Saya hanya kasihan melihat Ayah...,” Intan berbohong. Marta menghela napas, lalu mengangguk-angguk. Entah apa yang ada dalam benaknya.

“Kenapa merasa kasihan sama Ayah?” Agus mesem.

“Habis Ayah bengong terus...,” Intan balas nyengir.

Agus tertawa pelan. Marta juga.

“Kok tahu kalau Ayah lagi ada beban?” Agus memancing lagi.

“Tahulah. Masak nggak tahu? Kan sudah kelas dua SMP?” Intan meringis.

Agus dan Marta pun kembali tertawa. Entah senang, entah miris.

“Cuma sekali, Mas?” selidik Marta tersenyum.

Agus mengangguk, “Betul kan, Intan?”

Intan pun mengangguk.

Berarti salah semua dugaan Marta selama ini. Tadinya dia menyangka Agus abrul-abrulan dengan Intan. Asih marah, sakit hati, terus sakit beneran sampai meninggalnya. Salah ternyata. Dalam hati, dia mengucap maaf kepada mantan tunangannya ini atas “tuduhan-tuduhan keji” tadi.

“Terus bagaimana, Mas?” Marta minta kelanjutan.

“Waduh, Intan, nuntut terus bulikmu ini. Nanti kita balas ya....”

Intan tertawa. Marta senyum.

Agus pun kembali meminum minumannya yang hampir habis itu.

“Aahh..., sedih sekali saat Asih meninggal. Kembali lagi rasa salah yang dulu itu menyergap hati. Tapi, hidupku harus tetap berjalan. Ada Intan dan ada bayi itu, yang kemudian kuberi nama Sari Prihatini. Lahir dan langsung prihatin kehilangan ibunya...,” Agus tersenyum kecut.

Marta juga tersenyum, tapi tidak kecut. Manis.

“Aku kira tidak masalah menikahi anak tiri, yang nggak boleh kalau anak kandung. Pengetahuan agamaku memang kurang. Beda sama Tri. Aku kehilangan ibunya, kupikir kenapa nggak diganti sama anaknya? Kan bukan darah dagingku. Lagian, itu tadi... sudah pernah. Aku tanya Intan, dia mau. Menikahlah kita setelah pindah ke Jogja. Bule-bule itu minta aku ngetem di Jogja, karena katanya pusat bisnis seni Indonesia adanya di Jogja. Entah benar atau nggak. Awalnya kita tinggal di daerah Kaliurang, terus pindah ke Godean tiga tahun kemudian. Sebulan setelah Devi lahir. Sampai sekarang....”

Marta manggut-manggut, “Sekarang masih bisnis barang antik, Mas?”

Agus mengangguk, “Galeriku di Malioboro. Mebel, lukisan, patung, dan lain-lain. Apa sajalah yang antik dan laku dijual.”

Kening Marta agak berkerut, “Gus Galle & Ritz?”

Agus mengangguk. Nama galerinya memang Gus Galle & Ritz. Suka-suka dia saja bagian “Galle & Ritz”-nya itu.

“Ya Allah...,” Marta mendesah.

“Kenapa, Mar?”

“Dulu Mas Tri sering ke situ kalau lagi suntuk. Enak suasananya.”

“Ah, masak?” Agus kaget.

Marta mengangguk, “Sesekali aku juga ke sana nemenin.”

“Kok bisa nggak ketemu, ya?” Agus garuk-garuk kepala.

“Mungkin memang belum waktunya, Mas...,” Marta agak mendesah lagi.

Agus pun mengangguk-angguk. Jeda sejenak. Mereka menikmati hidangan yang disuguhkan Marta sambil ngobrol ringan soal bunga-bungaan. Banyak bunga di rumah ini, semerbak mewangi. Intan jadi penanya, Marta jadi panelis, Agus audiensinya.

“Intan, waktunya pembalasan nih...,” celetuk Agus setelah ngobrol soal bunga mereda.

Intan dan Marta tertawa.

“Pertanyaan pertama...,” Agus langsung mulai. “Bagaimana kisahnya sampai bisa tubrukan sama Tri?”

Intan dan Agus tertawa ringan.

“Istilahnya kok tubrukan, sih. Dari mana mulainya ya?” Marta bergumam.

“Mulai dari Tri bikin pendekatan. Pengen tahu aku tekniknya insinyur soal beginian...,” Agus memberi petunjuk.

Intan dan Marta tertawa kecil. Mulai muncul senyum dibalik tangis yang tadi sempat menghampiri.

“Waktu itu Mas Tri menyapa di jalan saat saya pulang dari pasar. Katanya, saputangan saya jatuh...,” Marta meringis. Dia tahu Agus bakal meledek bagian ini.

Dan, benar. Agus terpingkal-pingkal, “Tri, Tri..., padahal sudah kuajari caranya. Apa kurang jelas, ya? Terus, gimana?” Agus masih tertawa.

“Ya gitu. Terus mulai datang-datang ke rumah."

“Kapan itu?”

“Kira-kira empat bulan setelah Mas Agus hilang.”

Agus manggut-manggut.

“Mas Tri cerita tentang ngobrolnya sama Mas Agus di tepian sungai....”

“Ah, Tri. Padahal, dia sudah berjanji bakalan nggak cerita ke siapa-siapa. Tapi, sebentar, aku nggak menjelek-jelekkan dirimu di situ, kan?”

Marta tersenyum, “Bagus semua kok, Mas. Malah kelewat bagus.”

“Syukurlah. Terus...?”

“Yaa, begitu aja, Mas.”

“Lho, nggak bisa gitu. Mesti detail dong. Iya kan, Intan?”

Intan tertawa kecil. Marta meringis. Terpaksa Marta melanjutkan ceritanya.

“Mas Tri rajin datang. Setiap kali pulang, selalu datang ke rumah. Kalau liburnya sehari ya sekali, kalau tiga hari ya tiga kali. Kalau lama, ya tiap hari.”

“Hehehe.... Bagus, bagus. Tekun memang dia. Terus, ngapain aja itu?”

“Cuma ngobrol. Seringnya sih sama Bapak, Ibu, atau Mbah.”

“Sama kamunya?”

“Secukupnya saja, Mas.”

Agus nyengir, “Itu namanya serangan pinggir, Mar. Kalau main bola, Tri hobinya memang nyerang dari pinggir. Dia bersedia susah payah nggiring bola lewat pinggir, baru dioper ke aku yang sudah siap depan gawang lawan. Tinggal bikin golnya saja. Tri yang kerja keras, sementra aku yang dapat pujian. Penonton kan sukanya sama yang bikin gol, hehehe....”

Marta tersenyum. Intan juga.

“Selain ngobrol, ngapain lagi?” kejar Agus.

Marta menggeleng, “Cuma ngobrol aja.”

“Masak ngomong doang? Pegang-pegang kali, atau apa gitu...?”

Marta menggeleng. Bibirnya menahan tawa.

“Topiknya apa sih?”

“Nasihat-nasihat,” Marta nyengir.

“Hahaha. ... Tri, Tri.... Hahaha...,” Agus terpingkal.

Intan juga tertawa. Terpaksa Marta ikut tertawa.

“Terus, kamu gimana itu, Mar?”

“Yaa, saya dengerin aja, Mas. Habis mesti gimana?”

Agus lanjut tertawa.

“Jadi, nggak ada weekend bareng? Kayak kita dulu?”

“Ah, Mas Agus ini...,” Marta kembali tersipu.

Intan cengar-cengir.

“Oke, oke. Tapi, akhirnya kamu mau, kan?”

“Lama sih, Mas....”

“Lama gimana?”

“Saya menikah sama Mas Tri menjelang tiga puluh.”

“Hah? Butuh tiga tahunan dong Tri main pinggir?”

Marta mengangguk mesem.

Agus geleng-geleng kepala, “Lama amat sih, Mar? Apa kurang seru permainannya?”

Marta terus mesem sambil menatap sendu ke arah Agus.

Agus pun sadar. “Waduh, aku lagi kayaknya ini, Intan...,” dia menggumam.

Intan terkikik. Marta menunduk malu-malu. Habis memang betul sih, saat itu Marta masih berharap Agus tiba-tiba muncul dan mereka bisa kembali bersama. Tapi, Tuhan berkehendak lain.

“Yaa, kalau ada salahku, maafkan ya, Mar...,” Agus berbicara pelan.

“Nggak ada yang salah kok, Mas. Memang takdirnya harus begitu.”

Agus mengangguk-angguk.

Rehat sejenak, minum dan makan kue hidangan.

“Kehidupanmu sama Tri selama itu baik-baik saja?”

Marta mengangguk.

“Nggak pernah bikin acara aneh-aneh kan Mas Trimu itu?”

Marta menggeleng, kembali tersenyum.

“Amanlah. Pasti di surga dia sekarang.”

“Insya Allah, aaminn. Mudah-mudahan di sana ketemu sama anak-anak yang sudah lama berangkat duluan.”

Agus menghela napas. Intan juga.

“Devi sudah cerita tentang itu, juga tentang kanker rahimmu. Kami sekeluarga turut belasungkawa,” ujar Agus pelan.

Marta menunduk sejenak, lalu kembali mengangkat wajah sambil tersenyum, “Yah, itulah cerita saya, Mas Agus, Intan..., tidak ada yang menarik, datar.”

“Tapi, secara umum bahagia...,” Agus menimpali. “Itu yang penting.”

Marta pun makin tersenyum.

“Ngomong-ngomong, apa kabar bapak ibumu sama Mbah Tejo?”

“Sudah meninggal semua. mbah duluan, ibu nyusul, terus bapak. Memang sudah tua sih, Mas.”

Agus manggut-manggut, “Mungkin kamu tahu kabar orang tuaku?”

Marta memandang Agus, “Sama, Mas, sudah berangkat semua. Pak Tulus duluan, terus Ibu....”

Agus memejamkan mata. Ada rasa nyesek menyusup ke hati “Kapan itu?”

“Bapak sudah lama, nggak lama setelah Bu Karman. Kena jantung seperti Mas Tri. Kalau Ibu, kira-kira enam tahunan lalu. Waktu itu, aku sama Mas Tri sedang di sana nengok mertua yang sakit. Sekalian mau kasih kabar kalau Mas Tri dipindahkan ke Jogja dari Riau.”

Agus mengangguk-angguk. Sedih dan sesal bercampur dalam hati. Air mata rasanya sudah mulai menggumpal lagi. Tapi, ditahannya kuat agar tidak tumpah di sini. Nanti saja di rumah kalau perlu.

“Kardi yang nerusin bisnis tembakau Pak Tulus. Kapan waktu ketemu saya, dia pernah bilang kalau Paklik Agusnya yang baik hati akan pulang suatu hari nanti. Yakin sekali,” Marta tersenyum.

“Masih ada dia?” Agus gembira mendengar kabar ini.

“Sehat. Anaknya tiga.”

“Hahaha.... Tiga, ya? Kawin sama siapa?”

“Ngatmini.”

Agus berkerut, “Ngatmini kecil anaknya Pak Kromo itu?”

Marta tertawa, “Sekarang sudah nggak kecil lagi, Mas. Intan saja sudah besar begini. Sudah punya Devi yang cantik.”

“Hehehe.... Iya ya, lupa aku. Kukira kecil terus. Kalau gitu, sudah tua harusnya aku ini ya, Mar?”

Marta mesem, “Nggak ah, masih tampan kok.... Eh, jangan cemburu ya, Intan. Bulik nggak ada maksud apa-apa.”

Intan dan Agus pun tertawa.

Rekonsiliasi, atau islah, ini masih berlangsung beberapa saat lagi. Tampaknya berjalan lancar. Luruh semua ganjalan hati yang mengungkung Agus dan Marta selama ini. Sudah jelas kisah dan alasannya dari kedua belah sisi. Mereka sudah sama berumut untuk mampu menyikapi realitas hidup dengan bijak. Masa lalu biarlah tetap kenangan; yang manis maupun yang pahit.

Akhirnya, Agus mencukupkan silaturahminya. Intan mencium tangan buliknya saat pamit. Marta mencium pipi anak almarhumah sahabatnya yang sekarang berstatus istri mantan tunangannya. Marta juga mencium tangan Agus seperti awal datang tadi. Yang dicium tidak mau kalah, balas mengecup sayang kening istri almarhum sahabatnya itu. Terserah apa kata orang....

Sambil dada-dadaan, Mercedes pun beranjak pelan.

“Intan, gimana kalau Koes?” tanya Agus di perjalanan pulang.

“Kenapa Pak Koes?” Intan balik bertanya.

“Buat bulikmu. Koes kan orangnya baik.”

Intan diam sejenak, lalu tersenyum, “Kayaknya cocok, Mas.”

“Benar, nih?” Intan mengangguk. Agus pun mengangguk-angguk nyengir.

Ada planning....

***

Dua hari kemudian, di salah satu ruangan Gus Galle & Ritz.

“Kujamin kau untung besar, Koes. Susah ini nyarinya...,” Agus berujar kepada seorang kolega bisnisnya. Namanya hampir mirip, tapi ini Koesman. Panggilannya “Koes”. Kalau Agus biasa dipanggil “Gus”. Secara pengucapan sangat mendekati.

“Yakin sekali kau, Gus?”

“Hehehe.... Aku tahu hampir semuanya tentang dia.”

“Kok bisa?”

“Kok bisa, kok bisa.... Ya bisalah.”

Koesman yang duda anak tiga dan seangkatan alias seumuran dengan Agus itu manggut-manggut. Penasaran juga sih, habis Agus yang ngomong. Selama ini, kalau Agus berkata bagus, maka bagus. Ngibulnya ke para bule cuma soal-soal non teknis untuk ngangkat harga. Kalau aspek teknis, dia jujur. Bagus ya bagus, jelek ya jelek.

“Mantanmu, ya?”

Agus nyengir, “Dulu tunanganku, tapi kita gagal nikah”

“Woo? Kok bisa?”

“Kok bisa, kok bisa lagi.... Sudah, kau mau nggak? Kalau nggak, biar kubawa ke Tomo,” Agus pura-pura mengancam.

“Yee, jangan gitu dong. Tapi, aku lihat dulu, ya?”

“Oke. Sekali, langsung ambil keputusan.”

“Walah, mepet amat?”

“Terserah aku dong....”

Koesman pun menyerah. Agus tertawa dalam hati. Pasti nyantol koleganya ini ke Marta. Soalnya, mantan istri Koesman yang dicerai itu secara keseluruhan tidak sampai seperempatnya Marta. Soal hati, apalagi. Sudahlah, untung besar Koesman seperti kata Agus tadi.

Berangkatlah mereka dari Malioboro ke rumah Marta, sengaja pakat BMW-nya Koesman untuk pemancing. Kan perlu juga pancingan begitu. Namanya juga perempuan. Agus yang pegang setir, tertawa-tawa melihat Koesman bolak-balik menyisir rambutnya, sekalian merapikan kumis. Koesman cuek saja.

Sampai di depan rumah Marta, turun, ketuk pintu dan... mabuklah Koesman saat jumpa Marta. Tebar pesona terus sang dude sepanjang pertemuan itu.

Tentu Marta paham maksud nyomblang Mas Agusnya ini. Tapi, di luar itu, dia memang tertarik juga kepada Koesman yang wajahnya termasuk ganteng dan tidak bosan untuk dilihat. Susah bagi Marta untuk tidak tergoda. Apalagi, menjelang wafatnya, Tri berpesan agar Marta kembali menikah kalau memungkinkan.

Suasana di situ ibarat “colokan listrik laki dan perempuan” sudah saling berhadapan. Tinggal tancap, lalu kesetrum dua-duanya. Sialan, Agus jadi rada-rada kambing congek karena Koesman mendominasi acara obrolan dengan Marta yang banyak senyum itu. Tapi, tidak apa-apa, memang ini harapannya.

“Gimana?” tanya Agus di perjalanan balik.

Koesman tidak menjawab. Geleng-geleng terus sambil mesam-mesem.

“Ya sudah. Biar buat Tomo,” celetuk Agus nyengit.

“Weits, jangan dong...,” Koesman mendelik.

“Lho? Tadi geleng-geleng?”

“Geleng-geleng demen ini, Bung...,” sembur Koesman.

“Oo...,” Agus tertawa.

Lalu, mereka tertawa berdua.

Sudah. Sekali itu saja Agus mengantar Koesman ke tempat Marta. Selanjutnya biar mereka sendiri yang menentukan. Tapi, cerah tampaknya karena Koesman kelihatan makin tampan saja kalau singgah ke Gus Galle & Ritz.

Pakai bersiul-siul pula....

Episodes
1 00. Prolog
2 Kampus putih
3 vespa primavera
4 minimarket
5 islamic center
6 rs bethesda
7 teras
8 Mercedes
9 ruang tamu
10 kisah itu
11 ninja pasar
12 tentang cerita
13 dan terjadi
14 sesaat itu
15 kehadiran
16 turun temurun
17 di situ
18 titik balik
19 kembali ke kisah
20 foto repro
21 ada yang aneh
22 senyum pahit sang bangsawan
23 keputusan anak haram
24 perasaan bahagia
25 full cengar-cengir
26 ketemu yang haram juga
27 panik
28 haram oh haram
29 sekedar menemui
30 kisah haram
31 mencari bahagia
32 prinsipnya sama
33 briefing bahagia
34 selamat bertugas
35 jalan pergi
36 tidak susah ternyata
37 tidak terasa
38 lanjut dong
39 ketemu akhirnya
40 komitmen biang preman
41 proklamasi diri
42 jangan khawatir
43 rela
44 loh kok?
45 soal pertandingan
46 divisi utama
47 terbongkar
48 ribut sayang
49 peta mbah
50 tanda cincin
51 wasiat mbah
52 what's wrong
53 kembar atau mirip
54 si pengacau
55 riang
56 badak ujung kulon
57 hakikat minyak
58 apa boleh buat
59 MoU
60 fatal akibatnya
61 salah
62 buah tangan preman
63 buah tangan preman
64 runyam
65 sudah kenal lama
66 datang kembali
67 berjalan
68 maha menyebalkan
69 syarat bahagia
70 telah berlalu
71 capek deh
72 oh bahagia
73 syarat lagi
74 banyak kejutan
75 cinta
76 yang ketiga
77 bulpen komandan
78 000. selamat jalan
Episodes

Updated 78 Episodes

1
00. Prolog
2
Kampus putih
3
vespa primavera
4
minimarket
5
islamic center
6
rs bethesda
7
teras
8
Mercedes
9
ruang tamu
10
kisah itu
11
ninja pasar
12
tentang cerita
13
dan terjadi
14
sesaat itu
15
kehadiran
16
turun temurun
17
di situ
18
titik balik
19
kembali ke kisah
20
foto repro
21
ada yang aneh
22
senyum pahit sang bangsawan
23
keputusan anak haram
24
perasaan bahagia
25
full cengar-cengir
26
ketemu yang haram juga
27
panik
28
haram oh haram
29
sekedar menemui
30
kisah haram
31
mencari bahagia
32
prinsipnya sama
33
briefing bahagia
34
selamat bertugas
35
jalan pergi
36
tidak susah ternyata
37
tidak terasa
38
lanjut dong
39
ketemu akhirnya
40
komitmen biang preman
41
proklamasi diri
42
jangan khawatir
43
rela
44
loh kok?
45
soal pertandingan
46
divisi utama
47
terbongkar
48
ribut sayang
49
peta mbah
50
tanda cincin
51
wasiat mbah
52
what's wrong
53
kembar atau mirip
54
si pengacau
55
riang
56
badak ujung kulon
57
hakikat minyak
58
apa boleh buat
59
MoU
60
fatal akibatnya
61
salah
62
buah tangan preman
63
buah tangan preman
64
runyam
65
sudah kenal lama
66
datang kembali
67
berjalan
68
maha menyebalkan
69
syarat bahagia
70
telah berlalu
71
capek deh
72
oh bahagia
73
syarat lagi
74
banyak kejutan
75
cinta
76
yang ketiga
77
bulpen komandan
78
000. selamat jalan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!