Reda peluk-pelukan, Devi menoleh, melihat ayahnya. Kedua insan yang awalnya bermusuhan itu saling memandang. Mata Agus nampak berkaca, namun masih tegar. Dia ragu-ragu hendak memeluk putrinya. Tapi, akhirnya berdiri juga.
Melihat ayahnya berdiri, Devi pun ikut berdiri dan menyongsong. Ayah dan anak itu pun berpelukan erat, seakan baru pertama kali berjumpa.
“Ayah, minta maaf, Nak...,” bisik Agus di telinga putrinya.
Devi hanya memejamkan matanya. Ada rasa ingin menumpahkan air mata, tapi.. dicari ke mana pun air mata itu tidak ketemu, entah ke mana larinya. Maka Devi ‘tampil’ kuat dan tegar sekali di mata ibu, kakak dan ayahnya. Gadis ini sama sekali tidak menangis sejak tadi. Namun isi hati siapa yang tahu, semua tersembunyi hanya bisa dilihat dengan mata hati.
Situasi pun kembali berangsur mencair...
Kini, semua telah bisa berpikir sedikit jernih. Kabut yang menyelimuti mulai hilang perlahan.
“Sari, Devi..., Ayah minta maaf,” kata Agus pelan. “Ayah yang salah. Semua yang dikatakan Devi tadi benar.”
Sari diam. Devi tanpa ekspresi, tenang-tenang saja.
“Devi, boleh Ayah tahu di mana kamu kenal Bu Marta?”
“Nggak sengaja ketemu di minimarket,” jawab Devi singkat.
Agus kaget, “Dia tinggal di Jogja?”
Devi mengangguk.
“Sudah lama?”
“Hampir enam tahun katanya.”
“Enam tahun...? Di mana dia tinggal?”
“Saya tidak berani ngasih tahu, nanti saya akan tanyakan dulu boleh atau tidak memberi tahu itu.”
Agus mengangguk-angguk.
“Apa kamu sudah pernah ke rumahnya?” Agus bertanya lagi.
Devi mengangguk lagi.
“Sama siapa dia tinggal di sini?”
“Sama suaminya. Tapi sudah meninggal. Anaknya yang kembar juga sudah meninggal.”
“Ya Allah, Marta...” Agus mendesah. “Kalau boleh tahu siapa nama suaminya?”
“Pak Wibowo...”
“Tri Wibowo... Ya Allah...”
“Ayah mengenalnya?”
Agus mengangguk, “Dia adalah teman baik ayah dulu.”
“Bagaimana ceritanya kamu bisa kenal Bu Marta, Dev?” Sari ikut bertanya.
“Bu Marta yang menyapa aku duluan. Katanya saya mirip dengan seseorang.”
“Mirip? Sama siapa?” Sari penasaran.
Devi melirik ayahnya. Agus hanya menundukkan kepala.
Mata Intan kembali berkaca-kaca, “Sari, wajah Devi ini sangat mirip sekali dengan ibu kita...”
Agus memejamkan mata. Helaan napas kian berat. Teringat dia dengan Asih dan apa yang telah terjadi kala itu.
“Maksud Ibu, wajah Devi ini mirip dengan Bu Asih?” Sari memastikan.
Intan mengangguk.
“Benar begitu, Ayah?”
Agus pun mengangguk setelah sempat terdiam.
“Seperti anak kembar...” lelaki lewat paruh baya ini menjawab dengan helaan napas.
Sari memandang adiknya. Devi tersenyum walaupun terkesan sedikit dipaksakan.
Hening lagi.
Sari memang tidak tahu wajah ibu kandugnya karena semua jejak tentang Asih sengaja dihilangkan oleh Agus. Baik foto maupun yang lainnya tidak akan ada. Bukan benci, justru Agus sangat mencintai Asih. Ini semua dia lakukan demi kebaikan anak-anaknya kelak, setelah dia menikahi Intan. Biarlah Asih terkubur dalam-dalam di lubuk hatinya. Tidak perlu jejak nyata segala.
“Di mana Ibu sekarang berada?” Sari bertanya lagi. Kepada siapa saja yang bisa menjawabnya.
Kembali hening beberapa saat. Semua saling mematung.
“Sepertinya sudah meninggal dunia...,” Devi yang berani menjawab. “Tapi ini masih dugaan. Mungkin Ayah atau Ibu lebih tahu.”
Sari langsung memandang ayah dan ibunya.
Intan mengangguk membenarkan dugaan Devi.
“Kapan?” Sari mulai terisak.
“Sesaat setelah melahirkanmu...” Intan menjawab senduh
“Ibu...,” Sari tidak sanggup lagi menahan tangis. “Ibu, dimakamkan di mana?”
“Di pemakaman umum Magelang.”
Air mata Sari makin deras menurunin pipi, “Apa makam Ibu masih ada sekarang?”
“Ada, Nak. Ayah sudah meminta orang untuk mengurusnya. Kalau ke Magelang, Ayah selalu ziarah ke sana,” Agus menjawab dengan nada sedikit berat.
Derai tangis Sari berlanjut. Intan juga. Agus hanya diam membayangkan sosok Asih.
Sedangkan Devi, ah dia tidak berubah. Tenang-tenang saja. Tidak ada air mata. Semua tangisan masih di bawah dari semua persoalannya. Ringan sekali dibandingkan dengan ‘label’ anak haram. Bagi yang lain masih ada titik--titik ‘putih’. Sementara anak haram, dari awal hingga akhir ‘hitam’ semua. Bayangkan saja, untuk hidup di muka bumi saja sudah tidak pantas lagi...
Kisah pun berlanjut, kali ini soal Mbah Winardi, walau sebenarnya Sari dan Devi merasa tidak terlalu perlu. Cuma untuk memberikan sedikit cahaya kebenaran saja. Selam ini, hubungan mereka dengan Mbah di Pasuruan itu ibarat sayur kurang garam. Hambar-hambar saja. Winardi memang tidak membuka diri kepada dua anak mantan ‘perampok’ istrinya yang juga ‘memakan’ anaknya, terutama dengan Sari. Dia tahu Sari tidak mempunyai hubungan darah dengannya karena asli anak Agus dan Asih. Agak beda sedikit dengan Devi. Yang ini benar cucunya, walau bapaknya tetap Agus.
Selama ini, tidak begitu sering Sari dan Devi jumpa dengan Mbah Winardi. Mungkin tidak sampai sepuluh kali. Itu pun karena diminta Intan menemaninya sowan ke ayah kandungnya. Agus tidak pernah ikut. Winardi pun tidak pernah menanyakan Agus. Antik juga. Sebenarnya, Sari dan Devi sudah merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, karena saat itu memang belum terbuka kisah ini, maka tidak ada kecurigaan yang mendalam. Agus diam, Intan diam, Winardi seperti batu kali. Diam dan dingin...
Kehidupan Mbah Winardi bisa dikatakan ‘normal nggak normal’. ‘Normal’ karena dia beristri lagi, ‘nggak normal’ karena jumlah istrinya tiga. Yang ketiga malah lebih muda dari mereka. Maka, Sari dan Devi pun sebalnya bukan main. Sebagai gadis masa kini, mereka sangat mendukung kampanye anti-poligami. Enak sekali jadi jadi laki-laki...
“Kalau sudah tidak ada yang dibahas, saya mau tidur...,” Devi beranjak bangkit, dia merasa semuanya sudah jelas sekarang. Lagi pula memang dia mengantuk. Lelah nian batinnya ini.
Agus menghela napas, “Devi, sekali lagi Ayah minta maaf.”
Devi mengangguk. Toh sama saja, dimaafkan atau tidak, anak haram tetaplah haram. Mau di apa pun tidak akan berubah. Ya sudah, lebih baik dimaafkan. Selama ini ayahnya juga baik padanya. Sebagaimana peran seorang ayah yang baik pada umumnya.
“Ibu juga minta maaf, Nak...,” Intan berkata pelan.
Devi kembali mengangguk, “Tenang saja, Bu...,” katanya tenang.
Kaget semua mendengar ucapan itu. Tenang apanya? Tapi, tidak ada yang tega menelisik lebih jauh. Semua tahu, Devi adalah yang menjadi korban di kisah ini. Tapi, kesadaran seberapa dalam pisau anak haram menusuk ke jiwa gadis ini tidak ada yang paham karena Devi tampil teramat tenang. Padahal, ketengan ini karena batas emosinya sudah tembus. Tenang yang mudah berombak...
Tidak lama setelah Devi, Sari pun ikut undur diri. Tinggallah Agus dan Intan di situ. Agus mendekap istrinya, Intan menyusupkan wajahnya ke dada suaminya. Tangis sudah tidak lagi bisa tahan. Pakaian yang belum sempat diganti itu pun terlihat basah dan lusuh.
“Intan, kelihatannya sebuah karma sudah tiba...,” Agus berkata pelan.
Intan diam, makin terisak.
“Aku minta maaf. Kamu harus terlibat dalam masalah ini. Ini semua adalah salahku.”
“Tidak, Mas, saya juga salah dalam hal ini.”
Agus membelai rambut istrinya, yang juga anak tirinya. Dia masih ingat bagaimana Intan yang kala itu mestinya masih terhitung lugu mampu menjebol pertahanannya. ‘Tegangan’ hampir setahun itu terlampau sulit dikendalikan. Mereka berhubungan saat Asih hamil delapan bulan. Sungguh Agus mencintai Asih yang tetap bersikeras mempertahankan kehamilannya di tengah dera sakit yang luar biasa. Sakit yang diakibatkan sikap aniaya suami pertamanya dulu. Winardi, si ‘iblis laknat’.
Benar, Intan baru kelasa dua SMP, gadis yang seharusnya masih terhitung lugu diusianya. Tapi, lain dari aslinya. Dia sudah tidak perawan. Seorang Arjuna SMA telah merenggut kegadisannya. Tanpa paksaan karena Intan juga yang mau. Namanya juga cinta, buta semuanya. Gelap pun tetap dianggap indah. Sayangnya, sang Arjuna malah terbang entah ke mana setelah berhasil menyeruput madu. Kalutlah Intan. Saat tidak tahu harus apa yang dia lakukan, entah kenapa, dia malah memiliki pikiran untuk menggoda ayah tirinya yang sedang berjuang menahan ‘tegangan tinggi’. Maka terjadilah hal yang diinginkan. Namun, tabir ‘not pirjin’ itu masih tersimpan rapat oleh Intan sendirian sampai sekarang. Hanya dia yang tahu dan Arjuna yang tidak pernah nongol lagi itu.
Malam pun kian berjalan pelan. Akhirnya, Intan undur diri. Dia mau meneruskan tangisnya dalam mimpi. Agus masih di situ, duduk terpekur. Di usianya yang telah lima puluh tahunan ini, baru kali ini dia percaya bahwa sebuah karma itu memang ada. Duduk sendirian di teras depan. Mendesah dan terus mendesah sesal. Perlahan-lahan, lamunannya akan masa lalu itu pun kembali terputar...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Halim Sakdiyah
Mungkinkah Devi ini anak Arjuna?
2022-04-07
1