“Kasihan, Mas...” kata Marta.
Agus terdiam. Barusan Marta bercerita tentang Asih lagi. Kemarin-kemarin sudah, tapi yang sekarang lebih dramatis lagi. Katanya, wajah Asih lebam-lebam habis dihajar suaminya. Tidak tahu asal masalahnya, tapi cekcok mereka tidak akan lepas dari faktor ekonomi keluarga. Semakin buruk saja perekonomian keluarga mereka. Kalau dulu masih cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari walaupun harus super ngirit, sekarang malah minus. Bolehlah dikatakan habis-habisan.
“Lha, terus bagaimana?” tanya Agus.
Marta terdiam sejenak.
“Kata Asih, cuma Mas Agus yang bisa bantu dia. Itu pun kalau Mas Agus bersedia.”
“Bantu apa? Uang?”
Marta mengangguk.
“Kalau masalah minjami uang sih bis. Tapi, yang Mas khawatirkan adalah Winardi nanti.”
“Yaa... diusahakan jangan sampai ketahuan sama Mas Winardi. Biar nanti Marta yang urus.”
“Benar bisa? Hati-hati, Winardi itu orangnya kasar. Nanti kalau sampai macam-macam sama kamu, biar aku hajar dia...,” Agus tersenyum.
Marta balas tersenyum. Paham maksudnya, “Bisa. Terima kasih, Mas.”
Agus mengangguk. “Memang butuh berapa?”
“Terserah, Mas. Tapi Marta memang butuh banyak untuk berobat Intan. Kasihan sudah lama sakitnya.”
“Intan sakit apa?” Agus sedikit terkejut.
Marta mengangguk. Lalu, menceritakan perihal sakitnya Intan, anak tunggal Winardi dan Asih. Marta sangat sayang sekali dengan Intan. Naluri keibuan sepertinya. Si Intan juga nyaman sekali dengan Bulik Martanya.
“Ya sudah, nanti aku pinjamkan sesuai dengan yang Asih butuhkan. Untuk berobat si Intan dan keperluan lainnya. Tapi ingat, hati-hati ya sama si Winardi itu.”
Marta mengangguk mesem.
Beberapa hari kemudian...
Agus sedang di Malang, dia mendapat kabar kalau beberapa barang antik yang dicarinya ada di sana. Seharian dia muter-muter dari satu tempat ke tempat lainnya,ditemani calo setempat. Sorenya dia balik ke hotel, setelah membuat janji dengan sejawatnya itu untuk melanjutkan perburuan besok lagi. Agus terkejut saat masuk lobi hotel tempat dia menginap itu. Ada Asih di situ.
“Asih...? Sedang apa dia di sini?”
Asih tersenyum kecut, “Nunggu Mas Agus.”
“Nunggu aku? Ada apa dan kenapa?” Agus pun duduk di sebelah Asih, di ruang tunggu lobi hotel itu.
Asih menghela napas berat. Tanda lebam di sekitar mata kirinya masih terlihat jelas walau sudah memudar dan disamarkan dengan polesan bedak, “Maaf, Mas. Jika kehadiranku mengganggu.”
Iya sih, jelas mengganggu. Tapi, tidak pantas jika Agus menyampaikan terus terang, “Nggak, nggak kok. Emang ada apa?”
Asih mulai terisak.
Gantian Agus yang menghela napas, “Kita ngobrolnya di dalam saja ya...,” ajaknya tanpa sadar. Sejujurnya , Agus tidak ada niatan apa-apa. Semua itu dia lakukan atas nama prihatin dengan keadaan dan kondisi Asih.
Asih memandang Agus sejenak, lalu mengangguk. Asih pun tidak punya pikiran yang aneh-aneh.
Setelah mengambil kunci di resepsionis, jadilah mereka masuk ke kamar hotel yang di sewa Agus. Tidak ada yang mempertanyakan perihal membawa wanita ke kamar hotel, maklum ini di kota besar sudah menjadi hal yang wajar. Beda lagi kalau masuknya ke kamar Agus yang ada di kampung sana, bisa ribut bukan main.
Di dalam kamar, Asih masih tertunduk lesu.
Agus geleng-geleng kepala melihat sisa lebam di sekitar mata kiri Asih. Kurang ajar si Winardi. Dia masih ingat ledekannya saat berhasil memenangkan Asih. Gara-gara itu, Agus terpaksa menjomblo lama. Eh, tahunya sang primadonnya ini malah dijadikan sasaran amarahnya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Agus.
Asih mengangguk lemah tapi tidak ada air mata.
“Sudah makan?”
Asih menggeleng.
“Mau makan?”
Asih mengangguk. Memang lapar sih, terakhir makan tadi subuh sebelum kabur dari Nganjuk ke Malang setelah malamnya sempat bertengkar hebat dengan Winardi. Dia tahu Agus ada di mana dari cerita Marta kemarin. Mumpung masih ada sisa uang, Asih nekad menyusul Agus. Tidak ada niatan khusus, dia hanya bingung saja mau ke mana dan bagaimana. Untung bisa ketemu dengan Agus. Kalau tidak bisa menjadi gelandangan dia di kota ini karena kehabisan modal.
“Ayo, kita makan dulu!” ajak Agus.
Agus mengajak Asih ke restoran hotel. Makanlah mereka tanpa banyak bicara. Walaupun ganjen, gugup juga Asih makan di hotel berkelas seperti ini. Belum pernah sih. Dulu, waktu suaminya masih banyak uang dan masih sayang, hotel yang pernah diinapi bersama paling tinggi bintang satu. Itu pun sangat jarang. Sedangkan ini bintang empat. Jauh berbeda suasananya. Di sini tamunya berwibawa semua, makannya dikunyah pelan-pelan. Cewek-ceweknya juga cantik dan anggun.
Setelah makan, mereka kembali ke kamar. Namun, sebelum masuk kembali ke kamar, Agus menghampiri resepsionis, memberi tahu kalau wanita yang dia bawa itu adalah istrinya yang akan ikut menginap. Masa itu, belum ada peraturan hotel yang meminta surat nikah. Makin berkelas hotel itu, maka makin diam. Tamu adalah raja, tidak pantas ikut campur urusannya. Istri atau istri-istrian bukan urusan mereka. Pokoknya urusan bayar lancar. Maka resepsionis perempuan itu pun menambahkan ‘&Mrs.’ di belakang ‘Mr. Agus’ di buku tamu. Terteralah kini, ‘Mr. & Mrs. Agus’.
Setelah sampai di kamar...
“Istirahatlah dulu,” Agus sangat kasihan melihat kondisi Asih.
Asih masih menunduk lemah. Agus pun duduk di samping Asih.
“Asih, Asih...., gula aren...,” kata Agus pelan.
Terlihat mulai ada senyum di wajah Asih. Sudah lama sekali dia tidak mendengar julukan masa lalunya itu. Bahkan sang suaminya pun tidak. Baru kali ini dia mendengarnya, dan itu dari Agus.
“Kamu kenapa?” Agus membuka obrolan.
“Yah, seperti ini lah, Mas...”jawab sang gula aren mendesah.
“Ribut lagi?”
Asih mengangguk.
Hening kemudian.
“Mas, apa nggak apa-apa kau ada di sini?”
“Aku sih nggak masalah, Asih gimana?” Agus tersenyum tulus. Nggak enak kalau bilang nggak boleh.
Asih terdiam.
“Sudahlah, tenangkan dirimu. Jangan jadi beban pikiran,” Agus mencoba menenangkan, tulus.
“Terima kasih, Mas...,” Asih kembali mendesah.
Mulai runtuh jiwa tunangan Marta ini.
“Sekarang enaknya apa? Asih mau jalan-jalan?” tanya Agus kemudian.
“Nggak, Mas. Di sini saja.”
Agus pun mensem, lalu beranjak ke kulkas. Dua botol soft drink dan sebuah apel merah diambilnya, “Untuk menenangkan diri.”
Asih menerima sodoran apel dan minuman itu.
“Kalau mau cerita, boleh kok. Aku juga belum ada kerjaan.”
Asih kembali menghela napas. Cerita, jangan, cerita, jangan, akhirnya dia memilih bercerita. Maka, cerita pun mengalir.
Agus menyimak...
“Sampai sebegitunya?” Agus bertanya, setelah mendengar cerita Asih soal perlakuan Winardi kepadanya.
Cerita tentang kehidupan itu pun berlanjut...
“Terus, apa rencanamu selanjutnya?” Agus bertanya setelah menyimak kelanjutan ceritanya.
Asih menggeleng, “Aku bingung, Mas...” matanya menerawang jauh, tampak jelas kabut asap tebal.
Agus menghela napas, “Mungkin ada yang bisa aku bantu?”
Asih memandang Agus yang dulu pernah naksir bukan main kepada dirinya itu. Tidak tahu dia kalau rasa itu masih Agus simpan walaupun sudah kenal Marta.
“Nggak, Mas. Segini saja sudah sangat cukup. Terima Kasih banyak, Mas.” senyum sang gula aren ini tidak pernah berubah.
“Sama-sama....” Agus berkata pelan.
Mata Asih mulai berkaca-kaca, sekuat tenaga dia menahan bulir air mata itu tidak jatuh. Begitu juga Agus sekuat tenaga menahan hal lain....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments